Bab 10
"Apa kamu tidak bisa langsung bicara intinya?" Situasi dan tempat mengharuskan aku untuk mengendalikan emosi dan perasaan. Sekalipun aku sangat penasaran dengan masa lalu Jay, aku tak bisa memaksa Icha untuk bicara. "Maksudku, apa yang sebenarnya terjadi pada Jay di masa lalu?"
Wanita di hadapanku mengulas senyum licik.
"Apa Jay tidak memberitahumu?" tanya Icha bernada sinis. Wanita itu hanya ingin menguji kesabaranku.
"Kalau Jay memberitahuku, aku tidak akan bertanya padamu," ujarku.
"Kalau begitu sebaiknya aku juga tidak memberitahumu."
"Hei!" Aku keceplosan.
"Jangan berteriak." Icha melotot.
Aku hanya mendesah kesal. Kalau saja Icha tidak bersikap menyebalkan, aku juga tidak akan berteriak seperti itu.
"Sebaiknya kamu bertanya sendiri pada Jay. Kalau dia tidak mau cerita, itu artinya kamu bukan orang yang tepat untuk diajak berbagi kesedihannya. Aku pergi dulu," ucap Icha yang langsung bangun dari tempat duduknya, lantas melenggang pergi. Meninggalkan aku sendiri yang hanya bisa tertegun menyaksikan tingkah polah wanita menyebalkan itu.
Kalau dia hanya ingin memancing rasa penasaranku, sebaiknya kami bicara di telepon. Kami tidak perlu bertemu seperti ini.
Sedetik kemudian aku seperti tersadar dari pingsan. Aku bergegas bangun dari kursi dan seketika berlari mengejar Icha. Wanita itu pasti belum jauh. Ia baru saja keluar dari kafe dan kemungkinan besar wanita itu masih ada di pelataran.
Aku benar. Icha masih ada di pelataran kafe dan sedang celingukan mencari sesuatu, mungkin taksi atau seseorang yang menjemputnya.
"Cha!"
Sembari berteriak, aku menarik tas selempang yang dipakai Icha. Hampir saja tas itu jatuh jika tangan pemiliknya tidak sigap menangkap.
Icha kaget dan berbalik. Wanita itu tampak kesal, tapi aku sama sekali tidak peduli.
"Katakan padaku sekarang tentang masa lalu Jay yang membuatnya trauma."
"Kalau aku tidak mau?"
Tanganku mengepal.
"Kamu ingin bermain-main denganku?" Dengan tatapan mengintimidasi, aku berusaha memojokkannya.
"Memangnya aku takut denganmu?" Ia seolah menantang.
"Kalau kamu memberitahuku, aku akan memberimu sebuah kesempatan." Aku mulai bersiasat.
"Kesempatan apa yang ingin kamu berikan padaku?"
Icha mulai terpancing dengan siasatku. Aku tinggal menyelesaikan setengahnya.
"Aku akan memberimu kesempatan untuk mendekati Jay."
Sejenak Icha tercekat mendengar ucapanku.
"Bukannya kalian sudah putus?"
"Aku baru saja berpikir untuk kembali pada Jay. Tapi, aku akan memberimu kesempatan untuk mendekatinya kalau kamu menceritakan masa lalu Jay padaku," tandasku dengan penuh rasa percaya diri. Aku memang harus tampil seperti itu demi meyakinkan Icha agar bersedia memenuhi keinginanku.
"Oh ya?" Kedua mata Icha terbeliak.
"Ya," anggukku demi meyakinkannya.
Icha tercenung sesaat.
"Aku menjadi ragu, jangan-jangan selama ini kamu memang tidak benar-benar mencintai Jay. Kalau benar kamu mencintai Jay, kenapa kamu melepaskan dia dengan begitu mudah. Bahkan kamu memberiku kesempatan untuk mendekatinya." Ia mendelik penuh kecurigaan padaku.
Mendengarnya menilaiku dengan buruk, membuatku harus mengembuskan napas lelah.
"Aku punya alasan tersendiri kenapa aku harus melepaskan Jay," tandasku enggan menjabarkan lebih panjang lagi.
"Demi obsesimu menjadi pramugari?"
"Itu bukan obsesi, tapi impian seumur hidup," ralatku. Icha tidak akan pernah mengerti perasaanku tentang sebuah impian seumur hidup.
Icha manggut-manggut seolah memahami situasi yang kualami. Padahal raut wajahnya sama sekali tidak mencerminkan hal itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakan semuanya."
Akhirnya wanita itu luluh juga. Agaknya Icha gampang dipengaruhi.
"Bisa kita kembali ke dalam?" Ujung jempolku menunjuk arah pintu kafe yang terbuat dari bahan kaca bening dan tebal.
Icha setuju dan beberapa menit kemudian kami telah menempati meja yang sempat kami tinggalkan tadi. Aku memesan secangkir cokelat hangat.
"Apa kamu tahu kalau Mama Jay sudah meninggal?"
Aku mengangguk.
"Ya, Jay sudah pernah memberitahuku." Kali ini kami bisa berbincang dengan damai. Tak seperti tadi yang penuh dengan drama.
"Apa kamu juga tahu kalau Mama Jay juga bekerja sebagai pramugari?"
Aku tersentak.
"Mama Jay seorang pramugari?"
"Aku sudah menduga kalau Jay tidak pernah mengatakan hal ini," tandas Icha. Ia bukan sok tahu, tapi memang benar-benar bisa membaca situasiku. "Asal kamu tahu, Mama Jay meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat... "
"Apa?!" Aku kaget setengah mati.
Icha mengangguk dengan gerakan samar. Sikapnya tenang dan senyum sinis di bibirnya sudah tidak terlihat lagi.
"Saat Jay berusia tujuh tahun, Mama Jay meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Sebenarnya hari itu merupakan tugas terakhir Mama Jay sebelum pensiun. Dan sayangnya lagi, jasadnya tidak pernah ditemukan. Bukan hanya Mama Jay, tapi seluruh kru dan penumpang pesawat itu tidak bisa dievakuasi karena situasi yang tidak memungkinkan. Pesawat itu jatuh di perairan dan bangkainya tidak pernah ditemukan," tutur Icha.
Tubuhku seketika lemas. Dalam sekejap pemikiranku tentang Jay berubah total. Jay tidak pernah egois saat memintaku untuk berhenti dari profesiku. Ia hanya takut hal yang sama menimpa padaku dan luka lama itu kembali terulang pada dirinya. Meskipun tidak bisa merasakan sepenuhnya apa yang Jay rasakan saat itu, tapi aku bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Jay ketika mengenang Mamanya.
Andai saja ia mengatakan sejujurnya padaku, mungkin aku tidak akan memutuskannya secara sepihak. Kami bisa berdiskusi dan mencari jalan tengah dan tak perlu mengalami semua ini.
"Jay tidak pernah menceritakan hal itu padaku," gumamku.
"Jay memang tertutup sejak dulu. Tidak banyak yang tahu kisahnya selain orang-orang terdekatnya."
Tapi, aku juga orang terdekat Jay. Kenapa ia mesti merahasiakan hal itu dariku? Atau Jay merasa aku masih belum pantas untuknya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top