Bab 15 - Galak!
Gendhis pikir Yuxi akan mengajaknya makan di luar atau pergi ke suatu tempat.
Tapi perkiraannya keliru, setelah dia melihat Yuxi sibuk memasak di dapur Mansion dengan berbagai bahan makanan segar yang dibelinya entah kapan.
"Aku bantu, ya!" kata Gendhis.
"Boleh," jawab Yuxi singkat.
"Uhm ... sebenarnya aku tak perlu makanan yang terlalu rumit. Cukup nasi dengan telur saja cukup!" ucap gadis itu. "Atau mie instant juga boleh! Lebih praktis dan punya beragam rasa!"
Setelah sekian lama, Yuxi akhirnya mendengar lagi celotehan gadis yang terlihat hampir mati kemarin.
"Oh ya, Yuxi! Soal pegawai yang kemarin kau pecat ... apa kau masih bisa menarik perintahmu itu? Lalu Kakek, apa kau juga sudah bicara padanya? Aku ... merasa tak enak hati kalau aku harus bersantai terus di sini, sementara tugas utamaku adalah belajar management di perusahaan kalian. Lagipula, kalau Kakekku sampai tahu aku tak kunjung memulai magang ... dia bisa membunuhku di tiang gantungan!" oceh gadis itu sambil menunjukkan berbagai ekspresi dan menggerakkan tangan serta tubuhnya tanpa henti.
Yuxi yang ada di sebelahnya tetap diam. Sesekali matanya melirik ke arah Gendhis dan menaikkan sudut bibirnya untuk tersenyum. Sambil terus fokus memotong sayur dan daging yang akan dia masak hari ini.
"Kau tidak lelah?" Yuxi mengalihkan pembicaraan.
"Hmm?" Gendhis menatap lekat wajah Yuxi.
"Aku melihat banyak buku Management yang tersimpan di dalam kamarmu kemarin." Yuxi meletakkan pisaunya di atas talenan dan mengubah posisinya berhadapan dengan Gendhis.
"Ahh ...!"
Yuxi masih terus memperhatikan Gendhis tanpa berkedip.
"Aku sebenarnya tak suka dengan Management. Otakku ini sudah penuh dengan rumus dan coding yang menyesakkan! Belajar Management sebanyak itu, bisa membuat otakku ini meledak. Tapi sebagai Calon Pewaris Perusahaan, jelas aku harus belajar banyak soal Management dan semua yang berkaitan dengan pengurusan perusahaan." Gendhis kembali menjawab panjang. "Karena otakku yang agak dangkal ini ... makanya Kakek mengirimku untuk belajar di perusahaan Keluargamu."
"Dan kau menerima perintah itu dengan sukarela?"
"Belajar Management?" tanya Gendhis balik.
"Bukan! Menjadi Pewaris Perusahaan!"
"Aahh ...!" Mulut Gendhis kembali terbuka dan kepalanya mengangguk-angguk.
"Kau tak punya keinginan lain?" tanya Yuxi lagi. "Tadi kau bilang, Management sangat sulit. Artinya kau punya sesuatu yang lain, yang kau inginkan dibanding belajar Management dan mengurus perusahaan. Benar, kan?" tebak Yuxi.
"Programmer!" jawab gadis itu.
Yuxi melanjutkan masaknya sembari memasang telinga untuk mendengar ocehan Gendhis kembali. Dia bahkan tak jadi menerima bantuan Gendhis untuk memasak kali ini.
"Aku ingin menjadi programmer! Membuat banyak alat canggih dan ajaib! Aku juga ingin punya perusahaan IT sendiri, yang isinya banyaaakkk programmer!" Mata Gendhis tampak berbinar saat bibirnya bergerak untuk bercerita.
Setiap gerakannya tak lepas dari pengamatan Yuxi yang masih memakai kacamata saat memasak di dapur.
"Tapi aku tak yakin apa aku bisa membuat perusahaan sendiri. Sebab ... aku hampir tak punya waktu untuk memikirkannya. Dan lagi, aku tak yakin kalau aku bisa membuat perusahaan sekeren itu!" tukas Gendhis.
"Asin?" Yuxi menyuapkan kuah sop daging dan meminta Gendhis mengoreksi rasanya.
"Udah pas!" jawab Gendhis. "Oh! Ditambah itu pasti lebih enak!"
Yuxi memperhatikan tingkah Gendhis yang berlarian di area dapur dan mencari satu bumbu yang belum dikeluarkan oleh Yuxi.
"Lada?" Yuxi mengernyitkan dahi.
"Iya! Kalau makan sop seperti ini, harusnya diberi banyak lada. Semakin pedas, maka semakin enak rasanya! Juga bisa membuat tubuhmu jadi lebih hangat!" ucap Gendhis.
"Menghangatkan tubuh?" Yuxi menggumam. "Padahal ada cara lain untuk menghangatkan tubuh."
"Kau bilang apa tadi?" tanya Gendhis dengan tangan yang masih menggerakkan wadah lada di atas panci sop buatan Yuxi.
