Bab 07


Dugaanku tentang Jay ternyata salah. Kupikir setelah aku memutuskan hubungan kami secara sepihak, pria itu akan memintaku untuk kembali padanya. Paling tidak ia akan menghubungiku beberapa kali dan meminta untuk mempertimbangkan lagi keputusan yang sudah kuambil. Kupikir begitu.

Tapi tidak. Sebulan telah berlalu dan Jay tidak menghubungiku sama sekali. Sebenarnya ini bukan hal yang aneh. Tidak seharusnya aku mengharapkan Jay setelah aku memutuskan hubungan kami secara sepihak. Toh, aku sudah melepaskan Jay. Tidak mungkin aku akan menarik kembali ucapanku.

Anehnya aku merasa baik-baik saja meski sudah berpisah dari Jay. Tapi aku tidak menampik jika aku merindukan pria itu sesekali. Intensitas komunikasi kami yang minim membuatku terbiasa menjalani hari-hari tanpa mendengar suaranya di telepon. Saat itu Jay juga terlalu sibuk dan jarang mengirimkan pesan ke nomor kontakku. Tanpa sadar aku  terlatih untuk tidak menunggu kabar darinya. Singkatnya aku merasa kesepian saat masih menjalin hubungan dengan Jay. Sekarang pun tidak ada bedanya. Kurasa berpisah dari Jay merupakan jalan terbaik untuk kami berdua.

Aku tidak tahu apa yang dirasakan Jay pasca kami berpisah. Mungkin ia baik-baik saja. Jay jarang menghubungiku dan ia sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Berpisah dariku pasti lebih mudah dari yang dibayangkannya.

"Apa kamu sudah menghubungi Jay?" suara Mama langsung menegur setelah aku menempelkan ujung ponsel di telinga kanan. Aku baru saja turun dari pesawat dan sedang berjalan bersama koper kecilku.

Aku membalas teguran Mama dengan embusan napas lelah. Setelah perdebatan kami malam itu, Mama terus saja menanyakan hal yang sama. Membuatku muak.

"Nadia!"

Untungnya teriakan itu hanya didengar oleh telinga kananku, bukan orang-orang yang sibuk berlalu lalang di bandara.

"Kami sudah putus, Ma. Untuk apa aku menghubunginya?"

"Kamu ini bagaimana? Mama kan sudah menyuruhmu untuk menghubungi Jay dan meminta maaf padanya."

Itulah kenapa selama sebulan ini aku lebih memilih untuk tinggal di mess. Meskipun hari libur, aku tidak pulang ke rumah. Semua itu aku lakukan hanya demi menghindari pertengkaran dengan Mama. Tapi sayangnya, aku tidak bisa mengabaikan panggilan telepon dari Mama.

"Apa perlu Mama yang turun tangan?"

"Kenapa mesti Mama yang turun tangan?" tukasku berusaha menghentikan tindakan konyol yang terlintas di pikiran Mama. "Aku dan Jay sudah putus. Itu adalah keinginanku dan aku tidak mungkin menarik kembali ucapanku. Jay juga pasti baik-baik saja... "

"Dari mana kamu tahu kalau Jay baik-baik saja?" Mama menimpal.

"Memangnya dia tidak baik-baik saja?"

"Mama tidak tahu. Jay tidak pernah mengangkat telepon setiap Mama menghubunginya. Dia juga tidak membalas pesan-pesan Mama. Jay pasti kecewa pada Mama," tutur Mama mengungkapkan kesedihannya. Wanita itu pasti kecewa berat karena batal memiliki menantu kaya raya.

"Bukankah sudah jelas kalau dia juga tidak ingin lagi berhubungan dengan Mama?"

"Itu karena kamu yang memutuskan dia," timpal Mama dengan nada tegas.

"Ya, Mama benar." Aku membenarkan.

"Apa sekarang kamu bahagia setelah putus dari Jay?"

Aku menghela napas panjang.

"Mungkin tidak bisa disebut bahagia, tapi aku merasa lega. Aku tidak punya beban setiap kali akan terbang," ujarku meskipun tahu akan membuat Mama kesal.

"Semoga kamu segera menyesali keputusanmu," desis Mama seolah sedang menyumpahi putri kandungnya sendiri.

"Aku tahu suatu saat nanti akan menyesal telah membiarkan Jay pergi, tapi aku akan lebih menyesal lagi jika melepaskan pekerjaanku," tandasku penuh percaya diri. Penyesalan itu pasti ada, meski hanya secuil sekalipun.

"Dasar keras kepala." Mama justru memakiku. "Seharusnya kalian segera menikah sejak awal." Aku menangkap gumaman yang keluar dari bibir Mama.

"Aku tutup teleponnya..."

"Kapan kamu pulang?" Di saat aku hendak mengakhiri perbincangan, Mama justru menahanku. "Sudah sebulan kamu tidak pulang ke rumah. Apa kamu sengaja tidak pulang karena menghindar dari Mama?"

Mama telah mengenalku sejak aku lahir. Wanita itu pasti bisa menebak jalan pikiranku.

"Aku sedang membiasakan diri untuk hidup mandiri... "

"Banyak alasan." Mama langsung memaki. Dan wanita itu tidak salah. Aku memang berusaha keras untuk menghindarinya. Berdebat dengan Mama cukup menguras energi dan waktu. Lagipula aku tidak akan pernah memenangkan perdebatan dengan Mama.

"Apa Mama ingin dibelikan sesuatu?" Aku mengalihkan perhatian Mama.

"Tidak. Mama bisa membeli sendiri kalau ingin sesuatu," ucap Mama tegas.

Aku tak berhasil merayu wanita itu.

"Apa kamu tidak bisa mempertimbangkan lagi keputusanmu, Nad?"

Mama memaksaku membuang napas panjang dan berat. Betapapun aku berusaha untuk mengubah topik, pada akhirnya Mama menggiring pembicaraan kami ke tema awal, Jay. Entah apa yang membuat Mama begitu menyayangkan perpisahanku dengan Jay.

"Ma, aku baru saja selesai bertugas. Bisakah kita bicara lain kali? Aku lelah... "

"Memangnya kapan lagi kamu punya waktu untuk membahas masalah ini?"

Mama benar-benar ingin menguji kesabaranku.

"Aku dan Jay sudah berakhir. Apa lagi yang Mama harapkan?"

"Setidaknya kamu bisa mencoba untuk menghubungi Jay dan bertanya kabarnya, Nad."

Kupikir pembicaraan kami hanya berputar di satu tempat, seperti pusaran. Padahal aku hanya ingin menjalani hidup sebagai pramugari tanpa perlu mencemaskan perasaan orang lain terhadapku.

"Aku harus pergi, Ma. Aku tutup teleponnya."

Aku memutuskan sambungan dengan terpaksa. Mama pasti mengerti. Aku juga lelah didesak terus-menerus olehnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top