4 | Simfoni Mega Mendung

Vote dan komen dulu, ya. Biar Mas Minghao tambah seneng nemenin Readers di sini. Sugeng maos, Konco-konco sedoyo. ^^

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

"Gadis itu tak langsung melompat ke pangkuanmu?"

Minghao menggeleng. Pandangannya masih tertuju pada lembaran kertas draf naskah serial drama yang hendak diproduksinya.

"Dia tidak menggodamu?"

Minghao sejenak berhenti. Dia memikirkan jawaban untuk pertanyaan Bing Yi.

"Apa bersikap acuh tak acuh juga masuk kategori menggoda?" tanya balik Minghao dengan polos.

Bing Yi menggebrak meja. Tempat pena bergoyang menerima hantaman tangannya. Detik berikutnya, lelaki itu meringis kesakitan karena lupa betapa kerasnya meja mahoni di ruang kerja Minghao.

"Itu pasti trik dia! Dia pura-pura tidak tertarik padamu, tapi sebenarnya dia sedang memancingmu untuk mendekatinya."

Minghao merenung sejenak. Sejurus kemudian, dia menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak. Kurasa tidak. Dia tidak berpura-pura. Sorot matanya itu tak berbohong. Dia memang tidak tertarik padaku."

Bing Yi melongo. Mulutnya terbuka lebar, saking lebarnya sampai Minghao takut rahang sahabatnya bakal copot.

"Ini rekor! Ini prestasi! Hal luar biasa sedang terjadi!" Bing Yi bertepuk tangan heboh. “Sampai detik ini, belum pernah ada perempuan yang tahan pesona Naga Biru. Tapi gadis tadi ….”

Bing Yi tidak melanjutkan kalimatnya. Sebagai gantinya, dua jempol rampingnya teracung lurus-lurus ke udara.

Di hadapannya Minghao menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Helaan napasnya berat. Untuk alasan yang tidak dia mengerti, Minghao merasa kesal dengan perkataan sahabat merangkap asisten pribadinya itu.

"Apa pun itu, sepertinya aku harus berterima kasih padanya."

Minghao menunjukkan bundelan draf naskah kepada Bing Yi.

"Dia sudah mengoreksi detail-detail penting di tulisan Fang Jiaqi. Aku sudah memeriksanya di beberapa literatur. Koreksi Kama memang valid, benar-benar berdasar fakta sejarah. Jika Fang Jiaqi sampai membaca kurasi Kama, dia pasti kebakaran jenggot.”

"Kama?" Alis Bing Yi terangkat tinggi.

"Ya, gadis itu. Dia mahasiswi Jurusan Sejarah. Kupikir dia hanya pegawai biasa di Phoenix."

Bing Yi menatap lekat-lekat bos besarnya. Senyum penuh arti tersungging di bibir kecilnya.

"Apa?" Minghao bertanya ketus.

"Maksimal besok siang, data-data tentang Kama sudah ada di mejamu." Bing Yi berkata tanpa basa-basi.

Tenggorokan Minghao mendadak terasa gatal. Gelas di meja berisi air mineral langsung habis ditenggak. Kesempatan itu dimanfaatkan Minghao untuk mengatur ulang napas serta detak jantungnya.

"Jangan konyol. Aku tak tertarik pada gadis itu."

Bing Yi masih menatap penuh arti. Di hadapannya, Minghao mulai berkata dengan nada gusar.

"Jika kau terus memelototiku seperti itu, kukirim kau ke tempat Yuxi-ge sekarang juga."

Senyum Bing Yi langsung luntur. Bahunya terkulai lemas. "Bos, Tuan Muda Yuxi sudah menolak proposalmu. Ini kelima kalinya dia menolak. Kenapa tidak mencari investor lain saja untuk proyek drama ini?"

"Masih lima kali, bukan? Aku baru akan menyerah jika dia sudah menolakku seratus kali." Minghao berkata santai. 

Bing Yi mengerang keras. Topik pembicaraan tentang Kama dengan segera teralihkan.

"Lima proposalmu ditolak mentah-mentah. Mereka bahkan mengirim Jiang Lin untuk memberi tahu secara langsung penolakan Yuxi-da ge padamu. Kenapa kau masih–"

"Orang kedua yang aku percaya untuk menangani proyekku setelah Kakek adalah Yuxi-ge," potong Minghao dingin. "Dia kakakku, orang terdekatku. Lebih baik proyekku ditangani oleh keluarga sendiri dibanding dibantu investor luar yang tahunya hanya mencari untung saja."

"Memangnya Yuxi-da ge tidak mementingkan untung juga?" Bing Yi menghunus kalimat menohok pada Minghao, mengingatkan lelaki itu akan kenyataan di dunia hiburan yang dilakoni Minghao.

