Chapter 7
Haruskah aku percaya?
"Aku memang memiliki banyak orang setia. Namun, aku tidak memiliki satu hal ...."
(Name) pun tidak mengerti maksud Rinne. Ia pun mengalihkan pandangannya perlahan.
"Amagi-san, aku ingin kau menjauh dari hidupku," ucap (Name) yang membuat Rinne terkejut. Namun, perasaan itu berhasil ditutupi dengan baik oleh tatapan keseriusannya.
"Apa kau lupa? Aku menetap di sana hingga tubuhku pulih. Dan kau mendekorasi ulang kamar itu agar aku bisa menetap lebih lama juga. Lalu, sekarang lihatlah aku. Aku sudah pulih, jadi ... ada baiknya jika Amagi-san mulai melupakanku. Selain itu, aku akan mengembalikan uangmu secepatnya," sambung (Name) yang tidak sanggup menatap Rinne.
Mendengar hal itu, Rinne hanya mengukir sebuah senyuman mengerikan.
"Kau menyampaikan permintaan pada orang lain, tetapi kau tidak menatapnya. Apa kau tidak diajari sopan santun?"
(Name) pun langsung menatap Rinne dengan tatapan marah. Dan, ini pertama kalinya Rinne melihat (Name) marah sedari pertemuan mereka.
"Pergi," ucap (Name) yang kemudian bangkit dari pangkuan Rinne.
"Kumohon, pergilah," ucap (Name) yang membuat Rinne langsung beranjak pergi dari rumahnya.
'Tidak! Tidak! Mengapa kau tidak mengerti, Amagi-san ...,' batin (Name) yang langsung meneteskan kristal cair dari pelupuk matanya yang indah.
"(Name)-chan, makanan sudah siap!"
Suara teriakan itu membuat (Name) segera menghapus air matanya dan meninggalkan semua kesedihannya agar tidak membuat wanita yang sudah merawat serta membesarkannya terluka.
"Baik, Mama," ucap (Name) yang langsung beranjak ke dapur.
Disisi lain, Rinne masih terkejut atas pengusiran (Name) secara mendadak. Ia bingung akan perubahan sikap (Name) dalam waktu singkat.
"Begitulah wanita. Mereka sangat sulit dimengerti," ucap Urie yang tahu-tahu sudah berada di belakang Rinne.
Rinne sempat menutup matanya sejenak, sekadar mencari ketenangan atas pemikirannya.
"Bagaimanapun, dia tetap tidak akan lari jauh dariku," ucap Rinne yang langsung meninggalkan kawasan rumah (Name) dengan mobil yang telah disediakan.
*****
Mentari telah menyembunyikan dirinya dari kerumunan orang. Ia telah lelah menemani mereka sepanjang hari. Dan kini, saatnya sang rembulan yang menampakkan wujudnya.
Namun, entah mengapa rasanya malam ini sangat dingin nan sunyi. Tidak ada yang tahu mengapa itu bisa terjadi.
"Amagi-san ...."
Nama itu terus-menerus diucapkan dari bibir mungil sang gadis. Ia hanya menekuk lututnya dan menatap rembulan.
"Mengapa kau tidak mau jujur, Amagi-san?" ucap (Name) dengan wajah yang telah dipenuhi oleh garis kristal bening.
Disisi lain, Rinne pun tengah menatap rembulan juga. Rasanya, ia kehilangan salah satu bagian dari hidupnya.
Ya, malam ini terlalu sunyi untuk mansion ini. Padahal, dia sudah lama tinggal disini. Seharusnya ia sudah terbiasa bukan?
Tidak lama kemudian, ponsel miliknya pun berdering. Ia segera bangkit dari singgasananya dan mengangkat telepon dari nomor yang ia kenal.
"Rinne, aku mendapat informasi baru."
Suara itu membuat Rinne semakin penasaran. Ia pun sengaja diam agar terkesan memaksa orang diseberang untuk berbicara lebih.
"Wanitamu menemui seseorang malam ini. Aku tidak tahu pastinya, tapi ia pergi sekarang," ucap Urie yang memang ditugaskan untuk menjaga sang gadis.
"Terus ikuti dia, Urie. Dan beritahu aku jika ada hal yang mengganjal," balas Rinne yang langsung menutup ponselnya.
Tetapi, ia memikirkan seseorang yang menemui wanitanya malam ini. Pasalnya, (Name) pernah mengatakan jika ia tidak begitu memiliki banyak teman.
Bahkan, (Name) pun tidak diizinkan untuk keluar selarut ini.
'Apa yang dia lakukan,' pikir Rinne dengan tatapan tajamnya.
*****
Saat ini, waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Ya, pertengahan malam.
Namun, Rinne sama sekali tidak bisa tidur. Ia masih terjaga dan senantiasa menunggu kabar dari Urie mengenai wanitanya.
