Bab 10 - Kesepakatan Dua Naga

Halo Pembaca Semua ....
Sudah siap bertemu Zheng Yuxi?
Terus baca kisah Zheng Yuxi di akun AnisyaDanoewinoto dan kisah Zheng Minghao di akun EliyNorma ya ...!

***********************************

Suasana kembali sunyi karena Yuxi memilih fokus dengan tabletnya, sementara Gendhis melanjutkan tugas coding yang belum juga menemukan wangsitnya.

“Astaga …!” Tiba-tiba Gendhis bersuara sambil mengusak kasar rambutnya.

“Kau masih sakit, Gendhis!” tegur Yuxi. “Jangan memaksakan diri!” lanjutnya.

Mendengar ucapan Yuxi, Gendhis menoleh dan mengerutkan keningnya.

“Masalahnya … aku tahu apa yang harus ku tulis, tapi aku tak bisa menuliskannya dengan benar! Inspirasiku datang, saat aku memejamkan mata. Tapi saat mataku terbuka, semuanya lenyap begitu saja!” Gendhis mulai mengoceh.

“Itu karena kau masih sakit,” jawab Yuxi lagi.

Gadis itu meletakkan laptopnya kembali di atas nakas, saat dia menyadari bahwa dompet obatnya sudah kembali di sana.

Tanpa banyak bicara, dia membuka dompet tersebut dan mengambil satu obat yang biasa dikonsumsi ketika berada dalam situasi menyebalkan seperti ini. Tapi belum juga obat itu menyentuh bibir, tangan gadis itu sudah ditahan oleh Yuxi yang entah sejak kapan berdiri di samping ranjangnya. Yuxi bahkan melemparkan tatapan tajam dan mengintimidasi ke arah gadis itu.

“Kau sedang apa?” tanya Gendhis balas menatap Yuxi.

“Harusnya aku yang bertanya!” seru Yuxi.

Tangannya dengan cepat mengambil obat dari jari gadis itu dan menyimpannya ke dalam saku celana.

“Kau masih sakit. Obat dari rumah sakit saja, belum kau minum semuanya. Tapi kau sudah mau minum obat lain tanpa bertanya dulu pada Dokter?” Yuxi kembali melontarkan kalimat panjang.

“Yuxi …” Gendhis melepaskan tangannya dari cengkeraman pria itu dan berkata, “Kepalaku sakit sekali. Sumpah!” Dia menaikkan dua jari di hadapan Yuxi. “Sakiiittt sekali! Dari sini sampai ke sini, rasanya seperti ditusuk--”

Mengejutkan Gendhis, Yuxi tiba-tiba saja menekan bel untuk memanggil perawat dan membuat gadis itu memasang wajah terkejutnya lalu bersiap menyerang balik.

“Kau ini apa-apaan! Kenapa harus tekan bel segala! Aku hanya--”

Seorang perawat datang, tapi niat pria tersebut untuk memberitahu si perawat soal keluhan Gendhis, justru dihalangi oleh gadis itu dengan membekap mulut Yuxi hingga pria itu tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.

“Tidak ada! Tadi tak sengaja tertekan saja! Maaf ya,” ujar Gendhis cepat untuk mengusir perawat itu.

Setelah perawat itu pergi, Gendhis buru-buru menarik tangannya dari mulut Yuxi dan mengelap telapak tangannya ke lengan kemeja Yuxi karena merasa agak basah setelah bersentuhan dengan bibir pria tersebut.

“Gendhis!” Yuxi langsung berteriak. “Kau ini sakit! Jadi lebih baik--”

“Aku yang sakit dan aku yang tahu bagaimana tubuhku!” Gendhis berteriak balik.

Mengejutkan Yuxi dan membuatnya terdiam sambil menatap lekat wajah Gendhis yang kini tampak pucat.

“Apa yang aku rasakan … sudah biasa aku alami. Dan ini bukan hal besar, Yuxi!” ujar gadis itu lagi. “Kau tak akan mengerti, kecuali kau merasakan apa yang ku rasakan selama ini. Bertemu Dokter dan menjelaskan semua rasa yang menimpa tubuhku. Lalu mengganti obat setiap bertemu Dokter yang baru. Kau kira aku tidak lelah dengan semua itu?”

Berbeda dari Yuxi yang biasanya pintar membalikkan kata-kata. Juga jago menjatuhkan mental lawan bicaranya. Kali ini Yuxi seperti dijatuhkan balik oleh setiap kata yang Gendhis ucapkan.

“Semua obat ini adalah obat yang paling cocok untukku. Yang bisa diterima oleh tubuhku. Aku juga tahu dosis penggunaannya!” Gendhis lantas menunjuk ke salah satu obat yang tertulis aturan pakainya. “Lihat! Tertulis jelas di sini, kan?”

