Bab 23 - Terbunuh Olehmu.

Yuxi duduk termangu dengan ingatan kuat atas setiap kata yang terlontar dari Kama beberapa waktu lalu.

Perasaan berkecamuk yang berusaha dia redam, kini menggulung layaknya ombak pasang di lautan utara yang siap menenggelamkan tiap kapal di atasnya. Tapi bukan kapal yang tenggelam dalam amukannya, selain Yuxi sendiri yang tak bisa mengendalikan diri.

Batinnya koyak, pikirannya pecah, dan perasaannya bagai kayu yang terombang-ambing dalam lautan lepas. Tak tenggelam, tapi juga enggan untuk menetap di atas riak lautnya.

Arah matanya tak lepas dari gadis yang membuat perasaannya terus berada dalam posisi ini selama berhari-hari. Gadis yang menghancurkan tiap batas kuat dan tinggi dalam diri Yuxi selama bertahun-tahun.

Dan kemunculan Kama dengan berbagai kenyataan baru tentang gadisnya, semakin meremas kuat hati Yuxi yang sudah hancur sejak melihat gadisnya terbaring tak berdaya di ujung sana.

Kedua tangan Yuxi menengadah, bertumbukan dengan sudut matanya yang kosong dan hampa.

Hingga air mata yang sejak awal sudah menunggu giliran di antara kelopak mata, kini mendesak keluar dan menetes begitu saja.

“Tuan …!” Jiang Lin coba memecah kesunyian.

Ruangan berukuran 6x5meter itu terasa lebih dingin seratus kali lipat dengan bungkamnya Yuxi sejak tadi. Dingin yang menusuk, membuatnya terasa makin mencekam bagi siapa pun untuk bertahan lebih lama di dalam sana.

“Aku gagal sejak awal,” lirih Yuxi.

Dia melepas kacamata beningnya dan memejam kuat sembari kedua tangannya mengepal kencang. Mengeluarkan urat besar yang mengisi tiap ruas jari jemarinya.

“Tuan seharusnya menjelaskan pada Nona Kama, semua yang terjadi dengan Nona Gendhis.” Jiang Lin kembali mengabaikan kengerian sosok Yuxi di hadapannya. “Dia tidak tahu kalau selama ini Tuan Muda selalu menjaga Nona Gendhis dan--”

“Tidak perlu!” tukas Yuxi.

Membungkam mulut asistennya.

“Dia orang terdekat Gendhis, jadi wajar dia melakukannya,” ucap Yuxi.

Yuxi bangkit dan menghapus kasar air matanya sebelum beranjak menuju wastafel dan mencuci bersih kedua tangannya sendiri. Langkahnya tegas meski ritmenya melamban, mendekati ranjang Gendhis untuk mencari tangan sang gadis yang ingin sekali ia genggam.

“Tapi emosinya tadi. Jika dia kembali ke sini dan melakukan hal serupa kepada Tuan Muda, bagaimana?” tanya Jiang Lin dengan wajah cemas.

Begitu menemukan yang dicari, Yuxi segera menyelipkan jari jemarinya dengan milik Gendhis yang terasa begitu pas dan sempurna dengan tangannya.

“Aku percaya Minghao bisa mengatasinya,” ungkap Yuxi yang kembali mengejutkan Jiang Lin.

“M-Maksud Tuan Muda … Tuan mempercayai Tuan Minghao--”

“Pulanglah!” perintah Yuxi.

“Apa Tuan Muda akan menginap lagi di sini?” tanya Jiang Lin balik.

“Hmm.”

Jawaban Yuxi cukup untuk mengusir Jiang Lin dari sana.

Tapi baru saja berbalik dan melangkah beberapa jengkal dari sana, Jiang Lin kembali berbalik saat Yuxi berteriak, memanggil nama Gendhis.

“Gendhis! Kamu bangun!” serunya.

Bel yang ditekan membuat banyak orang masuk dan menyingkirkan Yuxi dari tempatnya berdiri saat ini. Memaksa Yuxi juga untuk melepas jalinan jarinya dengan Gendhis yang sudah sempurna untuk terurai seketika.

Hingga ruangan kembali sunyi dan menyisakan mereka berdua.

Gendhis masih mencoba mengadaptasikan diri setelah merasa terkekang dengan banyak selang terpasang di sekujur tubuhnya, sementara Yuxi hanya diam menatap lekat mata Gendhis yang mengerjap berulang kali sejak tadi.

“Yuxi …!” panggil Gendhis.

“Hmm?” Yuxi mendekat. “Kau butuh sesuatu?” tanyanya.

Gendhis menggeleng. Tapi dia mendadak bangkit hingga selang infusnya agak tertarik dan membuat Yuxi sontak merasa panik.

Refleks pria itu sangat cepat, dengan menahan tubuh Gendhis dan memberi paksaan sedikit agar kembali berbaring di atas tempat tidur.

