Lebih Terang Dari Matahari

Copyright © 2021 by ASH

All rights reserved. This publication or any portion thereof may not be reproduced or used in any manner whatsoever without the express written permission of the publisher, except for the use of brief quotations in a review.

***

ITU adalah hari yang dingin dan menyilaukan.

Salju putih bersih melapisi seluruh permukaan tanah serta daun-daun di pepohonan. Mentari senja berada di garis horizon, memberi sentuhan warna jingga keemasan yang indah pada langit biru pucat dan pemandangan serba putih itu.

Di dalam hutan pinus Landgrove yang rapat dan nyaris tak tertembus sinar matahari, sosok tinggi bermantel tudung hitam tengah mengendarai kuda cokelatnya dalam langkah yang pelan dan penuh perhitungan. Jejak-jejak tapal kuda tertinggal pada lapisan salju di belakang mereka. Si pengendara kuda mendongak untuk mengamati hutan di sekelilingnya, menunjukkan sedikit wajah pemuda yang rupawan dengan alis dan rahang tegas, mata sekelam batu onyx, serta kulit yang pucat.

Ketika jajaran pepohonan sudah semakin merenggang dan matahari senja telah tenggelam sepenuhnya di balik horizon, si pemuda memacu kudanya lebih cepat dan akhirnya keluar dari area hutan, disambut oleh pemandangan yang membuat salah satu sudut bibir tipisnya naik membentuk senyuman kecil.

Desa Swingate.

Bagian rural dari kota Swingate, kota yang sempat dihuni olehnya dan keluarganya untuk waktu yang cukup lama namun terpaksa ditinggalkan belasan tahun lalu.

Sebuah peternakan yang sebelumnya tidak ada kini telah didirikan. Alun-alun desa semakin tertata dan beberapa kios semi-permanen berjejer di pinggirannya. Atap-atap diperbaharui dan beberapa bangunan diperbesar. Walaupun perubahannya cukup signifikan, tetap saja, pemuda itu tak bisa mengenyahkan perasaan nostalgia yang memenuhi dirinya. Sulit dipercaya pemuda itu mendapati dirinya kembali ke tempat itu.

Beberapa penduduk desa memandangi si pengendara kuda dengan ekspresi ingin tahu. Mereka jarang menerima pendatang, karena itu keberadaannya cukup mencolok. Namun si pemuda tidak menurunkan tudung mantelnya. Dia melajukan kudanya melewati mereka dalam diam, menuju sebuah gereja--satu-satunya gereja di desa itu malah--dan berhenti.

Si pemuda turun dari kudanya dan membunyikan bel pada pagar gereja. Tak berapa lama, sesosok pria tua kurus yang mengenakan jubah pendeta hitam panjang keluar dari pintu samping gereja sambil menenteng lentera. Dia menyipit beberapa saat untuk berusaha mengenali tamu yang berkunjung di waktu tak lazim ini, dan ketika berhasil melakukannya, sepasang matanya membelalak takjub.

"A-aku tak percaya ini."

Pria tua itu berjalan tergopoh-gopoh menuruni undakan tangga dan menyeberangi pelataran depan gereja dengan terburu-buru, tatapannya tak lepas dari sosok bermantel hitam yang tengah berdiri di balik pagar.

"My Lord!" serunya sambil membuka pagar besi hitam dan berkeriut itu dengan tangan gemetaran. Sepasang mata abu-abunya yang mengecil akibat usia mendongak menatap si pemuda dengan berkaca-kaca.

Kernyitan samar muncul di dahi si pemuda.

"Apa kau sudah lupa aku tidak menyukai panggilan itu, Richard?"

Richard Morton tak mampu membendung keharuannya, dia meletakkan lenteranya di atas tanah yang berlapis salju dan tangisnya pecah ketika dia memeluk si pemuda seperti memeluk anak laki-lakinya sendiri yang sudah amat lama tak ditemuinya. Sebaliknya, si pemuda balas memeluk pendeta tua itu dengan erat. Aroma pria itu masih sama seperti terakhir kali, yang agak mengingatkannya akan aroma buku tua dan serbuk kayu.

Richard melepaskan pelukannya dan meremas kedua bahu si pemuda, senyumnya lebar dan suaranya sarat akan emosi ketika dia berkata, "Kau benar-benar datang! Senang melihatmu kembali, Wendell!"

Wendell James Lynden menyunggingkan senyuman kecil, "Kau semakin tua, Richard."

Richard terkekeh menanggapinya, "Jangan mengolokku! Sudah... wah, enam belas tahun sejak kepergianmu. Apa yang kau harapkan? Nah, ayo! Masuklah!"

