Bab 5 - Pilar Zheng

Hai ... aku kembali lagi dengan Update Bab Baru.

Cerita ini akan update setiap 2 hari sekali, jadi stay tune dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian, di setiap Bab-nya ...!

With Love, Anisya Dhanoewinoto.

***************************************************************************************

Yuxi melemparkan tablet yang diberikan oleh Jiang Lin.

Hingga pria kurus itu tersentak lalu mundur beberapa langkah dari hadapan Yuxi.

"Minghao bodoh!" Umpatan segera keluar dari mulutnya. "Bagaimana mungkin seorang pemilik agensi besar dan aktor terkenal sepertinya tak tahu cara mengajukan proposal dengan benar?" Yuxi tanpa sadar ikut memuji sosok Minghao dalam ucapannya.

Ekspresi wajahnya yang penuh emosi tak bisa dia sembunyikan.

Kepala Yuxi berdenyut kuat dan hatinya penuh dengan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Giginya bahkan mengatup kuat dengan kepalan tangan yang membuat urat-urat di lengannya terlihat jelas.

Jiang Lin baru akan membuka mulutnya saat Yuxi sudah lebih dulu berseru.

"Tolak semua proposal Minghao!" perintahnya.

"S-Semuanya ... Tuan Muda?" tanya Jiang Lin balik.

Yuxi menoleh dan melemparkan tatapan tajam. "Semua!" tegasnya kembali. "Tolak semua proposal yang dia ajukan!"

Yuxi berniat untuk keluar dari ruangan besar yang terasa pengap itu. Dia butuh udara segar dan pemandangan selain wajah Jiang Lin untuk mengatasi emosi yang hampir tak terkendali.

Dia khawatir, kemarahan yang menggunung di hatinya akan mempengaruhi tindakan dan emosinya untuk beberapa hari ke depan. Sementara ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dengan kepala dingin, juga penuh kehati-hatian.

Tapi langkah tegasnya yang beradu di atas lantai marmer ruangan tersebut terhenti, tepat ketika Tuan Bai Jiu, sekretaris pribadi Kakeknya muncul secara tiba-tiba.

"Maaf mengganggu waktu istirahat Anda, Tuan Muda," kata Tuan Bai, memberi salam pada Yuxi.

"Apa Kakek memanggilku?" tebaknya.

"Tidak." Tuan Bai Jiu mengulurkan sebuah undangan resmi dengan cap Kementerian di atasnya. "Tuan Besar ingin Tuan Muda menghadiri acara perjamuan makan malam yang dihadiri oleh Menteri Perumahan dan Pembangunan Perkotaan-Pedesaan malam ini juga!" ucap Tuan Bai.

Terkejut mendapat perintah dari sang Kakek, Yuxi buru-buru membuka amplop undangan dan membaca dengan seksama.

"Jadi Kakek memintaku menemaninya datang ke acara perjamuan ini ...," gumam Yuxi.

"Tidak Tuan Muda." Tuan Fang kembali mengoreksi praduga Yuxi. "Tuan Besar sedang ada urusan yang lebih penting dan baru saja pergi dari Kediaman Zheng. Undangan ini datang secara tiba-tiba, jadi Tuan Besar meminta agar Tuan Muda datang untuk mewakilinya." Tuan Bai kembali menjelaskan. "Lagipula ... Tuan Muda tengah mengurus proyek Zheng Holdings Shanghai yang terhubung dengan Kementerian tersebut," jelasnya.

Meski agak ragu karena tak mempersiapkan apapun untuk acara perjamuan kali ini, tapi Yuxi tak mau menolak perintah Renzhong kembali.

Dia tak mau menyulut api amarah Renzhong yang masih menyala setelah pembicaraan terakhir mereka. Juga berpikir, bahwa hasil dari kedatangannya dalam acara kali ini bisa menjadi jembatan yang mampu membuka komunikasi baik antara dirinya dengan Sang Kakek nantinya.

"Tuan Muda?" Tuan Bai mengembalikan kesadaran Yuxi.

"Oh! Iya." Yuxi mengangguk. "Aku akan bersiap dulu," ucapnya.

Sebelum kemudian berbalik dan memberi kode agar Jiang Lin mengikutinya.

