7 | Tuan Arogan
Happy reading, Readers.
••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
“Kenapa aku harus ikut dia ke Nanjing?” Kama mengeluh keras-keras.
Kakinya mondar-mandir di depan tempat tidur. Rasanya dia ingin mendinginkan kepala di balkon. Masalahnya, suhu di luar saat ini mencapai dua belas derajat celcius. Penghujung musim gugur sudah terlewat dan musim dingin mulai menyapa penduduk China.
Dan Kama benci dingin.
“Gimana caraku ngehubungin Gendhis? Dia pasti cemas, sejak kemarin aku belum pulang ke asrama.”
Kama menghela napas berat. Dia memang belum mengatakan pada Minghao bila tempatnya tinggal saat ini adalah di Asrama Universitas Fudan, bukan di apartemen.
Seharusnya tadi dia mampir sebentar ke asrama dan meninggalkan pesan untuk Gendhis, baru lanjut ke gimnasium untuk bekerja.
Masalahnya Kama sudah keburu takut tertangkap Minghao. Dia tidak yakin, lelaki itu benar-benar akan menjemputnya di kampus seperti janjinya saat mengantar Kama. Namun, demi berjaga-jaga Kama sudah merencanakan untuk kabur lebih dulu sebelum Minghao datang.
Nyatanya rencananya meleset. Tidak hanya meleset total, tapi sudah ganti rencana. Pasalnya Kama tidak mengira bila empat jam setelah Minghao menjemput, dia ikut terbang dengan pesawat menuju ke Nanjing.
Apesnya lagi, Kama hanya ditinggal begitu saja di kamar. Tanpa uang. Tanpa ponsel. Hanya berbekal janji Minghao yang akan segera menjemput.
“Segera apaan? Udah hampir jam satu, tapi Zheng Minghao masih belum datang juga.”
Kama menghela napas berat. Dia sudah lelah dengan berbagai peristiwa mengejutkan hari ini. Kakinya mulai memanjat tempat tidur dan rebahan. Namun, lima menit kemudian suara dengkur halusnya sudah terdengar memenuhi kamar.
~~~
“Tuan, mohon berhenti. Tubuh Anda bisa sakit bila terlalu banyak minum.”
Minghao menghalau tangan yang mencoba menahannya. Sekali lagi dia menenggak koktail racikan bartender. Sementara, di belakang meja, manajer bar memasang wajah khawatir terhadap sang artis.
“Itu Zheng Minghao, kan? Dia tadi ada jadwal pemotretan bersama Tidi di lantai sebelas. Apa dia patah hati karena ditolak Tidi, makanya jadi mabuk-mabukan seperti itu?”
Kasak-kusuk terdengar dari arah belakang Minghao. Lelaki itu mengepalkan tangan. Persetan dengan model yang menjadi partner pemotretannya malam ini. Benak Minghao hanya terisi oleh satu orang.
Zheng Yuxi.
Sekali lagi dia meminta minuman. Saat gelasnya sudah datang, satu tangan kokoh menahannya kuat.
“Minghao, ayo pulang.”
Setengah teler, Minghao menoleh. Senyumnya getir.
“Kenapa yang datang malah dirimu? Bukannya kau ada acara keluarga?” protes Minghao lirih. “Bing Yi yang setia. Bing Yi yang baik. Seharusnya kau saja yang jadi kakak sepupuku, bukan si terkutuk sialan Yu–”
“Minghao, cepat berdiri!” Bing Yi memaksa sahabatnya bangkit, secara efektif membungkam ocehan lelaki itu.
Nyatanya Minghao mampu berdiri cukup tegak, meski sudah menenggak bergelas-gelas minuman beralkohol. Untuk hal ini, Bing Yi memuji kemampuan tubuh bosnya dalam menoleransi kadar alkohol.
“Kenapa kau jadi seberat ini?” Bing Yi mengeluh saat memapah sahabatnya keluar bar. “Terakhir kali kau mabuk seperti ini saat ibumu meninggal. Itu sudah bertahun-tahun lalu. Apa yang terjadi sekarang, Minghao?”
Sempoyongan dua lelaki itu berjalan. Bing Yi mencari kartu kamar Minghao dan membawanya ke lantai sebelas.
Namun, sesampai di depan pintu, lelaki itu tertegun. Pintu baru terbuka dan suara menggelegar seorang perempuan terdengar keras menyambut kedatangan mereka.
“ZHENG MINGHAO! PULANGKAN AKU SEKARANG JUGA KE SHANGHAI!”
Bing Yi berserobok pandang dengan Kama. Gadis itu membelalakkan mata melihat kondisi Minghao, sebelum mulai bersikap sedikit tenang.
“Apa ada yang aku tidak tahu?” Bing Yi bertanya pada Kama.
