Broken Home
September 2012
Aku memasuki ruangan yang disebut dengan kamar. Setelah memasuki dan menutup pintunya, aku menghempaskan diriku di kasur. Satu hari sekolah yang melelahkan akhirnya telah berlalu. Dengan akhir yang kurang menyenangkan bagi semua orang, yaitu dengan turunnya hujan.
Dari jendela kamarku, dapat kulihat bahwa air mulai membasahi bumi, dengan angin yang menghembus deras dan membuat pohon – pohon bertiup ke satu arah, mengikuti arah kemana angin tadi.
Namaku William Wellington. Seorang pelajar SMP biasa. Tidak ada sesuatu yang spesial dariku, kecuali bahwa orang – orang banyak yang mengganggapku keren dan ganteng. Apakah aku sudah terdengar cukup sombong? Kalau ya, berarti ada benarnya kalau orang – orang bilang aku ini tipe orang yang agak sombong. Tapi apa gunanya semua pesona yang aku punya kalau aku tidak pernah merasa bahagia?
Yah, mungkin banyak orang yang berpendapat kalau aku bisa mendapatkan segalanya. Mereka bilang aku bisa mendapatkan segalanya, apapun itu yang aku mau. Aku punya pesona dan kepintaran yang membuat banyak cowo lainnya iri padaku. Dan tentunya banyak cewe mengantre untuk jadi kekasihku.
Tapi aku tak merasakan bahwa semua itu membuatku bisa membuatku mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Bagiku, semua itu tidak ada apa – apanya.
Yah, itu semua karena aku tidak pernah mendapatkan yang namanya kehangatan seorang keluarga.
Aku bukan seorang anak manja, tapi aku jelas tetap membutuhkan yang namanya orang tua. Aku dibesarkan sebagai seorang anak yang mandiri, tapi aku jelas tetap butuh bimbingan orang tuaku agar aku tau apa yang harusnya aku lakukan.
Kembali ke kamarku. Aku hanya terdiam di sana sambil memandang ke arah jendela. Hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah mobil berwarna hitam mampir di depan rumahku. Akupun tersentak, dan aku sadar siapa yang baru saja datang ke rumahku. Akupun langsung berdiri dan berjalan ke arah jendela. Sekali lagi dapat kulihat wajahnya yang memuakkan. Aku langsung menjauh, dan memutuskan untuk berbaring di kasurku. Aku memandang kosong ke langit – langit, sambil menikmati suara hujan yang membentuk harmoni di dalam keheningan.
“Sayang, dengarkan aku dulu…” ujar seorang pria.
“Tidak! Kamu sudah terlalu lama meninggalkan aku dan Liam sendirian di sini! Jangankan pulang, memberikan kabar saja tidak pernah!” sahut Ibu.
Terdengar suara – suara dari Ibu dan juga pria itu dari luar. Dan aku sudah cukup muak untuk mendengarkannya, karena hal ini terjadi beberapa kali dalam sebulan itu. Kututup telingaku erat – erat dengan kedua tanganku, karena aku tidak mau mendengarkan semua perkelahian mereka. Itu membuat hatiku sakit. Apalagi kenyataan bahwa setiap malam ibuku akan meneteskan air matanya karena ayahku.
Pria yang bahkan seharusnya tidak perlu untuk dia tangisi.
Kalau aku boleh berkata kasar pada orang tuaku, maka aku akan bilang kalau ayahku adala pria paling brengsek yang pernah aku temui. Bahkan walau aku harus mengakui, tanpa dia aku tidak akan bisa ada di muka bumi ini.
Ayahku, bisa dibilang beliau adalah makhluk yang paling tidak bisa kutebak. Pekerjaannya adalah seorang pengusaha, tapi beliau selalu menghilang tanpa jejak, entah kemanakah dia.
Aku bahkan tidak mengerti, apakah dengan jadi seorang pengusaha maka kamu harus selalu menghilang begitu?
