06. Teman Perjalanan

"Apa kau yakin akan melanjutkan perjalananmu sendiri, Nona Ann?" tanya Chang'e kala gadis yang dikenalnya sebagai Ann itu menyiapkan berbekalan untuk perjalanannya.

Silvanna yang duduk di ranjang bambu itu menoleh, mengangguk seraya tersenyum tipis.

"Dan sekarang aku benar-benar sendiri," keluh Chang'e mendekat dan menempatkan diri duduk di samping Silvanna.

"Jangan sedih, Chang'e," Silvanna memegang pundak gadis remaja itu. "Masih banyak yang menyayangimu." Suara Silvanna begitu menenangkan. "Kamu dan kakakmu orang baik, jadi tak usah khawatir, kau akan aman karena banyak yang melindungimu."

Pantulan api obor terlihat di mata Chang'e yang siap menggerimiskan air matanya.

"Baiklah, Nona. Aku tidak akan menahanmu lagi." Chang'e segera menyeka air mata yang terlanjur mencair di pipinya. "Tapi..." Chang'e bangkit, entah mau ke mana--karena memang area pencahayaan lentera sangat terbatas di sana.

Tak lama, Chang'e muncul dari tirai gelap yang tak tembus cahaya lentera. Ada sebuah peti kayu di tangannya.

"Aku harap, ini cocok untukmu, Nona." Chang'e menyerahkan peti itu.

Tanpa bertanya apapun, Silvanna menerima peti itu. Saat dibuka, terlihat bentuk kerah sebuah baju berwarna tosca gelap beraksen merah dan emas.

"Bagus sekali bajunya," puji Silvanna saat baju itu dibentangkan. "Kamu buatkan untuk siapa?" tanya Silvanna.

Chang'e menunduk sebentar seakan ia tengah mengangkat memori yang sudah pernah ia tenggelamkan sebelumnya. "Dulu, aku ingin hadiahkan baju itu untuk seorang gadis yang sangan kakakku cintai. Namanya Freya," gadis remaja itu mulai bercerita. "Sayangnya, dia lebih dulu gugur di perbatasan saat aku belum sempat menghadiahkan ini untuknya."

Silvanna mendengarkan cerita Chang'e dengan saksama. Sesekali, ia menatap dalam mata Chang'e yang tampaknya berat untuk membuka kembali memori buruknya.

"Saat aku melihat Nona Ann, aku teringat Freya. Dia tangguh, kuat, dan tak mau menyerah. Sama sepertimu."

Pujian Chang'e membuat hati Silvanna menghangat.

"Terima kasih banyak, Chang'e. Kamu baik-baik di sini. Aku janji, akan sering-sering ke sini untuk menjengukmu setelah berhasil menyelamatkan adikku," ujar Silvanna dengan antusias.

"Pergilah, Nona. Aku baik-baik di sini. Ada kak Granger, kak Benet, juga yang lainnya."

Silvanna menggenggam baju pemberian Chang'e sebelum pamit untuk memakainya.

***

Silvanna sudah bersiap dengan lentera, senjata tombaknya, serta beberapa perbekalan yang cukup untuknya selama beberapa hari. 

"Kau terlihat cantik, Nona Ann. Aura pure heroine-mu begitu melekat saat kau memakai baju itu." Chang'e seperti tiada bosannya untuk melihat gadis yang dikenalnya sebagai Ann itu.

Sekali lagi, Silvanna memeluk Chang'e sebagai tanda perpisahan. "Aku janji, akan segera kembali!"

Setelah pelukan mereka terlepas, Silvanna siap untuk mengambil langkah pertamanya keluar dari Barren Land--melanjutkan tujuan utamanya untuk membawa pulang adik tercintanya.

"Kak, jangan gila!"

Samar-samar terdengar suara seorang gadis dari kejauhan. Namun ada beberapa langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Melalui penerawangan cahaya lentera, Silvanna melihat tiga orang yang menghampiri mereka.

Silvanna mengerutkan dahi, gadis judes datang bersama kakaknya yang tak kalah menyebalkan. Tapi, kenapa mereka ke sini? Mau nyari ribut lagi? Silvanna mendengus kesal sambil mengayun matanya.

"Gila kenapa, sih? Aku mau nyusul Alucard!" sahut Granger.

