1. Penguntit

Kenapa dia lagi sih!

Sudah tujuh kali dalam seminggu ini dia menungguku di studio penyiaran berita. Selalu dengan kehebohan kado-kado yang dibawanya. Membuatku sedikit risih dengan perhatiannya yang berlebihan. Seperti saat ini, sebuah buket mawar pink besar yang menjadi perhatian seluruh kru yang ada di studio.

Bukannya aku tidak pernah menolak, aku juga sudah memberinya peringatan untuk berhenti datang ke kantorku setiap hari. Bahkan aku nyaris menyerah mengembalikan semua kado pemberiannya yang terlalu mewah untukku.

Namun dia seperti tidak mendengar apapun yang kukatakan. Selalu datang dengan senyum dan wajah baru tanpa ada raut kecewa sedikit pun walaupun aku sudah menolaknya ribuan kali.

Hari ini, aku mulai jenuh. Usai siaran berita sore, aku mengendap keluar studio dengan bantuan salah satu kru. Kemudian keluar gedung melalui pintu darurat. Berusaha tak terlihat olehnya.

Kupikir menghindarinya sementara waktu bisa mengubah pikirannya. Akan tetapi nyatanya dia seakan punya alat pelacak pada tubuhku. Dia kembali menemukanku.

Aku mempercepat langkahku. Membaur bersama ramainya para pejalan kaki. Kedai kopi tujuanku hanya berjarak dua meter di depan. Setidaknya aku bisa meminta bantuan Reva nanti.

Jarak kedai kopi tinggal satu meter. Namun kakiku nyaris tidak sanggup lagi melangkah. Sepatu bertumit tinggi bukan padanan yang tepat untuk adegan jalan cepat di trotoar macam begini. Terlebih karena harus menghindari si penguntit itu, aku jadi lupa mengganti sepatu bertumit tinggi ini dengan flatshoes kesayanganku.

Sialnya lagi, kakiku tidak menapak dengan tepat di atas undakan pintu masuk kedai kopi. Aku nyaris jatuh kalau tidak berpegangan erat pada kenop pintu. Sayangnya, kakiku terkilir. Namun tidak ada waktu untuk meringis kesakitan. Dia semakin mendekat. Aku harus segera minta tolong pada Reva.

"Rev, bantu aku! Dia ngikutin aku lagi!" Aku segera menghampiri Reva yang tengah berkutat dengan cangkir kopi dan milk jug di balik meja bar sambil memelas padanya.

"Dia nggak akan percaya kalau aku pura-pura jadi pacarmu!" Reva hanya angkat tangan, menyerah tidak punya solusi. "Lagipula, dia kan pelanggan setia di sini."

Aku mendesah kecewa. Kembali menengok ke belakang dan melihat dia sudah ada di pelataran parkir kedai. Aku harus berpikir cepat.

Kuperhatikan sekeliling dan menemukan hanya ada seorang pria berpakaian serba hitam yang tengah asik dengan ponselnya di sudut ruangan. Tidak ada pilihan lain. Mungkin pria ini satu-satunya solusi yang kumiliki saat ini. Wajahnya juga lumayan tampan. Tampilan sempurna untuk diberikan peran pacar bohongan.

Apalagi kedai sedang sepi pengunjung. Hanya ada empat orang wanita sedang berbincang santai di samping jendela dekat pintu masuk. Sudah pasti hanya dia pilihan terakhirku sebagai pemeran pembantu.

Tidak pakai pikir panjang lagi. Aku melangkah cepat ke mejanya dan duduk tepat di hadapan pria itu. Dia hanya menatapku heran. Namun aku langsung menjelaskan maksudku.

"Kumohon bantu aku sekali ini. Tolong jangan bicara sepatah katapun, oke?" Kubuang gengsi ala selebritiku jauh-jauh, berharap dia bisa bekerjasama dengan baik. Akan tetapi, sebelum sempat dia berpikir dan menjawab, seseorang memanggil namaku. Jantungku seperti sedang melompat di tempatnya. Sekaget itu aku mendengar suaranya.

"Lana!" Aku berbalik melihat si pemilik suara sambil meneguk ludah dengan kasar. Keberadaannya selalu membuatku tak nyaman.

"Oh, hai Kris!" Aku pura-pura tersenyum menyapanya, meski jantungku mulai jumpalitan di dalam dada.

"Aku mencarimu dari tadi di studio." Krisna berjalan mendekat hingga akhirnya berdiri tepat di depanku.

"Benarkah?" Kupasang wajah terkejut sebegitu rupa. Akting kecil ini bukan masalah buatku yang terbiasa berdiri di hadapan kamera. "Maaf, tadi aku buru-buru pulang. Aku ada janji dengan pacarku."

Kuberikan wajah menyesal padanya sambil melirik pria yang duduk semeja denganku. Untungnya dia benar-benar tidak berkata sepatah kata pun. Hanya memperhatikan interaksi di antara kami.

"Ada perlu apa kamu mencariku?"

"Ah, itu ... tadinya aku mau mengajakmu makan malam."

"Duh, maaf sekali ya. Aku sedang kencan dengan pacarku." Kali ini kupasang raut wajah bak orang dimabuk asmara sambil menatap lekat pria di seberang meja. Menunjukkan bahwa aku sedang menikmati kencan yang selalu kutunggu-tunggu.