Richard membantu menggiring kuda cokelat milik Wendell ke istal kecil di samping gereja dan memberinya jerami serta air bersih. Kemudian keduanya memasuki gereja melalui pintu samping. Setelah menggantung mantel tebal bersalju milik Wendell di dekat perapian di ruang kerjanya, Richard membawa Wendell menyusuri koridor staf dan membuka pintu kayu paling ujung, yang membawa mereka memasuki aula ibadah.

Wendell memandangi interior gereja itu, kursi-kursi kayu yang berjajar bersisi-sisian di tengah aula, jendela-jendela tinggi berkaca patri yang menghiasi dinding-dindingnya, langit-langitnya yang cekung, serta altar dengan salib besar terpasang di ujung ruangan.

Richard menangkap ketika Wendell dengan cepat mengalihkan pandangannya dari altar. Pria tua itu bertanya dengan nada setengah bercanda, "Masih alergi, rupanya?"

Wendell hanya mendengkus. Dia berjalan menuju salah satu kursi panjang dan duduk di sana, jemarinya menyusuri permukaan kayunya dengan perlahan. Tempat ini tidak berubah. Dekorasinya, cahayanya, aromanya... rasanya menenangkan berada di tempat yang sama persis seperti yang terakhir kali diingatnya, setelah sekian lama.

"Apa kabarmu, Richard?" tanya Wendell. Richard tampak agak tersipu.

"Oh, tidak banyak hal menarik yang terjadi padaku, walaupun aku bisa saja menghiburmu dengan cerita-cerita pengakuan dosa dari warga sekitar yang jauh lebih menarik..." pria itu terkekeh sambil duduk di kursi panjang di barisan seberang kursi Wendell.

"Bagaimana lukamu?"

"Ah." dia menyingkap lengan bajunya dan menunjukkan bekas luka berupa tiga torehan panjang di kulitnya yang bermula dari nadi hingga nyaris mencapai lipatan dalam siku, seperti luka cakaran binatang buas. "Semakin hari semakin samar. Terkadang aku masih memimpikan insidenku dengan beruang liar itu..." dia bergidik, "Sulit dipercaya apa yang waktu itu kau lakukan terus menyelamatkanku, tidak berhenti bahkan hingga detik ini."

Wendell bergumam, "Syukurlah."

Richard menurunkan lengan bajunya kembali, lalu menatap pemuda itu. "Apa kau mengunjungi mansion lama keluargamu?"

Wendell hanya mengangguk. Ketika tiba di kota sebelum mencapai desa, dia memutuskan untuk mengunjungi mansion Lynden yang tua dan terlantar. Ironisnya, tempat itu kini justru jauh lebih pantas disebut 'sarang penghisap darah' setelah seluruh penghuni penghisap darah betulannya hengkang dari sana.

Sarang laba-laba memenuhi tiap sudut langit-langit mansion itu, karpet-karpetnya nyaris tak terlihat akibat terlapisi debu tebal, jendela-jendelanya tertutup rapat oleh palang-palang kayu, serta bau apak memenuhi udara. Perabotan antiknya banyak yang rusak atau hilang dicuri. Untunglah, tempat tidur lama Wendell masih utuh walaupun berdebu, sehingga dia bisa bermalam sementara di sana sembari menunggu waktu matahari terbenam.

"Kurasa keadaan mansionmu bisa dibilang mirip dengan kondisi desa Swingate beberapa tahun pertama setelah kepergian keluarga Lynden." Richard memberitahu, "Seperti yang kuceritakan di surat-suratku, itu benar-benar masa yang terburuk. Kriminalitas meningkat. Beberapa pejabat kota terlalu sibuk berusaha saling menyingkirkan untuk dapat mengambil alih posisi yang sebelumnya diduduki keluargamu..."

"Bagaimana sekarang?" Wendell mengenyitkan dahi.

"Jauh lebih baik, tentu. Penduduk memutuskan memisahkan diri dari kota dan menjadi desa mandiri. Terbukti, kami bertahan hingga sekarang. Dan aku sudah memberitahumu bukan, siapa yang mengepalai gebrakan itu?"

"Noah Bentley."

"Siapa lagi. Pemuda hebat, dia itu. Dia yang paling tidak bisa berpangku tangan setelah keluargamu, well... kau, pergi. Dia masih menjadi mayor hingga lima tahun lalu, sebelum--"

Richard terdiam. Dia menoleh menatap Wendell, yang tengah menunduk memandangi lantai kayu gereja dengan pandangan tak terbaca.

"Kau sudah tahu dari isi suratku." ujar Richard muram.

