Bab 30 - Can't Stop!

Halo ...!

Maafkan aku karena updatenya mundur.

Melalui bab ini kuumumkan bahwa cerita ini akan berlanjut dan update seperti biasa (kecuali author announce).

Mohon dukungan untuk Zheng Yuxi!

Akan banyak konflik menarik yang akan menanti kalian!

with love,

Anisya Dhanoewinoto.

**********************************************************

Kedua lengan Yuxi lurus bertumpu di pinggiran meja, kepalanya menunduk dengan mata yang menatap kosong pada jajaran piring berisi berbagai bahan makanan.

Sedetik kemudian arah pandangannya berubah, menuju pintu besar tempat Gendhis berada. Ada perasaan cemas dan khawatir yang merayap, meremas dada Yuxi. Dia ingin tinggal di dekat Gendhis, meski tak melakukan apa pun.

Dia juga ingin menarik Gendhis dalam pelukannya. Memberinya ruang seluas mungkin untuk menyandarkan segala kegelisahannya seperti pagi tadi.

Tapi cara Gendhis yang memintanya pergi, terasa menyakitkan sebab Yuxi seolah terusir dari sisi lemah dari gadis yang begitu ingin dia lindungi.

Semua penjaga dipulangkan. Dan hanya mereka yang mengisi kekosongan Mansion saat ini.

Perhatiannya baru teralih, saat suara teko air panas menyala nyaring dan meminta untuk segera dimatikan.

Lengan kemeja yang tergulung sampai siku dan kacamata yang sudah dilepas agar tak berembun, Yuxi mulai sibuk menyiapkan menu yang diinginkan Gendhis pagi tadi. Dimsum.

Dia bahkan sengaja membeli kulit dimsum siap pakai yang paling enak sembari mampir ke sebuah supermarket sepulang dari kantor.

Tangannya telaten mencincang, meracik dan membentuk semua dimsumnya satu persatu dengan ukuran yang lebih kecil dari yang biasa dijual di luar sana. Ingatan soal cara Gendhis memakan satu Jiaozi sekaligus dalam sekali gigitan dan terlihat agak kesulitan mengatasinya, menjadi alasan utama Yuxi mengubah ukurannya.

Sunyi.

Hanya ada suara alat dapur yang saling bergesekan satu sama lain, di Mansion seluas itu.

Posisi Yuxi kini membelakangi kamar Gendhis. Dia harus menjaga Dimsum kukusnya agar matang dengan sempurna, saat dua lengan kecil dirasakan melingkar di pinggangnya tiba-tiba.

Sadar siapa yang kini bersandar di punggungnya, Yuxi perlahan mundur satu langkah dari kompor dengan tangan yang menggenggam erat tangan Gendhis. Menjaga agar gadis itu tak sampai menyentuh panci panas yang masih memuat dimsum kukus buatannya.

“Makanannya hampir siap.” Yuxi bicara lembut sambil menoleh ke samping dan menurunkan arah pandang matanya menggapai Gendhis.

“Aku belum lapar,” jawab Gendhis.
Nyeri.

Bukan soal Gendhis yang menolak masakannya secara halus. Tapi karena Yuxi tahu pikiran gadisnya masih berkecamuk. Serta kehadirannya yang belum cukup untuk menenangkan gadisnya saat ini.

“Mau kubuatkan yang lain?”

Yuxi melonggarkan pelukan gadisnya dan berbalik. Dia merengkuh Gendhis dalam pelukan hangatnya kemudian, dengan arah tatapan yang masih tertuju tepat ke wajah muram Gendhis. Sementara gadisnya menaikkan pandangan, untuk membalas tatapan itu.

“Atau kau mau makan malam di luar?” tanya Yuxi lagi.

Gendhis menggeleng. Dia tersenyum tipis di hadapan Yuxi.

Matanya yang memerah dan sedikit bengkak, sudah memberitahu Yuxi semua hal yang dilalui gadisnya sepanjang setengah hari selama dirinya pergi.

“Apa yang kau butuhkan, Baobei?” tanya Yuxi.