Bahkan, ini sudah kesekian kalinya untuk Rinne menatap luar jendela sembari mencoba menelepon sang gadis. Tetapi, ia sama sekali tidak mendapatkan respon.
Hingga, tidak lama setelah ia memutuskan saluran teleponnya, telepon dari Urie pun hadir. Dan kali ini, Urie memberi kabar jika (Name) tengah minum bersama Michael.
Mendengar hal itu, Rinne bergegas pergi dari mansionnya. Ia sangat tidak peduli jika matanya mengantuk, ataupun tubuhnya menjerit lelah. Karena, (Name) hal yang utama untuknya.
Sesampainya di bar yang dimaksud oleh Urie, Rinne langsung duduk di tempat Michaell dan (Name) berada.
"Wah-wah, bukankah ini tamu yang tidak diundang," ucap Michaell sembari menyesap rokoknya.
Rinne menulikan pendengarannya. Ia melirik (Name) yang tengah tertidur dengan segelas anggur yang memiliki kadar alkohol tinggi.
"Kau tahu, ternyata tidak butuh waktu lama untuk memancingnya kepadaku," ucap Michaell yang membuat Rinne memberikan tatapan tajam padanya.
"Sekarang lihat, siapa yang jatuh hati padanya," ucap Rinne sembari tertawa.
Michaell pun mengulas senyuman yang tidak kalah mengerikan dari Rinne, "Kau pikir, siapa yang rela jauh-jauh demi menghibur hatinya yang sakit."
Mendengar ucapan itu, Rinne hanya bisa melirik sang gadis. Bahkan, Rinne pun hanya diam saja. Ia tidak berniat membuat keributan disini. Karena, wajah damai (Name) yang tidur itu cukup menyejukkan hatinya.
"Apa kau tahu? Laki-laki keji sepertimu tidak pantas untuknya. Kau hanya merusaknya," tegas Michaell yang membuat Rinne menyeringai, "Memangnya, siapa yang memaksanya terlebih dahulu?"
Michael akui jika yang dikatakan Rinne memang benar. Dirinyalah yang merusak (Name) dengan memaksanya.
"Tapi, apakah kau memikirkan perasaannya? Hatinya sangat rapuh," ucap Michaell yang langsung mengelus surai (Name).
"Ada baiknya jika kau singkirkan tangan kotormu darinya," sarkas Rinne dengan tatapan yang siap memotong tangan Michaell kapanpun itu.
"Semua mafia itu kotor, tidak ada yang bersih diantara kalian. Kecuali, kalian memang ingin bertobat."
Suara dingin dengan tatapan tajam membuat mereka semakin tertantang. Bahkan, baik Michael maupun Rinne telah siap untuk menghentikan pemuda bersurai biru itu jika ia berani menyentuh (Name).
"Tolong menyingkirlah, aku saudaranya," ucap pria itu yang mencoba sabar.
"HiMERU ya, lama tidak jumpa," ucap Rinne yang disambut helaan nafas oleh pria itu, "Rinne, ada baiknya jika kau tidak menampakkan dirimu lagi dihadapannya. Berkat dirimu, (Name) semakin menderita."
"Kau dengar itu? Sebaiknya kau enyah dari dunia ini," timpal Michaell.
"Kau juga, Michaell. Kau yang seharusnya enyah terlebih dahulu," balas HiMERU yang langsung mengambil (Name) dari penjagaan dua pria yang tidak jelas itu.
"Ada baiknya, jika ia bersamaku untuk satu hari. Sebelum aku benar-benar akan pergi dari hidupnya," ucap Rinne dengan tatapan serius.
"Apa maksud mu? Apa kau kurang untuk menyakiti...."
"Aku masih berhutang nyawa padanya. Jika ia tidak datang padaku, saat itu pula aku telah lenyap ditelan bumi," ucap Rinne dengan tatapan tajamnya.
HiMERU pun menghela nafas. Ia memikirkan nasib saudaranya.
Apakah ia harus memberikan (Name) untuk Rinne? Walaupun hanya sehari?
"Baiklah. Tapi ingat, kau melakukan ini karena kau berhutang nyawa padanya. Dan jika kau berbuat lebih jauh, maka aku tidak akan segan-segan untuk mengusirmu dari negara ini," ucap HiMERU yang memberikan (Name) dibawa oleh teman lamanya, Rinne.
Tentunya, Michaell yang melihat hal itupun tidak terima. Ia merasa jika Rinne seharusnya mati hari itu juga.
"Aku pergi dahulu," ucap Rinne dengan (Name) dalam pelukannya yang meninggal Rinne serta Michaell di bar tersebut.
"HiMERU, sebaiknya kita harus bicara empat mata."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top