Wendell lagi-lagi hanya mengangguk.

Noah Bentley. Seorang sahabat baik.

Richard menatap Wendell dengan tatapan sarat makna.

"Kurasa ini saatnya kau mengunjungi teman lamamu."

Langit sudah berubah biru kehitaman sepenuhnya dengan titik-titik bintang yang tersebar tak rata ketika Wendell melangkah keluar gereja sambil mengenakan mantel panjangnya yang baru separuh kering. Pemuda itu menggiring kudanya keluar dari istal dan melewati gerbang gereja, lalu kembali menaiki kuda untuk menyusuri jalanan desa yang sepi. Dia tidak berpapasan dengan satu orangpun sepanjang jalan. Dia memperhatikan cahaya hangat yang bersinar dari dalam jendela-jendela kecil di rumah-rumah penduduk, dan tak mampu mencegah sengatan rasa iri yang timbul.

Keluarga. Betapa beruntungnya.

Wendell melajukan kudanya melewati perbatasan desa dan kembali memasuki area hutan Landgrove, namun berbeda dengan arah datangnya tadi. Itu adalah setapak yang lebih kecil, jalur lama yang menghubungkan desa dan kota, yang menurut Richard sudah semakin jarang digunakan karena sebuah jalan alternatif lain yang lebih lebar dengan jarak lebih dekat telah dibangun.

Tak butuh waktu lama hingga pemuda itu melihat kepulan asap yang berasal dari dalam cerobong sebuah pondok kayu di dalam hutan. Wendell memperlambat kudanya.

Pondok itu telah mengalami beberapa perubahan dibanding dengan yang terakhir diingatnya. Terdapat pagar yang lebih kokoh sekarang, membatasi kebun sayur kecil dan petak-petak bunga pada halamannya yang sedikit terlapisi salju. Ada sebuah kandang ayam di sudut halaman. Bangunannya terlihat lebih terawat dan lebih besar dengan beberapa ruangan tambahan yang telah didirikan.

Walaupun Wendell benci melihat jendela-jendela bercahaya pada rumah warga yang sempat dilewatinya tadi, anehnya... dia tidak merasakannya sama sekali pada rumah yang ini. Cahaya yang dilihatnya melalui salah satu jendela pondok itu menimbulkan perasaan hangat familiar yang sudah sangat lama tidak dirasakannya. Wendell menuruni kudanya, menggiringnya mendekati pondok itu.

Selama kehidupannya yang panjang dan lamban, Wendell memiliki begitu banyak waktu untuk mengenal dirinya sendiri. Dia tahu persis dirinya bukan tipe yang berpikir dua kali untuk melakukan atau memutuskan apapun. Namun kali ini, kaki-kaki jenjangnya yang terbungkus sepatu bot terhenti di ambang bukaan pagar pondok itu. Dia ragu-ragu.

Sebelum Wendell sempat melakukan apapun, pintu pondok kayu itu membuka perlahan. Sesosok wanita berambut cokelat keruh dalam balutan gaun tidur panjang berlapis mantel keluar dari dalamnya. Satu tangannya mencengkeram gerendel pintu, sementara yang lain memegangi wadah perak sebuah lilin yang menyala.

Sepasang mata cokelat terang milik wanita itu menatap pemuda itu tanpa kedip.

"Apa--" gumamnya, tak yakin.

Wendell hanya terdiam. Dia masih setengah tidak percaya, dan setengah tidak puas, memandangi sosok yang berdiri dengan jarak hanya beberapa langkah di hadapannya itu.

Waktu telah bergulir amat sangat lamban bagiku, jauh lebih menyiksa dibanding biasanya. Namun apakah seperti itu baginya?

Wanita itu melangkah keluar dari teras mungil pondok itu, menjejaki salju tanpa memedulikan sepatu tipis yang dikenakannya. Tatapannya terus terarah pada Wendell dengan ekspresi yang menyiratkan ketidakpercayaan.

"Wendell?" panggilnya tak percaya, nyaris menyerupai bisikan.

Wendell akhirnya menurunkan tudungnya dan balas menyapa.

"Halo lagi, Katherine."

Katherine Everberd berdiri di sana, bingung, syok, dan tercengang.

"Kau kembali." katanya, masih dengan nada takjub.

"Di sinilah aku."

"B-bagaimana--?"

"Aku bertukar kabar dengan Richard Morton selama ini. Seorang teman lama yang kupercaya. Memantau keadaan desa."

Memantau kabarmu, tambah pemuda itu dalam hati.

"Pendeta Morton?" ujar Kat tak percaya, "Kupikir hanya Noah yang tahu soal dirimu..."

