Bab 09
Setelah menempuh perjalanan tidak kurang dari 40 menit dengan segala kendalanya, akhirnya aku tiba di kafe yang ditunjuk Icha sebagai tempat pertemuan kami. Tidak susah mencari keberadaan wanita itu di dalam kafe karena begitu aku membuka pintu kafe, aku langsung mendapati seorang wanita seumuran denganku menempati sebuah meja dekat dinding. Ia menatapku penuh arti, sedangkan meja-meja lain diisi oleh pasangan muda-mudi. Aku bisa menebak jika wanita itulah yang bernama Icha.
"Kupikir kamu tidak berani datang," ucap wanita itu terkesan sinis. Senyum miring di bibirnya menyambut kedatanganku. Benar-benar tidak ramah.
Aku mengambil tempat duduk dan memutuskan untuk tidak menanggapi ejekan pedasnya.
"Aku sudah di sini, jadi bilang padaku apa yang ingin kamu katakan," ujarku tandas. Jika biasanya setiba di kafe hal pertama yang dilakukan orang adalah memesan minuman, tapi kali ini aku tidak ingin memesan apapun. Melihat ekspresi wajah wanita di hadapanku cukup membuatku kesal. Meskipun Icha memiliki paras yang cantik, tapi sikapnya menyebalkan.
Icha menyesap isi cangkir putih miliknya.
Tadi saat kami berbicara di telepon, suara Icha terdengar ketus dan berapi-api, tapi ketika bertemu secara langsung, ia terlihat lebih tenang.
"Aku heran, kenapa Jay bisa menyukai orang seperti kamu," ucapnya sebagai awal obrolan kurang menyenangkan kami. "Kamu tidak terlalu cantik, tapi kamu egois. Apa yang membuat Jay sangat menyukaimu? Apa kamu punya mantra untuk memikat lawan jenis? Tidak mungkin Jay yang pintar bisa sebodoh itu memilih pasangan, kan?"
Ucapan Icha membuatku seketika naik darah. Tapi, aku hanya bisa mengepalkan tangan tanpa bisa mengayunkannya ke wajah Icha. Pengendalian emosiku cukup baik. Selama menjadi pramugari aku sudah cukup terlatih untuk mengendalikan amarah. Sudah tidak terhitung berapa kali aku berjumpa dengan penumpang pesawat yang bersikap buruk. Ucapan Icha tadi tidak ada apa-apanya dibanding dengan perlakuan buruk segelintir orang yang pernah menjadi penumpang di maskapai kami.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan dengan mengajakku bertemu seperti ini? Kamu tidak bermaksud ingin mengolokku, kan?"
Icha menyeringai tajam.
"Kamu tahu, apa kesalahanmu?"
"Jika itu menyangkut tentang Jay, aku memang memutuskan hubungan kami secara sepihak. Itu mungkin yang kamu maksud, bukan?"
"Kesalahanmu adalah hadir dalam hidup Jay." Icha meralat ucapanku.
Aku terbelalak. Sebuah pertemuan dengan seseorang dan biasa disebut sebagai kebetulan bukanlah murni kebetulan, tapi takdir. Bagaimana ia bisa menyalahkan kehadiranku dalam hidup Jay?
"Aku yakin kalau sebenarnya kamu tidak pernah mencintai Jay. Selama ini hanya Jay yang jatuh cinta, tapi kamu tidak. Mungkin kamu menganggap Jay sebagai pelengkap status atau pengusir kesepian saja. Masa-masa pandemi cukup membosankan, bukan?"
Icha melantur lagi. Wanita itu menyimpulkan seenaknya sendiri padahal ia tidak tahu apa-apa tentang perasaanku pada Jay. Tapi aku tidak ingin menjelaskan apapun padanya.
"Apa hanya itu yang ingin kamu katakan?" Aku berpura-pura hendak mengangkat tubuh dari kursi untuk memancingnya bicara langsung pada topik utama. Yang tadi hanya pemanasan kecil untuk menyalakan emosiku.
"Jay memutuskan untuk menetap di Bali!"
Wanita itu bicara cukup cepat. Namun, aku bisa menangkap isi kalimatnya dengan baik.
