Bab 03

"Apa mess yang kamu tempati tidak nyaman?"

Papa merupakan orang yang paling perhatian terhadap pekerjaanku. Ia selalu bertanya ini dan itu ketika aku selesai bertugas. Sementara Mama lebih terkesan selalu khawatir dengan keselamatanku. Sedang Nando kelewat cuek. Ia hanya memikirkan diri sendiri dan uang saku yang diterimanya, tapi tidak pernah menunjukkan perhatian.

Aku baru kembali bekerja selama dua minggu terakhir dan lebih sering pulang ke rumah ketimbang tinggal di mess. Mungkin itu menimbulkan tanda tanya di pikiran Papa.

"Nyaman kok, Pa. Tapi tidak senyaman di rumah," candaku bermaksud tak ingin membuat suasana di meja makan terlalu serius.

"Bilang saja kalau kamu kangen masakan Mama." Mama menimpal seraya melirik ke arahku dan Papa.

Masakan rumahan memang tidak ada tandingannya dibanding dengan makanan yang dijual di warung atau restoran. Apalagi sambal goreng ati buatan Mama. Aku bisa menghabiskan dua piring nasi jika Mama memasak menu itu. Padahal aku harus selalu menjaga berat badanku.

"Itu salah satunya," balasku tidak menampik ucapan Mama.

"Tadi Nadia diantar Jay," ungkap Mama.

"Oh, ya?" Papa merespon dengan kening terlipat.

"Tapi dia tidak sempat mampir. Mungkin Jay sibuk," ujar Mama memberitahu Papa dengan mengemukakan kesimpulan yang ia buat sendiri.

"Oh." Papa terlihat sangat maklum. Pria itu lebih terkesan santai, tidak seperti Mama yang ingin aku segera menikah dengan Jay. "Memang proyeknya di Bali belum kelar?"

Mendengar pertanyaan Papa membuatku tanpa sadar menggigit ujung sendok. Sejak kapan Papa tahu soal proyek Jay di Bali? Padahal aku tidak pernah memberi informasi apapun pada kedua orang tuaku atau Nando tentang apa yang dikerjakan Jay sekarang.

"Belum." Mama menjawab dengan nada kalem.

"Besok kamu libur, Nad?"

"Tidak, Pa. Aku akan pulang ke mess setelah bertugas. Selama beberapa hari ke depan aku akan tinggal di mess," beritahuku.

"Kamu sudah bilang pada Jay kalau kamu akan tinggal di mess?" Mama menimpal.

"Belum."

"Dasar kamu." Mama malah menggerutu seolah-olah Jay adalah putra kandungnya, bukan calon menantu. Ia terlihat jauh lebih peduli pada perasaan Jay ketimbang putrinya sendiri. "Jay pasti marah kalau kamu tidak memberitahunya. Memangnya kamu anggap Jay itu apa? Teman? Dia itu calon suami kamu, Nad. Coba kalau bukan Mama yang memberitahu Jay, mungkin sekarang dia tidak tahu kalau kamu sudah kembali bekerja. Sesibuk apapun Jay, kamu juga mesti memberinya kabar. Menjaga komunikasi di antara pasangan itu penting. Prioritas, Nad. Tanpa komunikasi yang intens, bagaimana kalian bisa menjaga hubungan, hah?" Mama meluncurkan sederet ocehan yang membuatku terbelalak.

Ibarat pencuri, Mama memberitahukan aksinya secara terang-terangan tanpa perlu diinterogasi lebih dulu. Ternyata dugaanku benar. Mama yang sudah memberitahu pada Jay perihal pekerjaanku.

"Hubungan kami baik-baik saja, Ma," ucapku tak ingin membeberkan perdebatan kecil antara aku dan Jay beberapa jam lalu. Mungkin juga Mama yang sudah mempengaruhi pikiran Jay sehingga pria itu memintaku untuk berhenti bekerja.

"Apa hubungan yang baik-baik saja bisa bertahan selamanya kalau kamu tidak menjaga hubungan itu dengan baik? Kamu harus lebih perhatian pada Jay. Jangan sampai dia merasa kamu mengabaikannya. Bisa-bisa dia berpaling kalau ada seseorang yang lebih perhatian padanya." Lagi-lagi wanita itu mengoceh.

Aku enggan menanggapi. Bukan karena aku tak punya pembelaan diri, tapi karena aku malas berdebat dengan wanita itu. Apalagi kami sedang makan malam.

Sebenarnya aku pernah menunjukkan perhatian lebih pada Jay. Tapi itu beberapa bulan lalu, sebelum Jay tiba-tiba berubah menjadi orang yang sibuk dan susah untuk dihubungi. Dan akhir-akhir ini aku memilih untuk tidak menghubungi Jay, termasuk saat aku diterima kembali sebagai pramugari.

"Ya, aku akan menghubungi Jay nanti," ucapku akhirnya.

Setelah makan malam selesai, aku memilih pergi ke kamar. Namun, aku tidak langsung menghubungi Jay seperti yang kujanjikan pada Mama. Seperti biasa, keraguan selalu menyergap perasaan saat aku hendak menghubungi nomor Jay.

Apa Jay akan menjawab panggilanku? Apa Jay tidak sibuk? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu memenuhi pikiran manakala aku ingin menghubungi Jay. Karena aku sudah terlalu sering kecewa karena panggilan-panggilanku terabaikan.

Meski begitu, hubunganku dengan Jay bisa dikatakan baik-baik saja. Tidak ada masalah yang timbul sekalipun kami jarang berkomunikasi. Aku berusaha memahami kesibukannya dan memberinya waktu untuk fokus pada pekerjaan. Mungkin Jay tidak tahu aku sedang berusaha memberinya kesempatan untuk bekerja maksimal. Dan mungkin juga yang kulakukan saat ini salah. Memberi sedikit ruang pada hubungan kami bisa berarti merenggangkan jarak antara aku dan Jay. Tinggal menunggu waktu hingga hubungan kami tercerai berai.

Sesungguhnya aku mencintai Jay dengan segenap hati. Namun, terkadang aku merasa cintaku bertepuk sebelah tangan. Meski sebenarnya tidak seperti itu. Jay juga mencintaiku, tapi ia melakukannya dengan caranya sendiri yang mungkin tidak kupahami. Ketimbang denganku, ia justru berkomunikasi intens dengan Mama. Entah apa maunya.

Aku memutuskan untuk tidak menelepon Jay dan hanya mengirimkan sebuah pesan singkat sebelum pergi tidur. Toh, aku tidak yakin ia akan menjawab panggilanku seandainya aku meneleponnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top