Chapter 3

Mereka bebas menentukan jalurnya
Mereka bebas memilih langkahnya
Namun, mengapa aku bagai burung dalam sangkar?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Selamat pagi, Nona. Anda telah ditunggu Tuan untuk sarapan bersama," ucap Hana yang telah menundukkan kepalanya.

"Aku tak ingin sarapan, Hana," ucap (Name) dengan sedikit murung.

"Apa karena luka Anda, Nona?" tanya Hana.

(Name) pun hanya mengiyakan saja agar tak menjadi masalah. Namun, yang sebenarnya terjadi ialah ia tak ingin bertemu Rinne sementara waktu, setelah apa yang dia lakukan padanya.

"Akan ku panggil Tuan kemari," ucap Hana yang membuat (Name) bagai tersambar petir.

"T-tidak usah, aku akan ke sana saja. Lagipula, ini sudah agak mendingan," ucap (Name) yang tak ingin Rinne bertingkah semakin menjadi-jadi.

Tak lama kemudian, (Name) pun ke ruang makan setelah membersihkan dirinya. Namun, siapa sangka jika Rinne membelikan pakaian untuknya.

"Ternyata, kau cantik memakai pakaian apapun," puji Rinne yang telah melihat kehadiran sang gadis dengan pakaian yang ia belikan.

"Seorang wanita tetap cantik," ucap (Name) yang berusaha menutupi rona merah tipis pada pipinya.

"Kemari lah, kita sarapan bersama," ucap Rinne yang membuat sang gadis duduk di sebelah kanannya dengan tatapan terkagum-kagum lalu berkata, "Kelihatannya enak."

"Kalau begitu cobalah," ucap Rinne dengan senyuman di wajahnya.

"Bolehkah?" tanya sang gadis dengan tatapan tak percaya.

Rinne pun menjawab dengan sebuah anggukan yang membuat sang gadis langsung mengambil makanan kesukaannya lalu mulai memakannya satu-persatu.

Melihat lahapnya sang gadis, Rinne hanya bisa tersenyum sembari meminum kopi pahit. Namun, ia merasa senang saat melihat sang gadis bertingkah sangat lucu di hadapannya.

"Amagi, kau tak mau makan? nanti bisa ku habiskan sendiri lho," ucap (Name) yang masih ingin mencicipi berbagai makanan yang tersedia.

Rinne pun tertawa pelan lalu berkata, "Habiskan saja, melihatmu makan sudah membuatku kenyang."

Sesaat setelah Rinne berbicara, (Name) mengambil sushi lalu menghadap Rinne seraya berkata, "Buka mulutmu!"

"Kenapa? apa kau menginginkan lebih dari semalam?" tanya Rinne yang langsung membuat sang gadis merona.

"Bodoh! Aku bukan wanita rendahan yang suka menggoda laki-laki hidung belang," protes (Name) yang membuat Rinne semakin gemas.

"Baiklah, aaaa ...." Rinne kini membuka mulutnya dan dengan segera, (Name) menyuapi Rinne dengan sushi yang telah ia ambil sebelumnya lalu berkata, "Sarapan walau sedikit. Setidaknya perutmu terisi."

Ucapan (Name) pun secara tak langsung, sukses membuat Rinne salah tingkah. Namun, Rinne berhasil menutupinya dengan meminum secangkir kopi itu.

"Omong-omong, apa pekerjaan mu disana, (Name)?" tanya Rinne yang membuat sang gadis berhenti makan lalu menjawab, "Disana aku bekerja sebagai penjual bunga. Tetapi, terkadang aku menjadi fotografer dadakan."

Rinne pun tersenyum tipis mendengar jawaban sang gadis. Dan tak lama kemudian, dirinya pun bangkit lalu memakai jas nya lagi. Namun, saat ia mulai berjalan, ujung jasnya telah ditahan oleh sebuah tangan yang membuatnya harus menatap seseorang.

"Izinkan aku bekerja," ucap (Name) sambil menggembungkan pipinya. Tangan Rinne pun terulur lalu mengelus surai sang gadis dan berkata, "Silakan. Tetapi, pukul sembilan malam kau harus sudah disini."

"Disini? Mengapa disini? Aku punya rumah sendiri," ucap sang gadis. Rinne pun menghela nafas sebentar lalu berkata, "Terserah kau. Tapi ... jangan salahkan aku jika pria mesum itu kembali."

