4. Sampai Di Sini
"Bang Genta?" Suaraku terdengar seperti tercekik. Nyaliku langsung menciut.
"Dia siapamu tadi?" tanyanya tajam.
Senyumku mendadak kaku. Aku beringsut mundur. Bang Genta kalau sedang tegas sungguh menyeramkan. Tatapannya tajam menusuk membuat keseluruhan wajahnya menjadi sinis dan bengis. Tak heran dia bisa menjadi salah satu prajurit terbaik pasukan elit Angkatan Laut.
"Hmm ... itu-Abang kenapa bisa di sini?" Aku sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Sudah kusut otakku berputar mencari alasan yang tak kunjung sesuai.
"Berhenti mengalihkan pembicaraan!" katanya sambil menjepit hidungku dengan telunjuk dan jari tengahnya. Aku membelalak sempurna. Tubuhku mendadak kaku. Pipiku mulai terasa panas seperti tersengat bara api. Aku yakin wajahku tak kalah merah dengan tomat. Malu!!!
Bang Genta selalu saja begitu. Selalu menganggapku adik kecilnya yang manja dan menggemaskan. Menjagaku ketat bagai anak kecil yang mudah tersesat atau adik kecilnya yang dulu cengeng karena diganggu segerombolan anak nakal. Akan tetapi terkadang sikapnya sering lupa tempat. Sering kali membuatku pura-pura tak mengenalnya di tempat umum.
Namun sepertinya ada seseorang yang salah mengartikan perubahan sikap dan raut wajahku. Karena tiba-tiba saja motif batik kontemporer menutupi seluruh pandanganku. Aku yang masih terpaku dengan pikiranku sendiri hanya bisa melongo mendapati punggung berbahu lebar di hadapanku. Pemandangan batik hitam di depan mata membuatku mendongak menatap wajah pemilik tubuh tinggi itu. Juna, seakan memasang badan melindungiku.
Apa dia pikir aku terlihat ketakutan dan butuh perlindungannya? Ya ampun, apa aku selemah itu? Tidak, pasti bukan karena itu, kan? Bisa jadi karena raut wajah Bang Genta yang seperti menantang duel. Iya, pasti karena itu. Memang sih, wajah Bang Genta sekarang terlihat seperti algojo yang siap mengeksekusi terdakwa. Menyeramkan!
Aku mengintip dari balik bahu lebar Juna. Sedikit penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Tatapan tajam Bang Genta menatap Juna dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Seakan sedang meneliti karakteristik musuh. Sepertinya Abangku satu itu sedikit terkejut melihat reaksi yang ditunjukkan Juna.
"Kamu sungguhan pacar Lana?" Mata Bang Genta menyipit menatap Juna curiga. "Atau sekadar pendamping supaya terlihat baik-baik saja di depan si pengkhianat itu?" tanya Bang Genta lagi sambil menunjuk panggung pelaminan.
"Abang!" tegurku keras. Aku merangsek maju mendekati Bang Genta. Dengan suara berbisik aku merajuk, "Abang kenapa bahas itu sih. Bikin image-ku jatuh aja!" kataku keki.
Bang Genta tak menggubrisku. Salah satu lengannya menarikku mundur. Fokusnya kembali pada Juna. Kedua netra pekatnya menatap Juna tajam.
"Abang tidak mau kamu bersama pria yang salah lagi. Kalau dia memang pacarmu, bawa dia ke rumah untuk menemui Ayah!" katanya final sebelum teralih pada ponselnya yang berdering dan berlalu pergi dari hadapanku.
Mampus! Aku kembali melongo. Membawanya bertemu Ayah sama saja dengan menulis perjanjian tak kasat mata kalau Juna bersedia menjadi menantu keluarga Madaharsa.
Aku segera berbalik menatap Juna. Merasa bersalah telah menyeretnya dalam permainan takdir hidupku. Kutautkan jari jemariku erat demi meredakan gelisah sambil berpikir mengeluarkan pria ini dari situasi yang sudah terlanjur runyam.
"Maaf ... aku tak bermaksud membuatmu kesulitan. Itu tadi-" Akh, bagaimana cara menjelaskannya? "Sudahlah, tak perlu kamu pikirkan!"
Aku mendesah pelan. Masih bergelut dengan carut marutnya pikiranku. Kalau Bang Genta sudah berkata seperti itu, sulit menemukan cara untuk menghindar. Ayah pasti akan segera tahu masalah ini.
"Heh, cepat rapikan wajahmu! Bisa kabur orang-orang lihat wajahmu yang seperti tikus kejepit." Darel menyikut lenganku dengan kencang membuat pikiranku kembali ke tempat tubuhku berada.
Aku memandang sekeliling, mendadak linglung. Ah, benar juga. Aku masih di acara pernikahan Keysa. Niat hati ingin terlihat bagai orang yang penuh bahagia. Eh, siapa sangka malah terundung kemelut.
"Aku pulang aja deh, Rel!" ucapku lesu.