“Maaf.”

Aneh, Yuxi bahkan sudah mengucapkan dua kali permintaan maaf untuk Gendhis hari ini. Membuat gadis itu balik merasa bersalah mendengar dan melihat sikapnya.

“Jangan!” Gendhis menghela keras napasnya dan menyeka air mata yang menetes dengan sendirinya. “Aku yang minta maaf karena membentak dan membekapmu tadi,” cicitnya, lalu menundukkan kepala.

Gendhis kembali mendongak, dengan tangannya menarik kemeja Yuxi dan membuat pria itu kembali menatap padanya.

“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir pada kondisiku. Aku tak bermaksud untuk marah. Aku hanya …” Gendhis berhenti sejenak, sebelum kembali berkata. “Aku tak suka membuat orang lain khawatir atau repot karena kondisiku. Makanya aku selalu sedia semua obat ini, supaya kapan pun aku butuh … aku tak harus membebani siapa saja di sekitarku. Jadi tolong jangan minta maaf, karena kau tak bersalah,” ujar Gendhis yang tanpa sadar menyentuh hati Yuxi.

Tak tahu harus menjawab apa. Yuxi pun hanya mengangguk.

“Kau … mau minum obatnya?” tanya Yuxi kembali.

Tapi Gendhis menggeleng. “Sakitnya hilang!” ujar gadis itu dengan senyum mengembang. “Mungkin ucapanmu tadi benar. Kalau aku terlalu lelah dan kondisiku belum terlalu baik.” Dan kembali berseru. “Oh, benar!”
Mengira Gendhis akan melakukan sesuatu untuk dirinya, Yuxi justru disodori sebotol vitamin oleh gadis itu.
“Untukmu!” ujarnya tanpa ragu.

“Ini …” Yuxi menunjuk botol itu. “Maksudnya?”

Gendhis memiringkan kepala dan menghela napas melihat kebingungan Yuxi saat ini.

“Kau sedang lelah dan baru terjaga semalaman, kan?” terka gadis itu tepat sasaran. “Sejak awal kau datang, aku sudah tahu!” Gendhis lantas menunjuk satu persatu bagian tubuh Yuxi sambil terus mengoceh. “Wajahmu lelah, ada lingkaran hitam di kedua matamu meski tak terlalu nampak. Lalu ada cekungan bekas kacamata juga di pangkal hidungmu. Selain itu … wajahmu sekarang, terlihat sama kusutnya dengan kemeja yang kau pakai hari ini!”

Hampir saja Yuxi meluap lagi dan memarahi Gendhis, kalau gadis itu tak segera menjelaskan ketulusan hatinya saat ini.

“Kau mirip denganku saat menemui masalah besar!” Kembali, Gendhis berceloteh. “Aku tak tahu masalahmu dan tak mau tahu! Tapi aku mau memberikanmu vitamin ini, supaya kau tak terlihat seperti manusia terbuang karena semua masalah itu.”

Yuxi mengerutkan kening dan melihat penampilannya sendiri. Baru kali ini, dia mendapat kritikan soal penampilan bahkan wajahnya secara harfiah seperti ini.

“Sebab … Ibu bilang, kalau terlihat lemah dan lelah di depan musuh. Itu artinya mereka menang!” tukas Gendhis.

Karena Gendhis terus menyodorkan vitamin tersebut, Yuxi pun menerima dan memeriksa merk yang tertera dalam kemasan botolnya.

“Itu aman, kok!” Gendhis mengonfirmasi. “Semalam aku baru meminumnya! Isinya juga masih banyak, karena baru dua kali aku minum. Nanti … kalau cocok dan vitaminnya habis, kau bisa bilang padaku!” ujarnya lagi sembari memilah obat di dalam dompetnya.

“Lalu kau …?” tanya Yuxi balik.

“Ibu membawakan banyak sekali untukku dari Indonesia! Gara-gara itu, aku juga sempat ditahan di bagian imigrasi, tahu! Mereka kira, aku mau menjual obat ini secara illegal! Untungnya, Kakek Renzhong membantu dan membuatku bisa membawa semua obatnya dengan aman!” Gendhis kembali menjawab panjang pertanyaan Yuxi.

Di tengah obrolan, pintu ruangan terdengar diketuk dan sosok Jiang Lin muncul dengan membawa satu tas kertas yang berisi pakaian bersih untuk Yuxi.

“Selamat pagi Tuan Muda, Nona Gendhis!” Pria itu juga menyapa Yuxi dan Gendhis dengan senyum lebarnya.

“Pagi …!” jawab Gendhis dengan lambaian tangan dan senyum lebar kepada Jiang Lin.