"Oh, jadi orang itu adalah orang suruhanmu?" Bak tersulut api, (Name) langsung berdiri dan menatap Rinne, seolah-olah Rinne yang mempermainkannya kemarin.

Rinne pun berjalan hingga berhenti dibelakang (Name) dan ia pun memeluk sang gadis erat. Sontak, (Name) pun merona dan berusaha melepaskan pelukan pria dibelakangnya itu.

"Ikuti saja perintahku. Karena aku tak akan mencelakakan dirimu sedikitpun. Percayalah padaku, (Name)," bisik Rinne tepat di telinga sang gadis yang membuat gadis itu semakin merona.

Karena tak tahan akan sikap imut sang gadis, Rinne pun menenggelamkan wajahnya di leher sang gadis yang membuat sang gadis semakin ingin melepaskan pelukan Rinne. Jantung (Name) semakin berdetak tak karuan. Bahkan ia pun tak tahu mengapa ini bisa terjadi padanya.

"Rinne, kita harus pergi sekarang."

Suara Urie menginterupsi aksi Rinne yang ingin dimanja oleh gadis yang telah melindunginya. Tetapi, mau tak mau Rinne pun harus sadar diri jika ia harus bekerja demi keamanan sang gadis.

"Kau milikku, (Name)," bisik Rinne untuk terakhir kalinya, sebelum melepaskan pelukannya lalu pergi begitu saja.

'Apa-apaan itu,' batin (Name) yang berusaha mengontrol detak jantungnya.

*****

"Hati-hati di jalan, (Name)-chan!"

"Terima kasih," ucap (Name) dengan ramah pada pemilik toko itu.

Ya, sekarang waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Yang artinya, dalam waktu dua jam, (Name) harus sudah berada dalam rumah itu.

Tunggu, (Name) pun kembali menjadi bimbang. Ia pun memikirkan mengapa ia harus kembali ke rumah itu, sementara ia pun memiliki rumah sendiri. Lalu, apa fungsi rumahnya jika ia harus tinggal di mansion.

'Argh!mengapa aku tak bisa menolak dirinya!' batin (Name) dan disambung, 'Apa aku menyukainya?'

Memikirkan hal itu, membuat (Name) bergeleng seketika. Karena ia tidak mungkin langsung jatuh cinta begitu saja pada pria yang tidak jelas asal-usul serta pekerjaannya.

"Hei, Nona!"

Suara itu membuat (Name) melihat ke sumber suara, yang menampakkan mobil limosin hitam terparkir rapih.

"Iya, kau Nona. Kemari," ucap pria misterius itu. (Name) sama sekali tidak curiga, bahkan ia pun mendekati mobil itu dengan tatapan polos. Siapa tahu, pengendara mobil itu membutuhkan bantuan dirinya.

"Masuk lah, Bos ingin bicara denganmu," ucap pria itu.

'Tunggu, apa? Bos? Kali ini apa lagi?' pikir (Name) yang kemudian membuka pintu belakang mobil tersebut. Dan alangkah terkejutnya ia saat melihat orang yang mendapat julukan 'bos' itu.

"Sedang pulang kerja, (Name)?"

Suara itu ... ya, suara itu adalah suara yang sedang (Name) hindari. Suara dari pria yang tak jelas asal-usul serta pekerjaannya, Amagi Rinne.

"Tidak, aku habis berenang di laut," jawab (Name) cuek yang membuat Rinne tertawa mendengarnya lalu berkata, "Kau ini, semakin menggemaskan jika marah."

"Ugh! Berhenti menggodaku!" ucap (Name) yang semakin kesal dengan pria itu. Karena pria itu telah melakukan tiga kesalahan yang membuat (Name) tidak fokus kerja seharian.

Yang pertama, saat (Name) tengah merangkai bunga, tiba-tiba ia teringat sosok Rinne yang menciumnya. Yang membuatnya langsung menghancurkan bunga itu dan beralasan pada pemilik toko jika ia tidak sengaja merusaknya.

Yang kedua, hari ini ia melihat sepasang kekasih saling merangkul di toko, dan tampak sedang memilih bunga untuk pernikahan mereka. Lagi-lagi, ulah Rinne tadi pagi membuat (Name) disangka terkena demam dadakan oleh para pengunjung.

