6. Pacar?
"Hai, Lana!" sapa Juna pelan. "Maaf soal tadi. Memanjat tembok seperti itu, aku kira kamu punya tujuan tak baik," jelasnya.
Aku tak menjawab, hanya mampu menatapnya bingung bercampur heran. Takdir macam apa ini?
Kupikir setelah meninggalkannya di pesta pernikahan itu, aku tidak akan bertemu dengannya lagi meski memori otakku selalu mengulang gambaran sosoknya setiap waktu. Sekarang, begitu sosoknya mewujud nyata berdiri di depanku, aku justru bingung harus merasa senang atau kecewa.
Aku kembali meneliti sosok di hadapanku ini, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada yang berubah. Benar-benar sama dan bukan halusinasiku semata. Rambut jarumnya pun masih menjadi ciri khasnya. Yang berbeda hanya pakaiannya saja. Walaupun harus kuakui dia semakin keren dengan seragamnya itu. Meskipun sebenarnya aku lebih suka kalau dia tidak bersinggungan atau bahkan memakai seragam hijaunya. Melihatnya saat ini justru hanya semakin memupuk kecewa.
"Dari dulu dia memang selalu memanjat tembok itu kalau lupa membawa kuncinya," jelas Bang Saga sambil memandangku dengan raut wajah jenaka. "By the way, kalian saling kenal?" tanya Bang Saga dengan nada keheranan bercampur antusias.
"Hmm~" Aku hanya berdehem menanggapinya dengan lesu.
"Wuah, sejak kapan?" tanya Bang Saga semangat.
"Itu-" Kalimatku menggantung begitu saja ketika suara berat Bang Genta menginterupsi.
"Kalian semua di sini?"
Bang Genta muncul dari dalam rumah masih lengkap dengan seragam dinasnya. Matanya sempat menyipit dengan kening berkerut saat menatap ke arah kami. Dan kini tatapannya terfokus padaku juga Juna secara bergantian.
"Akhirnya kamu bawa pacarmu ke sini."
Kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Bang Genta nyaris membuat mataku keluar dari rongganya. Aku memelototinya. Kalimatnya barusan bisa membuat keadaan semakin rumit. Jelas saja, sebab aku melihat mata Bang Saga ikut membesar saat mendengarnya.
"Eh, Bang. Selamat hari lahir. Nih, hadiah untukmu!" kata Bang Genta lalu melemparkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Bang Saga sambil melenggang ke arah kami.
"Wah, terima kasih. Eh iya, barusan apa katamu? Pacar siapa yang dibawa ke sini?" tanya Bang Saga penasaran.
"Tuh, adik kita yang paling cantik!" jawab Bang Genta sambil menunjukku dengan gerakan dagunya.
"Lana?" tanya Bang Saga bingung. "Siapa pacar Lana?"
"Tuh, cowok di sebelahnya."
"Juna?!" Aku bisa melihat wajah Bang Saga seperti habis melihat hantu berambut kribo warna-warni. Antara terkejut tapi juga ingin tertawa. "Jun, kamu sama Lana pacaran? Sejak kapan?"
Kembali muncul berbagai pertanyaan meluncur mulus dari mulut abangku yang terkenal paling kepo seantero jagad kalau berurusan dengan hubunganku dengan seorang pria. Juna bisa diinterogasi sampai besok pagi kalau Bang Saga belum berhenti penasaran dan mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
Bang Saga langsung mendekat ke samping Juna dan merangkul lehernya. Aku bisa melihat tatapan penuh rasa ingin tahu yang dalam terpancar dari kedua netra pekatnya.
"Itu juga yang membuatku penasaran!" kata Bang Genta dengan tatapan seakan hendak membidik target tepat di kepalanya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Tidak tahu apa yang harus aku katakan untuk menjawab pertanyaan kedua abangku. Aku menatap Juna begitu pun sebaliknya. Sepertinya kami berdua memang tak punya jawaban untuk pertanyaan tersebut.
"Lho, kok kalian semua masih di sini?" Suara Bunda Kartika berhasil menyelamatkanku dari situasi canggung ini.
"Ayo ke ruang makan. Kita makan sama-sama!" ajak Bunda yang sukses membuatku terbebas dari interogasi kedua abangku. Aku pun menghela napas lega.
Kami segera mengikuti Bunda menuju ruang makan. Nampaknya tamu Ayah sudah pulang semua, karena kini Ayah sudah duduk di ujung meja makan, di posisi favoritnya.
"Ayo kalian lekas duduk! Bunda sudah buatkan makanan spesial untuk hari ini." Ayah mengeluarkan titahnya.
Aku duduk tepat di sebelah Bunda. Di sampingku ada Bang Genta, sedangkan di seberang mejaku duduk Juna dan Bang Saga.
"Yah, Lana punya pacar baru loh!" kata Bang Saga begitu duduk di sebelah Juna, dekat Ayah.
Aku melotot menatap abangku yang satu ini. Benar-benar ingin kusumpal mulut ceplas-ceplos Bang Saga itu dengan potongan ayam goreng kesukaannya.
"Benar, kah? Siapa?" tanya Ayah ikut penasaran.