Keheningan menyesakkan melingkupi keduanya ketika mendengar nama itu terucap. Wendell dapat melihat pandangan Kat sedikit meredup.

"Aku berpindah-pindah selama enam belas tahun belakangan." Wendell memutuskan memecah keheningan dan mulai menjelaskan, "Pada kepindahanku yang terakhir, keadaan di daerah tinggalku tidak kondusif. Surat-surat yang keluar dan memasuki daerah diperiksa. Aku tidak bisa mengambil resiko, karena itu aku memutus kontak dengan Richard. Tapi kemudian keadaan kembali normal. Aku menebus surat terakhir dari Richard yang tertahan di pos pemeriksaan, yang tertanggal lima tahun lalu."

Wendell tidak perlu meneruskan. Kat mendengarkan penjelasannya dalam diam. Cahaya lilin bergerak-gerak liar di tangannya karena hembusan angin.

"Bisakah aku melihat makamnya?" Wendell bertanya pelan.

Awalnya, Wendell menyangka Kat akan membawanya ke pemakaman umum desa Swingate yang terletak di dekat perbatasan, namun wanita itu malah membawanya semakin jauh ke dalam hutan, menyeberangi perairan yang permukaannya nyaris beku. Ketika melewati semak raspberry yang tumbuh semakin subur, Kat tertawa pelan.

"Ingat ketika aku menemukanmu pertama kali, tersungkur di sana?" dia menunjuk ke arah semak-semak, "Kupikir kau gelandangan yang pingsan kelaparan."

Wendell mengulum senyum, "Momen yang mempertemukanku denganmu. Bagaimana aku bisa melupakannya?"

Kat memandangi Wendell, terpana, yang dibalas oleh pemuda itu juga tanpa kata-kata. Lalu wanita itu mengalihkan pandangannya dan kembali memimpin jalan.

Tak lama kemudian, keduanya tiba di bukaan kecil hutan yang berbentuk bundar dengan sebuah tugu di tengahnya. Tugu itu terbuat dari batu, dengan huruf-huruf meliuk indah yang terukir di bagian plakatnya membentuk sebuah nama.

NOAH BENTLEY

SEORANG AYAH, SUAMI, TEMAN, DAN PEJUANG YANG GIGIH

Kat menghampiri tugu dan menyingkirkan salju yang agak menutupi huruf-huruf itu. Jemarinya bertahan sedikit lebih lama di atas nama sang penghuni makam, menyapu salju-salju yang tersisa dengan lembut.

"Penghargaan dari warga desa atas peran-peran Noah selama ini." Kat menjelaskan, "Dia meninggalkan wasiat agar dia dapat dikuburkan dekat dengan pondokku. Karena itu mereka membangun tugu di sini."

Wendell berdiri di sebelah Kat, memandangi makam itu dalam diam.

"Noah tidak pernah memberitahuku sakit yang dideritanya." Kat melanjutkan sembari terkekeh kering, "Dia terkenal sebagai laki-laki yang jujur, tapi tidak terhadap istrinya untuk satu hal itu."

Kat tampak berusaha mengendalikan emosinya.

"Dia pikir aku ini semacam wanita lemah yang hanya boleh melihat pelangi dan bunga-bungaan sepanjang hidupnya?"

Wendell mengalihkan pandangannya dari makam dan memandangi Kat lama.

"Dia hanya terlalu mencintaimu hingga pada taraf tak tega membebanimu dengan sesuatu yang... buruk dan sia-sia." ujar pemuda itu pelan.

Sepasang mata Kat berkaca-kaca.

"Jika dia benar-benar berpikir seperti itu, berarti aku telah keliru menganggapnya yang paling mengenalku."

"Kupikir kau agak tidak adil."

Kat menoleh menatap Wendell tak percaya, "Mengapa?"

"Dia menderita penyakit itu. Dia tahu dia harus... dia ingin melibatkanmu. Namun di sisi lain, dia tidak ingin menghapus senyuman dari wajahmu."

"Tapi..."

"Menjadi sesuatu yang buruk dan sia-sia... kurasa dalam hal itu Noah dan aku memiliki kesamaan. Karena itu aku merasa cukup memahami perasaannya."

Wendell kembali memandangi makam, seulas senyuman pahit mengembang di bibirnya.

Tak lama kemudian, keduanya meninggalkan makam dan berjalan menyusuri hutan untuk kembali ke pondok. Bulan bertengger separuh di langit di atas mereka, sinarnya menerobos melalui celah-celah puncak pepohonan, membuat salju terlihat kebiruan.

