Bab 18 - Panas
Halo semuanya.
Selamat Tahun Baru 2025 untuk semua.
Semoga di tahun yang baru ini, seluruh harapan dan doa bisa terkabulkan dan berjalan dengan baik untuk semua orang. Terutama untuk semua pembacaku yang baik.
Ini adalah Bab 18, yang Update di hari pertama tahun 2025. Semoga bisa menemani liburan singkat kalian sebelum kembali pada rutinitas masing-masing.
Salam hangat,
Anisya Dhanoewinoto (Zheng Yuxi)
************************************
Mata Gendhis membulat melihat pena Yuxi yang terbelah.
"Keluar!" usir Yuxi tiba-tiba.
"Hah?" Gendhis melongo, mulutnya terbuka lebar.
Sementara Yuxi melayangkan tatapan tajam dan mematikan yang membuat Gendhis cukup gemetar, pria itu mendadak meninggikan suaranya lalu kembali memberi perintah.
"KELUAR ...!" Tanpa menatap Gendhis, Yuxi berteriak sangat kencang.
Tak hanya Gendhis, tapi Yuxi sendiri terkejut menyadari tindakannya saat itu. Dia terdiam dan mematung selama beberapa saat.
"Gendhis ...," panggil Yuxi kemudian.
Tapi Gendhis sudah berlari keluar. Dia menangis sejadi-jadinya mendengar teriakan Yuxi yang melukai perasaannya.
"Nona Gendhis, apa yang terjadi Nona?" Jiang Lin yang juga nmendengar teriakan Yuxi buru-buru menghampiri Gendhis.
Dia ikut panik melihat Gendhis yang sudah menangis brutal dan berlari masuk ke dalam lift. Membuat asisten pribadi Yuxi tersebut bingung dan salah tingkah harus mengejar yang mana lebih dulu. Mengejar Gendhis dan menenangkan gadis itu. Atau masuk ke dalam ruangan Yuxi dan menanyakan apa yang terjadi.
Kaki Jiang Lin seperti ingin membelah jadi dua bagian.
Sampai Yuxi akhirnya muncul dari dalam ruangannya dan terlihat kelimpungan mencari sosok seseorang.
"Mana Gendhis?" Pertanyaan itu kembali dilontarkan.
"Nona ..." Jiang Lin menggeram dan berkata agak keras di hadapan Yuxi untuk pertama kalinya. "Nona Gendhis keluar sambil menangis, Tuan Muda! Astaga ... apa yang terjadi dengan kalian berdua?" tanya Jiang Lin. "Bagaimana kalau Nona Gendhis kembali sesak napas dan sakit seperti kemarin?" Ocehan Jiang Lin mulai terdengar bagai radio rusak.
Saat Yuxi menekan tombol lift dengan kasar dan tak sabaran.
Pria itu berusaha mengejar dan menjangkau sang gadis yang sudah tak nampak lagi di depan matanya. Hingga saat pintu lift terbuka, tangan Yuxi juga sibuk menghubungi ponsel Gendhis tanpa sadar kalau sinyal di dalamnya tak mungkin bisa menghubungkannya dengan gadis itu.
Diwaktu yang sama, Gendhis sudah sampai ke lantai Divisinya.
Dia bergerak cepat dan melepaskan jaket Jian Ming sebelum pergi tanpa berpamitan.
"Gendhis!" Song Yun menahan tangannya. "Kau kenapa?" tanyanya kemudian.
Tak memberi jawaban, gadis itu melepas tangan Song Yun dan berlari menjauh. Menyembunyikan air mata yang sudah disadari oleh seluruh pegawai Divisi saat ini.
"Pasti Tuan Yuxi membuatnya menangis," gumam Jian Ming memungut jaketnya.
Dia dan Song Yun saling melempar pandangan prihatin, melihat punggung Gendhis yang kembali menghilang di antara pintu lift yang terbuka.
Gendhis menerjang suhu dingin kota Shanghai hari itu dengan pakaian tipis yang dibalut blazer kerja sambil memeluk tubuhnya sendiri. Rasa sakit hati, malu, serta terkejut yang sangat besar dirasakannya saat ini membuat gadis itu tak peduli dengan kondisinya lagi.
Sepanjang jalan pulang, Gendhis banyak mengambil atensi dari orang lain yang menganggap dirinya gila karena berjalan hanya dengan baju setipis tisu.
Tubuhnya menggigil. Hingga tangan dan kakinya pun hampir tak bisa dirasakan lagi.
Tapi otaknya yang berteriak meminta Gendhis mencari bantuan, kalah dengan sakit dalam hatinya yang memaksa Gendhis untuk terus berjalan.