"Apa?" Siasatku berhasil, tapi aku sangat terkejut dengan pengakuan Icha.
"Setelah kamu memutuskan Jay, dia memutuskan untuk menetap di Bali."
Tapi Jay tidak mengatakan apapun. Mama juga telah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada balasan.
"Kalau saja Jay tidak pernah bertemu kamu, dia tidak akan ke mana-mana," ujar Icha penuh penyesalan. "Kamu tahu, aku dan Jay berteman sejak kecil. Aku adalah satu-satunya sahabat Jay dalam suka dan duka. Dia biasa berbagi kesedihannya denganku, tapi kali ini dia memilih untuk menjauh dariku. Kamu membuatku kehilangan teman masa kecilku, Nad. Kamu egois, tahu?"
Aku menyimak penuturan Icha dengan seksama dan menangkap sebuah kecurigaan.
"Kamu menyukai Jay?"
"Ya." Icha tak perlu basa basi untuk mengakui perasaannya. "Jauh sebelum kamu datang ke dalam hidup Jay, aku sudah mengenalnya. Aku menyukai Jay sejak kami masih kanak-kanak."
"Apa Jay tahu?" selaku.
Ia tersenyum pahit.
"Aku tidak pernah memberitahunya."
"Kenapa?" Aku menjadi lebih penasaran pada kisah cinta Icha yang tidak terbalas oleh Jay. "Apa Jay tidak memiliki perasaan yang sama denganmu?" tebakku bermaksud menjatuhkan mental Icha. Menilik senyum pahitnya aku bisa menebak apa yang terjadi di antara mereka.
"Karena Jay bodoh," sahutnya dengan nada enteng. Padahal ia sendiri yang mengatakan jika ia dan Jay berteman sejak kecil, tapi dengan mudahnya Icha mengolok Jay. "Padahal orang yang mencintainya dengan tulus ada di sampingnya, tapi Jay justru memilih untuk menyukai orang yang sama sekali tidak pantas untuk dicintai. Jay memang sebodoh itu," ucap Icha diakhiri dengan tarikan senyum sinis.
Yang Icha maksud pastilah aku.
"Kenapa kamu tidak menyusul Jay ke Bali dan mengakui perasaanmu padanya? Kenapa kamu justru mengajakku bertemu di sini dan mengolok Jay di belakangnya?" Aku memberi respon untuk sekadar mengimbangi kata-kata pedasnya. Aku seorang pramugari profesional. Aku bersikap ramah ketika bertugas dan saat di luar pesawat, aku hanya orang biasa dengan segala sifat kemanusiawiannya.
"Tentu saja aku akan menyusulnya ke sana, tapi bukan sekarang. Aku masih ada pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan," balasnya. "Aku bukan orang yang tidak punya hati dan tega membiarkan pria yang kucintai sendirian. Kasihan Jay, dia pasti sangat menderita di sana."
Senyum kecil terbit di ujung bibirku. Di mataku Icha terkesan licik dan melebih-lebihkan situasi Jay. Aku tahu betul dampak dari kandasnya hubunganku dan Jay. Aku juga sedih karena mesti melepaskan Jay dengan cara seperti itu, tapi sekali lagi aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa harus memilih salah satu karena Jay tidak merestui pekerjaanku.
"Apa Jay tidak pernah bercerita tentang masa lalu yang membuatnya trauma hingga sekarang?"
Pertanyaan Icha membuat keningku seketika terlipat.
"Trauma apa?" tanyaku bingung. Selama ini Jay tidak pernah bercerita apapun tentang dirinya. Aku hanya tahu dia seorang arsitek dan tinggal bersama Oma Eni. Ibunya telah meninggal saat Jay masih kecil, sementara Ayahnya menikah lagi dan tinggal di Surabaya.
"Sudah kuduga kamu tidak tahu apapun tentangnya," desah Icha dengan mimik menyebalkan. "Kamu memang tidak pantas untuk Jay."
Rasanya aku ingin mencengkeram leher wanita di hadapanku dan mencecarnya dengan beringas. Kenapa tidak langsung mengatakan apa yang ingin ia katakan? Aku sudah bosan dan tidak sabar meladeni basa basinya yang benar-benar menguras emosi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top