Ketika mereka kembali melewati perairan yang sama, Kat mendadak menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" Wendell ikut berhenti.

Kat berbalik menghadapi pemuda itu dan menatapnya lurus-lurus.

"Apakah kau tahu bagaimana Noah bercerita soal dirimu kepadaku?"

Wendell mengerjap bingung karena topik yang tiba-tiba dan tak terduga ini.

"Dia selalu bercerita dengan ekspresi berbinar-binar, 'Wendell James Lynden akan selalu menjadi panutan bagiku dan aku sama sekali tidak menyesal pernah bekerja untuknya. Tak peduli bagaimana penduduk desa menanggapi desas-desus tentangnya, tentang keluarganya, bagiku dia selalu seorang tuan sekaligus teman yang baik.'"

Wendell tercekat, "Apa..."

"Apakah kau tahu bahwa tidak peduli bagaimanapun desas-desus mengenai keluarga Lynden beredar di tengah masyarakat, selama seratus tahun kepemimpinan keluarga Lynden, Swingate menjadi wilayah yang makmur, damai, dan pada akhirnya rakyat desa selalu merasa bahwa kalian adalah orang-orang yang adil?"

Pucuk-pucuk pepohonan bergoyang akibat hembusan angin dingin, merontokkan butiran-butiran salju ke tanah sementara Wendell kehilangan kata-kata mendengarkan perkataan Kat.

"Apakah kau tahu bahwa ketika pertama kali menemukan Wendell James Lynden di sini, awalnya kupikir dia hanyalah seorang pemuda malang yang membutuhkan bantuan. Namun kemudian, dia membuktikan bahwa dirinya lebih dari itu. Di balik segala sikap berbahaya dan misteriusnya, ternyata dia adalah pemuda berhati emas yang telah menyelamatkan nyawaku dan mengembalikan keindahan dunia pada mataku."

Kat tersenyum muram.

"Apakah begitu sulit bagi Noah dan bagimu, untuk mempercayai bahwa dirinya dan dirimu, bukanlah sesuatu yang 'buruk dan sia-sia'?" ujarnya.

Wendell mengepalkan kedua tangan di sisi-sisi tubuhnya, berjuang menahan luapan emosi yang mendadak menguasai.

"Mudah bagimu mengucapkannya. Kau memiliki Winona, anakmu. Seseorang." Wendell terkekeh dingin, "Aku? Seluruh keluargaku mati diburu. Menyisakanku di kehidupan yang panjang dan terkutuk ini. Aku bahkan tak punya keberanian untuk mengakhirinya sendiri."

Wendell menoleh ke arah perairan, memandangi permukaannya yang tertutupi lapisan es tipis. Lalu pemuda itu berujar pelan.

"Bagaimana aku bukan sesuatu yang buruk dan sia-sia bila keluargaku saja pergi meninggalkanku sendirian, Katherine?"

Serangan aroma dedaunan dan sejenis bunga-bungaan memenuhi penciuman Wendell ketika Kat tahu-tahu mengulurkan kedua lengannya untuk merangkul leher pemuda itu dan membawanya ke dalam pelukan.

Butuh beberapa saat bagi Wendell untuk menguasai diri dari keterkejutannya, juga terhadap sesuatu di dalam dadanya yang memenuhinya, yang tak diduga dapat dirasakannya lagi.

Wendell memejamkan matanya. Bau darah milik Kat masih sama seperti yang diingatnya, lembut dan nikmat, tetapi dia tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Karena itu, tanpa ragu Wendell balas melingkarkan lengan-lengannya di sekeliling tubuh Kat yang kecil. Pemuda itu menenggelamkan wajahnya di rambut dan leher wanita itu, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, merasakan seluruh tubuhnya menjadi rileks. Begitu nyaman, begitu hangat.

"Aku turut berduka." Kat membelai lembut punggung Wendell, "Aku turut menyesal atas apa yang para pemburu itu lakukan terhadap keluargamu."

"Aku juga." Wendell berujar lirih, "Aku menyesal aku tidak bisa lebih berguna bagi mereka."

Kat menjauhkan tubuhnya sedikit agar dapat menatap mata Wendell, kedua telapak tangannya merengkuh wajah pemuda itu.

"Bisakah kau berhenti merendahkan dirimu lebih dari ini?" ujarnya, nadanya tajam dan tegas, "Wendell James Lynden, kau berada di dunia ini untuk suatu alasan. Alasan yang mungkin belum kau ketahui, tetapi kau hanya harus tetap berjuang. Itu yang penting."

