Bab 29 - Not Fine!

Sudah satu jam sejak Yuxi meninggalkan Mansion untuk urusan kerja.

Dan selama satu jam itu pula, Gendhis sudah menyusun sebuah surat kuasa yang dipersiapkan untuk dikirimkan pada firma hukum terbaik di wilayah Shanghai. Bahkan menghubungi Eyangnya di Indonesia dan menyelam lebih jauh ke dalam berbagai alamat website demi menemukan firma hukum yang paling cocok untuk membantu sahabatnya, Kama.

[Kama diminta keluar dari asrama.]

Pesan yang dikirimkan oleh Lusi, salah satu teman asrama mereka dari Malaysia membuat Gendhis makin kalang kabut. Sebab setelah tahu situasinya, Kama sama sekali belum menghubungi dirinya dan sulit untuk dijangkau oleh Gendhis.

Sampai gadis itu berdecak kesal dan terus mendial nomor Kama menggunakan ponselnya, sementara tangan lainnya berusaha terhubung dengan Eyang.

"Pengacara untuk warga negara asing di China?" tanya Eyang Dhanoe yang dihubungi Gendhis via zoom.

"Iya, Eyang." Gendhis menjawab singkat.

Semua permasalahan yang menimpa Kama sudah disampaikan pada sang eyang. Dengan penuh ketenangan agar Eyang Dhanoe yang sudah berusia 80 tahun itu tak ikut panik dengan situasi yang dihadapi oleh Gendhis saat ini.

"Kenapa ndak menghubungi pengacara keluarga saja, Gendhis?" sindir Eyang.

"Eyang ..." Suara Gendhis berubah manja. "Seperti ndak ngerti saja gimana Bapak sama Ibu, to?" jawab Gendhis sembari tersenyum lebar di depan layar tabletnya.

Eyang Dhanoe membalasnya dengan tawa kecil dan gelengan kepala.

"Yowes, yowes ... nanti Eyang hubungi dulu Om Djatmiko buat menghubungkan kamu sama kenalan dia di Shanghai. Seharusnya dia punya koneksi di sana," ucap eyangnya kemudian.

Sedikit merasa lega, Gendhis kembali mampu memamerkan senyumnya dan mengangguk.

"Tapi kalau bisa, ndak usah cerita sama Ibu dan Bapak ya, Yang!" pinta Gendhis. "Aku ndak mau mereka kawatir. Nanti aku malah disuruh pulang paksa! Haduh ... ribet!" keluh Gendhis.

"Hahaha ...!" Eyang Dhanoe kembali tertawa. "Iya! Sing penting kamu di sana ngati-ati, Nduk! Kalau mau melangkah, selalu ingat dengan keluargamu juga di sini. Jangan pakai emosi semata!" ingat Eyang Dhanoe pada Gendhis.

Membuat gadis itu terkesiap sekaligus tertampar dalam diam.

"Iya, Yang. Pasti akan selalu diingat pesannya."

Obrolan mereka kemudian berakhir dan beberapa menit kemudian, Om Djatmiko yang merupakan sahabat Eyangnya sekaligus pengacara pribadi dari Eyang Dhanoe mengirimkan pesan dengan dua nomor pengacara kenalannya di wilayah Shanghai.

Yang entah kebetulan atau takdir, salah satunya kini tengah dibuka profilnya oleh Gendhis melalui sebuah alamat website di internet.

Gendhis melirik ke arah penjaga yang terus bersiaga di dekat lift dan mulai bergeser untuk masuk ke dalam kamar. Dia mungkin bisa mengelabuhi penjaga itu dengan bicara menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan Eyang.

Tapi untuk bicara dengan pengacara ini, Gendhis harus memastikan bahwa tidak ada yang mengetahui apa pun pembahasan mereka.

Menggunakan ponsel yang diberikan oleh Yuxi, Gendhis menghubungi pengacara itu dan mulai melakukan konsultasi hukum selama satu jam. Tangannya juga sibuk mencatat setiap poin yang disampaikan sang pengacara dalam sesi konsultasi tersebut.

Mereka melakukan janji temu untuk membahas masalah lebih dalam, dengan waktu yang akan ditentukan oleh Gendhis lebih dulu.

