Bab 11
Aku pernah mengatakan pada Jay agar kami berpisah untuk sementara waktu, tapi pada dasarnya tidak ada hal semacam itu dalam sebuah hubungan. 'Berpisah untuk sementara' hanyalah sebuah pengganti kata 'putus' agar terdengar lebih halus dan tidak terlalu menyakitkan, serta sarat dengan harapan. Namun, aku tidak tahu pasti bagaimana Jay memaknai maksud ucapanku. Yang jelas kami benar-benar lost contact sejak malam itu. Dan kini sudah terhitung dua bulan setelah aku memutuskan hubungan dengannya.
"Nad, apa kamu memperhatikan pria itu tadi?"
Aku dan Diva berjalan beriringan sembari menyeret koper masing-masing bak peragawati yang sedang berjalan di lantai bandara. Kami telah selesai bertugas untuk hari ini, tapi agaknya ia mencoba untuk bergosip denganku tentang salah satu penumpang pesawat yang cukup menarik perhatiannya.
"Pria siapa?" Meski tidak tertarik pada sosok yang ia bicarakan, tapi aku berusaha menanggapinya.
"Penumpang di kelas bisnis." Ia berbisik tanpa menyebut ciri-ciri orang yang dimaksud. Namun, aku langsung paham.
"Kamu menyukainya?" pancingku.
Diva menggeleng.
"Bukan aku, tapi sepertinya dia menyukaimu, Nad."
Aku tidak terkejut dan malah menyunggingkan senyum tipis. Bisa saja Diva salah menebak atau ia salah mengartikan gestur seseorang.
"Bagaimana kamu tahu dia menyukaiku?" Sejujurnya aku tidak memperhatikan pria yang dimaksud Diva, tapi aku masih ingat dengan sosok itu. Beberapa waktu lalu kami berada di dalam pesawat yang sama.
"Pria itu terus menatapmu tadi. Seharusnya kamu lebih peka, Nad."
Sekali lagi aku hanya melempar senyum tipis tanpa berkomentar apapun.
"Kamu tidak tertarik dengannya?" Diva menyenggol pundakku dengan melancarkan tatapan menggoda.
Aku sengaja hanya melempar tawa.
Bagi kami, ada begitu banyak pertemuan yang terjadi dengan orang-orang di dalam pesawat. Dan itu hanya pertemuan sekejap. Setelah penerbangan selesai, pertemuan juga berakhir. Semua orang pergi ke tujuan masing-masing, tapi kami akan kembali ke dalam pesawat dan bertemu dengan orang-orang baru yang akan menuju ke tempat berbeda. Semestinya tidak ada perasaan yang tertinggal bagi kami dan para penumpang itu.
"Hai."
Suara seorang pria terdengar lembut menyapa dari samping kananku. Di antara suara riuh di bandara, aku masih menangkap sapaan itu dengan jelas. Mengundang perhatian dan membuatku seketika menoleh serta menghentikan langkah.
Aku cukup kaget saat menemukan sosok yang dimaksud Diva telah berdiri di sampingku. Ia berusaha menjajari langkahku dan Diva. Entah bagaimana ekspresi wajah Diva saat mengetahui jika pria yang ia gosipkan tadi tiba-tiba menghampiri kami.
"Hai." Secara otomatis aku balas menyapa. Seragam pramugari masih melekat di tubuhku dan kakiku juga berpijak di lantai bandara. Situasi inilah yang membuatku spontan bersikap ramah.
"Kamu masih mengingatku, bukan?" Pria itu jelas bicara denganku. Pasalnya tatapan matanya lurus mengarah ke wajahku.
Aku melirik ke arah Diva, tapi wanita itu telah menghilang. Sejak kapan ia pergi melarikan diri?
Dasar! Diva pasti sengaja melakukan ini padaku. Ia buru-buru pergi saat mengetahui pria itu datang menghampiriku.
"Apa aku boleh berkenalan denganmu?" Pria itu langsung mengatakan maksudnya mendekatiku. "Aku Kevin." Tak butuh waktu lama, pria di hadapanku mengulurkan tangan. Sementara aku justru terpaku dan mengabaikan uluran tangannya.
Sesungguhnya aku belum siap untuk semua ini. Membuka hati setelah mencampakkan Jay demi impian seumur hidupku. Ini tidak adil bagi Jay. Aku juga masih menyimpan perasaan dan harapan untuk Jay. Tidak akan semudah itu menggantikan posisi Jay di hatiku.
"Nadia." Kevin menyebutkan namaku dari name tag yang terpasang di seragam pramugariku setelah menunggu beberapa lama. "Apa kamu baik-baik saja?"
Hanya karena aku tidak merespon, bukan berarti aku tidak baik-baik saja. Aku hanya tertegun sebentar, lantas berusaha menyadarkan diri sendiri.
"Ya, aku baik-baik saja. Aku cuma agak lelah," balasku beralasan.
"Apa kamu mau kuantar pulang? Kebetulan aku dijemput supir... "
"Tidak perlu," tukasku cepat. Aku tidak biasa menerima kebaikan dari orang lain.
"It's ok." Untungnya Kevin tidak memaksa. "Apa aku bisa meminta nomor teleponmu? Jujur aku ingin mengenal kamu lebih jauh," ucap Kevin tanpa basa basi.
Inilah yang kutakutkan selama ini. Seandainya aku masih bersama Jay, maka akan dengan mudah aku mengajukan alasan pada Kevin. Tapi sekarang aku tak bisa menjadikan Jay sebagai tameng jika ada seseorang yang berupaya mendekatiku.
"Kalau maksudmu ingin mendekatiku karena tertarik padaku, aku minta maaf. Aku menyukai orang lain," tandasku mengantisipasi. Aku tak ingin memberi harapan pada siapapun, tidak terkecuali Jay.
Siapa sangka Kevin justru mengembangkan senyum ramah. Membuat hatiku menciut. Mungkinkah aku telah salah duga pada pria yang berparas cukup tampan itu?
"Kalau begitu boleh aku minta nomor teleponmu sebagai seseorang yang ingin berteman denganmu? Kamu tidak harus menyukaiku, kok. Kita bisa ngobrol santai tanpa harus mengusik pribadi masing-masing. Kita bisa bicara isu-isu politik, budaya, atau juga gosip artis. " Kevin pintar bersiasat.
Aku tersenyum saat pria itu mengajukan ide tentang tema obrolan yang nanti bisa kami bagi.
"Aku tidak punya terlalu banyak waktu luang, jadi... "
"Aku tidak akan mengganggumu," potongnya. "Tapi di hari liburmu kamu tidak melakukan apa-apa, kan?"
Kevin memaksa dengan cara halus. Dan perkenalan ini berbuntut cukup panjang. Aku harus mengakhirinya dengan segera atau akan terjebak dalam obrolan lebih lama lagi.
"Ah, maaf. Aku lupa kalau hari ini punya janji dengan seseorang. Mungkin lain kali kita bisa ngobrol. Aku harus pergi sekarang. Bye."
Dengan langkah tergesa aku berlalu dari hadapan Kevin. Situasi semacam ini memang nyaris tidak pernah terjadi sebelumnya padaku dan anggap saja hari ini adalah hari sial dalam hidupku.
Aku akan bicara dengan Diva setiba di mess nanti. Wanita itu harus diberi 'pelajaran' karena telah menjebakku masuk ke dalam kandang singa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top