Seperti adegan Cinderella yang harus mengejar waktu mendatangi pesta besar. Yuxi juga sudah memulai perjalanannya dengan hanya melakukan persiapan singkat selama beberapa menit saja.

Rolls Royce berwarna hitam legam miliknya meluncur dan membelah jalanan kota Nanjing yang dipenuhi lampion terang juga indah di kedua sisinya.

Sementara Yuxi fokus pada tablet yang berisi materi pembahasan acara malam ini, Jiang Lin mulai berani membuka mulut lagi setelah terkena semburan api dari Yuxi sebelumnya.

"Tuan Muda," panggil Jiang Lin.

Tak menjawab, Yuxi hanya melirik dan kembali fokus pada layar tabletnya.

"Tadi saat Tuan Muda tengah bersiap. Saya sempat mencari tahu ke mana Tuan Besar pergi seperti yang Anda perintahkan," lapor Jiang Lin.

"Lalu?" Yuxi masih belum beralih.

"Beliau akan menuju Shanghai!"

Jawaban itu mengubah atensi Yuxi pada asisten pribadinya. Dia meletakkan tablet dan mulai memasang wajah menuntut agar Jiang Lin melanjutkan laporannya.

"Sepertinya Tuan Besar akan bertemu dengan Tuan Minghao di Shanghai malam ini atau besok, Tuan Muda!" ucap Jiang Lin. "Ini masuk akal ... mengingat Tuan Besar pergi tanpa mengatakan apapun pada Tuan Muda," lanjutnya dengan nada ringan.

Tapi Yuxi menanggapi hal ini secara serius.

"Kenapa baru mengatakannya sekarang?" Suara Yuxi kembali meninggi.

Jiang Lin sampai terkesiap dan hampir tak bisa mengendalikan kemudinya. Beruntung dia sudah terlatih dengan perubahan tiba-tiba perangai buruk boss-nya itu.

"Maafkan saya, Tuan!" ucap Jiang Lin.

Yuxi ingin putar balik saja dan segera mengejar sang Kakek ke Shanghai, tapi bangunan salah satu Hotel milik Zheng Holdings yang menjulang tinggi menyentuh langit dan awan di atasnya sudah terlihat di depan mata.

Apalagi Yuxi melihat kalau rombongan Menteri juga baru masuk ke dalam area lobby hotel, yang berdekatan dengan waktunya tiba di tempat yang sama.

"Kita bahas nanti," ucap Yuxi yang menegakkan posisi duduknya.

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam saat perjamuan makan malam di Zheng Pearl Nanjing Hotel akhirnya selesai, dengan Yuxi yang mendapat pujian dari sang Menteri atas proyek Zheng Holdings Shanghai saat ini.

Satu hal yang bisa diceritakan Yuxi pada Kakeknya saat mereka bertemu nanti.

"Tuan Muda, Tuan Bai Jiu saat ini menunggu di Lounge VIP lantai dasar," lapor Jiang Lin setelah mematikan ponselnya.

Yuxi melirik arlojinya dan menarik napas panjang.

"Apa kita akan kembali ke Kediaman Keluarga Zheng setelah ini, Tuan?" tanya Jiang Lin kembali.

"Di mana Kakek sekarang?" tanya Yuxi balik.

"Tidak ada di Kediaman Zheng," jawab Jiang Lin.

"Bertemu Tuan Bai dulu, baru kita pulang ke Shanghai!" perintah Yuxi.

Sambil bergerak menuju lift yang mengantar mereka turun dari lantai 35, tempat Ballroom Hotel berada. Jiang Lin yang berjalan di belakang Yuxi juga menghubungi seseorang untuk menyiapkan jet pribadi Yuxi satu jam lagi.

Tapi pemandangan mengejutkan tersaji, begitu pintu lift yang ditunggu terbuka seluruhnya.

"T-Tuan Muda ...!" Jiang Lin mendekat pada Yuxi.

Tapi Yuxi langsung masuk dengan acuh ke dalam lift tersebut.

Sementara Minghao dan Tidi yang masih berangkulan di dalam lift menoleh.

Yuxi mengenali pasangan gila ini. Satu pria adalah adik sepupunya yang tengil dan playboy, sementara wanitanya adalah mantan calon Brand Ambassador Zao Hong yang diusir Yuxi karena punya latar belakang sebagai wanita penggoda.