"Udah ada di depan Ayah, nih. Direstui nggak?" kata Bang Saga sambil melirik ke samping sebagai isyarat yang sangat jelas.
"Apa sih, Bang!" protesku sedikit jengkel dengan situasi seperti ini.
"Kenapa? Kalian lagi berantem, ya? Kok nggak ada yang mau ngaku dari tadi?" tanya Bang Saga semakin penasaran.
Abang satu ini benar-benar membuatku ingin menggigit batu saja. Jengkel bukan main. Andai aku tahu akan jadi seperti ini, lebih baik aku tidak usah berbohong dari awal. Lebih baik dikejar Krisna dari pada membahas siapa pacarku di depan Ayah. Terlebih pacar bohongan. Dan parahnya orangnya ada di sini, sahabat Bang Saga pula. Lengkap sudah drama percintaanku.
"Siapa? Juna?" tanya Ayah dengan raut wajah terlihat serius. Bang Saga mengangguk pasti sambil tersenyum senang. Ayah menatap Juna sekilas kemudian melayangkan tatapan tajamnya ke arahku. "Benar kamu dan Juna pacaran?"
Aku balas menatap Ayah dengan lidah kelu dalam mulutku. Bingung hendak menjawab apa. Kepalaku mencoba berpikir mencari jawaban yang tepat. Namun, nampaknya tak ada jawaban yang bagus selain mengakuinya. Lagipula Ayah tak suka kebohongan sekecil apa pun itu. Walaupun kenyataannya antara aku dan Juna hanya ada kebohongan saja.
Dengan takut-takut aku mengangguk setelah menatap Juna sekilas. Akh ... sampai kapan kebohongan ini akan berlangsung?
Aku menatap semua anggota keluargaku yang mengelilingi meja makan, menantikan reaksi mereka semua saat mereka menatapku lekat. Hanya Bang Saga yang tersenyum lebar melihat pengakuanku. Berikutnya Bunda Kartika ikut tersenyum sambil mengusap punggungku lembut.
"Bagus." Suara Ayah terdengar datar. Entah apa maksud kata 'bagus' itu sendiri. Aku sungguh tak paham. Tapi melihatnya tidak marah sudah cukup baik untukku. Mengingat terakhir kali dia hampir murka dengan Damar dan mewanti-wanti aku untuk melapor padanya setiap kali aku dekat dengan pria. Terkecuali Darel. Keluargaku sudah kenal betul siapa Darel.
"Sudahlah, ayo makan dulu! Kita akan bahas Lana nanti setelah makan!" titah Ayah pun berhasil memecah kecanggungan di meja makan.
Dengan cepat aku mengambil lauk kesukaanku dan mulai melahapnya. Entah kenapa rasanya perutku tiba-tiba menjadi sangat lapar. Menyatakan sebuah kebohongan lagi nampaknya benar-benar menguras energi dalam tubuhku.
Selesai makan malam, untungnya Ayah harus menyelesaikan pekerjaannya dan tak sempat mengurusi masalah dengan pria mana aku berpacaran. Setidaknya aku bisa merasa lega untuk sesaat. Meski masih harus waspada pada setiap gerak-gerik Bang Genta yang seakan masih mengintai dan mencurigai Juna.
Aku duduk di undakan teras halaman belakang sambil menatap langit malam dengan pilu. Meratapi nasib rasanya akan sia-sia belaka. Sekarang yang harus kupikirkan adalah bagaimana menghadapi hal yang akan terjadi selanjutnya. Hal tidak terduga yang akan terjadi setelah kebohonganku malam ini.
Aku mendesah pelan. Sesak rasanya rongga dadaku. Berbohong selalu membuat hati tak nyaman. Sekalipun itu kebohongan demi kebaikan yang biasa orang-orang sebut sebagai white lie.
"Sepertinya kehadiranku di sini menyulitkanmu." Suara berat yang mulai kuhapal kini memenuhi indera pendengaranku.
Aku mendongak dan menemukan sosok Juna sudah berdiri di sebelahku. Detik berikutnya pria itu pun duduk di sampingku kemudian menatapku dengan tatapan menelisik. Membuatku menjadi salah tingkah sendiri.
"Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Maaf karena kembali menyeretmu masuk ke dalam situasi ini lagi," ucapku dengan nada menyesal.
Aku menatapnya sekilas sebelum membuang pandanganku pada langit penuh taburan bintang di atasku. Kembali kutarik napas dalam untuk sekadar menenangkan diri.
"Sebegitu sulitkah mengakuinya?" tanyanya dengan nada suara datar.
Aku langsung menoleh, menatapnya yang kini menatapku tajam. Aku terpaku. Lagi dan lagi, tatapan matanya selalu membuatku tenggelam dalam pesonanya.
"Bolehkah aku meminta bantuanmu lagi kali ini?"
****
Bright As The Sun, Ayu Anggun©2020-All Right Reserved
29 November 2020, 01.10 WIB
Jangan lupa vote dan komennya ya man-teman. Komen apa aja boleh. Mau ngatain Lana juga boleh.
Abang ganteng yang keponya ngalahin emak-emak kompleks 😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top