“Jangan bangun!” perintah tegas Yuxi kepada Gendhis.

“Tapi aku haus,” ucap Gendhis.

Layaknya robot yang menerima perintah Tuannya. Yuxi dengan cepat mengambilkan air hangat dan sendok kecil yang dia siapkan sejak beberapa waktu lalu di atas nakas.

“Aku suapi,” ucap Yuxi.

Pria itu telaten menyuapi Gendhis agar gadisnya tak tersedak. Dia bahkan meniup lebih dulu air hangat yang akan disuapkan, karena khawatir jika suhu airnya masih terlalu panas untuk Gendhis.

Gadis itu menurut.

Tak banyak suara yang Gendhis keluarkan, sampai tangannya terulur memberi tanda kalau dia sudah tak haus lagi. Yuxi pun berhenti dan mengusap lembut bibir Gendhis dengan ibu jarinya.

Suasana hening kembali tercipta.

“Masih ada yang sakit?” Sampai Yuxi mulai buka suara lebih dulu.

Gendhis menggeleng pelan.

"Hanya pusing."

Yuxi membantunya untuk kembali berbaring. Tapi kemudian, pandangan matanya tak lepas dari Gendhis sembari berkata.

“Gendhis, aku--” Tenggorokan Yuxi seperti tercekat.

Kelopak matanya panas, membuat Yuxi harus memalingkan wajah sesaat sebelum kembali menatap Gendhis yang mulai mengarahkan pandangan kepadanya.

“Aku minta maaf karena sudah membuatmu seperti ini,” ucap Yuxi akhirnya.

Tak menjawab langsung, tangan gadis itu terlihat keluar dari selubung selimut untuk menyentuh wajah pucat Yuxi yang terlihat menyedihkan di matanya.

“Aku kan, sudah memaafkanmu,” tukas Gendhis.

“Aku tahu! Tapi rasanya …” Yuxi tak bisa mengelak dengan air matanya lagi. “Aku tetap merasa kalau semua yang kau alami--” Dia menarik napas sangat dalam dan meraih tangan Gendhis untuk digenggam kuat. “Aku janji kau tak akan mengalaminya lagi. Aku pastikan, bahwa kau akan selalu aman!”

Gendhis mengangguk.

Tapi sorot matanya masih menyiratkan ketakutan luar biasa, dengan kilat bening yang mulai menggenang kembali di kelopak matanya.

“Yuxi …,” panggil Gendhis.

Gadis itu kembali mengambil penuh atensi Yuxi untuk dirinya, melalui tatapan mata lembut yang tak berkedip saat ini.

“Kemarin aku merasa kesal melihat wajahmu. Tapi sekarang … aku senang bisa melihat wajahmu lagi. Dan merasakan kau ada di sini,” ucap Gendhis.

Yuxi tersenyum.

“Kenapa?” tanya Yuxi kemudian.

“Karena aku pikir, kemarin aku sudah mati!” Senyum mengembang lebar di wajahnya.

Gendhis mengigit bibir bawahnya dan mulai mengingat lagi peristiwa mengerikan malam itu.

“Asapnya masuk sangat banyak dan mereka semua berteriak. Aku juga berteriak kuat,” kata Gendhis. “Aku memanggil nama semua orang. Tapi semakin aku berteriak, napasku justru semakin sesak!” keluh Gendhis. “Dadaku juga rasanya panas dan aku tak ingat apapun lagi.”

Dia menaikkan pandangannya yang sudah buram karena air mata meleleh di kedua pipinya.

“Aku tak takut mati, Yuxi. Tapi aku takut--” Kini tenggorokan Gendhis yang tercekat.

Suaranya terdengar serak.

Menarik Yuxi untuk mengikis segera jarak di antara mereka dan menyentuh bibir Gendhis yang masih basah dengan bibirnya.

Sebuah kecupan. Namun dorongan besar dirasakan dalam diri pria itu setelah dia menyadari bibir Gendhis terasa lebih manis dan memabukkan, sampai tangannya terulur sendiri untuk naik dan menahan gerakan kecil sang gadis yang mencoba menghindar.

Yuxi melepas sesaat tautan bibir mereka.

Manik matanya menangkap kuat sorot mata Gendhis yang menyiratkan perasaan bimbang dan takut dalam waktu bersamaan. Tanpa bersuara, Yuxi menggerakkan ibu jarinya dan membuatnya bergesekan dengan kulit pipi halus Gendhis.

Lembut, tapi mampu membuat sang gadis menahan napasnya dalam-dalam.

Mata Gendhis terpejam, merasakan kehangatan yang menyebar melalui sentuhan kulit sang pria. Dan kembali terperangkap kuat oleh pendar bening Yuxi yang menuntutnya untuk pasrah saat pria itu kembali mengikis jarak di antara mereka.

Pria itu melampaui keberaniannya.