Gadis itu menggeleng. Tanpa bicara, dia cepat-cepat membantu Bing Yi membawa Minghao ke tempat tidur. Dan tanpa bicara pula, Kama melucuti sepatu serta jaket lelaki itu. Tindakannya secara efektif memberi kesempatan Minghao untuk tidur nyaman.
“Bantu aku miringkan kepalanya. Dia tidak boleh tersedak.” Kama meminta tolong pada Bing Yi yang berdiri mematung di samping tempat tidur.
“Miss, Anda ….”
“Tolong, jaga dia. Aku butuh dia untuk memulangkanku ke Shanghai.” Kama tidak menggubris keterkejutan Bing Yi. “Aku ke bawah dulu mencari obat anti mabuk. Haish, kenapa pula dia sampai begini? Berapa gelas yang sudah dia minum?”
Bing Yi mendengarkan omelan Kama dengan tabah. Dia melihat gadis itu mengulurkan tangan.
“Maaf, dompet dan ponselku kemarin hilang. Aku tak pegang uang. Jika kau berkenan, bisa pinjamkan aku sedikit uang untuk membeli obat?”
Bing Yi buru-buru mengeluarkan kartu pembayaran. Dia menunggu sampai Kama meninggalkan kamar, baru memusatkan perhatian kembali kepada Minghao.
“Apa yang sudah terjadi, Minghao? Kau sendiri yang menyuruhku menerima tawaran pemotretan bersama Tidi di hotel ini. Itu karena kau tahu, Yuxi-da ge ada di sini. Kau ingin bertemu dia secara kebetulan, tapi kenapa kau malah teler tak karuan seperti ini?”
Bing Yi menghela napas panjang. Dia sendiri yang mengatur jadwal untuk ide pertemuan dadakan–yang sebenarnya sudah direncanakan oleh Minghao–dengan Zheng Yuxi.
Bahkan Bing Yi sempat meminta konfirmasi ulang, mengingat Minghao tidak terlalu menyukai Tidi. Model papan atas China itu sangat terkenal dengan hobinya menarik perhatian lawan jenis. Walau dicap playboy, sejatinya Minghao lebih suka mengejar daripada dikejar.
“Yuxi-ge ….”
Bing Yi menatap Minghao yang meracau.
“Aku tak pernah ingin … menjadi seperti … ini, Yuxi-ge. Aku … aku tidak pernah … ingin … mengecewakanmu.”
Bing Yi tertegun. Pandangannya melekat pada Minghao yang meracau dengan mata tertutup rapat.
“Aku … aku bukan noda di kemeja putih keluarga Zheng. Aku … aku bukan … kesalahan keluarga … kita ….”
Bing Yi menelan ludah. Batinnya terhantam rasa sakit saat melihat setetes air mata mengalir dari mata Minghao.
Setelah memastikan sahabatnya dalam kondisi yang bisa ditinggalkan, Bing Yi perlahan keluar kamar. Di lorong hotel yang sunyi, dia menelepon seseorang. Sambungannya diangkat dalam hitungan detik.
“Jangan bicara sekarang. Aku bersama Tuan Muda kembali ke Shanghai.”
Bing Yi tidak membuang waktu. Dia menutup telepon dan segera mengetik pesan.
[Apa yang terjadi? Apa Minghao berhasil bertemu dengan Yuxi-da ge?]
Balasan pesannya datang sangat cepat. Bing Yi menelan ludah. Matanya terpejam.
Kesedihan Minghao adalah kesedihannya. Dia yang paling memahami perasaan sahabatnya, juga insiden di masa lalu yang membuat hubungan dua bersaudara itu merenggang.
“Pantas saja kau terpuruk begitu dalam, Minghao. Perkataan Yuxi-da ge memang terkenal pedas. Tapi aku tak mengira bila dia bisa sekejam itu padamu.”
Helaan napas Bing Yi terdengar berat. “Empat tahun kau menghindar. Apa masih belum cukup kau terus merasakan sakit?”
Lelaki itu kembali masuk ke kamar, tanpa menyadari sesosok tubuh ramping bersembunyi di gelapnya ceruk dinding.
Kama mencengkeram kantong plastik berisi obat anti mabuk di dadanya erat-erat. Monolog Bing Yi terdengar jelas olehnya.
“Siapa Yuxi-da ge? Apa dia musuh Zheng Minghao?”
Pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Dini hari itu Kama mendapat kamar sendiri yang diatur oleh Bing Yi. Sementara, Bing Yi menemani Minghao di kamarnya.
Setelah sarapan, dua lelaki itu terlihat keluar dari kamar hotel. Dua-duanya memakai kacamata hitam. Dan dua-duanya sama-sama menunggu Kama keluar dari kamarnya.
“Sudah baikan?” Gadis itu mengamati Minghao lekat-lekat.
“Terima kasih untuk perhatianmu. Semalam kau sudah merawatku.”
