BF 06
Ricky terbangun di pagi hari. Ia tak lupa melaksanakan shalat Subuh terlebih dahulu. Setelah selesai, ia berjalan menuju kamar sang Anak.
Pintu dibuka agak lebar. Fenly masih tertidur lelap di balik selimut. Ricky berniat membangunkan Fenly dan langkahnya terhenti.
"Ma... Ovel kangen sama Mama."
"Aji, ayo kita main kaya dulu sama Papa."
"Ma... Aji... jangan tinggalin Ovel sendirian di sini."
Ternyata Fenly tengah mengalami mimpi buruk. Peluh keringat sudah membasahi wajah dan baju tidur yang dipakai.
Hati Ricky meringis. Ia sangat sedih melihat Fenly harus mengalami mimpi buruk dan itu berhubungan dengan keluarga kecilnya dulu.
"Ovel... maafin Papa ya," ucap Ricky lirih.
Ricky langsung membangunkan Fenly yang masih mengigau. Ia tak ingin sang Anak terlarut dalam mimpi buruk itu.
"Ovel... bangun nak. Ovel...."
Ricky menggoyangkan tubuh Fenly pelan. "Pa... Ovel kangen Papa yang dulu selalu ada buat Ovel." Fenly meracu.
"Ovel... ayo bangun nak." Kali ini Ricky agak kuat mengoyang tubuh Fenly dan akhirnya Fenly terbangun.
Kedua netra Fenly terbuka perlahan membiaskan cahaya lampu kamar. Fenly merasakan pelukan hangat di sisi kanan.
"Vel... Papa sekarang ada di sini. Papa janji nggak akan tinggalkan Ovel seorang diri," ucap Ricky memeluk tubuh kecil sang Anak.
Fenly bingung serta merasakan pusing di kepala. Ia hanya diam di dalam pelukan hangat sang Ayah yang sangat dirindukan.
"Papa Iky... Ovel kangen sama Mama dan Aji. Bagaimana kabar mereka di sana ya?" ucap Fenly sedih.
"Sabar ya, Nak. Papa juga sangat merindukan mereka," balas Ricky mengelus rambut Fenly.
"Kamu demam. Kita berobat ya," ujar Ricky saat tangan ya menyentuh kening Fenly.
"Nggak mau, Pa. Ovel mau di rumah saja. Papa temani Ovel ya," pinta Fenly menatap lemas Ricky.
"Iya. Papa hari ini akan temani dan jagain kamu. Papa janji." balas Ricky tersenyum.
Ricky pun keluar sebentar untuk menyiapkan minum dan obat demam. Ia juga menyuruh Bi Eli membuatkan bubur.
Sekitar sepuluj menit, Ricky sudah kembali masuk. Ia juga membawa semangkok bubur, segelas air putih dan obat penurun panas.
"Ovel. Yuk makan bubur dulu, habis itu minum obat ya," ucap Ricky lembut.
Inilah sifat asli Ricky sesungguh jika berhadapan dengan Anak. Karena kesibukannya di kantor, secara tak langsung merubah sifat yang dulu menjadi berbeda.
Fenly menggelengkan kepala lucu. Sifat manja Fenly juga keluar dari aslinya jika di sekolah dingin serta datar.
"Nggak boleh gitu. Kasian Bi Eli sudah capek buatin bubur ini untuk Fenly loh." Ricky membujuk.
Sesendok bubur sudah berada di depan mulut Fenly. Fenly mengerjapkan mata sebentar lalu memakan bubur juga.
"Nah gitu. Ini baru Ovel anak pintar Papa Iky," puji Ricky mengelus kepala Fenly pelan.
"Hmm... Ovel mau makan bubur lagi, enak soalnya. Suapin lagi ya," ucap Fenly manja.
"Utututu... si Ovel bisa manja juga kaya anak kecil nih," ledek Ricky.
Fenly cemberut. Ia menyilangkan kedua tangan di dada.
"Hahaha... yaudah ini Papa suapin lagi. Buka mulut ya aaaa...."
Fenly tersemyum lebar. Kini Fenly bisa merasakan waktu berdua kembali seperti sekarang ini dengan sang Papa. Wajah kedua orang yang Fenly sayang terbayang.
"Pa... Ovel kapan ya bisa ketemu sama Mama dan Aji?" tanya Fenly setelah menghabiskan suapan terakhir.
"Papa Iky nggak tahu nak. Nanti Papa usahakan untuk menghubungi Mama ya." Ricky menjawab dengan bijak.
