Bab 26 - Milikku (2)
"Kita itu apa?"
Pagi itu suhunya lebih rendah dari hari biasa.
Salju yang turun lebih lebat semalam, tak hanya mengisi tiap sudut jalan dan bangunan dengan serbuk putih dingin yang mudah membeku juga meleleh. Tapi juga meniupkan angin dingin lebih kuat, sampai Yuxi harus meminta selimut tambahan untuk membungkus tubuh Gendhis.
Ruang rawat Gendhis terasa lebih ramai, dengan suara film kartun yang diputar Gendhis sejak dini hari tadi. Kebiasaan gadis itu bangun lebih awal ternyata cukup mengejutkan untuk Yuxi yang saat itu berniat sejenak memejamkan mata setelah terus terjaga semalaman.
Yuxi menyuapi Gendhis dengan roti isi pemberian rumah sakit yang dipotong seukuran sekali suap, sambil duduk di tepian ranjang, saat gadisnya melontarkan pertanyaan mengejutkan itu.
"Maksud kamu?" tanya Yuxi, segera mengalihkan atensinya.
"Kamu sudah cium aku tiga kali!" Gendhis mengacungkan tiga jari di depan mata Yuxi. "Walaupun yang kedua itu terhitung beberapa kali. Tapi aku anggap itu satu hitungan!" Gadis itu kembali mengoceh.
"Sudah tiga kali." Yuxi mengulang ucapan Gendhis. "Dan kamu masih bertanya?" Dan bertanya balik pada sang gadis.
"Aku harus tahu jelas, Yuxi!" tukas Gendhis. "Biasanya, laki-laki itu menyatakan cinta dulu baru ajak ciuman! Tapi kamu tidak bilang apa pun padaku."
Yuxi menatap lekat kedua mata Gendhis yang tampak lebih terang dengan sorot yang juga lebih tajam dari kemarin.
"Aku mengatakannya dengan jelas," ungkap Yuxi.
"Yang mana?" balas Gendhis. "Soal aku jadi milikmu?"
Tanpa canggung, gadis itu membahas apa yang mereka lakukan dengan caranya sendiri. Yuxi sampai tak habis pikir dan geleng kepala merasakan sikap unik gadisnya yang satu ini.
"Perasaan cinta tak harus diungkapkan dengan huruf yang sama, Gendhis!" Yuxi menaikkan tangannya dan mengusap pipi Gendhis lembut menggunakan ibu jarinya. "Aku punya cara sendiri untuk mengungkapkannya."
"Kenapa?" balas Gendhis lagi.
"Hmm?" Yuxi menyipitka matanya.
"Kenapa kau cinta padaku?" tanya Gendhis lagi.
Yuxi menarik napas. Dia memangkas jarak mereka dengan menggeser meja dengan roda di bagian kakinya untuk menyingkir dari tempat antara dirinya dan Gendhis saat ini. Tubuhnya juga bergeser mendekati Gendhis, dengan tangan yang langsung meraih serta mengaitkan lagi jari jemari mereka menjadi satu jalinan kuat.
"Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu."
Gendhis terperanjat. Itu yang dirasakan Yuxi dari perubahan sorot mata gadisnya saat ini.
Dia hampir melepaskan tangan Yuxi, kalau pria itu tak segera menguatkan lagi genggamannya dan menyentak Gendhis untuk tetap pada posisi mereka saat ini.
"Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Karena aku juga tak bisa menjawab berjuta pertanyaan dalam diriku sendiri, Gendhis!" ungkap Yuxi.
Saat pandangan mereka saling bertemu, Yuxi kembali mengunci mata Gendhis untuk tetap mengarah utuh pada dirinya.
"Aku berusaha menemukan setiap jawaban dari semua pertanyaan yang berkaitan denganmu. Sejak awal." Pria itu menjeda ucapannya, sebelum kembali melanjutkan. "Tapi selalu buntu."
"Tapi kau menciumku," ulang Gendhis.
"Kau tak suka?" tanya Yuxi balik.
"Bukan begitu!" elak Gendhis.
Hingga Yuxi tersenyum mendengar jawaban spontan gadis itu.
"Aku--" Gendhis menarik napasnya. "Ini ciuman pertamaku. Aku juga belum pernah berpacaran atau mendengar pernyataan cinta yang benar dari seorang pria. Jadi aku bingung, apa kau benar menyukaiku sampai ingin menciumku. Atau kau hanya menggodaku dan ingin menciumku. Atau kau benar-benar hanya ingin menciumku saja!"
Yuxi mendekatkan lagi wajah mereka.
Pria itu mengulurkan tangannya dan menyentuh anak rambut Gendhis yang terjatuh di dekat telinga, lantas menyelipkannya perlahan sembari bola mata sang pria bergerak mengamati lekuk wajah gadisnya dengan cermat. Merekam jelas bentuk hidung, mata, alis, kening, hingga bibir mungil yang menyisakan ranum sampai detik ini.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Yuxi balik.
Dengan mata yang mengerjap beberapa kali. Juga wajah bingung yang terkesan polos dan sedikit bodoh di mata Yuxi. Gendhis terdiam dan berpikir keras untuk memberi jawabannya.