Kembali menggeleng dan membisu. Gendhis menyeruakkan wajahnya ke dada bidang sang pria dan mencari persembunyian di sana. Napas hangatnya bahkan menyapu kulit Yuxi yang terjarak dengan kain kemejanya sendiri. Sementara Gendhis mengaitkan jari jemarinya untuk menguatkan pelukannya pada Yuxi.

Tak lagi bertanya, Yuxi memilih membalas pelukan Gendhis serta membelai lembut punggung sang gadis yang terasa agak bergetar.

Dia juga menunduk dalam, mendaratkan kecupan hangat di puncak kepala Gendhis cukup lama. Dengan harapan kehangatannya mampu sedikit mengurai risau yang menjerat sang gadis sepanjang hari ini.

Merasakan Gendhis yang sepertinya lebih butuh sentuhan ketimbang pertanyaan yang memuakkan. Yuxipun mengangkat tubuh Gendhis untuk memanjat tubuh tegapnya dan mengalungkan lengan di leher Yuxi.

Seperti seekor koala yang memeluk pohon besar. Yuxi tak kesulitan sedikit pun menopang tubuh gadisnya hanya dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya mematikan api, sebelum langkah besarnya membawa Gendhis keluar dari area dapur.

Disaat yang sama, Gendhis juga merelakan dirinya, bahkan menyembunyikan wajahnya ke ceruk leher Yuxi yang mirip gua hangat dengan kulit mengkilat beraroma keringat yang bercampur parfum maskulin khas pria itu.

Yuxi membawanya masuk ke dalam kamar.

Bukan kamar Gendhis. Melainkan kamar pribadinya di Mansion itu.
Perlahan, Yuxi membawa Gendhis menuju kursi besar favoritnya di sudut kamar yang menghadap langsung pada jendela besar yang memuat potret jalanan besar Kota Shanghai dengan banyak lampu kendaraan yang berkilau. Posisi yang mirip seperti ruang kerjanya di Zou Hong maupun Zheng Holdings.

Yuxi mulai duduk. Dengan masih membiarkan Gendhis menetap di posisi yang sama.

Tapi kedua tangan Yuxi kini kembali naik. Menyentuh setiap inci punggung gadisnya dengan sentuhan lembut, hangat serta menenangkan. Juga beberapa tepukan kecil, sembari wajahnya sendiri ikut mencari celah di antara telinga dan pundak kecil gadisnya.

Kini tak hanya Yuxi. Tapi Gendhis bisa merasakan sapuan hangat napas Yuxi di kulitnya.

Mereka terus diam dalam posisi itu selama beberapa waktu.

“Yuxi …” Sampai Gendhis memanggil prianya lebih dulu.

“Aku di sini, Baobei …” Pria itu berbisik halus.

“Jangan pergi,” pintanya.

“Tak akan,” jawab Yuxi lagi.

Yuxi cukup tersentak, saat menyadari pundaknya basah dengan air mata Gendhis dan punggung gadisnya yang bergetar lebih hebat.

“Jangan menjauh …” Suara Gendhis tak lagi tenang.

Dia terisak dan serak. Yuxi bisa meraskan getar bibir mungil sang gadis menyentuh kulit lehernya saat ini.

“Baobei …” Yuxi mengeratkan lagi pelukannya.

“Selalu angkat teleponku,” bisik Gendhis lagi.

“Hmm.” Yuxi menegaskan. “Aku takkan mengabaikanmu.”

Yuxi tahu Gendhis menahan diri. Dan Yuxi benci saat gadisnya melakukan itu.

“Baobei …” Pria itu berbisik lagi. “Kau boleh menangis atau melakukan apapun.” Tanpa melepas pelukannya dari Gendhis, sang pria kembali berkata dengan tegas sekaligus lembut. “Lampiaskan semuanya padaku, Baobei …!”

Seperti sebuah perintah yang ditanamkan Yuxi langsung ke kepala Gendhis.

Gadis itu sempat diam dan tak bereaksi sebelum kemudian menangis keras dengan wajah yang terus tersembunyi di ceruk leher prianya. Kali ini suaranya lebih keras. Lebih lantang dan menggambarkan secara jelas kehancuran Gendhis melalui suara tangisnya di telinga Yuxi.