Saat obrolan mereka berakhir, Gendhis membaca ulang semua poin yang secara kasar disampaikan oleh sang pengacara dan mengambil potret catatannya untuk dikirimkan pada Kama. Meski sahabatnya belum bisa dihubungi.

Tapi atensi Gendhis berubah, saat layar ponselnya menunjukkan nama Kama yang melakukan panggilan padanya.

"Ya ampun, Kam! Kamu ke mana aja! Aku nggoleki awakmu kawit mau, Kam!" seru Gendhis sambil meninggikan nada bicaranya kepada Kama.

Tapi yang dimarahi justru tertawa.

"Santai dong, Ndhis! Aku barusan dari toilet. Mencret aku!" ucap Kama terdengar tanpa beban.

Gendhis diam. Dia merasa sedikit batu besar yang menimpa dada dan punggungnya lepas saat suara Kama bisa didengar langsung olehnya. Tarikan napasnya yang panjang, tapi cukup berat mungkin terdengar juga oleh Kama sekarang.

"Asmamu nggak kambuh, kan?" tebak Kama.

Gendhis menggeleng. Tapi air matanya meleleh mendengar pertanyaan Kama.

"Kamu di mana?" tanya Gendhis kemudian.

"Di asrama," jawab Kama.

"Di mana?" ulang Gendhis.

"Ndhis, aku--"

"Aku bakal bantuin kamu, Kam!" ucap Gendhis memotong perkataan Kama.

"Maksudmu?" tanya Kama balik.

"Aku ngerti kondisimu saiki, Kam. Aku wes moco kabeh berita sing kesebar. Aku juga wes ngerti awakmu nggak di asrama saiki, to?" ucap Gendhis dengan getar suara yang begitu kentara.

"Aku nggak papa, Ndhis." Kama menegaskan.

Meski suara Kama terdengar cukup tenang, Gendhis yakin sahabatnya juga menahan banyak hal yang hanya bisa dia lihat langsung saat mereka bertemu.

"Kenapa nggak bilang kalau kamu butuh bantuan, Kam? Aku isih dadi sahabatmu, to?" desak Gendhis.

"Ndhis, sumpah aku nggak papa!" ucap Kama. "Iya, aku memang diusir dari asrama. Tapi ada temanku yang mau menampungku sekarang jadi aku nggak terlantar!" jelas Kama. "Dan soal berita yang menyebar itu, kamu juga nggak usah khawatir."

"Mana bisa!" seru Gendhis.

"Kamu tahu aku, Ndhis! Aku bisa nahan semuanya. Lagian, berita begitu akan memudar seiring waktu, kok!" kata Kama.

"Nggak bisa! Ini udah keterlaluan!" tukas Gendhis. "Kamu difitnah! Disakiti dan kamu juga nggak dikasih kesempatan untuk membela diri. Aku ..." Gendhis menarik panjang napasnya dan kembali berkata. "Aku bakal siapin pengacara buat kamu! Aku bakal belain kamu dan bantuin kamu sampai akhir!"

Ketegasan dan tekad Gendhis menciptakan suasana hening di antara mereka berdua.

Gendhis yang tak kunjung mendengar respon Kama, memeriksa ponselnya dan memastikan bahwa mereka masih terhubung sekarang.

"Kam? Kamu isih ning kono, to?" tanya Gendhis.

"Gendhis rungokno aku, yo!" Kama akhirnya bersuara. "Aku paham kecemasanmu buat aku. Dan aku suwun tenan buat semuanya. Tapi aku bisa hadapi ini dengan caraku," ucap Kama. "Kalau kamu beneran mau bantu aku ... kasih aku doa aja, biar masalahnya cepat selesai. Bisa, to?" pinta Kama.

Tangis Gendhis akhirnya pecah.

Dia terisak kencang dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Apa aku nggak berguna nggo awakmu, Kam? Sampai kamu nggak mau terima bantuanku?" ujar Gendhis.

"Bukan gitu, Ndhis!" elak Kama.

"Terus apa?" tanya Gendhis balik. "Dari dulu selalu kamu yang tolongin aku, lindungi aku, bahkan jagain aku." Gendhis kembali terisak. "Kamu juga yang selalu ada buat aku!" Suaranya mulai serak, mengingat semua kenangan mereka selama ini. "Kamu juga yang bilang, kalau semua itu gunanya seorang teman! Sahabat!" Gadis itu menekan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

Sementara Kama tetap diam.