Kama menggeleng cepat. “Bukan aku, itu Tuan Bing Yi. Aku hanya membeli obat setelah disuruh Tuan Bing Yi.”
Bing Yi spontan menurunkan kacamata, tetapi Kama menatapnya penuh peringatan. Lelaki itu kembali memasang kacamata dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
“Bing Yi, ya?”
Kama mengangguk tegas.
“Aku punya perempuan cantik di sini. Kenapa aku harus menghabiskan waktuku bersama laki-laki?” Minghao menggerutu.
Kama menepuk tangannya sendiri. “Karena kau sudah bisa mengeluh, berarti kau sudah sehat. Kalau begitu, antarkan aku sekarang juga ke Shanghai.”
Minghao terdiam. Dia mendengarkan Kama yang terus bicara tanpa henti.
“Aku punya tiga kuliah penting hari ini. Aku sudah membolos satu mata kuliah, tapi tak mungkin membolos dua mata kuliah lagi. Tapi jarak Nanjing ke Shanghai sangat jauh. Bermobil saja butuh tiga jam lebih. Bagaimana aku bisa–”
Minghao tak tahan lagi. Dia menyambar tangan Kama, menariknya cukup kuat hingga gadis itu nyaris terpelanting ke depan.
“Hei, Tuan Zheng! Kau mau bawa aku ke mana lagi?”
“Cari ponsel. Kau perlu ponsel baru agar bisa menelepon dosenmu dan minta izin tidak masuk kuliah.”
“Tidak mau! Kenapa aku harus selalu menuruti keinginanmu?” Kama menyentak kasar cekalan tangan Minghao.
Lelaki itu berkata dengan nada tidak sabar. “Karena aku akan merekrutmu dalam tim produksiku. Kau butuh beberapa kali bolos kuliah.”
“Apa?”
“Apa?”
Dua suara kompak bertanya. Kama dan Bing Yi. Mereka sampai menjulurkan leher demi memperjelas pendengaran.
“Bing Yi, atur agar Kama keluar dari seluruh pekerjaan paruh waktunya. Dia bisa menghabiskan nyawanya lebih cepat jika masih bekerja di tempat-tempat berbahaya itu.”
“Tuan Zheng, Anda tidak bisa bertindak arogan lagi padaku!” Kama menghentakkan kaki kesal.
“Hao. Panggil aku Hao.”
Kontras dengan nada suara Kama yang meninggi, Minghao justru bicara dengan nada sangat lembut. Aksi yang membuat asisten pribadinya langsung membekap mulut dan menatap penuh keterpesonaan.
“Jancuk, Mas! Sakarepmu ae nggawe keputusan kanggo aku! Koen ki ngira aku opo, boneka sing mung iso manut? Wes lungo ae koen sak adoh-adohe tekan aku!” Kama mengomel.
Minghao langsung mengangkat telunjuknya. Nadanya masih tetap lembut.
“Bahasa Mandarin, tolong. Sekarang aku bosmu, jadi kau hanya berkomunikasi dalam Bahasa Mandarin denganku. Titik.”
“Kau–”
“Bing Yi, ayo beli ponsel untuk anggota baru kita. Setelah itu, kita kembali ke Shanghai. Kau sudah dapat tiket penerbangannya, bukan?”
Bing Yi berbisik ke telinga Minghao. “Bagaimana dengan Yuxi-da ge?”
Minghao menepuk lengan sahabatnya. “Kau sudah melaksanakan rencana keduaku, kan? Mata-matamu di Zou Hong pasti sudah menghembuskan berita ke Jiang Lin, memberi tahunya kalau aku akan bertemu Kakek di Shanghai?”
Bing Yi mengangguk.
“Bagus. Kalau begitu, tinggal tunggu dia di Shanghai. Ayo, Bing Yi. Kita belanja dulu. Gadis pemarah itu bisa menyemburkan lidah api lagi jika kita menahannya terlalu lama di sini.”
Bing Yi menelan ludah. Lirikannya tertuju pada Kama yang berdiri cukup jauh dari mereka.
“Kenapa aku harus menuruti kalian berdua? Dirimu saja sudah sangat merepotkan, apalagi ditambah Miss Kama. Karmaku di masa lalu pasti sangat buruk.”
Sayangnya Minghao sudah tidak mendengarkan. Dia hanya melambaikan tangan sembari menyeret Kama meninggalkan area hotel.
Sementara itu, berjarak beberapa kilometer dari Zheng Pearl Nanjing Hotel, seseorang mengamati interaksi trio Minghao, Kama, dan Bing Yi. Dia mengetik pesan di ponsel pintarnya dan mengirim ke satu nomor khusus.
[Tuan Besar, Tuan Muda Kedua terlihat keluar hotel dengan seorang gadis yang belum dikenal. Saya akan mencari tahu identitasnya dan melaporkannya segera pada Tuan.]
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top