"Kau ... menyukaiku?" Suara Gendhis sangat lirih, hampir tak terdengar.
Yuxi menggeleng.
"Tapi aku hancur tanpamu."
Helaan napas Gendhis menyapu wajah Yuxi. Bola matanya bergerak tanpa arah, seolah mencari kebenaran dari ucapan prianya saat ini.
"Kau ... sehancur itu?" Gendhis terdengar tak percaya.
Kali ini pria itu mengangguk tegas. Membenarkan ucapan gadisnya.
"Jadi jangan pergi." Yuxi kembali berkata. "Jangan tinggalkan aku, hmm?"
"Yuxi ..." Gendhis menunduk dan menatap lekat jalinan tangan mereka. "Aku masih belum tahu. Maksudku ... aku bukan tak menyukaimu, atau mau menolakmu! Tapi aku--"
"Aku tahu!" Yuxi mengangguk.
"Apa?" Gadis itu mengangkat pandangannya sejenak.
"Kau masih belum mengerti perasaanmu padaku."
Lalu kembali menunduk setelah mendengar jawaban Yuxi barusan.
"Kita cari jawabannya sama-sama. Tapi selama pencarian itu ... kau tak boleh meninggalkan aku!" tegas Yuxi kembali di hadapan Gendhis.
Yang dituruti gadisnya dengan anggukan dan senyum tipis di wajahnya.
"Lalu tentang ucapanmu kemarin, soal aku itu milikmu?"
"Kau memang milikku, Gendhis!" tegas Yuxi.
Gendhis baru akan membuka mulutnya untuk menanggapi, saat Yuxi mengecup punggung tangannya dan berdiri untuk merapihkan kemeja kantor yang sudah dipakai sejak beberapa waktu lalu. Mata gadis itu terus lurus mengikuti pergerakan Yuxi sambil memakan potongan roti isi yang sudah dipotong Yuxi sebelumnya di atas piring saji.
"Iki sebenere aku sing bodo dan gak peka. Opo pancen Yuxi sing gawe aku bingung, ya?"
"Kamu bilang apa?" tanya Yuxi, melirik dengan ekor matanya.
"Bukan apa-apa!" sanggah Gendhis. "Uhm ... hari ini aku mau--"
"Oh, hari ini Jiang Lin tak bisa menjagamu selama aku pergi. Jadi aku menyiapkan orang lain untuk menjagamu!" pesan Yuxi.
"Buat apa?" tanya Gendhis. "Aku juga tak mungkin keluyuran jauh di rumah sakit!"
Yuxi menanggapi ucapan Gendhis dengan lirikan tajam ke arah selang infus gadisnya yang berpindah dari tangan kiri ke tangan kanan tadi malam. Pergerakan Gendhis saat tertidur, benar-benar brutal dan membuatnya terjaga terus sepanjang malam.
Beruntung Yuxi memang bekerja malam tadi, sehingga dia bisa menyadari saat jarum infus Gendhis macet dan berakhir diganti tangan demi kebaikan gadisnya sendiri.
"Ini bukan kesengajaan!" elak Gendhis, menyadari tatapan Yuxi saat ini.
"Jaga sikapmu!" ingat Yuxi. "Aku tak mau melihat selangnya berpindah ke kakimu sore nanti."
Mendengar ucapan Yuxi, Gendhis menaikkan satu alisnya.
"Kau akan menginap lagi di sini?" Nada bicaranya terdengar tak menyukai niat baik Yuxi kali ini.
"Kau punya rencana lain?" tanya Yuxi tanpa basa-basi.
Sambil membulatkan bibirnya, Gendhis menggeleng tapi juga memberi jawaban yang bertolak belakang dengan sikapnya sendiri.
"Aku ingin Kama yang menemaniku."
Yuxi kembali mendekati Gendhis. Dia menarik gadisnya ke dalam pelukan sambil mengisi sela jarinya dengan untaian rambut gadisnya, juga menyisir perlahan. Sementara Gendhis sudah memejamkan mata dan menikmati sentuhan Yuxi yang terasa menggelitik lembut sampai ke dalam perutnya.
"Aku saja." Yuxi kembali memberi penekanan.
Gerakan mereka hampir bersamaan. Yuxi menunduk dan mencari mata Gendhis, sementara gadis itu mengangkat kepala dan pandangannya sampai saling bertemu dengan mata bening Yuxi di balik kacamatanya.
"Aku ingin menemanimu."
Kembali, Gendhis mengangguk.
"Telepon aku kapanpun," ucap Yuxi.
"Hmm ...!"
Gendhis memainkan jarinya di balik selimut, dengan satu tangan menahan ponsel yang terhubung pada Yuxi. Pria itu menepati janjinya, bahwa dia akan siap kapanpun Gendhis menghubunginya, seperti saat ini.
"Sudah makan siang, Baobei?" tanya Yuxi.
"Sudah. Aku makan bersama Kama." Gendhis berkata riang, "Kau sendiri sudah makan?" tanyanya balik.
"Sebentar lagi."