“Tuan Muda, saya membawakan baju ganti untuk Tuan. Sekaligus laporan yang tadi--”

“Nanti saja!” balas Yuxi, sembari mengantongi botol vitamin pemberian Gendhis.

“Kau belum mandi?” seru Gendhis.

Yuxi melirik Gendhis dengan ekspresi wajah datar, namun menunjukkan sorot mata yang terasa hangat pada gadis itu.

“Kau bisa menebak kalau aku terjaga sepanjang malam. Tapi tak sadar, kalau aku belum mandi?” satir Yuxi.

Gendhis menunjukkan senyum canggungnya dan menggaruk kepalanya. “Yah … soalnya, kau terlalu wangi untuk ukuran orang yang belum mandi. Jadi ku pikir … kau hanya tak mau ganti baju saja,” gumam gadis itu sambil bergerak lagi untuk mengambil satu barang dari dalam laci nakasnya.

Tak hanya Yuxi yang tertegun dengan ucapan Gendhis soal aroma tubuhnya. Jiang Lin sampai mendelik saking terkejutnya dengan lontaran pujian Gendhis yang tak terduga.

**

Raut wajah Yuxi berubah muram, setelah mengetahui kabar yang dibawa Jiang Lin hari ini.

Urusannya dengan aktor dan narkoba itu belum berakhir, tapi sudah ada masalah baru tentang aktris utama mereka yang terlibat dalam skandal pajak.

Meski drama bisa dihentikan penayangannya. Tapi keterlibatan lebih dari satu aktor dalam sebuah produksi drama yang terlibat skandal besar dalam urusan hukum pemerintahan, pasti  kembali menciptakan goresan luka untuk Zou Hong ditengah kondisinya yang masih sangat buruk saat ini.

“Sudah kau pastikan?” tanyanya pada Jiang Lin.

“Secara lisan, dia belum mengakuinya. Tapi saya mendapat konfirmasi, bahwa dia sudah bersiap membayar pinalti atas beberapa pekerjaan yang terhubung dengannya saat ini, Tuan Muda.”

Tangan Yuxi mencengkeram kuat tabletnya.

“Tuan Muda, surat perjanjian yang Anda katakan dalam surel tadi … apa akan dilanjutkan?” tanya Jiang Lin kemudian.

“Minghao, maksudmu?” Yuxi membalik pertanyaannya dan dijawab anggukan oleh Jiang Lin.

Seperti ada keraguan yang menyergap relung hati Yuxi mengenai pertemuannya dengan Minghao beberapa waktu lalu. Dengan semua kondisi dan situasi mereka yang terbaru, pertaruhan ini seperti jurang antara hidup dan mati bagi Yuxi. Juga bagi Zou Hong sendiri.

Pandangan matanya sekali lagi terarah pada layar tablet yang menunjukkan laporan itu. Sebelum tangannya mengepal sangat kuat, hingga urat-urat di punggung tangannya terlihat dengan jelas.

“Lanjutkan!” tegas Yuxi. “Jika Minghao berani bertaruh dengan Zou Hong. Maka aku juga akan ikut masuk dalam pertaruhannya,” tukasnya dengan sorot mata cemas yang memancar.

Tarikan napas Yuxi kembali terlihat di mata Jiang Lin, membuat pria kurus itu cukup cemas. Sampai Yuxi kembali pada mode boss-nya dan memberi instruksi lain untuk sang asisten.

“Aku akan kembali ke Zou Hong. Tugasmu … awasi dan laporkan pergerakan aktris itu, supaya nama Zou Hong tak terseret dalam skandalnya!” perintah Yuxi.

“Baik, Tuan Muda!” jawab Jiang Lin.

“Ah!” Yuxi hampir melupakan sesuatu. “Tetap di sini dan jaga dia sampai diijinkan pulang!"

“T-Tapi Tuan!”

Yuxi berbalik badan dan melemparkan pedang yang menusuk Jiang Lin melalui tatapan matanya.

“Dan antarkan dia ke apartment-ku!”

Perintah itu membuat mata Jiang Lin membulat dan bersiap memberondong Yuxi dengan banyak pertanyaan. Tapi Yuxi lebih dulu membungkam Jiang Lin balik, dengan caranya.

“Dilarang bertanya! Lakukan yang ku suruh, atau kau akan kehilangan kepalamu saat kita bertemu nanti!” Telunjuk Yuxi menuding tepat ke wajah Jiang Lin yang menelan kasar saliva dan semua pertanyaannya kembali.

Pria berkacamata itu pun pergi, menghilang di balik dinding lorong rumah sakit. Ketika diwaktu yang sama, mata Jiang Lin menangkap sosok Kamalika yang berjalan santai dengan menenteng dua tas besar menuju ke kamar rawat sahabatnya—Gendhis.

“Astaga …! Gadis itu lagi?” pekik Jiang Lin dalam hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top