Apakah sandiwaraku berhasil? Aku melirik perlahan menatap wajah Krisna yang hanya bisa berdiri mematung di sampingku sambil menatap kami bergantian.

Kali ini wajah Krisna tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Tatapannya lurus tertuju pada pria yang duduk di hadapanku. Keduanya saling tatap. Membuatku ketar-ketir sendiri.

Semoga pria sinis berambut semi cepak di hadapanku tidak membongkar sandiwara yang kubuat ini. Aku benar-benar ingin menyingkirkan si penguntit yang meresahkan hari-hariku. Itu saja.

Rencanaku ini belum sepenuhnya berhasil, tetapi tidak bisa dibilang gagal juga. Meskipun cukup lama Krisna menanyakan kesediaanku untuk memenuhi undangan makan malamnya. Aku juga tidak bisa menjanjikan akan memenuhi permintaannya dan akhirnya dia memilih pergi dengan dalih lain waktu akan mengajakku lagi.

Akhirnya selesai, aku mengembuskan napas panjang. Berat dan lelah. Aku harus berterima kasih pada si pria sinis ini. Aku mengangkat pandanganku, tanpa sengaja tatapan kami bertemu.

Untuk beberapa detik hening. Aku sempat terjerumus tatapannya yang dalam sebelum akhirnya aku berhasil menguasai diri.

"Terima kasih sudah membantuku. Kutraktir kopi boleh?" Aku mencoba bersikap ramah meskipun wajahnya tidak berubah sedikit pun. Masih sinis dengan mata elangnya.

"Baiklah. Kuanggap diammu setuju!" Dengan sedikit keki, akhirnya aku memutuskan sepihak karena pria itu tidak kunjung menjawab pertanyaanku.

Aku kembali mendesah pelan. Semenit lebih lama di dekatnya bisa-bisa tekanan darahku melonjak naik. Aku segera bangkit berdiri sambil meringis. Rasa panas dan nyeri seperti ditarik mulai merayap memenuhi pergelangan kakiku saat menapak. Kuabaikan rasa ngilu yang menjalar dan dengan sedikit terseok kupaksakan melangkah perlahan menghampiri Reva yang masih asik menghias kopinya.

Aku duduk pada kursi bar di depan meja kerja Reva. Memintanya membuatkan vanilla latte kesukaanku juga satu kopi hitam untuk si pria berbaju hitam.

Aku lupa menanyakan kopi apa yang biasa diminumnya. Daripada tidak mendapatkan jawaban seperti tadi lebih baik kupilih sendiri saja. Melihat pakaiannya yang serba hitam itu membuatku membayangkan americano. Kalau dia mau meminumnya bagus, tetapi tidak diminum pun tidak apa-apa. Toh, itu hanya salah satu ungkapan terima kasihku.

Sedikit penasaran. Mataku mengikuti Stevia, pramusaji yang mengantarkan kopi pada si pria sinis. Sebenarnya hanya ingin memastikan dia menerima niat baikku. Namun yang terjadi aku kembali terjebak tatapan tajamnya. Refleks kubuang pandanganku ke pintu masuk kedai.

Tidak ingin dia menilaiku macam-macam karena memandanginya diam-diam. Akan tetapi lagi-lagi tubuhku tidak berpihak pada apa yang dipikirkan otakku. Aku kembali mencuri pandang saat dia tengah menyeruput kopi yang kuberikan.

Entah kenapa hal itu mengukir senyum tipis di bibirku. Tidak lama. Hanya sekilas sebelum denyut nyeri di kakiku mengambil alih.

Argh ... sepertinya sedikit bengkak. Kubungkukkan badan untuk mengusap perlahan bagian yang memerah di bawah mata kaki. Berharap sakitnya berkurang tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semakin nyeri rasanya.

Baru saja kuangkat kembali badanku untuk minta bantuan Reva, saat tubuh tinggi berbalut kaos polos hitam berlapis jaket bomber senada menghiasi pandanganku.

Aku mendongak. Sedikit terkejut saat menemukan wajah si pria sinis di hadapanku. Entah dia bisu atau pelit bicara, kali ini pun tidak ada satu patah kata yang keluar dari mulutnya. Pria itu hanya tiba-tiba berjongkok di hadapanku.

Mulutku nyaris menganga saat dia melepaskan sepatu bertumit tinggi yang sedari tadi menyiksaku. Memeriksa kakiku yang terkilir. Hingga untuk pertama kalinya aku mendengar suara baritonnya yang dalam saat dia meminta beberapa es batu pada Reva.

Aku terpana. Rongga dadaku seakan berisi berbagai kembang api yang menyala. Jantungku bahkan mencoba melompat keluar.

Masa iya aku jatuh cinta???

Pada pandangan pertama???

Tak mungkin!

****

#AuthorNote :
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's ORIGINAL, SAFE, FORM, PLEASE GO TO ::
https://www.wattpad.com/918787541-bright-as-the-sun

Bright As The Sun, ayu_anggun©2020-All Right Reserved
22 Juli 2020, 02.22 WIB

Si kopi americano, uhuy...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top