2. Si Penyelamat
Aku masih terpana. Kaget sendiri dengan debaran yang menggetarkan dadaku. Debarannya benar-benar terasa hingga ke sekujur tubuh. Apa jantungku ini mendadak mengadakan konser di dalam sana? Kenapa bisa seriuh ini? Apa perlu kuperiksakan ke dokter juga?
Aku bergerak salah tingkah. Mencoba menarik kakiku kembali. Namun pria dengan rambut seperti jarum ini masih saja terus memijatnya.
Untung saja dering ponsel menyelamatkan kinerja jantungku. Telepon dari produser, katanya ada yang hendak didiskusikan terkait berita untuk besok.
Aku berdehem pelan, berharap dia mengerti isyarat yang kusampaikan. Namun tampaknya dia tidak mengerti isyaratku. Terpaksa kutepuk bahunya pelan hingga dia mengangkat kepalanya dan menatapku.
"Maaf, tapi aku harus pergi sekarang dan terima kasih atas bantuanmu barusan."
Dia pun melepaskan kakiku dan bangkit berdiri. Mata kami kembali bertemu dan aku seolah terhipnotis.
Aduh apa mataku juga kini bermasalah? Kenapa tidak bisa berhenti menatapnya. Ingatkan aku untuk segera memeriksakan mataku juga.
"Sebaiknya ganti sepatumu dulu." Sepertinya dia memang irit bicara. Hanya satu kalimat yang dia ucapkan sebelum aku meminta Keina— adik sepupu Reva meminjamkan sandalnya. Tidak ada percakapan lanjutan karena yang terjadi selanjutnya dia menerima panggilan ponselnya dan aku segera melarikan diri dari objek yang sudah membuat seluruh tubuhku bermasalah.
Aku segera pergi meninggalkan Kedai Pelangi milik Reva. Meskipun harus melangkah perlahan karena rasa ngilu di kakiku masih sering muncul ketika menjejak jalanan.
Aku kembali menyusuri trotoar jalan yang hanya diterangi lampu temaram. Hanya terlihat satu dua pejalan kaki di sini. Kesunyian ini menjengkelkan. Aku tidak begitu suka kesunyian yang berpadu dengan kegelapan. Sungguh membuat was-was dan aku benci perasaan itu.
Seperti saat ini, rasanya seperti ada yang diam-diam membayangiku. Mengikutiku dari belakang dan tidak meninggalkan suara langkah kakinya. Instingku mengaktifkan seluruh saraf tubuhku untuk bersiap. Tanganku sudah mengepal siap melayangkan pukulan. Aku melirik sekilas, tidak ada yang mencurigakan. Untuk memastikannya, aku pun menoleh. Namun tidak ada siapapun.
Bulu kudukku berdiri. Getaran halus mulai muncul pada jemari kedua tanganku. Keringat dingin membasahi telapaknya. Perasaan takut dan waspada membuatku berusaha melangkah lebih cepat meskipun harus menyeret kakiku yang masih ngilu. Berharap bisa segera tiba di tempat yang penerangannya jauh lebih baik dari trotoar jalanan ini.
Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak, membuatku nyaris melompat kaget. Aku berbalik mengangkat kedua tanganku dengan posisi menyilang di depan wajah, posisi juji uke kalau kata Bang Saga.
"Ilana!" Aduuuh suara itu lagi.
Aku menurunkan kedua tanganku dan menemukan Krisna berdiri tepat di hadapanku. Aku melangkah mundur untuk memberi jarak sambil mengatur napas yang sempat terengah.
Tuh kan, dia masih saja mengikutiku. Membuatku bergidik ngeri. Memangnya tidak ada yang bisa dia kerjakan hingga harus mengikutiku setiap detiknya.
"Kenapa pacarmu tidak mengantar? Dia sungguhan pacarmu atau bukan?" cecarnya curiga.
Aku berusaha memutar otak mencari jawaban yang tepat, tetapi sepertinya alasan apa pun yang kukemukakan tidak akan membuatnya percaya. Aku mencoba tersenyum untuk sedikit mengulur waktu.
"Oh, dia sedang ada urusan mendesak."
"Benarkah?"
"Iya." Aku menjawab mantap.
"Aku tidak percaya. Ayo kuantar kamu pulang!" Dia berusaha menggapai lenganku tetapi aku langsung mengambil dua langkah mundur menjauh. Hanya ingin dia paham kalau aku benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk mendekatiku.
"Tidak perlu! Aku yang akan mengantarnya!"
Tiba-tiba saja suara bariton berat itu kembali terdengar dan entah kenapa aku justru bersorak di dalam sana. Senang dia datang membantu dan membuat perasaanku menjadi lebih tenang. Rasanya aman dan terlindungi. Aneh kan?
Pria berambut jarum yang tidak kuketahui namanya itu telah berdiri di belakang Krisna. Wajahnya masih terlihat tenang meski tanpa senyum. Tatapannya masih setajam milik elang yang hendak memangsa buruannya.
"Ponselmu tertinggal tadi." Pria itu menyodorkan ponselku dan aku menerimanya dengan senang hati. "Ayo, kuantar! Urusanku masih bisa ditunda."