"Gendhis!" teriak Yuxi.
Tangan Yuxi tanpa sadar menangkis tangan Gendhis yang masih berbalut perban dengan keras karena sembarangan memberi lada dalam jumlah banyak. Sampai wadah ladanya terjatuh dan menumpahkan semua isi di dalamnya.
Yuxi gegas mencicipi masakannya kembali dan berdecak kesal karena rasanya berubah jadi sangat pedas dan menyengat. Dia hampir memelototi Gendhis dan memarahi gadis itu habis-habisan. Saat matanya menangkap sosok Gendhis sudah berjongkok membersihkan tumpahan lada tadi dengan kedua tangan hingga perbannya kotor.
"Gendhis ...!" Yuxi ikut berjongkok setelah mematikan api kompornya. "Biar aku saja!" Tangan pria itu sudah terulur dan siap mengambil alih.
Tapi Gendhis menangkis balik tangan Yuxi dan berdiri dengan cepat membuang bubuk lada di telapak tangannya. Lalu melepas paksa perban di tangannya juga sampai luka melepuhnya kembali terbuka.
Kembali mengabaikan Yuxi yang terpaku melihat sikapnya, Gendhis berlari menuju area belakang dan mengambil lap basah untuk membersihkan sisa bubuk lada yang tersisa di lantai.
"Aku saja!" kata Yuxi yang mau merebut lap itu dari tangan Gendhis.
Tapi kembali diabaikan oleh Gendhis.
"Gendhis!" teriak Yuxi untuk ke sekian kali.
Mata Gendhis kini bertemu dengan mata Yuxi dan terlihat genangan air mata dalam kedua kelopaknya.
Melihat wajah gadis itu, Yuxi kembali terpaku dan merasa bersalah padanya.
"Aku--"
"Aku yang salah," ucap Gendhis dengan cepat. "Kau pergi saja! Masih jam kerja sekarang dan tak seharusnya kau ada di sini untuk mengurusku." Gadis itu kembali membuat pernyataan yang cukup tajam.
Dadanya bergerak kuat. Mengambil napas yang terlihat sangat berat.
"Kau belum minum obat atau makan apapun," kata Yuxi.
"Aku tahu!" balas Gendhis.
"Soal apa?" tanya Yuxi balik.
"Tahu kalau kau kerepotan menghadapi aku!" ucap Gendhis dengan nada suara yang meninggi. "Yuxi ... dari kemarin saat di rumah sakit, kau selalu ribut soal obat dan obat terus! Padahal aku sudah bilang sebelumnya, kalau aku tahu kapan dan bagaimana harus minum obat itu! Aku juga bisa mencari makanan untukku sendiri. Bahkan ..." Gadis itu mengalirkan air mata. "Jika aku harus minum semua obatnya tanpa makan pun! Aku sudah biasa melakukannya!"
Gendhis berlari dari dapur dan masuk ke dalam kamarnya.
Tanpa menutup atau mengunci pintu.
Meninggalkan Yuxi yang menarik napas panjang dan meraih bekas perban Gendhis yang dibuang sembarangan oleh gadis itu di bawah wastafel.
Dia lantas bangkit, berjalan menuju salah satu sudut mansion untuk mengambil kotak P3K yang dibawa ke kamar Gendhis.
Dilihatnya gadis itu sudah menangis. Tak bersuara, tapi isakannya masih bisa menusuk pendengaran Yuxi yang merasa kesal karena mendengar Gendhis menangis untuk kedua kali, gara-gara ulahnya.
Menyadari Yuxi berdiri di ambang pintu, Gendhis bergegas menghapus air matanya dengan kedua tangan. Tanpa peduli dengan luka di tangannya yang mungkin terasa perih.
"Gendhis ...," panggil Yuxi dengan suara yang sangat lembut.
Bahkan Yuxi terkejut dia bisa mengeluarkan suara selembut itu.
Tapi gadis itu bergeser, menjauh dari jangkauan Yuxi. Sampai pria itu harus menahan lengan Gendhis dan menariknya paksa agar mereka tak lagi berjarak terlalu jauh.
"Aku tak pernah bicara dengan gadis sebelumnya," kata Yuxi sambil tangannya mengambil kain kasa yang dibasahi NaCl untuk membersihkan luka melepuh di tangan gadis itu.
"Ssstt ...!" Suara desisan tanda perihnya terasa, terdengar dari bibir Gendhis.
Hingga Yuxi menghentikan sejenak gerakan tangannya dan melirik tajam pada wajah gadis itu yang sudah memerah akibat menangis.
Tangannya kemudian bergerak lagi, sambil mulut Yuxi meniupi tangan Gendhis demi menghalau rasa perihnya.
"Aku tak pernah bicara dengan gadis sebelumnya," ulang Yuxi.
Dia melirik pada Gendhis yang terlihat mencuri pandang juga ke arahnya.