"Minghao-ge, terima kasih. Yang tadi sungguh luar biasa." Tidi berkata sambil menggelayut manja di lengan Minghao.

Minghao melepas rangkulan Tidi. Dia masih diam.

Tapi gadis itu terus bersikap genit dan berusaha menggoda Minghao kembali.

"Aku punya tawaran yang bagus, Minghao-ge. Mungkin nanti kita bisa membahasnya secara pribadi," tanya gadis itu dengan suara centilnya.

Yang ditanggapi senyuman oleh Minghao. "Tentu saja, Tidi. Aku selalu punya waktu untukmu."

Tidi pun memasang wajah cemberut dan bersiap untuk merajuk.

"Apa kita harus berpisah sekarang? Kau tak mau mengantarku pulang?" tanyanya kemudian.

"Maaf, Tidi. Aku harus segera kembali ke Shanghai. Kusediakan waktu untukmu, jika minggu depan kau jadi ke Shanghai," jawab Minghao singkat.

Tidi belum sempat menjawab lagi saat pintu lift terbuka di lantai tiga, dan gadis itu pun turun dengan terpaksa.

Hingga pintu lift kembali tertutup, Minghao yang masih menjaga jarak dengan Yuxi mulai bergerak mendekati Kakak Sepupunya itu.

"Lama tak berjumpa, Yuxi-ge," sapa Minghao.

Yang disapa kini hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.

"Sudah empat tahun," jawab Yuxi singkat.

"Kau masih menghitung, Yuxi-ge." Minghao tersenyum mendengar jawaban Kakaknya.

Sementara Yuxi kembali hanya diam.

"Aku pulang tiap perayaan Linyi, tapi kau tak ada." Minghao kembali memulai obrolan.

"Itu karena kau selalu pulang telat."

Meski terdengar enggan, tapi Yuxi masih menanggapi setiap ucapan Minghao.

"Ah, itu karena jadwalku padat."

Jawaban Minghao membuat Yuxi menunjukkan senyum di sudut bibirnya, sebelum kembali menyindir adik sepupunya itu.

"Padat dengan wanita?" Ucapannya terdengar sangat menusuk.

Dan tak bisa dibalas oleh Minghao yang hanya meringis.

"Itu tadi hanya teman, Yuxi-ge," jelas Minghao.

Tapi Yuxi kembali enggan untuk menanggapi.

Suasana agak sunyi selama beberapa saat, sampai Minghao kembali membuka suara.

"Yuxi-ge, apa kau mau minum bersamaku? Hotel kita ini punya bar yang bagus."

"Tak perlu basa-basi!" tukas Yuxi yang menangkap bayangan sepupunya lewat pintu lift yang tertutup. "Kau mungkin punya jutaan cara untuk menarik perhatian banyak orang, Hao. Tapi tidak semua orang tertarik untuk menatap ke arahmu!"

Minghao mengerutkan dahi, tetapi tetap menjaga ketenangannya.

"Setidaknya aku hidup sesuai pilihan, bukan terjebak dalam aturan yang dibuat orang lain."

Yuxi tertawa kecil dan sinis.

"Pilihan seperti apa? Mendapat ketenaran melalui banyak skandal, atau membangunnya di atas kehancuran orang lain? Jangan bercanda, Hao! Itu bukan pilihan. Sama seperti tontonan kemesraan yang baru saja aku lihat."

Yuxi kini berbalik dan menatap tajam ke arah Minghao.

Minghao mencoba menyembunyikan keterkejutan, tetapi rahangnya mengeras.

"Kau tak tahu apa yang sebenarnya aku alami."

"Aku tak perlu tahu. Jalani saja hidupmu sendiri, dan jangan mengusik hidup orang lain dengan kekacauanmu itu."

Mereka kembali diam sampai angka di layar lift berubah perlahan. Sebelum Minghao dapat merespons, lift berhenti di lantai yang dituju Yuxi. Pintu terbuka dengan bunyi lembut.

Yuxi melangkah keluar tanpa menoleh, tetapi sempat mengucapkan perkataan terakhir.

"Dunia ini tak selalu menjadi panggung untukmu, Hao. Sesekali, kau harus belajar untuk menjadi penonton." Yuxi keluar dan meninggalkan Minghao dalam kebungkaman.

