Bab 08

Kali ini apa yang Mama inginkan? Aku melenguh usai menutup pintu kamar dan samar-samar menangkap suara getar ponsel dari dalam tas. Pasti Mama, tebakku penuh percaya diri. Setelah menghubungiku beberapa menit lalu saat aku masih ada di lantai bandara, wanita itu rupanya belum puas karena tak mendapatkan kepastian apapun dari bibirku. Berapa kali aku harus bilang padanya kalau hubunganku dengan Jay telah berakhir?

Sesungguhnya aku enggan untuk menjawab panggilan dari Mama, tapi suara getar ponsel yang terus-menerus terdengar cukup mengusik indra pendengaran. Mama tidak akan berhenti sampai aku menjawab panggilannya.

Dengan setengah hati aku meraih ponsel dari dalam tas. Namun, saat aku menemukan sejumlah nomor tidak tersimpan tertera di layar ponsel, seketika aku tertegun. Dugaan burukku tentang Mama sama sekali tidak terbukti. Bukan Mama yang menghubungiku, tapi orang lain yang nomor kontaknya tidak tersimpan di ponselku. Mungkin dari pihak maskapai, batinku seraya menggeser ikon hijau. Sebelumnya aku juga pernah mendapati beberapa nomor asing yang menghubungi ponselku terkait masalah pekerjaan.

"Ini nomor Nadia, kan?"

Suara seorang wanita nan ketus langsung terdengar menyapa gendang telingaku. Padahal bibirku sudah terbuka dan hendak mengatakan halo.

Alih-alih langsung mengiyakan, aku justru bergeming. Suara wanita di telepon terdengar seperti ingin melabrakku karena telah merebut suaminya. Tapi itu mustahil. Aku tidak pernah merebut siapapun. Aku juga tidak sedekat itu dengan pria manapun. Hubunganku dengan pilot atau kopilot juga baik dan hanya sebatas rekan kerja. Tidak lebih dari itu.

"Ini nomor Nadia, kan?"

Wanita itu mengulangi pertanyaannya karena aku masih bungkam.

"Ya. Ini siapa?" Meski lumayan kaget, aku penasaran ingin mengetahui identitas di penelepon.

"Kamu jahat, Nad. Kamu egois. Bagaimana bisa kamu mencampakkan Jay seperti itu, hah?"

Aku tercekat saat tiba-tiba saja wanita itu memakiku. Ia bahkan menyebutkan nama Jay.

"Kamu siapa?"

"Aku Icha, teman Jay sejak kecil."

Teman Jay? Tapi aku tidak pernah mendengar Jay bercerita tentang teman masa kecilnya. Tidak. Aku bahkan tidak mengenal satu orang pun teman Jay. Pria itu sama sekali tidak pernah memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku hanya mengenal Oma Eni, nenek Jay yang selama ini tinggal bersamanya.

"Kamu tahu, aku sudah merelakan Jay untuk memilih kamu. Tapi kamu terlalu egois, Nad. Kamu mencampakkan Jay hanya demi profesi kamu yang sama sekali tidak penting dibandingkan dengan Jay itu. Gara-gara kamu mencampakkan Jay, sekarang aku harus kehilangan Jay."

"Tunggu! Maksud kamu apa? Aku sama sekali tidak mengerti." Wanita itu bicara terlalu cepat, sehingga aku kesulitan mencerna maksud ucapannya.

"Bisa kita bertemu sekarang?"

Wanita itu justru ingin bertemu denganku sekarang, padahal aku baru saja mengenalnya. Dan kami bisa bicara di telepon. Meskipun akan memakan waktu lumayan lama, pembicaraan di telepon tetap bisa di lakukan. Bertemu secara langsung hanyalah sebuah alasan untuk maksud tertentu.

"Kurasa aku tidak bisa... "

"Kamu takut bertemu denganku?"

Takut?

Wanita itu jelas mengejekku.

"Aku baru saja sampai beberapa menit yang lalu dan aku lelah. Mungkin lain kali... "

"Kamu takut mendengar kenyataan yang sesungguhnya atau takut kalau aku menjambak rambutmu?"

Aku terperangah. Untungnya aku dan wanita itu tidak sedang berhadap-hadapan saat ini.

"Kalau kamu ingin mengatakan sesuatu katakan saja sekarang atau aku tutup teleponnya." Aku balas mengancam wanita itu. Bukan sesuatu ancaman ekstrem, cuma sekadar gertakan kecil.

"Aku akan mengirimkan alamatnya lewat SMS. Datanglah sejam lagi. Aku tunggu..."

Sambungan terputus tiba-tiba.

"Hei!"

Meski sudah tahu telepon telah dimatikan, bibirku secara refleks berteriak.

Dasar! Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat meski hanya dalam hati.

Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Wanita itu benar-benar mengirimkan nama beserta alamat sebuah kafe padaku. Letaknya lumayan jauh, tapi tidak butuh sampai sejam untuk tiba di sana. Dengan menaiki taksi akan jauh lebih mudah untuk mencapai tempat itu.

Apa aku harus ke sana? Lantas sepenting apa hal yang akan disampaikan wanita itu padaku? Dan siapa sebenarnya Icha? Kenapa Jay tidak pernah menceritakan tentang Icha kepadaku? Berapa banyak rahasia yang disembunyikan Jay dariku?

Semakin ke sini aku merasa tidak mengenal Jay dengan baik. Pengetahuanku tentang Jay sangat minim.

Meski hanya beberapa saat, aku sempat merasa bimbang antara datang atau tidak ke kafe yang dipilih sepihak oleh Icha. Usai berganti pakaian kasual, aku segera memesan taksi daring untuk pergi menuju kafe yang dimaksud Icha.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top