Bukan ke Mansion tempat Gendhis tinggal sementara, gadis itu duduk sebentar di halte bus yang akan membawanya kembali ke asrama kampusnya. Masih ada baju milik Kama di sana. Dia juga bisa memikirkan jalan lain untuk mengambil barang lainnya esok.
Setidaknya hari ini, dia tak ingin kembali ke Mansion itu.
Yuxi membelah cepat jalanan wilayah Pudong untuk sampai ke depan gedung apartment mewah milik Keluarga Zheng yang menjadi tujuannya.
"Gendhis!" Teriakan Yuxi menggema di seluruh sudut Mansion.
Dia berlari tanpa arah, memasuki tiap ruangan dalam Mansion untuk mencari sosok gadis dengan tinggi tak lebih dari 155cm tersebut di dalamnya.
Tapi sudah dicari berulang kali sampai ke sudut yang mustahil sekali pun, Yuxi tak juga menemukan sosok Gendhis di manapun di dalam Mansion ini.
"Tuan Muda, Nona Gendhis sudah pulang!"
Konfirmasi Jiang Lin tersebut yang membawa Yuxi sampai ke tempat ini. Dia menggeram kesal dan menarik kasar rambutnya yang terbiasa rapih, hingga melepas kasar kacamata di wajahnya.
"Brengsek!"
Kedua kakinya kini tertahan saat akan mengejar Gendhis dan mencari keberadaan sang gadis, bersamaan dengan berita penutupan jalan sementara di beberapa tempat karena festival musim dingin yang dimulai, dan diinformasikan oleh Jiang Lin.
Yuxi yang merasa ditekan rasa bersalah dan terbayang wajah bingung Gendhis beberapa waktu lalu, melemparkan remote televisi yang dia pegang dan menghancurkan layarnya.
Dia kembali gagal mengendalikan diri.
Yuxi yang dikenal cukup tenang dalam menghadapi berbagai masalah besar di perusahaan, bahkan hidupnya selama ini. Berubah menjadi sosok yang penuh emosi dan jauh dari logika saat berhadapan dengan Gendhis.
Layar teleponnya kembali menyala dengan nama Gendhis tertera di sana.
Tapi sesuai dugaan, Yuxi tak bisa menghubungi gadis yang sudah memblokir nomornya tersebut.
"Ya Tuhan Gendhis, kau di mana ...!" lirih Yuxi dengan nada frustasi.
Sama-sama tertahan di dalam ruangan. Yuxi yang frustasi sampai mengutus semua orang untuk mencari keberadaan Gendhis karena khawatir gadis itu tersesat, berbanding terbalik dengan sang gadis yang kini sudah bergulung di dalam selimutnya, di dalam kamar asrama yang hangat dengan hidung memerah juga demam yang cukup tinggi.
Suara Kama di ujung telepon, menjadi pemancing Gendhis untuk menangis dan meluapkan semua kemarahannya atas perlakuan Yuxi selama ini.
"Aduh, Gendhis ...!" teriak Kama. "Kudune kamu gampar sik mukanya sebelum kamu kabur to, Ndhis ...!" ucap Kama menyalahkan Gendhis.
"Mana bisa!" bantah Gendhis. "Kata Ibu, kalau aku nyakitin orang ... nanti aku bisa kebales disakitin juga, Kam! Lagian ... dia kan, bentak aku. Bukannya nampar! Masa iya aku balesnya pake tamparan? Kalau nanti dia marah terus laporan sama Kakek Renzhong, bisa mati aku digantung lagi sama Eyangku!"
Meski suaranya sudah serak dan hidungnya mampet luar biasa. Gendhis masih bisa berceloteh panjang di hadapan sahabatnya sambil terisak pula.
"Terus sekarang, obatmu dibawa nggak?" tanya Kama.
"Ada di tas," jawab Gendhis.
Dia kembali bersin sampai beberapa kali dan membuat Kama berdecak karena khawatir dengan kondisi sahabatnya.
"Kamu nggak bisa pulang sebentar, ya, Kam?" lirih Gendhis dengan suara bergetar. "Aku pengen peluk kamu ...!"
Sesuai dugaan, Gendhis kembali menangis kencang dan membuat Kama bingung sendiri di ujung sana.
"Udah jangan nangis, Ndhis! Nanti napasmu sesek lagi," ucap Kama. "Aku nggak bisa pulang karena kerjaanku yang baru udah dimulai. Tapi aku janji, kapanpun kamu bisa hubungin aku, kok!" yakin gadis itu pada sahabatnya.
Gendhis mengangguk sendiri dan menelusup ke dalam selimut.
"Udah minum obat, kan, kamu?" tanya Kama lagi.
"Udah ..." jawab Gendhis.