Sentuhan bibirnya tak lagi terasa lembut, tapi menuntut dan menyesap tiap inci madu bibir Gendhis hingga makin membuatnya mabuk malam ini. Pergerakannya begitu halus, mengisi dan membasahi tiap sudut bibir gadisnya.

Logika Yuxi lumpuh, menghilang ditelan bulan yang mulai terlihat menyembul di atas langit. Dorongan itu terus diisi oleh sosok Gendhis dan setiap kelembutan yang tengah Yuxi rasakan, hingga berjejal memenuhi langit-langit hatinya yang bergermuruh setiap kali bibir mereka bersentuhan.

Batinnya terus berontak. Hasratnya meminta lebih, saat bibir Gendhis yang selembut cherry turut bergerak menyeimbangkan tuntutan Yuxi. Semua dindingnya dijebol sangat cepat, seiring pertautan mereka yang semakin dalam.

Sampai akhirnya kesadaran mereka kembali menyapa, kala Gendhis menciptakan ruang untuknya menarik napas panjang.

“Yuxi …” Napasnya terlihat pendek.

Gendhis sontak memukul dada sang pria sekuat mungkin.

“Kau mau membunuhku?” tanya Gendhis dengan mata menyipit dan bibir yang sedikit membengkak.

Sementara Yuxi tersenyum lembut dan mengusap bibir Gendhis dengan ibu jarinya.

Membuat gadis itu kembali terkesiap dan mengatupkan bibirnya lagi, saat Yuxi menggodanya dengan mengikis kembali jarak mereka dan meniup lembut telinga Gendhis dengan kata-kata.

“Aku yang terbunuh olehmu,” bisik Yuxi.

Kedua manik mata Gendhis meredup. Yuxi menyentuh lembut kulitnya dan kembali mengecup.

“Lain kali, jangan bicara seolah kau bisa meninggalkanku.” Yuxi mendorong lembut kepala Gendhis, hingga kening mereka saling bertemu. “Tanpa ijinku, kau tak bisa pergi kemanapun!”

“Termasuk ke kantor?” celetuk Gendhis.

Yang melukiskan senyum di wajah Yuxi saat itu.

Pria itu bergerak menjauh, tapi Gendhis menghentikan niatnya dan menarik keras lengan Yuxi sampai pria itu terduduk kembali di kursinya.

“Kau tak mau menjelaskannya padaku?” tanya Gendhis tiba-tiba.

Yuxi mengerutkan kening dan menatap lekat. “Untuk ciumannya?” goda pria itu.

“Yuxi …! Ini ciuman pertamaku!” keluh Gendhis. “Kau--”

“Bagus! Karena ini juga ciuman pertamaku.”

Gendhis sontak melepaskan tangan Yuxi dan menutup mulutnya sendiri.

Dia mengerjap beberapa kali sambil termangu melihat Yuxi yang bergerak menuju kulkas.

“Tapi tadi rasanya kau sangat mahir berciuman! Bibirmu tadi itu sampai membuat bibirku terasa ditarik dan--”

Mendengar ocehan Gendhis yang mulai terdengar kacau, Yuxi segera memutar arah dan menutup mulut Gendhis dengan tangannya.

“Gendhis …!” tegur Yuxi. “Jiang Lin ada di luar!”

Mata Gendhis sontak membulat dan dia melepaskan tangan Yuxi dari mulutnya.

“Dia melihat kita berciuman?” tanyanya tanpa ragu.

“Bukan, tapi--”

“Oh …!” Gadis itu kembali terlihat santai, sampai dia ingat soal penjelasan yang belum didapatkannya. “Tapi bukan penjelasan itu yang ku maksud, Yuxi. Terserah kau sudah berciuman berapa kali. Tapi maksudku, kenapa kau harus mencium--”

Yuxi kembali menempelkan bibirnya ke ujung hidung Gendhis.

Sangat singkat. Tapi sanggup mengunci ocehan Gendhis selama beberapa detik dan membuat mata gadis itu tertuju lurus pada Yuxi.

“Karena itu kau,” jawab Yuxi.

Jarak wajah mereka masih sangat dekat. Napas hangat yuxi dan Gendhis menyapu wajah mereka masing-masing, saat suara gaduh dan pintu ruangan mendadak terbuka dengan sosok Minghao yang muncul bersama Jiang Lin di ujung sana.

Berbeda dengan Minghao yang melebarkan matanya.

Jiang Lin malah berbalik dan menutup rapat matanya menyadari posisi Yuxi dan Gendhis saat ini.

“T-Tuan Muda … maaf, tapi Tuan Minghao meminta untuk bertemu dan--”

“Tak apa!” Yuxi menegakkan tubuhnya.

Tangannya meraih tangan Gendhis yang dia genggam dan sembunyikan di balik punggung.

Posisi Yuxi jelas menghalangi Gendhis dari pandangan Minghao yang seolah siap menjejali mereka dengan berbagai pertanyaan.

“Masuklah, Hao!” ucap Yuxi kemudian.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top