"Pertanyaannya, apa dia masih hidup?" Benedetta masih bersikeras menahan kakaknya untuk pergi.

"Kau meragukan Demon Hunter seperti aku dan Alucard?"

"Tapi kalo memang benar dia selamat, dia harusnya sudah pulang!" tegas Benedetta. "Buktinya, dia sudah tiga purnama masih belum menampakkan batang hidungnya lagi!"

Granger berbalik, menemukan mata adiknya yang tampak khawatir. "Jika kau masih betah dengan kegelapan seperti ini, terus tahan aku buat pergi." Granger mulai bersuara tenang untuk meredam adiknya. "Jika kamu mau mengakhiri semuanya, biarkan aku ke Abbys untuk membunuh semua iblis di sana."

Benedetta menghela napas. Tampak ada genangan air mata di pelupuk matanya yang siap tumpah. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama kakak, berarti aku harus siap tinggal sendiri di sini?"

Jujur, baru kali itu Granger melihat mata adiknya berkaca-kaca. Ada sedikit rasa haru yang muncul dalam benaknya. Ternyata, adiknya yang kadang menyebalkan itu memiliki kekhawatiran akan keselamatannya.

Granger mengangkat satu tangannya lalu memegang bahu Benedetta. "Jika dalam waktu dua purnama aku belum kembali, doakan aku saja."

Kalimat itu mampu menggulirkan satu air mata dari mata Benedetta yang mengatup.

"Titip pesan buat Brody untuk menjagamu," kata Granger sebelum menarik adiknya ke pelukannya. Biar bagaimanapun, ia sangat menyayangi adiknya yang sangat berambisi ingin menjadi hero tangguh.

"Hei pemuda batu, kau mau ke mana?" tanya Silvanna heran kala pemuda itu lewat di depannya bersama Benedetta.

"Bukan urusanmu!" ketus Granger seraya mengalihkan pandangan ke Benedetta. "Kakak pergi dulu," pamitnya pada Benedetta.

"Kau mau menyerahkan diri ke Monastery?" tanya Silvanna lagi.

"Aku mau mengakhiri semua kegelapan ini. Biar semuanya terang dan aku bisa melihat dengan jelas wajah menyebalkanmu, Ann," pemuda itu masih ketus.

"Ternyata kau juga masih punya hati nurani ya, Pemuda Batu?"

"Terserah!" Granger sudah tak peduli. Ia melangkah dengan pasti meninggalkan ketiga gadis yang bengong di sekitarnya.

"Tunggu dulu, Genjer!" tahan Silvanna. "Aku punya teori. Jika kau punya tujuan untuk mengakhiri kegelapan ini, itu artinya kau ingin ke Abbys kan?"

"Lalu?" suara dingin Granger sudah tiba di titik beku.

"Itu artinya, tujuanmu sama denganku. Apa tidak lebih baik kalau..."

"Tidak!" tolak Granger langsung.

Wajah Silvanna mulai mengerut. "Bukannya kalau sama-sama akan terasa lebih mudah? Kita bisa saling bantu untuk menghindari bahaya di jalan!"

Tak ada jawaban dari Granger. Pemuda itu diam membatu seperti teori Silvanna yang berlaku untuk pemuda menyebalkan itu.

"Oke kalau kau tidak mau berangkat bareng. Aku bisa menempuh perjalanan sendiri!" Silvanna mulai gerah dengan tingkah pemuda batu itu. Ia mengalihkan pandangan pada Chang'e--yang entah sejak kapan berdiri bersama Benedetta.

"Chang'e, aku pamit. Terima kasih untuk semuanya!" Silvanna membungkukkan badan sebelum akhirnya mengambil langkah lebih dulu untuk meninggalkan pemukiman itu. Dengan menoleh judes, Silvanna mungkin tak mau peduli lagi dengan pemuda batu itu. Ia hanya perlu fokus pada jalan yang ditempuhnya.

Chang'e maju beberapa langkah untuk berbicara dengan Granger. "Kak, jika berdua lebih mudah dan lebih mengurangi resiko, sepertinya perkataan nona Ann tadi benar." Chang'e menggenggam telapak tangan Granger. "Kalau kalian menyatukan tujuan dan kekuatan kalian, perjalanan seberat apapun akan terasa lebih mudah."

Tampaknya, kata-kata ajaib dari gadis remaja ini cukup menusuk hati pemuda dingin ini. Apalagi, penyampaiannya begitu lembut dan halus. Kebekuan hatinya mencair.