"Tidur aja kalau udah." Kama memberi instruksinya. "Nanti aku minta Lusi kirim makanan buat kamu ke asrama. Nggak usah keluar dulu sampai kamu lebih sehat, oke?"
Percakapan mereka berakhir setelahnya dan Gendhis yang patuh mulai memejamkan mata. Mengusir bayangan Yuxi yang melotot padanya dan memarahinya sore ini.
Dia larut dalam dunia mimpi hingga esok dan melupakan makanan yang diantarakan Lusi di depan pintu.
Efek obat ini memang selalu bisa diandalkan untuk membuat Gendhis merasa tenang. Sampai dia terkejut karena banyaknya panggilan tak terjawab dari Kama dan juga beberapa pesan.
[Aku ketiduran, habis minum obat. Bisa telepon, nggak?]
Pesan pun dikirimkan. Dan balasan dengan cepat diterima oleh Gendhis.
[Ada rapat penting hari ini. Jadi aku nggak bisa telepon dulu. Kalau longgar, aku telepon!]
Diam-diam Gendhis mengutas senyum membaca pesan Kama. Dia senang sahabatnya bisa menemukan pekerjaan baru yang lebih baik dan terjaga dibanding saat Kama berada di Klub beberapa waktu lalu.
**
Suasana kantor Zheng Holdings Shanghai saat ini masih cukup lengang.
Penutupan jalan karena festival itu rupanya cukup berpengaruh sampai Gendhis terkejut karena dia jadi orang pertama yang sampai di kantor Divisinya pagi itu.
Dia baru saja duduk dan menempelkan beberapa potongan koyo di pangkal hidungnya agar tak kembali mampet, saat Jiang Lin mengejutkan Gendhis karena menyapanya dari belakang.
"Pagi, Nona Gendhis!"
Gendhis terlonjak dan menoleh. Dia memicingkan mata, lalu berdiri menyambut kemunculan Jiang Lin yang membawa dua buah tas besar di kedua tangannya.
"Pagi juga, Jiang Lin!" sapa Gendhis balik.
"Saya pikir Nona tak berangkat kerja hari ini," ucap Jiang Lin.
"Aku profesional." Gendhis menjawab tenang.
Mengangguk dengan jawaban Gendhis, Jiang Lin kemudian menyerahkan dua tas besar di tangannya ke hadapan gadis itu, sembari menjelaskan apa yang ada di dalamnya.
"Ini mantel bulu titipan Tuan Muda Yuxi dan juga satu set sarapan untuk Nona pagi ini."
Gendhis melemparkan pandangan tak kalah tajam dari Yuxi kepada Jaing Lin. Tapi gadis itu kemudian menundukkan kepala dan melangkah mundur menjauh dari jangkauan asisten pribadi yang tinggi menjulang itu.
"Kembalikan saja padanya!" tolak Gendhis dengan tegas.
"Nona ...!" Jiang Lin membelalakkan mata.
"Aku tak mau menerima apapun darinya. Dan aku juga akan keluar dari Mansion hari ini juga!" tegas Gendhis yang semakin mengejutkan Jiang Lin.
"T-Tapi Nona ...! Ini mantel yang--"
"Apa aku boleh minta bantuanmu?" tanya Gendhis kemudian.
Jiang Lin mengerjap dan mengangguk canggung.
"Aku tak membawa banyak barang saat pindah ke Mansion." Gendhis berkata. "Jadi kalau kau tak keberatan ... aku ingin kau mengirimkan semua barangku ke sini untuk ku bawa pulang kembali ke asrama," ucapnya.
"Tapi Nona ..." Jiang Lin meletakkan kedua tas-nya dan bergerak maju. "Saya harus melapor dulu pada Tuan Muda sebelum Nona pindah dari Mansion. Apalagi ini ada hubungannya dengan Tuan Besar! Nanti kalau saya asal mengeluarkan barang milik Nona dari sana, maka--"
"Aku akan bicara dengan Kakek," tukas Gendhis.
Gadis itu sadar ada Yuxi di balik dinding kantor di ujung lorong ruang kerjanya yang tengah mencuri dengar dan lihat semua pembicaraannya di sini.
"Kakek pasti akan paham. Dan Yuxi juga tak akan memotong lehermu. Atau aku yang akan menggantikannya dengan leherku untuk dipotong olehnya!"
Tak bicara lagi, Gendhis kembali duduk dan menyalakan komputernya.
Dia tak lagi menggubris Jiang Lin yang seperti salah tingkah sendiri dan terpaku selama beberapa waktu, sebelum meninggalkan tempat Gendhis dengan tangan yang masih penuh dengan tas pemberian Yuxi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top