Minghao terdiam. Dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Bing Yi. Sebagai gantinya, lelaki itu malah memberikan perintah untuk bertemu dengan Fang Jiaqi di restoran.

Seperti dugaan Minghao, penulis skenario itu merasa tersinggung dengan kurasi seseorang yang dianggapnya amatir. Begitu menunjukkan draf naskah hasil koreksi Kama, Fang Jiaqi langsung menolak mentah-mentah.

“Seni itu bebas. Ini drama kolosal dengan world building yang tinggi. Aku bisa menggunakan sejarah sebagai basis cerita, dengan beberapa perubahan yang wajar.”

Kening Minghao berkerut. Dia tidak suka mendengar kalimat terakhir Fang Jiaqi.

“Kurator ini,” pria paruh baya itu mengetuk bundelan kertas berisi koreksi Kama, “tidak bisa serta-merta mengubah draf yang sudah aku susun hanya karena dia seorang mahasiswi Sejarah.”

Kerut di kening Minghao makin banyak. Bibirnya menipis. Pertanda jelas bila luapan emosinya sudah mulai naik ke ubun-ubun.

“Pertemukan aku dengan gadis itu. Akan aku ajari dia bagaimana mengadaptasi fakta sejarah dalam sebuah drama kolosal.”

Kerut di kening Minghao menghilang seketika. Lelaki itu tersenyum simpul. Tanpa basa-basi, dia mengiakan permintaan Fang Jiaqi dan menyuruh pria tersebut mengosongkan jadwal.

Keluar dari restoran, senyum Minghao tak lepas dari wajah. Siulannya terdengar keras saat berjalan menuju lobi. Lelaki itu bahkan tak protes saat Bing Yi datang terlambat, hingga membuatnya harus menunggu sejenak.

“Tumben tidak protes aku terlambat datang?” Bing Yi membuka pintu belakang mobil.

“Hatiku sedang senang.” Minghao duduk santai dengan satu kaki menyilang di atas kaki yang lain.

“Karena apa?”

“Rahasia.” Minghao enggan membeberkan alasannya. Saat ini dia hanya ingin menyimpan Kama untuk dirinya sendiri.

Sementara mobil meluncur mulus di jalanan Shanghai yang padat, Minghao duduk berdiam diri di jok belakang. Pandangannya terarah ke luar jendela dengan senyum tipis yang tidak lepas dari wajah.

Ekspresi lelaki itu tidak luput dari pengamatan Bing Yi. Sahabat sejak sekolah, kuliah, hingga bekerja itu beberapa kali melirik kaca spion di atas dasbor mobil. 

“Minghao,” dengan terpaksa Bing Yi harus membuyarkan apa pun fantasi yang berkelebat di benak bosnya.

“Bagaimana dengan rencanamu terhadap Zao Hong Pictures?”

Minghao seolah merasa dirinya ditarik paksa dari sekumpulan awan lembut yang sempat memeluknya penuh kehangatan. Suara helaan napas panjang terdengar keras memenuhi kabin mobil.

“Cari tahu jadwal Yuxi-ge,” perintah Minghao.

“Kenapa kau tidak langsung meneleponnya saja? Kalian kan, saudara sepupu.”

Minghao terdiam. Lidahnya terasa kelu. 

Bagaimana dia bisa langsung menghubungi sang kakak sepupu, bila selama beberapa tahun ke belakang ini hubungan mereka sangat dingin dan berjarak?

Pikirannya melayang ke tempat lain. Kepada seseorang yang tidak ada di tempat ini.

Zheng Yuxi.

Namanya saja cukup untuk membuat dadanya terasa berat. Yuxi, kakak sepupu yang dulu selalu menjadi poros dunianya. 

Mereka tumbuh bersama, saling memahami dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, sekarang jarak di antara mereka lebih lebar dari samudra mana pun.

Minghao meraih ponselnya, jari-jarinya ragu sebelum akhirnya mengetik pesan.

[Apa kabar, Yuxi-ge? Sudah lama kita tidak berbicara. Aku ingin mendengar ceritamu.]

Namun, pesan itu tidak pernah terkirim. Minghao menatap layar sebentar, lalu menarik napas panjang sebelum menghapusnya. 

Yuxi terlalu sibuk dengan dunianya, dan dia terlalu pengecut untuk mengganggu.

“Minghao?” panggil Bing Yi dengan nada khawatir karena sahabatnya mendadak berubah diam.

Di tempatnya duduk, benak Minghao berkecamuk. Dia tidak ingin menganggap serius ultimatum sang Kakek. Namun, uang saku yang mendadak dihentikan sepihak oleh kakeknya membuat Minghao jadi pusing tujuh keliling.