Kala tersadar, Granger melihat Chang'e tersenyum tulus padanya. Dari sorot matanya, ia bisa melihat sosok Zilong di sana. Sahabatnya yang sudah lebih dulu gugur karena bentrokan. Ini benar-benar harus diakhiri sebelum semua orang terdekatnya mati sia-sia.

"Baiklah Chang'e, aku mendengar perkataanmu." Granger mengelus kepala gadis yang hanya seukuran dadanya itu.

"Aku senang mendengarnya, Kak." Chang'e terlihat begitu bersemangat.

"Kau hati-hati di sini," pesan Granger. "Ada Benet dan Brody yang menjagamu selama aku pergi." Setelah melempar anggukan perpisahan pada Benedetta dan Chang'e, Granger memulai perjalanan panjangnya.

***

"Dikiranya aku gadis lemah? Awas saja kau pemuda batu. Kalau aku ketemu lagi denganmu, akan kubalas!" Segenap rasa kesal di hati, mendorong Silvanna untuk berkata demikian. Untung saja, energinya masih banyak karena baru beberapa jam yang lalu ia makan di rumah Chang'e. Jadi, ia tak perlu khawatir untuk kehabisan energi saat memaki-maki Granger.

Tak terasa, Silvanna sudah berjalan hingga sorot obor terakhir di pepohonan di sampingnya. Selebihnya, ia tak bisa mengandalkan pencahayaan lain selain lentera yang ia bawa. Bahkan, ketika ia memajukan lentera untuk memantau keadaan sekitar, ia tak dapat melihat apapun.

Ketika rasa takut menyambang, ia ingat akan nasib adiknya yang masih ada di istana iblis itu. Posisi Darius lebih berbahaya dari posisinya saat ini. Silvanna harus kuat. Gelap tak akan menelan keberaniannya.

Saat melangkah maju, Silvanna hampir terperosok. Untungnya, kekuatan kakinya masih bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Tak lama, terdengar reruntuhan batu kerikil yang cukup mengerikan di bawah sana. Sejak saat itu, Silvanna baru menyadari kalau ia hampir saja terperosok ke jurang yang sangat dalam.

Cerobohnya gadis itu, ia malah melangkah ke arah yang sama sambil memastikan tempat apa itu lewat sorot lenteranya.

Karena saking kagetnya akan kedalaman jurang itu, Silvanna kehilangan keseimbangan pegangannya hingga lentera itu jatuh, sampai-sampai ia tak dapat melihat cahaya dari lenteranya itu.

"Dalam sekali jurangnya," kejutnya ketakutan. "Jembatannya di mana?" Silvanna mengedarkan pandangan. Ia lantas mundur untuk mengambil salah satu obor yang menempel di pepohonan.

Sayangnya, beberapa detik sebelum tangannya hinggap di obor itu, angin kencang meniup semua obor hingga padam. Alhasil, tak ada lagi yang bisa dilihatnya. Ia hanya merasa angin yang kencang mengibas-kibaskan pakaian dan rambut panjangnya.

Ia bergegas berlindung di balik pohon besar di dekatnya. Ia akan tetap di situ hingga angin kencang tadi tak terasa lagi.

Hanya beberapa menit angin kencang menerpa area itu. Selanjutnya, mungkin angin itu berangsur ke tempat lain yang belum dijamahnya.

Silvanna kembali ke tempat tadi untuk menemukan jembatan penghubung dua area yang terpisah oleh jurang. Meski pandangannya terbatas, ia tetap gigih mencari keberadaan jalan yang bisa ia tapaki untuk menyebrang. Sekecil apapun jalan itu, ia tetap akan tempuh.

Untuk ke sekian kalinya, Silvanna hampir terperosok ke jurang yang menganga di depannya, hingga kakinya gemetar akibat kedinginan serta ketakutan yang menyelimuti dirinya. 

"Aaaa!!"

Ketika ia mencoba melangkah, kakinya tak menapak apa-apa, badannya tertarik gravitasi hingga jatuh ke lubang itu. Beruntung, tombaknya menancap di dinding jurang dan membuatnya menggelantung di sana.