Yang ketiga, (Name) semakin dibuat bingung dengan rumahnya. Mengapa (Name) harus pulang ke rumah seorang pria tidak jelas? sementara, (Name) sendiri telah memiliki rumah yang ia beli dari hasil jerih payahnya sendiri.

'Sungguh, bertemu dengannya lebih menyebalkan dibandingkan bertemu dengan rentenir,' batin (Name).

"Ayo masuk, kita pulang bersama," ucap Rinne yang tanpa sadar, perkataan itu pun dilakukan oleh (Name).

Kini, mereka berjalan menembus malam dengan keheningan. Tak ada satupun diantara mereka yang ingin bicara.

Rinne tampak santai menikmati jalanan dengan tatapan sedikit tajam. Sementara (Name), ia sibuk dengan pemikirannya sendiri yang tidak menuai jawaban sedikitpun.

"Amagi ...," panggil (Name). Namun, Rinne tak ada niatan sedikitpun untuk menatap gadis di sebelahnya.

"Sebenarnya ... apa yang kau inginkan dariku?" sambung (Name) yang kini telah menundukkan kepalanya

Mendengar pertanyaan itu, Rinne pun menyeringai tipis. Ia tak menyangka jika secepat itu sang gadis menanyakan hal ini padanya.

"Mengapa kau ingin tahu?" Rinne pun memancing sang gadis agar ia bisa memilih jawaban yang tepat.

"Aku ... aku merasa aneh di dekatmu. Aku tidak pantas berada di sebelah mu. Lebih baik, kau cari wanita lain yang mau bersamamu," ucap (Name) yang justru berlawanan dengan apa kata hatinya.

Set~

Rinne pun menarik sang gadis dalam rangkulannya lalu berkata, "Kau wanita langka yang sulit ku temui. Kau berani, namun disisi lain kau begitu polos. Sangat berbeda dengan para gadis yang pernah ku jumpai sebelumnya."

"Oh, jadi kau adalah playboy," ucap (Name) yang menatap Rinne dengan tatapan tidak suka. Rinne pun tertawa mendengarnya lalu berkata, "Kalau iya, kenapa?"

(Name) menggembungkan pipinya lalu menjambak rambut Rinne sembari berkata, "Turunkan aku disini!"

"Lepaskan rambutku dulu," ucap Rinne yang kemudian dituruti oleh sang gadis. Dan setelahnya, sang gadis pun tampak menjaga jarak cukup jauh dengan Rinne.

*****

Kini, mereka telah sampai pada mansion Rinne. Namun, sang gadis enggan memasuki rumah mewah tersebut.

Ngambek? tentu, (Name) ngambek setelah tahu sedikit siapa Rinne sebenarnya. Tapi, mengapa (Name) ngambek? bukankah ia tak ada hubungan sedikitpun dengan Rinne, kecuali sang penyelamatnya.

Set~

Rinne pun menggandeng tangan (Name) untuk masuk dalam mansionnya. Karena, yang Rinne lihat sedari tadi adalah (Name) melamun di teras.

"Lepaskan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" protes (Name). Namun, semakin (Name) protes, maka semakin erat genggaman tangan Rinne.

Hangat, itulah yang (Name) rasakan. Perasaan marahnya menghilang begitu saja saat tangan Rinne menyentuh tangannya.

'Oh tidak, jangan mulai lagi,' batin (Name) yang berbicara pada jantungnya yang tengah berdetak tak karuan.

Dan yang benar saja, sesampainya pada kamar khusus untuk (Name), Rinne langsung melakukan kabedon yang membuat (Name) semakin salah tingkah. Tentunya, (Name) tidak berani untuk menatap manik biru laut itu.

'Tenanglah jantung,' batin (Name).

Tangan Rinne pun terulur untuk mengelus pipi (Name) yang kemudian berakhir pada penarikan dagu dan membuat, mau tak mau, (Name) harus menatap manik biru laut itu.

"(Name), ingatlah perkataan ku. Ingatlah jika kau adalah milikku seutuhnya. Aku takkan membiarkanmu lari dari ku, meskipun ke neraka sekaligus," ucap Rinne yang langsung menempelkan bibirnya pada bibir mungil (Name).

Ini memang bukan pertama kalinya Rinne mencium (Name). Namun bagi (Name), rasanya masih sangat kaku bahkan canggung. Mengingat, dirinya tak bisa mengatakan 'tidak' pada Rinne. Ya, hanya pada Rinne seorang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top