Seperti mengerti situasi yang sedang kuhadapi, pria itu menarik tanganku menjauh dari Krisna. Melangkah cepat menyusuri trotoar jalan yang mulai terlihat lebih terang dari sebelumnya. Tanda gerbang gedung pencakar langit tempatku bekerja sudah dekat.
Aku nyaris terseok tidak sanggup mengikuti langkahnya yang panjang. Bagaimana tidak, tinggiku hanya sampai bahunya saja kalau tidak memakai sepatu bertumit tinggi.
Namun kemudian tempo langkahnya mulai melambat. Mungkin karena tadi dia sempat melihatku nyaris terhuyung terantuk kaki sendiri dan dia mulai sadar masih menggenggam tanganku.
Dengan cepat dia melepaskan pegangan tangannya. Kemudian mengusap tengkuk lehernya tanda dirinya sedang salah tingkah. Aku nyaris saja tergelak menatap mimik wajahnya yang lucu saat malu. Menarik, tidak seseram pertama kali melihatnya. Tentang genggaman tangannya di lenganku tadi seperti mengandung listrik. Entah kenapa kulitku rasanya seperti tersengat. Hangat tetapi nyelekit.
Aku menolehkan kepala ke belakang membiarkan dia memulihkan sikapnya. Sekalian memastikan Krisna tidak lagi mengekori di belakang kami. Aman. Sosoknya tidak lagi kulihat. Semoga saja pria itu kapok dan tidak kembali datang padaku lagi.
"Maaf karena telah melibatkanmu dalam masalahku. Tapi terima kasih sudah membantuku," ucapku tulus. Tak ada jawaban. Seakan suaranya adalah emas yang berharga, pria itu tidak menjawab dan hanya berdehem pelan.
Meskipun begitu, pria yang tidak kukenal ini benar-benar mengantar dan menemaniku hingga ke depan pintu lobi gedung kantor. Bahkan masih setia berdiri di sana hingga aku benar-benar masuk ke dalam gedung dengan aman. Tipikal pria yang sangat bertanggung jawab bukan? Wuah ... aku jadi tersanjung dibuatnya.
Sayangnya aku lupa menanyakan nama dan nomor teleponnya. Dan kini aku dibuat galau karena selalu terbayang wajah kakunya. Aaah ... mungkin ada sedikit masalah dengan otakku akhir-akhir ini.
Aku meletakkan tasku di atas meja kubikel. Kemudian menyandarkan punggungku yang terasa sedikit kaku akibat kejadian tadi pada sandaran kursi yang sudah kutambah bantal kecil. Belum juga pegal di punggung hilang kini kepalaku mulai berdenyut. Sepertinya sekujur tubuhku kompak berdemo minta diperhatikan.
"Heh, kenapa kepalamu ditusuk-tusuk begitu? Memangnya tidak sakit?" tanya Darel Fazwan Rafisqy, rekan kerjaku—partner paling klop—sekaligus sahabat terbaik.
"Pusing kepalaku." Aku pun meletakkan pulpen yang tadi kugunakan untuk memijat pelipisku.
"Pusing kenapa? Mau kupijat?"
"Banyak yang kusut di sini." Aku menunjuk atas kepalaku.
"Kenapa? Gara-gara Krisna lagi?"
"Itu tahu, tapi kamu malah tidak mau menolongku!" sungutku jengkel.
"Loh, kalau aku bilang aku tunanganmu pun dia tidak akan percaya, Na! Tahu sendiri kan, dia bisa tanya atasan kita langsung."
"Terus bagaimana caranya supaya dia tidak terus-menerus mengikutiku. Ngeri tahu, Rel!"
"Cari pacar beneran saja. Kalo perlu suami sekalian!" Darel menarik sudut bibirnya memamerkan deretan gigi putih bersihnya sambil menaik turunkan kedua alis yang bak ulat bulu berjajar.
"Kamu pikir cari pacar beneran gampang apa? Jangan asal ngomong!" sungutku jengkel.
"Udah jangan manyun gitu. Santai dikit, lah!" Darel pun memijat pundakku pelan. Pijatannya lumayan enak dan menghilangkan ketegangan di bahuku.
"Oh ya, bahan berita untuk besok pagi udah siap?"
"Udah tuh, pokoknya aman lah."
Darel menghentikan pijatannya dan mengambil sesuatu dari bawah tasku. Sebuah kartu undangan pernikahan berwarna biru keemasan.
"Kamu dapat undangan juga dari Keysa?" Darel membolak balik undangan di tangannya. "Mau datang?"
"Entahlah. Kita datang berdua saja kali, ya? Ah, tapi kurang keren."
"Maksud kamu, aku yang kurang keren atau kamu yang kelewat hopeless?" Sindir Darel dengan seringai kecil menghiasi sudut bibirnya. Paling senang dia itu menggodaku.
"Ish ... aku tidak se-derperate itu kali dikhianati mereka!" Lalu Darel dengan senangnya tertawa terbahak-bahak.
Menjengkelkan!
*****
Nyees banget kan jadi Lana.
Ada yang punya pengalaman serupa?
#AuthorNote :
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's ORIGINAL, SAFE, FORM, PLEASE GO TO ::
https://www.wattpad.com/918787541-bright-as-the-sun
Bright As The Sun, ayu_anggun©2020-All Right Reserved
10 Agustus 2020, 08.23 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top