Kurasa tidak kan? Karena kamu pasti bisa menentukan kegiatanmu sesuka hatimu. Kau adalah bosnya, jadi kau bisa mentukannya sesuai dengan keinginan hatimu. Tapi aku tidak mengerti kenapa ayahku selalu bilang kalau dirinya sibuk sehingga tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Dia bahkan tidak pernah berada di rumah lebih dari dua jam.
Apakah orang seperti dia bisa dibilang sebagai seorang ”ayah”? kurasa tdak kan?
Dan aku memang tidak pernah ingin menemuinya saat dia ada di sini. Karena dia membuatku mengingat semua usaha keras ibuku untuk membesarkanku sendirian. Dia memang menafkahi ibuku, tapi dia tidak pernah ada di saat senang dan susah yang dialami oleh kami berdua.
Kalau aku boleh melakukan satu hal untuk mengubah semua ini, aku akan rela menukarkan hidupku demi menukarkan ayahku dengan pria lain yang lebih baik daripada dia.
“Pergi kau! Aku tidak sudi untuk menemuimu lagi!” seru Ibu.
“Aku kurang apa hah? Aku sudah memenuhi semua kebutuhanmu dan juga anakmu, tidakkah itu cukup?” Tanya pria itu.
“Tentu saja tidak! Kau tidak ada di saat – saat kami membutuhkanmu! Aku menikahimu bukan karena uangmu, aku menikahimu untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang darimu. Mengarungi kehidupan manis dalam bahtera rumah tangga kita bersama, merasakan manis dan pahit bersama. Bukannya menahan rasa sakit dalam waktu lama dan merasa kesepian karena tidak ada yang bisa menopang hidupku saat ini!”
“Maaf, tapi aku tidak bisa. Semuanya sulit saat ini. Kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi di dekatku. Semuanya terlalu bahaya, dan aku tak ingin kalian mendapatkan masalah. Aku melakukan semua ini demi keselamatan kalian.”
“Tapi kau bisa ceritakan semuanya pada kami. Aku dan Liam akan selalu ada di sini dan berusaha untuk mengerti…”
“Maaf, aku tidak bisa…”
“Kalau kau masih merahasiakan banyak hal terhadapku dan Liam seperti itu, lebih baik kita berpisah saja!”
“Kau… tidak mengerti... kalian ada dalam bahaya, oke? Aku berusaha untuk melindungi kalian.”
“Lepaskan aku!”
Setelah mendengar teriakan dari Ibu, aku langsung meloncat dari kasurku. Dan tanpa sempat berpikir panjang, aku langsung menuju ke luar kamar. Disana aku dapat melihat bahwa Ayah sedang mencengkram kedua tangan ibuku dengan erat. Ibuku berusaha untuk melepaskan diri dengan cara mengibaskan tangannya menjauh. Ibu berhasil melepaskankan salah satu tangannya, tapi tangan pria itu kini berayun kembali dan mendarat di pipi lembut ibuku.
SLAP!
Spontan, aku langsung menarik ibuku dari genggamannya, kemudian menjauhkannya ibuku dari pria itu. aku berdiri di antara mereka berdua, dan menjadi tameng bagi ibuku yang masih mengelus pipinya yang kini memerah karena tamparan tadi. Dan kini aku berdiri tepat di hadapan ayahku.
“Apa maumu hah? Tidak cukup dengan mengacuhkan aku, kamu juga mau menyakiti ibuku. Kau ini pria sejati atau bukan?!” seruku.
“Tau apa kau soal pria nak?” Tanya Ayah.
“Karena aku tidak akan meninggalkan wanita yang kucintai sendirian dan membesarkan anaknya dengan penuh perjuangan tanpa seorang pria yang seharusnya ada di sisinya.”
“Kau tidak mengerti, nak. Semuanya terlalu sulit. Kau akan lebih paham saat kau sudah dewasa.”
“Tapi aku bukan anak – anak lagi, kau tau itu!”
“Hentikan! Aku sudah tidak tahan lagi!” ujar Ibu.
“Aku akan lakukan apapun asal kalian bahagia. Tapi selain aku harus bertahan disini. Hanya satu hal itu yang aku tidak bisa kupenuhi pada kalian” sahut Ayah.