Wendell memandangi wanita itu lama, berusaha menyelami kedalaman sepasang mata cokelat di hadapannya itu sejauh mungkin, namun gagal dan berakhir meninggalkan kekaguman semata. "Sanggupkah aku?"

Kat mengangguk yakin, "Kau masih punya aku. Dan Pendeta Morton. Kau tidak sendirian."

Wendell menelusuri wajah milik Kat. Sepasang alisnya yang tipis. Sedikit bercak pada puncak hidungnya. Sepasang bibirnya yang berwarna merah muda pucat. Dari segi fisik, tidak ada yang terlalu spesial pada diri Kat. Namun anehnya, dan hampir-hampir terasa mengerikan malah, eksistensi wanita itulah yang telah menjadi terlalu spesial.

Pemuda itu menunduk dan tersenyum.

"Baiklah. Aku mengerti, Katherine Everberd."

Kat memprotes, "Bukankah aku pernah memberitahumu bahwa kebanyakan orang memanggilku 'Kat' saja?"

Wendell membalas, "Dan bukankah aku pernah memberitahumu bahwa aku bukanlah salah satu dari 'kebanyakan orang'?"

Keduanya saling tersenyum menanggapi lelucon lama yang hanya dimengerti oleh mereka. Kemudian mendadak ekspresi Kat berubah serius.

"Ngomong-ngomong bagaimana kau tahu soal Winona?" tanyanya, "Aku belum menyebutkan soalnya kepadamu."

"Hmm?" Wendell belum melepaskan lengan-lengannya dari tubuh Kat, "Kau tahu aku punya narasumber."

"Kau menggunakan Pendeta Morton untuk memata-mataiku? Lewat surat-suratmu?" Kat mengernyit tak suka.

"Uh... aku--"

"Bagaimana kalau lain kali kirim saja langsung surat itu kepadaku?" Kat menghela napas jengkel, "Aku bisa memberikan informasi yang lebih akurat daripada harus berputar-putar lewat Pendeta Morton."

"Richard akan kesepian. Kalau aku mulai menulis kepadamu, aku akan kehabisan topik untuk dibicarakan dengan pria tua itu."

Kedua pipi Kat bersemu merah muda, "Oh, omong kosong."

Wendell mengeratkan lengan-lengannya di tubuh Kat, merasa tak pernah ingin melepaskannya lagi. Dia kembali menguburkan wajahnya ke ceruk leher milik Kat, menghirup aroma wanita itu dalam-dalam, menginginkan kenyamanan luar biasa itu sebanyak yang bisa diterimanya...

"Um, Wendell?"

"Hm?" suara sahutan pemuda itu agak teredam rambut Kat.

"Kau sudah makan?"

"Hmm. Beberapa jam lalu di hutan."

"Oh, syukurlah..."

Wendell menegakkan kepalanya cepat untuk memandangi Kat dengan sorot terluka, "Apa? Kaupikir aku akan menggigitmu?"

Kat memasang tampang polos yang seolah berkata kau-tahu-ini-bukan-salahku, "Kalau-kalau kau ingat, kau pernah bilang bau darahku enak... karena terus terang saja, perkataanmu itu masih segar diingatanku. Apalagi dengan hidungmu yang terus menempel di leherku..."

Wendell mati-matian menahan keinginan untuk tertawa. Dia memutuskan berpura-pura serius untuk menggoda Kat lebih jauh, "Sejujurnya, darahmu memang cukup mengacaukan konsentrasi. Ditambah, aku hanya makan sedikit sekali tadi..."

Kat menepuk keras pundak Wendell, yang disambut pemuda itu dengan cengiran jahil. "Kalau kau berani-berani melakukannya, aku bersumpah aku akan menghantuimu selama kau menjejaki dunia ini!"

Cengiran Wendell memudar, menyisakan seulas senyuman samar. Sepasang mata onyx yang biasanya tampak dingin dan kaku itu kini menatap wanita di hadapannya dengan kelembutan yang amat jarang ditunjukkannya, "Hantu atau bukan, kurasa bukan prospek yang buruk jika kau yang menemaniku hingga akhir waktuku."

Kat mendengkus geli seraya melepaskan diri dari pelukan Wendell, lalu kembali meneruskan jalannya. "Bertahun-tahun tidak bertemu, kau ternyata sudah menjadi perayu handal."

Wendell menyelaraskan langkahnya dengan langkah milik Kat, namun tetap berada sedikit di belakang wanita itu. "Aku tidak pernah merayu. Aku mengungkapkan fakta dan isi pikiranku."

Celotehan keduanya mengisi keheningan hutan malam itu, hingga tanpa sadar mereka sudah memasuki area pondok milik Kat. Namun, di samping kuda besar milik Wendell sudah berdiri seorang gadis kecil dalam gaun tidurnya. Gadis itu tengah memberi makan si kuda dengan jerami.

