SATU
Pagi ini bukan pagi yang biasa untuk Angel. Hari ini, dengan bantuan dari Om Handi, gadis enam belas tahun itu bisa melanjutkan sekolah ke salah satu SMA swasta favorit di kota mereka. SMA Harapan Generasi. Om Handi dan Tante Anya tidak memiliki anak. Mereka sangat menyayangi Angel, sehingga kadang-kadang Angel merasa lebih disayangi oleh mereka dibanding oleh Ibu.
Nyonya Anggi, Ibu Angel, hanya berprofesi sebagai tukang jahit dengan orderan tak menentu. Raut wajahnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya karena kerap bekerja tanpa mengenal waktu.
"Siapkan dirimu dan segera ke depan untuk sarapan bersama Om dan Tante." Nyonya Anggi bicara tanpa melepaskan tatapannya dari jarum jahit yang bergerak naik turun mengikuti irama mesin jahit tuanya.
Angel mengangguk, "Ibu tidak ikut sarapan?"
Nyonya Anggi menggeleng.
"Ibu tidak tidur sejak semalam. Apa ada yang bisa kubantu?" Angel bertanya lagi.
Nyonya Anggi menghentikan kegiatan menjahitnya, melepas kacamata dan menatap Angel dengan tatapan dingin menusuk.
"Kau pikir siapa yang akan membayar biaya pendidikanmu hingga setinggi ini kalau ibu tidak bekerja?"
Angel terdiam. Ada getaran di dalam hatinya yang jika dibiarkan akan menyebabkan matanya basah.
"Syukurlah Om Handi mau bantu biayai sekolahmu. Kalau tidak, ibupun tidak tau apakah kau masih bisa lanjut sekolah."
Angel ingin bilang pada ibunya bahwa sekarang banyak sekolah yang menggratiskan biaya pendidikan. Tidak masalah baginya jika harus bersekolah di SMA negeri biasa. Dia bisa mencari beasiswa di sana. Atau, dia bisa menyambi pekerjaan di mana saja yang mau menerimanya. Tapi Angel mengurungkan niatnya dan memilih segera pergi ke depan untuk makan pagi bersama keluarga Handi Tanusi.
Rumah depan adalah sebuah bangunan rumah mewah dua lantai yang dihuni oleh Om Handi dan Tante Anya. Rumah dengan kolam renang dan taman mini di halaman belakang. Rumah berlantai marmer yang setiap hari mengilap karena keluarga Handi Tanusi memiliki tiga orang asisten rumah tangga yang tugasnya memang hanya membersihkan rumah.
Gadis ramping dengan rambut hitam lurus itu melangkah gontai menuju pintu belakang. Kolam renang membatasi bangunan utama rumah dengan gudang, tempat Angel dan Ibunya tinggal.
Tante Anya masih kerabat jauh dengan Nyonya Anggi, mereka masih sepupu. Tapi Nyonya Anggi lebih memilih untuk tinggal di gudang dibandingkan harus merepotkan keluarga Handi Tanusi dengan tinggal bersama mereka di rumah mewahnya. Diberi tunpangan tinggal gratis di gudang saja sudah lebih dari cukup.
"Angel sayang, kemarilah," Tante Anya menghampiri Angel begitu melihat keponakannya muncul dari pintu belakang, "Kami baru saja mau sarapan."
Om Handi meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya dan menyambut Angel dengan senyuman khas kebapakannya.
"Lihat dia. Sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Seragam itu pas sekali denganmu."
Angel tersenyum kecil. Dia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Om Handi dan Tante Anya membuat dia merasa sangat dicintai. Namun, selalu saja lubang menganga dalam hatinya bagaikan luka basah yang tak kunjung sembuh.
Lubang menganga yang diciptakan okeh seorang laki-laki yang hingga saat ini tidak dikenalnya. Laki-laki yang seharusnya dia panggil dengan sebutan Ayah. Laki-laki yang tidak pernah dia tanyakan keberadaannya pada Ibu.
"Kau mau selai kacang atau selai coklat?" Tante Anya menyentuh pundak Angel membuat gadis itu sedikit tersentak.
"Selai kacang saja, Tante. Terimakasih."
"Jadi, apa kegiatan hari pertama di sekolah?" Om Handi bertanya dengan antusias. Dia baru saja menggigit tangkupan rotinya.
Angel menggeleng, "Mungkin kegiatan MOS. Seperti waktu pertama kali masuk SMP dulu."
"Bagus. Kau suka sekolahnya kan?"
"Tentu saja, Om. Itu sekolah terbaik di kota ini. Banyak ekstrakurikulernya. Banya bahasa asingnya juga."
"Syukurlah kalau kau suka." Tante Anya menambahkan.