Seluruh tabungannya sudah dia salurkan ke agensi dan proyek serial drama terbarunya. Sayangnya, hal itu tetap masih belum cukup. Membuat satu serial kolosal berkualitas yang mampu menembus Level A industri hiburan Cina amat sangat menguras saldo rekening.

Dia tidak sudi mengemis pada kakeknya. Solusi tercepat untuk masalahnya kali ini hanyalah Yuxi. Dan untuk itu, Minghao harus merelakan harga dirinya terjun bebas demi membuat janji temu dengan sang sepupu.

“Kutunggu besok jadwal Yuxi-ge. Aku akan bergerak setelah mendapat seluruh kegiatannya.”

Bing Yi hanya mengangguk, meski kepalanya mendadak terasa berdenyut-denyut kencang. Mencari informasi tentang seorang gadis yang mencoba mendekati bosnya itu sangat gampang. Namun, mencari jadwal seorang pebisnis sukses seperti Zheng Yuxi ibarat mencari buronan korupsi yang bertekad untuk tidak tertangkap.

Setelah mengantarkan Minghao ke lokasi latihan koreografi bela diri, Bing Yi bergegas menelepon seseorang. Kali ini adalah waktu yang tepat untuk meminta bantuan pada mata-matanya yang berada di Zao Hong Pictures.

~~~

“Oke, semangat ngumpulin cuan, Kam!”

Gadis itu memberi semangat pada diri sendiri. Tangannya erat menggenggam gagang pel. Satu tangan lagi stabil mencengkeram pegangan ember berisi air.

Langkah Kama ringan menuju lantai dua. Tugasnya siang ini adalah mengepel tiga lantai ruang latihan. Semuanya harus selesai sebelum pukul lima sore agar dia punya waktu untuk lanjut bekerja di Phoenix Longue & Bar.

Menjadi mahasiswi perantauan di China memang tidak mudah, apalagi untuk orang berkantong tipis seperti dirinya. Kerja paruh waktu adalah salah satu solusi Kama untuk bertahan hidup di kerasnya kehidupan Shanghai.

“Berhenti. Bersihkan nanti saja.”

Kama urung maju. Dia berhenti di depan pintu yang dijaga dua bodyguard.

“Shuàigē, saya harus selesai tepat waktu. Kalau tidak, Bos akan marah-marah.” Kama mencoba membujuk dua bodyguard itu dengan memuji mereka sebagai pria tampan.

“Tidak bisa. Ruangan ini privat, tidak boleh dimasuki sebelum selesai.”

“Apanya yang selesai?” Kama melongok ke jendela kaca di samping bodyguard.

Dan dia tertegun.

Di tengah ruang gimnastik, seorang lelaki dengan tubuh yang ramping berotot terlihat memegang pedang tipis.

Dia melangkah maju, tubuhnya melengkung seperti angin yang menyusup lembut di sela-sela dedaunan. Ujung pedangnya bergerak cepat dalam lengkung sempurna, memotong udara dengan suara desis halus.

Lalu ritme gerakannya mulai naik. Gerakannya tiba-tiba menjadi lebih cepat, hampir terlalu cepat untuk diikuti mata. Pedang tipis itu seolah berubah menjadi lembaran benang yang dipintal rapat, bergerak lentur membelah udara, menimbulkan suara desing yang terdengar merdu di telinga.

Lalu si lelaki berhenti. Posisinya tepat menghadap ke arah Kama. Pandangan mereka bertemu dan Kama terkesiap keras.

“Zheng Minghao?” tanyanya tidak percaya.

“Minggir. Kau tidak boleh berada di ruang latihan ini.”

Kama pasrah. Dia menyeret kaki meninggalkan tempat itu. Telinganya masih mendengar suara pedang dan kaki yang bergerak, hingga suara-suara itu lenyap setelah Kama naik ke lantai tiga.

“Pinter juga tuh, cowok. Pasti dia latihan buat drama terbarunya. Koreografi serial action China emang keren-keren.”

Kama bersiul. Pertemuannya dengan Minghao sejenak terlupakan. Saat satu jam kemudian dia kembali ke lantai dua, ruang itu sudah kosong.

“Dia ganteng. Badannya juga keren. Sayang, bela diri cuma dari koreografi doang. Ketinju preman udah auto KO tuh, Minghao.”

Denting lembut ponsel mengingatkan Kama bila jadwalnya di gedung gimnastik ini sudah selesai. Dia harus segera pergi ke tempat kerja ketiganya hari ini sebelum kena potong gaji karena datang terlambat.