Sudut bibir Yuxi terangkat. Tapi dia tak menegur sikap Gendhis sekarang.
"Jadi aku sering tak sadar kalau sikapku, kata-kataku, atau refleks-ku mungkin menyakiti seorang gadis sepertimu." Pria itu kembali berkata.
Yuxi terlihat menarik napas panjang lagi.
Tangannya kini mulai mengoleskan salep khusus untuk mengobati luka bakar dengan mata yang kembali memeriksa ekspresi Gendhis dan memastikan gadis itu tak lagi kesakitan.
"Saat Kakek memintaku menjagamu dan menjadi mentormu. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan padamu," ujar Yuxi kemudian. "Sampai aku membuatmu merasa tak nyaman. Tapi ..." Yuxi meniup lagi tangan Gendhis karena melihat gadis itu mengigit bibirnya sendiri menahan perih. "saat melihatmu sakit seperti kemarin, aku merasa harus memperlakukanmu dengan baik."
"Untuk apa?" tanya Gendhis akhirnya.
Yuxi melirik lagi dan mengulas senyuman.
"Memperbaiki hubungan kita?" Yuxi berkata dengan nada bertanya.
"Memangnya hubungan kita seperti apa?" tanya Gendhis balik.
"Hmm ..." Yuxi terlihat berpikir sebentar dan menggeleng. "Aku tak tahu," jawabnya. "Hanya saja aku tak suka melihatmu sakit. Aku juga tak suka kau marah seperti tadi."
"Tapi aku marah juga karena kau duluan yang mulai!" teriak Gendhis yang mulai memasang wajah cemberutnya.
"Nah!" Yuxi tersenyum dan menunjuk wajah gadis itu. "Harusnya kau marah seperti ini tadi. Bukan diam dan pergi menjauhiku!" tukas pria itu kemudian.
Gendhis menarik tangannya dan kembali ditarik oleh Yuxi untuk digenggam.
"Aku belum selesai!" tegas Yuxi.
"Kau galak!" seru Gendhis mengejutkan Yuxi.
Yuxi menatap mata Gendhis yang kini membalasnya dengan sorot mata tak kalah tajam.
"Kau itu galak! Kau terus memarahi aku dari awal kita bertemu. Semua kata dan kalimat yang kau lontarkan, selalu saja tajam dan menyakitkan!" ucap Gendhis lagi.
"Itu karena--"
"Pada semua orang!" potong Gendhis.
"Tahu dari mana?" tanya Yuxi kemudian.
"Dari pegawai kantormu!" balas Gendhis lagi. "Mereka bilang kalau kau itu sangat kejam dan jahat! Terutama kata-katamu!"
Tak bisa membantah ucapan Gendhis, Yuxi hanya diam dan melanjutkan membalut luka Gendhis dengan perban yang baru.
"Tapi aku tak melihatmu seperti itu, sih ...," gumam gadis itu sambil menundukkan kepala. "Yah, memang kau menyebalkan dan galak! Aku juga sempat sakit hati pada sikap dan kata-katamu dulu sampai hari ini. Tapi ...."
Mata gadis itu menatap lekat Yuxi yang juga menatapnya.
"Mungkin karena kau seorang CEO?" ucap Gendhis. "Tekanan dan tanggung jawab yang besar, kadang membuat seseorang menjadi sangat keras. Baik hati, tindakan, bahkan ucapannya."
Yuxi tersenyum semakin lebar.
"Kau sudah memaafkanku?" tebak Yuxi.
"Memangnya kapan kau minta maaf padaku?" balas Gendhis.
Yuxi baru akan membuka mulut lagi dan membalas ucapan Gendhis, saat ponselnya berbunyi dan menginterupsi. Nama Jiang Lin di sana membuat Yuxi sulit mengabaikan.
Dia tetap memegang erat tangan Gendhis dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mengangkat dan menahan ponselnya di dekat telinga.
"Katakan!" Kembali, Yuxi berkata dengan nada tegas.
"Tuan Muda ... maaf kalau saya mengganggu. Tapi baru saja saya mendapat info bahwa Tuan Minghao sudah berada di Quanzhou," lapor Jiang Lin.
"Quanzhou?!" teriak Yuxi.
Dia lupa kalau Gendhis masih di sisinya dan melotot mendengar suaranya yang meninggi.
"Telepon Minghao dan suruh dia kembali ke Shanghai, atau aku batalkan proposal pendanaannya pagi ini juga!" ancam Yuxi.
Yuxi memutus teleponnya sepihak dan seketika ingat dengan tangan yang dia genggam.
Gendhis kini menatapnya makin lekat dengan sorot mata yang terlihat ketakutan.
"Urusan pekerjaan," ucap Yuxi. "Dia juga laki-laki, kok."
Dan pria itu melanjutkan membalut luka Gendhis dalam diam.
***
Hayoloh Yuxi, nggak boleh galak sama Gendhis.
Gak boleh ... gak boleh ... hahahaha!
Gimana bab kali ini, seru nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top