30 | Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Sudah jatuh tertimpa tangga. 

Peribahasa itu cocok untuk menggambarkan situasi Kama sekarang. Saat ini dia duduk di kafe kecil di luar area kampus Fudan, menyembunyikan dirinya di meja sudut yang tertutup rapi oleh deretan pot berisi tanaman plastik.

Dia sudah mendapat penjelasan lengkap dari Siheng. Tangannya gemetar memegang ponsel pintar yang dipenuhi komentar penuh kebencian. Entah dari mana orang-orang ini mendapat akun media sosialnya, yang jelas sekarang notifikasi tak henti muncul di layar ponsel.

“Dasar tukang pukul! Orang seperti dirimu tak pantas menjadi mahasiswa di kampus elite.”

"Kalau aku jadi Luo Luo, aku akan membuat laporan sekarang juga ke polisi biar kapok.”

“Cuma mahasiswa miskin yang berani main kasar. Memang tak punya etika.”

Kama menelan ludah. Dadanya sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit. Semua ini dimulai dari satu foto wajah Luo Luo yang lebam dan status panjang yang mengisahkan dirinya sebagai korban. Luo Luo tahu cara bermain drama, dan publik memakan narasi itu bulat-bulat.

Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Lusi, teman satu asramanya. Kama ragu, tapi akhirnya mengangkat.

“Halo?” suara Kama terdengar serak, menanti teman dari Malaysia-nya itu bicara. Mereka sama-sama mahasiswa perantauan yang tinggal di Asrama Fudan.

Kama, aku rasa lebih baik aku terus beritahu kau. Tadi warden asrama datang. Dia kata kau tak boleh tinggal kat asrama lagi,” suara Lusi terdengar penuh rasa bersalah.

“Apa?” Kama tersentak, suaranya bergetar. “Kenapa? Aku tak salah, Lus. Luo Luo yang provokasi aku duluan.”

Aku tahu, tapi … dia orang kata ini untuk jaga keselesaan pelajar lain. Isu ni dah viral, Kama. Ramai pelajar dah tak selesa kalau kau terus tinggal kat asrama. Malah ada yang buat petisyen suruh kau keluar.”

“Petisi?” Kama hampir menjerit. Dia menggigit bibir, menahan tangisan. “Lusi, aku tak ada tempat lain buat tinggal.”

Hening di ujung telepon. Lalu suara Lusi terdengar, pelan. “Aku tak tahu nak cakap apa, Kam. Tapi … aku rasa kau patut bincang dengan pihak universiti.”

Kama tertawa kecil, getir. “Kau pikir mereka akan mendengar aku? Mereka lebih peduli sama reputasi daripada mencari tahu kebenaran. Luo Luo orang berpengaruh di industri hiburan negara ini. Suaraku mana didengar oleh pihak kampus?”

Lusi tak menjawab. Kama menutup telepon, lalu memandang keluar jendela. Matahari sudah tenggelam sejak satu jam lalu. Pekatnya malam mulai menyapa. Kepingan lembut salju turun perlahan, seirama dengan angin dingin yang menderu kencang.

Dalam kepalanya, wajah Luo Luo terus terbayang. Senyumnya yang licik, dan kalimat terakhirnya sebelum mereka berpisah di Quanzhou dulu kembali terngiang.

“Kau pikir bisa melawanku? Kau cuma anak kampung yang tidak tahu aturan.”

Kama mengepalkan tangan. Dia tahu, Luo Luo tidak akan berhenti sampai Kama hancur sepenuhnya. Gadis itu meradang kala menyadari jika semua ini berawal dari sosok Zheng Minghao.

“Kau kira aku bisa ditindas, Luo Luo?” Kama menghela napas berat. Suaranya bergetar menahan tangis. Pantang baginya mengeluarkan air mata di perantauan dan disebabkan oleh tingkah satu wanita liar. 

“Bukan Kamalika Tunggadewi jika aku gampang menyerah. Enak saja dia bisa hancurkan hidupku setelah aku susah payah berada di sini.”

Kama menyesap minuman hangatnya saat ponselnya berdenting pelan. Ada pesan dari Lusi yang mengirimkan satu foto. Gadis itu mengepalkan tangan kesal saat melihat barang-barangnya sudah dikemas dalam koper dan diletakkan di lobi asrama.