“Kalau memang begitu katamu, maka aku akan memintamu untuk menceraikan aku saja!”
Tiba – tiba, dia mendekati ibuku, kemudian menamparnya sekali lagi. Beliau langsung tersuruk dan tangisannya pecah. Dan tanpa kusadari lagi, tanganku sudah berada di pipinya, menampar keras wajah seorang pria yang membuat ibuku bisa melahirkan aku.
“Kau… anak kurang ajar! Kalian tidak tau terima kasih ya? Aku melakukan banyak hal untuk melindungi kalian. Kalian tidak tau bahaya apa yang selama ini ada di balik kabut yang mengelilingi kalian.” seru Ayah, lalu balas menamparku.
Aku jatuh tersungkur di sebelah ibuku, tapi aku kembali bangkit. Sambil mengelus pipiku, aku kembali memandang pria yang ada di depanku. Aku memberinya tatapan sengit, yang dibalasanya dengan tidak kalah sengit juga. Dia sepertinya ingin melayangkan satu tamparan lagi, tapi dia sepertinya mengurungkan niatnya.
“Kau boleh bilang aku adalah anak durhaka, tapi aku tidak akan pernah membiarkan seorang wanita terluka seperti yang kau lakukan. Aku tidak perlu hartamu, yang kuperlukan hanya kau untuk tidak menyakiti ibuku. Dan aku setuju dengan Ibu. Daripada kau terus meninggalkan kami, lebih baik sekalian saja kamu pergi!” Sahutku.
“Lebihbaik aku hidup tanpamu… daripada merasakan hal ini lebih lama lagi.” Ujar Ibu.
“Baik, kalau memang itu maumu, aku akan segera menceraikan kamu. Kau bisa lihat suratnya dalam seminggu lagi.” Sahut Ayah, dengan nada dingin. Seolah dia melakukan semua ini dengan senang hati. Seolah semuanya tidak dapat menembus hatinya yang beku.
“Ya! Ceraikan saja aku! Aku lebih baik sendirian daripada menunggu ketidak pastian darimu!”
Pria itu tidak berkata apapun lagi. Dia segera memalingkan dirinya, dan keluar dari rumah. Dia menembus hujan, dan menaiki mobil yang tadi dia parkir di depan rumah. Aku memandangnya menjauh di antara air yang berjatuhan, semakin lama semakin deras. Hingga akhirnya dia menghilang di kejauhan.
Setelah dia pergi, langsung saja aku memeluk ibuku. Kami berdua berpelukan dalam diam selama beberapa saat. Bisa kurasakan air matanya jatuh di bahuku. Hal ini menyakitkan bagi kami berdua, bahkan bagiku yang tidak pernah peduli dengannya. Tapi hal ini adalah hal terbaik untuk kami berdua, daripada terluka seperti ini terus.
“Maaf Bu… Liam seharusnya nggak melakukan itu pada Ayah…” ujarku.
“Tapi lebih baik begini nak… setidaknya kita akan lepas dari dirinya.” Sahut Ibu.
Dan di hari itulah, aku terakhir kali melihat pria yang bisa kusebut dengan “Ayah”.
~~~~~
Sudah dua tahun semenjak kejadian itu, dan ibuku sudah menikah dengan seorang pria bernama Dion. Aku tak pernah melihat ibuku sebahagia saat dia memasuku pelaminan di hari pernikahananya dengan suami barunya. Aku tentu saja ikut bahagia karenanya.
Tapi… semenjak hari itu, ibu mulai mengacuhkanku. Dia lebih asik dengan suaminya daripada memperhatikanku. Aku bahkan merasa seperti alien di rumahku sendiri.
Hingga akhirnya, aku menginjak kelas 10, aku bertemu dengan seorang wanita, dan dia bisa mengubah seluruh duniaku dalam waktu sekejap.
Dan namanya adalah Vani.
Keadaan tidak akan bisa jadi lebih buruk daripada ini kan?
~~~~~
Next story : Lights
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top