"Tapi, apakah biaya sekolahnya tidak mahal?" Angel bertanya. Raut wajahnya khawatir, "Apakah ibu mampu membayarnya."
Om Handi berhenti mengunyah dan menatap ke arah Tante Anya cukup lama sebelum berujar, "Kau dan ibumu tidak perlu khawatir."
"Tapi, om..." Angel ingin menyela. Dia tidak ingin merepotkan keluarga Handi tanusi lebih lama lagi.
"Ada apa Angel? Kau sudah kami anggap seperti anak sendiri. Kami tidak keberatan membiayaimu." Tante Anya menyahut.
"Tapi kenyataannya aku bukan anak om dan tante. Dan kenyataannya, ibu tidak sanggup membiayai sekolahku yang mahal ini. Maksudku, apakah mungkin aku bekerja sambilan di perusahaan Om tanpa digaji?"
Om Handi tergelak, "Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau bisa menggambar rumah atau bangunan kantor sesuai permintaan client? Tentu saja kau akan bekerja di perusahaan om. Nanti, setelah kau lulus kuliah Teknik Arsitektur. Dan ketika itu Om akan membayarmu dengan gaji yang pantas."
Angel tidak mampu berkata apapun lagi.
"Sudahlah, sayang. Yang harus kau pikirkan sekarang adalah bagimana agar bisa belajar dan berprestasi di sekolah dengan baik." Tante Anya menambahkan, "Sudah jam tujuh. Kau mau berangkat bersama Om atau naik angkutan umum. Kau masuk jam setengah delapan kan?"
Angel beranjak dari kursi dan menyambar tas sekolahnya, "Aku berangkat sendiri saja, tante."
"Kau yakin? Kau bisa terlambat," tante Anya berusaha mencegah, "Apa kau punya uang untuk naik angkot?"
"Aku punya." Angel menjawab dan berlalu begitu saja.
"Anya, aku mengkahwatirkan anak itu." Om Handi berkata setelah Angel menghilang dari pandangan mereka, "Dia masih merasa asing dengan kita padahal dia sudah tinggal di sini selama empat belas tahun."
"Apa lagi yang bisa kita lakukan. Anggi bahkan menolak tawaran untuk tinggal serumah dengan kita dan bukannya di gudang seperti sekarang. Wajar saja bila Angel masih merasa asing dengan kita."
"Apakah Anggi sudah menceritakan kepada anak itu siapa Ayahnya?"
"Aku rasa dia tidak akan pernah memberithukan siapa laki-laki itu."
😇😇😇
Angel tidak punya uang dan jarak antara sekolahnya dengan rumah lumayan jauh. Dua puluh menit jika ditempuh dengan kendaraan. Gadis itu melirik ke arah jam tangannya sebelum memutuskan untuk berlari. Dia tidak ingin terlambat di hari pertama sekolah.
Di lampu merah Angel berhenti dan mengatur napas. Tanpa dia sadari seseorang dari dalam mobil sedan tengah memperhatikannya dengan tatapan heran. Tentu saja heran melihat seorang gadis berseragam sekolah sedang terengah-engah di lampu merah.
Dari seragam sekolahnya, pemuda itu yakin, gadis yang sedang kesulitan mengatur napas itu pasti murid baru di sekolahnya.
SMA Harapan Generasi menetapkan seragam yang berbeda untuk siswa pada masing-masing tingkatan. Untuk siswa kelas X, celana dan rok mereka bermotif kotak-kotak oranye. Untuk siswa kelas XI bermotif kota-kotak merah, sedangkan untuk siswa kelas XII bermotif kotak-kotak biru.
Ia ingin menawarkan tumpangan pada gadis itu, namun sebelum ia membuka jendela gadis itu kembali berlari.
"Gila, larinya cepat banget," Pemuda itu bergumam. Ketika lampu berubah hijau ia kembali melampaui gadis tersebut.
'Kalau dia tidak tiba sebelum jam setengah delapan, dia akan jadi bulan-bulanan Eden' pemuda itu bergumam sebelum memarkirkan kendaraannya di area parkir sekolah.
"Ray, untunglah kau sudah datang." Seorang pemuda jangkung bercelana motif kotak biru menghampirinya.
"Ada apa Eden? Eh, Tuan ketua MOS?" Rayhan mengejek.
"Berhenti mengejek dan cepat kemari. Lima menit lagi kita akan mengadakan penyambutan siswa baru."
Rayhan membalas kepanikan sahabatnya dengan cengiran khas. Ia menoleh ke arah gerbang sekolah dan tidak mendapati tanda-tanda keberadaan gadis di lampu merah tadi.
'Mampuslah dia,' Rayhan membatin sebelum menyusul langkah Eden.
😇😇😇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top