"Ibu!" Winona Bentley menyadari kedatangan mereka. Dia mencampakkan jerami di tangannya dan berlari menghampiri ibunya. Kat berlutut di hadapan gadis itu dan meremas kedua tangan milik Winona.

"Mengapa kau bangun lagi? Kau seharusnya pakai jaket kalau keluar... lihatlah, tanganmu sedingin es!" Kat mengomel.

Tetapi Winona tidak menyahut. Perhatiannya tertuju pada sosok tinggi yang mengenakan mantel hitam dan tengah berdiri di belakang ibunya.

"Ibu, siapa pria tampan ini?" ceplos Winona.

Kat bangkit, "Winona, ini adalah Lord Lynden. Dia teman lama ibu dan ayahmu. Dulu dia dan keluarganya tinggal kota. Dia datang untuk mengecek keadaan desa sekaligus mengunjungi kita."

"Halo! Aku Winona Bentley, usiaku tujuh tahun musim gugur lalu."

Wendell ganti berlutut hingga wajahnya sejajar dengan wajah Winona. Gadis itu memiliki sepasang mata cokelat jernih yang sama dengan milik ibunya, serta bentuk hidung dan mulut yang mengingatkannya pada milik Noah. Dan yang membuat Wendell sedikit terkejut, Winona balas menatapnya dengan normal.

Memutuskan untuk menepikan sejenak rasa penasarannya, pemuda itu mengenalkan diri, "Namaku Wendell James Lynden. Senang bertemu denganmu Winona Bentley."

Wendell mengecup lembut punggung tangan gadis tujuh tahun itu, membuat Kat terkekeh ketika melihat rona merah muncul pada kedua pipi Winona.

Gadis kecil itu buru-buru menghormat dengan membungkuk sopan sambil mengangkat roknya sedikit. Ketika kembali menegakkan diri, ekspresinya campuran antara terpana dan sumringah.

"Kau sungguhan! Ibu tidak pernah bilang bahwa Pangeran Malam adalah orang yang nyata!"

Wendell mengangkat sepasang alisnya bingung, sementara kedua mata Kat membulat panik.

"Ibu selalu menceritakan dongeng sebelum tidur padaku, tentang seorang pria rupawan bermata hitam yang hanya muncul di malam hari, yang pernah menyelamatkan nyawa seorang gadis dari serangan  perampok! Dia juga bercerita bahwa pria itu ternyata seorang Pangeran Malam yang bisa melakukan sihir... dan dia membutuhkan bantuan sang gadis... lalu gadis itu terpaksa menampungnya sementa--"

"Uh... bagaimana kalau kita masuk ke dalam?!" potong Kat buru-buru, namun Wendell mencegahnya.

"Sebetulnya... aku tidak bisa mampir terlalu lama."

Kat terdiam, sementara Winona menatapnya sedih.

"Kau tidak ingin tinggal di sini saja, dengan kami?" tanya gadis kecil itu cemberut. Wendell terkejut akan tawaran Winona yang blak-blakan, dan ketika dia mendongak menatap Kat, dia melihat wanita itu tidak berkomentar apapun. Kat hanya membelai rambut Winona dengan ekspresi tak terbaca.

Wendell kembali menatap Winona dan tersenyum miring.

"Aku sangat ingin tinggal, tetapi ada sesuatu yang harus kuurus kali ini." Wendell mencuri pandang sekilas ke arah Kat sebelum meneruskan, "Bolehkah aku bicara berdua dengan ibumu sebelum aku pergi?"

"Berjanjilah kau akan kembali!" Winona memohon.

Wendell meletakkan telapak tangan kanannya di dada kiri dan mengangguk, "Kau pegang janjiku, My Lady."

Puas dengan jawaban Wendell, Winona tersenyum cerah dan melambai pada pemuda itu sebelum berbalik masuk ke dalam pondok lalu menutup pintunya.

Wendell menegakkan diri dan melirik Kat meminta penjelasan, "'Pangeran Malam'?"

"Um... sedikit menyesuaikan dengan tema 'dongeng'..." Kat berkilah gugup.

Pemuda itu melihat ke arah pintu pondok yang barusan menutup. Gadis yang menarik. Dia tidak terpengaruh.

"Wendell, kau baik-baik saja?" Kat bertanya, membuat pemuda itu tersadar.

"Dia gadis yang manis." komentarnya, "Dan... wah, itu tadi undangan yang cukup tak terduga."