"Hore! Terima kasih, Papa Iky!" seru Fenly heboh.
Ricky merindukan sosok Fajri dan mantan Istrinya. Andai waktu bisa terulang kembali kesalahan kecil dulu takkan membuat mereka memutuskan untuk bercerai.
Fenly mengelus pipi sang Papa lembut. "Pa... jangan sedih ya. Maaf Ovel malah buat Papa gini," ucapnya merasa bersalah.
"Nggak kok. Yuk, sekarang minum obat ya dulu. Habis itu kamu tidur lagi ya."
Ricky mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau terlarut dalam kesedihan terus menerus.
"Papa, temenin Ovel tidur ya," ujar Fenly menepuk sisi kiri tempat tidur.
"Huh! Ovel kalau sudah manja pasti kaya anak kecil," ledek Ricky.
Mereka pun perlahan mulai tertidur. Bi Eli yang sejak tadi mengintip di sela-sela pintu kamar merasa terharu.
"Bibi senang lihat Tuan sama Den Ovel bersama lagi," ucap Bi Eli, lalu menutup pintu kamar pelan.
.....
Siang hari telah menjelang. Fajri terbangun dari tidurnya. Malam tadi ia bisa begadang sepuasnya. Terik matahari sudah menyelinap di balik tirai kamar.
Sang Mama sedang berada di tempat Nenek. Nenek Nadya tengah sakit dan Mama Sinta memutuskan untuk menginap selama tiga hari.
Fajri tak mau ikut. Dia memilih tinggal di rumah karena ada tugas kelompok yang harus diselesaikan bersama Fiki dan dua teman sekelasnya.
"Kapan lagi gue bisa kayak gini," gumam Fajri.
Selimut tebal ia hempaskan asal. Fajri berjalan menuju ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin besar.
"Aji, lo emang ganteng dan keren," ucap Fajri memuji dirinya sendiri.
Tiba-tiba sebuah bayangan terlintas di cermin. Wajah sang Papa Ricky dan sang Kakak Fenly terlihat di sana.
"Aish! No Mellow Ji!" serunya lantang.
Fajri mencoba menghilangkan wajah-wajah itu. Dia saat ini butuh kebebasan serta ketenangan. Sudah capek Fajri selama lima tahun ini terpuruk akan kesedihan.
Teringat kejadian kemarin di parkiran sekolah. Sebenarnya Fajri sudah melihat dari kejauhan sosok Fenly, tetapi Fajri memilih untuk menganggap sang Kakak sebagai orang asing.
"Bang Ovel... maafin Aji ya. Aji kayak gini juga sudah muak dengan keadaan kita. Aji ingin sekali kembali ke masa-masa dulu ketika kita tinggal bersama serta jalan-jalan satu keluarga harmonis."
Tak mau larut dalam kesedihan. Fajri membuka pakaian, lalu ia nyalankan air shower.
"Nikmat sekali," ucap Fajri di bawah rintikan air shower.
Limabelas menit berlalu, Fajri sudah selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggang sampai ke bawah kaki serta handuk kecil untuk mengeringkan rambut.
Lima menit kemudian, Pemuda tampan berdarah campur Sunda ini sudah rapi. Fajri merapikan sedikit gaya rambut yang menjadi salah satu daya tarik.
Drrtt!!
Ponsel Fajri bergetar di atas meja nakas. Fajri melirik sebentar, ia raih ponselnya.
Tiga buah pesan dan satu panggilan tak terjawab tertera di layar ponsel. Tubuh Fajri terdiam bagaikan patung.
Ada satu nama yaitu Papa. Fajri tak tahu harus merespon apa. Sudah setahun lamanya sang Papa tak mengirimkan kabar untuknya.
"Aji bingung antara sedih, marah, senang atau kecewa."
Fajri menghapus air mata paksa. Ia lebih memilih untuk mengabaikan hal itu dan membaca pesan Fiki dari WhatsApp.
Pikipow 🤡
"Ji! Jangan jam dua kumpul di rumah lo."
"Ji! Bangun woi kebo!"
"Nggak mau tahu, lo harus siapin makanan dan minuman buat kerja kelompok nanti. Gue pesan pempek satu porsi besar ya."
Fajri mendecak kesal. Soal makanan saja Fiki pasti paling semangat. Ia tak membalas pesan dari sahabatnya itu.
"Lebih baik gue beli cemilan dulu ke supermarket mumpung masih jam duabelas lewat ini."
.
.
.
.
.
[29/12/2021]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top