Keberadaan Renzhong saat ini, membuat Yuxi berubah haluan.

Setelah pertemuan singkatnya dengan Tuan Bai, Yuxi segera menuju Bandara untuk kembali ke kota Shanghai malam itu juga.

"Tuan Muda, apa akan terjadi hal buruk, jika Tuan Besar bertemu dengan Tuan Minghao?"

Jiang Lin mulai penasaran setelah melihat semua adegan debat di dalam lift yang membuat napasnya terasa hampir hilang.

Berada di antara dua pilar keluarga Zheng dan melihat langsung ketegangan di antara mereka, jelas bukan hal yang diinginkan oleh siapa pun.

"Kondisi Kakek sedang tidak baik. Jadi aku khawatir kalau Kakek harus berhadapan dengan adikku yang tengil itu!" jawab Yuxi.

Dia melonggarkan kerah kemeja yang terasa menyesakkan. Lalu menyandarkan punggungnya sebelum membuka kaca jendela mobil, agar udara sejuk musim semi yang hampir berakhir itu bisa dia hirup dengan leluasa.

Pemandangan jalanan malam kota Nanjing yang masih ramai dengan beberapa turis terlihat berfoto di antara bangunan tua sisa Kebesaran Dinasti Tiongkok mengisi kedua mata Yuxi yang tak lagi dihalangi kacamata.

Dalam suasana yang hening dan mendukung untuk memejamkan mata, Yuxi mendengar suara helaan napas Jiang Lin yang cukup mengganggu.

"Bicara saja!" tukas Yuxi.

"Maaf Tuan Muda." Jiang Lin mengutas senyum bodohnya melalui spion mobil.

"Saya hanya berpikir kalau pepatah soal darah lebih kental dari air itu benar!" ucap Jiang Lin kembali, "Sebab baru pertama kali, saya melihat Tuan Muda menentang keinginan Tuan Besar sampai seperti ini. Persis seperti yang dilakukan oleh Tuan Minghao!"

Mendengar ucapan Jiang Lin, Yuxi mengerutkan keningnya. Ekspresi wajah pria itu juga berubah muram, saat matanya kembali terbuka.

"Jiang Lin ..." Suara Yuxi terdengar agak lirih.

"Saya, Tuan Muda!"

"Apa ... aku sepatuh itu?" tanya Yuxi dengan nada bicara yang aneh.

"Iya, Tuan! Anda sangat patuh dan benar-benar layak disebut sebagai calon pewaris Zheng Global Holdings!"

Bukan kali pertama bagi Yuxi mendengar perkataan dan penilaian seperti ini.

Yuxi memang selalu patuh dan mengikuti aturan keluarga Zheng. Dia juga menjadikan sang Kakek serta keluarganya sebagai poros hidup. Hingga berusaha memenuhi impian Renzhong yang menyiapkannya sebagai Calon Pewaris Zheng Global Holdings.

Demi harapan yang sangat besar itu pula, Yuxi hampir kehilangan seluruh impiannya.

Kecintaannya pada dunia seni dan film, selalu dipandang sebagai penghalang untuknya menjadi Pewaris Zheng Global Holdings yang paling berkuasa di Tiongkok. Hingga Yuxi pun dipaksa untuk terus menahan perasaannya. Termasuk saat dia melihat Minghao bisa menjalani hidup sesuai keinginannya.

Bahkan sekarang, menurutnya Minghao masih bisa berkembang luar biasa, meski tanpa nama Keluarga Zheng sebagai bayang-bayangnya. Disaat Yuxi justru mati-matian memperjuangkan Zou Hong sebagai satu-satunya tempat untuknya membangun impian besar sebagai seorang Yuxi. Bukan sebagai keturunan keluarga Zheng.

"Kalau melihat semua foto kalian berdua yang terpajang di rumah Tuan Besar, seharusnya hubungan Tuan Muda dan Tuan Minghao sangatlah akrab!" Jiang Lin kembali mengutarakan pendapatnya.

"Jangan sok tahu!" tegas Yuxi.

Jiang Lin menggeleng. "Saya hanya menganalisa, Tuan Muda! Sebab saat ini, kalian seperti berdiri dengan tembok china sebagai pembatasnya!" celetuk pria kurus itu.

Sementara Yuxi hanya menarik napas panjang dan menutup jendela mobilnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top