Tak berhenti disana, Gendhis yang larut dalam emosinya sendiri, tanpa sadar menggigit pundak Yuxi cukup keras. Demi benar-benar melampiaskan semuanya.

Marah, kecewa, sakit hati, bahkan perasaan tak berdaya secara tak langsung dirasakan Yuxi melalui gigitan keras gadisnya.

Namun alih-alih berteriak atau menghindar. Yuxi menahannya dengan mengepal kedua tangannya sekuat mungkin dengan raut wajah yang refleks mengeras. Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan geraman atas tindakan Gendhis saat ini.

Air mata meleleh juga dari kelopak mata Yuxi.

Bukan karena rasa sakit atas gigitan Gendhis. Tapi demi menyadari sebesar dan sedalam apa rasa sakit yang disimpan gadisnya saat ini.

“Aku mau bertemu Kama, Yuxi …,” ucap Gendhis. “Aku harus melihat keadaan Kama!”

Yuxi mengangguk.

Dia melonggarkan pelukan Gendhis dan matanya melebar menangkap wajah Gendhis yang jauh lebih kacau dari bayangannya barusan. Mata yang memerah dan bengkak, wajah yang semakin pucat dengan bibir bawahnya yang sedikit berdarah, membuat hati Yuxi tak karuan remuk dan jantungnya serasa lepas dari tubuh.

Tangan Yuxi merangkak naik demi menangkup wajah Gendhis dan mengusap jejak air mata yang tersisa di sana. Pria itupun menangkap tatapan mata Gendhis dengan kelembutan dirinya, hingga turun menuju bibir untuk menghapus bekas luka serta darah Gendhis di sana.

Beragam perasaan berkecamuk dan meronta lagi dalam diri Yuxi.

Rasa darah di bibir Gendhis terasa lebih manis dari madu saat cumbuan mereka kembali bertemu.

Dengan belaian tangan Yuxi yang tak berhenti bergerak, meraba dan memberikan belaian halus dengan getar kasih mengiringi bibirnya yang semakin dalam menyesap luka di ranum indah Gendhis saat ini. Matanya terpejam, mengecap setiap sisi ranum gadisnya yang terbalut rasa manis nan memabukkan.

Instingnya membimbing Gendhis untuk masuk lebih dalam bersamanya.

Tak hanya menghapus luka. Yuxi seolah memastikan kecupan dan pagutannya mengalun lembut, dan menyentuh perasaan Gendhis juga memberikan ketenangan.

Dorongan kuat itu kembali datang.

Dan tak mampu ditahan.

Kesunyian di sekitar mereka yang seharusnya menenangkan, justru terasa seperti kekacauan yang harus diredam. Gerakan lembut Yuxi berubah menjadi lebih menuntut untuk dipuaskan. Hingga tangannya bergerak turun dan kembali merangkak di antara punggung Gendhis yang terdorong semakin dekat.

Sentuhan pria itu seperti pengembaraan tanpa batas di hamparan ranum Gendhis yang terasa makin sesak dan memabukkan. Semakin menghancurkan logika dan nalar yang ingin melesak menggantikan hasrat yang mulai menguasai keduanya terlampau dalam.

Yuxi tak tahu cara menghentikannya.
Pandangannya gelap dan hanya ada Gendhis di sana.

Kekacauan yang dirasakan Gendhis, tapi juga dirasakan olehnya tadi, mendapatkan ketenangannya di sini.

Bahkan saat Gendhis mendorong lembut dada Yuxi dan menarik napas panjang, pria itu masih belum mau menambah jarak. Tubuhnya mengisyaratkan keinginan yang sangat dalam pada Gendhis. Hanya pada Gendhis.

“Aku tak bisa berhenti, Gendhis …” Suara Yuxi semakin rendah dan serak. “Kumohon …."

Sedetik kemudian, Yuxi kembali menyentuh Gendhis dan menandai setiap bagian dari ranum sang gadis sebagai miliknya. Setiap inci, setiap jengkal, bahkan setiap titiknya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top