"Tapi kenapa hanya kamu?" Gendhis mengusap kasar air matanya. "Kenapa kamu terus yang harus ngelindungin aku? Padahal, aku juga bisa melindungi kamu, Kam! Aku mampu!"

"Aku minta maaf, Ndhis ...," balas Kama.

Gendhis tahu kalau Kama juga menangis di sana.

"Terima bantuanku. Baru kita bermaafan!" ancam Gendhis.

"Gendhis, aku mohon ...!"

"Aku juga mohon sama kamu, Kam!" seru Gendhis. "Di sini ... di negara ini, kita sudah janji untuk saling mengandalkan. Saling menjaga dan melindungi, karena hanya kita tempat untuk saling bergantung satu sama lain!" ucap Gendhis. "Sama halnya aku yang selalu percaya dan bergantung padamu. Maka kamupun bisa melakukan itu ke aku, Kam!"

Kembali keheningan menyergap keduanya.

Sampai Kama mendadak berkata, "Ndhis ... aku pergi dulu. Ada kerjaan."

"Tapi--"

"Nanti kuhubungi lagi, ya!"

Dan tanpa menunggu Gendhis memberi persetujuan, Kama sudah menutup teleponnya lebih dulu. Hanya sebuah pesan yang kemudian dikirimkan Kama setelahnya kepada Gendhis.

[Jangan khawatir. Aku bisa selesaikan semuanya.

Bossku juga nggak lari dari tanggungjawab, kok. Dia membantuku.]

Pesan yang membuat Gendhis langsung melempar ponselnya dan menangis kencang sendiri di dalam kamar.

Situasi Mansion yang terlampau sunyi membuat Yuxi yang baru sampai terkejut.

Lampu ruangan dibiarkan mati, dengan pengawal yang masih berdiri tegak di tempatnya masing-masing.

"Apa jari kalian patah?" ucap Yuxi saat keluar dari lift.

"Maafkan kami Tuan Muda. Kami hanya mengikuti perintah Nona. Beliau tidak ingin lampu dinyalakan, juga sejak tadi berada di dalam kamar." Salah satu penjaga memberi laporan.

"Nona juga meminta kami untuk tidak menghubungi Tuan Muda," kata yang lain.

Yuxi terhenyak. Dia langsung menyalakan semua lampu di sana dan tak menemukan apapun, kecuali komputer jinjing milik Gendhis dengan kondisi terbuka dan layar yang menghitam.

"Ada yang datang?" tanya Yuxi kembali.

"Tidak ada, Tuan Muda." Pengawal itu kembali menjawab. "Hanya tadi Nona terlihat menelepon beberapa orang."

Laporan itu sudah cukup membuat Yuxi memahami langkah Gendhis. Dia bergegas menuju kamar utama, yang kondisinya juga sama gelapnya dengan ruangan di luar tadi.

Mengira kalau gadisnya sedang tidur, Yuxi terkejut melihat Gendhis masih duduk di sudut kamar dengan pandangan lurus dan wajah yang memucat. Gadis itu bahkan tak menoleh atau bereaksi dengan semua tindakan Yuxi.

"Baobei ... ada apa?" tanya Yuxi. "Kau pucat!"

Yuxi sudah melingkarkan tangannya ke tubuh Gendhis dan bersiap membopong gadisnya ke atas ranjang, saat tangan Gendhis menepis dan mendorong tubuh Yuxi cukup kuat, sampai pria itu terjatuh ke belakang.

"Aku baik-baik saja," tukas Gendhis.

"Tapi kau--"

"Aku sedang berpikir, Yuxi!" Suara Gendhis mulai meninggi.

Tapi sedetik kemudian, mata mereka saling berpandangan dan Gendhis menarik napasnya panjang. Sorot matanya yang tajam mulai sedikit melembut seiring dengan cara bicaranya kepada sang pria.

"Aku butuh waktu berpikir. Aku mohon padamu ...."

Tegas dan lembut. Yuxi paham kalau keberadaannya belum dibutuhkan.

Tapi dia juga tak berniat untuk meninggalkan Gendhis lagi sendirian.

"Aku di luar. Menyiapkan makan malam untukmu," pungkasnya sebelum keluar.

Yuxi kembali mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top