Melihat Kat yang kembali terdiam, Wendell mendengkus geli dan berujar menenangkan, "Jangan khawatir, aku betul-betul akan pergi. Kota yang kutuju berikutnya cukup jauh sehingga aku harus--"

"Kau tidak ingin mempertimbangkannya dengan serius?" Kat memotongnya.

Wendell mengerjap, "Apa?"

"Tinggal di sini. Bersama kami." ujar Kat.

Hening sejenak.

"Menetap di sini?" ulang Wendell, "Bersama Winona... dan kau?"

Kat mengangguk. Seulas senyuman penuh harap mengembang di wajahnya.

"Kau tidak perlu sendirian lagi." ujarnya, tulus dan bersungguh-sungguh.

Wendell masih kesulitan mencerna perkataan yang baru saja didengarnya. Seorang manusia mengajaknya tinggal bersamanya. Terlebih lagi, manusia itu adalah Katherine Everberd. Wanita yang sudah sangat lama menguasai hatinya.

"Katherine, kau paham bukan apa aku ini?"

"Kau tidak akan pernah menyakiti kami." Kat berkata sederhana.

"Aku tidak pernah meninggali suatu tempat dalam waktu lama, selama enam belas tahun ini. Aku menghabiskan malam-malamku berburu, dan siang-siangku bersembunyi. Aku menjalani hidupku yang lamban dan menyedihkan menyaksikan kematian orang-orang yang kusayangi. Aku akan menyeretmu ke dalam lingkaran kehidupanku yang berbahaya dan menyengsarakan."

"Kau mengatakan semua ini padaku sekarang, tapi pelukanmu tadi mengatakan sebaliknya."

Wendell memejamkan matanya putus asa.

"Kumohon, Katherine. Kumohon mengertilah."

Kat menghela napas pelan. Dia menyentuhkan satu tangannya di pipi milik Wendell, menyapukan ibu jarinya perlahan di kulitnya yang sejuk.

"Baiklah, aku mengerti. Tetapi berjanjilah untuk mengunjungi kami. Sesering yang kau bisa. Selama yang kau bisa. Aku akan membelikan ayam segar dari pasar. Atau kelinci, kesukaanmu. Dan ketika kau tidak sedang berkunjung, tulis surat kepadaku dan Winona. Aku tidak peduli Pendeta Morton jadi kehilangan topik."

Wendell menggenggam tangan Kat yang berada di pipinya,  "Ralat. Belakangan ini aku lebih suka rubah. Dan berburu sendiri jauh lebih menyenangkan, jadi tidak usah repot-repot."

Keduanya mengulum senyum.

"Kau berjanji akan berkunjung?" tuntut Kat.

Wendell mengangguk, "Aku berjanji."

Kemudian, setelah saling berpandangan lama, Wendell akhirnya berjalan menuju kudanya, diikuti Kat.

"Sampaikan salam perpisahanku pada Winona. Dan... jaga dirimu baik-baik."

"Wendell?"

"Hm?"

Kat berjinjit untuk menumpukan kedua tangannya di bahu Wendell, lalu memajukan wajahnya dan menanamkan bibir hangatnya pada bibir sejuk milik pemuda itu.

Itu adalah ciuman yang ringan, lembut, dan mengejutkan. Butuh beberapa saat bagi Wendell untuk mencerna kejadian itu sepenuhnya. Ketika Kat sudah menjauhkan diri, Wendell masih separuh melamun.

"Anggap saja wujud rasa terima kasihku atas jasamu padaku di masa lalu." Kat berujar pelan, "Jadi... terima kasih. Lagi." 

Setelah akhirnya berhasil menguasai diri, dan sebelum dia memutuskan untuk melakukan sesuatu di luar akal sehatnya terhadap Kat, Wendell berbalik untuk menaiki kudanya. Dia berdeham pelan, berusaha mengusir efek memabukkan ciuman singkat dari Kat.

"Terima kasih juga untukmu, telah senantiasa menjadi penyelamatku." Wendell memandangi Kat selama beberapa saat, dan perlahan tersenyum. "Selamat malam, Katherine Everberd."

Kat balas tersenyum. Senyuman penuh kasih dan penuh empati, senyuman yang sama dengan yang diingat Wendell enam belas tahun yang lalu ketika wanita itu mengucapkan salam perpisahan di ambang pintu pondok yang rusak, sebelum kepergiannya dari Swingate. Senyuman yang begitu menyilaukan, melebihi warna salju di siang hari, melebihi cahaya matahari, melebihi apapun.

"Selamat malam, Wendell James Lynden. Dan sampai jumpa lagi."

❄️ THE END ❄️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top