"Eh, tunggu!" Tangan Darel menahan tanganku yang hendak berbalik pergi. "Katanya mau pamer pacar baru sama dua pengkhianat itu?"
Aku berbalik menatap Juna. Dia masih menatapku bingung. Aku juga tak bisa memaksanya untuk terus berlakon dalam drama kehidupanku. Sudah terlalu banyak aku menyeretnya dalam sandiwara yang hanya akan meninggalkan kebohongan dan kebohongan.
"Aku masih bisa menemanimu ke atas sana kalau kamu mau," tawar Juna ketika mulutku baru saja terbuka untuk melontarkan kalimat yang akan memintanya berhenti dari sandiwara ini.
"Tuh kan, si Masnya sudah setuju. Ayo cepetan, tunggu apa lagi?" Sialnya Darel mendorong tubuhku yang tak siap ke arah Juna. Aku nyaris limbung terbelit ujung gaun yang kupakai. Untung saja Juna menangkap kedua lenganku tepat waktu, kalau tidak aku bisa jatuh dalam pelukannya.
Aku menoleh dan menatap Darel sengit. Akan tetapi pria itu justru tersenyum lebar dengan songongnya. Kampret memang!
Aku berdiri tegak, memulihkan seluruh saraf tubuhku yang semula tegang. Menarik napas panjang kemudian merapikan beberapa anak rambut yang sempat mencuat. Kuangkat daguku sedikit lebih tinggi dari biasanya dan kutarik bibirku melengkung sempurna. Okeh, aku siap kembali berlakon bagai mantan yang penuh kebahagiaan.
Aku mengamit lengan Juna dan mulai melangkah menuju panggung pelaminan. Darel sudah melangkah lebih dulu di depanku sambil menyapa beberapa orang yang dikenalnya. Kali ini dengan penuh percaya diri aku bisa menatap wajah mereka berdua dengan penuh kemenangan. Toh, aku memang tidak semenyedihkan itu.
"Lana." sapa Ibu Damar dengan senyum lembut menghias wajahnya. Masih tersisa semburat penyesalan di sana. Aku pun membalasnya dengan senyum. Beliau memelukku erat sambil berbisik untuk terus menjaga silahturahmi dengannya. Aku hanya bisa mengangguk pelan menatap Ibu dan Bapak yang selalu menganggapku sebagai anak mereka sendiri.
Kemudian aku beralih pada sang mempelai pria. Sepertinya dia sedikit terkejut melihatku ada di sini.
"Lana?" Damar menatapku heran dengan binar mata yang sulit diartikan. Pakaian dinas berwarna hijau yang dikenakannya membuat Damar terlihat semakin tampan dan gagah. Eh, kok?!
Fokus Lana! Fokus!
"Selamat buat kalian berdua!" Aku menyunggingkan senyum menawan nan anggun. Tak ingin kalah cantik dari si mempelai wanita di sampingnya. Si muka dua yang berhasil merebut calon tunanganku. Iya calon! Baru saja hendak menyiapkan acara pertunangan sudah langsung ditikung dan keburu kabur menikahi orang lain. Ngenesnya, sahabat sendiri pula.
Jangan tanya perasaanku waktu itu. Aku tak mau mengungkitnya lagi. Aku lebih memilih mengangkat wajahku dan menatap masa depan. Setidaknya aku belum berikrar apapun dengannya. Belum rugi banyak, hanya korban perasaan saja.
Aku mengangkat tanganku dan menyalami wanita yang pernah menjadi sahabatku itu. Dia mencoba mendekat memelukku, tetapi aku menghindar. Cukup ucapan selamat tulus saja yang keluar dari mulutku. Jangan harap bisa kembali menjadi sahabatku lagi. Aku benci pengkhianatan.
Tak kuhiraukan raut wajahnya dan berpaling pada kedua orang tua Keysa yang justru terlihat sedikit angkuh. Tak seperti biasanya yang selalu ramah jika bertemu denganku.
Baiklah kalau itu mau mereka. Aku hanya bisa tersenyum tipis saat menyalami keduanya. Gemuruh badai yang masih bergumul di dalam dada kuhempaskan dengan helaan napas panjang setelah menjauh dari panggung pelaminan. Begitu mengangkat wajah, aku menemukan Juna tengah memperhatikanku.
"Aku baik-baik saja," sahutku cepat meski dia tak berkomentar. "Terima kasih untuk semua bantuanmu selama ini. Aku takkan memintamu bersandiwara lagi." Aku melangkah melewatinya menuju pintu keluar. Berharap takdir kami selesai sampai di sini. Dan aku tak perlu mengolah kebohongan demi kebohongan lagi. Urusan ultimatum Bang Genta, biar kupikirkan nanti.
****
Bright As The Sun, Ayu Anggun©2020-All Right Reserved
16 September 2020, 12.30 WIB
Punya abang modelan Genta bikin keki nggak sih?
Permisi, Bang Genta mau eksis
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top