"Banyak ya, pekerjaanmu?" Gadis itu memutar jarinya di atas selimut, menggambar bentuk tak beraturan yang menggambarkan perasaan hatinya.
"Lumayan." Tanggapan Yuxi selalu singkat.
"Oh ya, Dokter tadi sudah ke sini!" ucap Gendhis. "Dia bilang ... kalau kondisiku sudah jauh membaik dan mungkin besok aku sudah boleh pulang!"
"Akan ku siapkan semuanya di Mansion."
"Mansion?" Gendhis berseru. "Aku mau pulang ke asrama, Yuxi! Tempatku sejak awal di sana, bukan di Mansion! Lagipula ... kalau aku tinggal di Mansion, Kama pasti tak mau menginap di sana dan kami akan tinggal terpisah lagi."
Ada jeda waktu yang cukup lama karena Yuxi tak segera menanggapi.
Dan disaat yang sama, Gendhis menyadari Kama masuk kamar inap Gendhis perlahan. Niatnya untuk bicara dengan sahabatnya tertunda saat melihat ponsel pintar masih menempel di telinga gadis itu. Walau tidak dalam mode pengeras suara, heningnya kamar membuat Kama bisa mendengar sayup-sayup suara Yuxi.
Jadi, dia melangkah ke sofa dan duduk termenung di sana. Tak disangka Gendhis tiba-tiba melontarkan tanya.
"Kamu kenapa murung, Kam?"
Kama hanya menjawab singkat. "Tebakanmu bener, Ndhis."
Mata Gendhis membulat seketika. "Kau beneran digugat sama Luo Luo?" Gadis itu refleks bicara dalam bahasa Mandarin karena Yuxi juga tengah bicara dengannya.
"Yuxi, nanti aku telepon lagi. Ada Kama di sini. Aku mau ngobrol sama dia."
Gendhis mematikan panggilan telepon begitu saja. Detik berikutnya, dia memberondong Kama dengan belasan pertanyaan yang membuat sahabatnya kewalahan.
"Pelan-pelan dong, Ndhis. Intinya tadi aku dapat info dari temen di proyek drama. Sekarang Luo Luo lagi ngumpulin seluruh kepala divisi. Dia ngadu kalau aku udah melakukan tindak kekerasan padanya. Dan ...."
"Dan apa?"
Kama menunduk. "Dia nggak terima, mau ajukan tuntutan hukum karena aku menyerang dia tanpa alasan."
Mata Gendhis membelalak. "Tanpa alasan gimana? Jelas-jelas dia udah provokasi kamu duluan. Duh, Kam! Ini nih, akibatnya kalau kamu gegabah. Ini China, bukan Indo. Hukum di sini beda sama di negara kita."
Kama mengangguk. "Iya, aku tahu."
Gendhis menyuruh Kama mendekat. Saat sahabatnya datang, dia langsung mencengkeram lengan Kama kuat-kuat.
"Jujur sama aku, ini sebenarnya bukan hanya karena Luo Luo memprovokasi kamu, kan? Selama ini kamu emang ringan tangan, suka mukul, hobi gelut, doyan nendang--"
"Ndhis, kamu mau tenangin aku apa mau nguliti dosa-dosaku?"
"Ah, oke. Maaf. Kelepasan. Pokoknya kamu itu baku hantam buat bela orang. Selama ini kamu selalu bersikap pejuang banget. Mukul Luo Luo kayak kemaren bukan kebiasaan kamu banget. Coba bilang, kamu pasti punya triggering lain, kan?"
Kama terdiam beberapa saat sebelum menggelengkan kepala. "Nggak ada. Aku emang lagi jengkel sama dia karena ngehina aku."
"Mosok PMS? Emang mens kamu tanggal segini?"
"Ndhis, please."
"Habis gimana loh, Kam. Aku gemes gini sama kamu. Luo Luo itu anomali banget buat kamu. Kama yang aku kenal bukan orang yang gampang mukul cuma karena omongan remeh kayak gitu. Kamu itu udah kenyang dihina orang sejak dari kecil. Omongan Luo Luo harusnya nggak mempan lagi ke kamu."
Kama tersenyum tipis. "Ndhis, istirahat sana. Kamu masih sakit. Jangan kelamaan opname, entar orang tuamu di Jogja tahu malah berabe."
"Nggak bisa, Kam. Aku harus cari cara bantuin kamu. Kita sewa pengacara. Kita--"
"Ndhis, tidur!" Kama berkata tegas. "Bentar lagi aku pulang. Kalau Jiang Lin atau Yuxi datang, aku harus cabut dari sini. Sekarang tidur."
Kama agak memaksa Gendhis kembali berbaring dan menemani sahabatnya sampai benar-benar terlelap. Untung ada obat yang dimasukkan oleh perawat beberapa waktu lalu yang pengaruhnya baru terlihat saat ini.
"Aku balik dulu, ya, Ndhis!" ucap Kama dengan suara lirih.
Gadis itu kemudian meninggalkan Gendhis setelah merapihkan beberapa kekacauan mereka di dalam sana, serta membuang sisa sampah kulit buah sambil berjalan keluar ruangan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top