Dengan kekuatan tangan dan jari-jarinya, Silvanna merangkak naik. Meski lambat namun sangat pasti. Hanya satu yang tak boleh ia lakukan, melihat ke bawah dan pasrah pada gravitasi yang masih menarik-narik tubuhnya.

Hampir sampai di permukaan tanah yang rata, namun kekuatan jarinya sudah tidak bisa ia andalkan lagi. Mungkin dalam hitungan detik ia akan jatuh ke jurang yang amat gelap itu.

"Tolong!!" jeritnya di tengah ketidakberdayaannya. Hanya saja, ia langsung teringat, ia sendiri di dinding jurang di tengah hutan belantara ini. Tak ada yang bisa mendengar jaritanya. Malahan, pikiran jauhnya sudah merasakan kalau malaikat maut sudah ada di sampingnya.

Saat ia hampir pasrah dan terjatuh, ada sekilas cahaya lentera berbarengan  dengan genggaman seseorang yang menahannya dari permukaan sana. Silvanna melihat Bentul lentera dengan cahaya yang amat menyilaukan mata.

"Tenanglah, kau masih bisa selamat."

Lagi-lagi suara dingin itu yang menyelamatkannya dari bahaya.

Silvanna mengibas kotoran di bajunya saat ia terangkat  ke permukaan. Ia mendongak, memandang sepasang iris merah marun yang tajam melihatnya.

"Terima kasih," ucapnya tulus. Kamus bahasanya mendadak hilang di otaknya. Hanya menyisakan dua kata itu yang harus ia ucapkan segera.

"Sudah kewajibanku," sahut Granger, pemuda dingin yang sempat membuat Silvanna kesal setengah mati. Bagaimanapun, Granger masih punya hati nurani. Ia merasa iba kala melihat wajah Silvanna yang sudah tampak kotor disertai rembesan keringat di sekitar wajahnya.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Silvanna heran seraya masih belum bisa banyak berekspresi. Tubuhnya masih menyesuaikan pada keadaan saat ini, di mana ia seperti yang diberi kesempatan hidup dua kali.

"Seorang gadis remaja bilang kepadaku, perjalanan akan terasa mudah kalau tujuan dan kekuatan kita bersatu," sahut Granger dingin.

Silvanna merasakan senang dalam hantinya. "Sungguh?" Dari situ, Silvanna seakan kembali merasakan udara segar.

Pemuda dingin itu tidak menjawab pertanyaan Silvanna. "Lebih baik, kau jangan jauh dariku karena kau tak punya lagi sumber pencahayaan!" titahnya lalu menggenggam tangan Silvanna untuk melewati sebuah jembatan.

Silvanna sempat mendengus kesal, kenapa pemuda ini dengan mudahnya menemukan jembatan? Padahal, sejak tadi Silvanna sudah mencari ke sana - ke mari. 

Masih dalam keraguannya, Silvanna ikut mengambil langkah pertama di jembatan kecil itu. Ia membuntuti Granger yang berjalan hati-hati seraya memegang pencahayaan di tangan kirinya. Tangan kanannya menggenggam tangan Silvanna yang berjalan di belakangnya.

Selama melewati jembatan itu, Silvanna hanya bisa menguatkan genggaman tangannya pada pemuda itu, begitupun dengan Granger.

Saat sampai di ujung jembatan, Granger melempar kode untuk tetap berdiri tenang. Pemuda dingin itu melompat ke permukaan tanah yang memang lebih rendah dari ujung jembatan kayu itu.

Silvanna menerima uluran tangan Granger yang ingin membantunya memberikan topangan untuk melompat. Di bantu tombaknya juga, Silvanna berhasil melompat dan berdiri sejajar dengan Granger. Silvanna menghela napas lega.

"Jadi, atas dasar apa kau mau menemani perjalananku ke Abbys?" tanya Silvanna setelah keduanya melanjutkan perjalanan.

"Jangan terlalu percaya diri!" kalimat itu berhasil membuat Silvanna berekspresi datar. "Aku ke Abbys hanya untuk menyusul saudaraku, bukan untuk menemanimu!"

Silvanna mendengus saat pemuda dingin itu mendahului langkahnya. Kalau saja bukan pemuda itu yang menyelamatkan nyawanya, mungkin ia sudah menghantam usus pemuda dingin menyebalkan itu dengan tombak kesayangannya.

"Dasar pemuda batu!" dengusnya seraya menghentakkan kaki, kesal.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top