Sayangnya, semesta tidak mendukung rencana Kama. Melewati satu gang sempit di antara bangunan restoran dan butik gaun mewah, insting Kama terusik kala memergoki sekelompok orang tengah memeras bocah lelaki yang tampak lemah.

“Hei, berhenti!” Kama langsung menghambur ke arah kawanan kecil itu.

“Minggir, perempuan!”

Kama tersungkur jatuh saat salah seorang dari lelaki berotot menyodok rahangnya. Wajah Kama seketika berdenyut-denyut nyeri.

Itu tindakan tidak sengaja. Kama tahu itu. Masalahnya, dia sudah melihat perundungan yang dilakukan para lelaki jangkung itu. Jadi, Kama tak merasa bersalah saat menganggap sodokan itu adalah aksi sengaja.

“Koen sing minggir!” Kama membentak dalam bahasa Surabaya.

Empat lelaki itu menatap Kama tidak mengerti. Si gadis tidak peduli. Segera dia bangkit dan melayangkan tendangan kaki kanan ke arah seorang lelaki.

Suara gedebug keras kembali terdengar. Tiga lelaki lainnya tak tinggal diam melihat kawannya jatuh tersungkur. Satu demi satu mereka menyerang Kama, tetapi tiap serangan itu berhasil dipatahkan dengan mulus. Bahkan dua orang lainnya menyusul mencium tanah setelah Kama memberikan pukulan bertubi-tubi ke wajah dan perut.

Hingga satu orang tersisa mulai mengeluarkan pisau lipat. Dia menatap Kama dengan pongah. Diayun-ayunkannya pisau itu ke hadapan Kama.

“Wajahmu cantik, sayang kalau tidak diberi kenang-kenangan sedikit, bukan?” suara serak dan menyebalkan itu mencoba mengancam Kama.

Sang gadis tidak tinggal diam. Dia merangsek maju. Bertepatan dengan itu, si penyerang juga mengayunkan pisau ke depan.

Kama berhasil menghindar ke kiri. Namun, sayang. Ujung pisau berhasil menorehkan luka cukup dalam di kulit lengan Kama.

Gadis itu meringis kesakitan. Tanpa memedulikan kondisinya, dia segera melayangkan tendangan yang bisa ditangkis dengan mudah oleh lawan.

Kama sudah mulai kehabisan tenaga. Napasnya tersengal. Darah mengucur deras dari lengan yang terluka. Dia terhuyung-huyung, melihat dengan pandangan kabur saat tiga orang yang sempat ditumbangkannya mulai berdiri dan bergabung dengan lelaki berpisau.

Jarak mereka kian dekat. Tawa sumbang memekakkan telinga. Kama mencengkeram lengannya kuat-kuat. Rahangnya mengencang menahan gejolak emosi.

Lalu si lelaki mengayunkan pisaunya ke arah wajah Kama. Gadis itu spontan memejamkan mata, menunggu sesuatu yang buruk terjadi, mempersiapkan diri akan rasa sakit kedua yang bakal menyerang.

“Polisi! Polisi! Di sini! Mereka ada di sini!”

Kama tertegun. Empat lelaki penyerangnya berderap cepat meninggalkan gang, memanjat pagar dari besi, dan menghilang dari pandangan.

Lalu kesadaran Kama menghilang. Tubuhnya merasa lemas luar biasa. Dia ambruk tanpa menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya.

Gadis itu sama sekali tak mengetahui sepasang tangan kukuh sangat cepat memeluknya dari belakang, membuatnya terhindar dari menghantam tanah. Lalu seorang lelaki berjaket tudung membopongnya keluar gang dan berjalan cepat ke mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.

“Minghao, bawa dia ke rumah sakit. Lukanya terus berdarah.”

“Tidak perlu. Ke apartemenku saja yang lebih dekat. Biar dokter yang datang ke sana.”

Mobil itu bergerak cepat meninggalkan lokasi. Tidak ada polisi yang benar-benar datang. Itu hanya tipuan Minghao untuk menolong Kama.

“Dasar gadis tak kenal takut. Apa kau sadar tubuhmu ini terlalu mungil untuk melawan kejamnya dunia?”

Di kursi sopir, teman yang menjadi lawan main Minghao di drama terbarunya melirik dari spion di atas dasbor. Senyumnya tipis penuh arti saat melihat Minghao tengah memeluk seorang gadis erat-erat. 

“Kuharap dia bukan korban barumu, Minghao.”

Minghao menggeleng tanpa melepas pandangannya dari Kama. “Tidak akan. Dia bukan korban baruku. Aku-lah yang justru jadi korbannya.”

~ BERSAMBUNG ~



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top