Lalu satu surel masuk dari pengurus Asrama Fudan. Benar kata Lusi, pihak asrama tidak ingin berurusan dengan dirinya yang dianggap viral karena aksi vandalisme. Ada penjelasan bila Fudan Dormitory tidak menginginkan ada hubungan dengan penghuni yang memiliki catatan kriminal.

Cuk, dianggep aku ki penjahat tenan po piye? Sialan, segede iki tah pengaruh Luo Luo ndek kampus?”

Tangannya meraih cangkir teh yang mulai dingin, tetapi dia tak meminumnya. Kepalanya penuh pertanyaan—ke mana dia harus pergi? Hatinya terasa sesak setiap kali mengingat wajah-wajah di kampus, komentar jahat di media sosial, dan suara Lusi yang tak bisa membantunya.

Saat pintu kafe terbuka, angin dingin ikut masuk, membawa serta sosok lelaki bertubuh tinggi yang mengenakan mantel panjang hitam dan topi wol yang agak miring. Pria itu melepas kacamatanya, mengusap embun di lensanya, lalu matanya langsung menangkap Kama. Dia bergegas mendekat.

“Kama.” Suara itu familier, lembut, dan membuat Kama mendongak.

“Hao?” Dia bertanya dengan nada tak percaya. 

Wajah lelaki itu sedikit merah karena hawa dingin. Rambutnya basah oleh salju yang mencair.

“Kenapa susah sekali mencarimu?” katanya dengan nada sedikit tegas, tetapi ada kelegaan dalam sorot matanya. Dia melepas mantel tanpa menanggalkan topi, 

“Kau … sudah tahu?” tanya Kama lirih.

Minghao mengangguk. “Luo Luo memang sudah keterlaluan. Padaku, dia berjanji tidak akan menuntutmu ke polisi. Rupanya dia bergerak dengan caranya sendiri.”

Kama menolak sentuhan Minghao. Lelaki itu mengerti dan memilih duduk di depan Kama, alih-alih di sampingnya.

“Aku diberi tahu A-Heng kalau kalian semua mengadakan pertemuan di agensimu hari ini. Luo Luo bertekad untuk memenjarakan diriku.”

Di depannya Minghao mengepalkan tinju. Dia tak suka saat mendengar nama Pei Siheng disebut.

“Ke depan bisakah kau menghubungiku saja daripada mendengar info tidak jelas dari orang lain?”

“A-Heng bukan orang lain.” Kama membela.

“Tapi dia ‘hanya’ Ketua Tim Penulis Naskah. Aku-lah sutradaranya, Kam. Aku yang lebih tahu seluruh situasinya dibanding dirinya.” Minghao berkata dengan kesabaran yang kian menipis.

Kama memalingkan pandangan. “Aku tak boleh sampai berurusan dengan polisi, Hao. Jika orang tua Gendhis tahu soal ini, mereka akan memaksaku pulang. Kalau aku kembali ke Indonesia, siapa yang akan menjaga Gendhis di sini?”

Minghao mengerjapkan mata. Ekspresinya seperti orang yang baru saja dipukul penggorengan. “Tunggu dulu, kau lebih mencemaskan sahabatmu itu ketimbang dirimu sendiri?”

“Aku juga mencemaskan diriku sendiri. Tapi aku memikirkan Gendhis! Dia sendirian di negara ini. Gendhis tak sekuat aku, Hao. Jika dia tak punya orang untuk melindungi, bagaimana nasibnya di negara ini nanti?”

“Lantas nasibmu sendiri bagaimana?” Minghao bertanya dingin.

Kama membuka mulut hendak menjawab, tetapi langsung menutupnya lagi. Dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan Minghao.

“Bing Yi mendapat informasi. Kau diusir dari asramamu karena pemberitaan Luo Luo.”

Kama mengangguk pelan. “Aku tidak tahu harus ke mana,” suaranya hampir berbisik.

Minghao menghela napas. “Kau tidak bisa terus seperti ini, sendirian di tengah kota besar. Aku khawatir.”

Kama memalingkan wajah, menatap salju di luar. “Aku hanya ... tidak ingin merepotkan siapa pun.”

Minghao menatapnya dalam diam. Dia cukup bijaksana untuk tidak menghakimi gadis itu dan membawa-bawa nama Gendhis. Kama sudah cukup kalut saat ini.

Dan yang membuat Minghao jengkel adalah gadis itu masih terlalu sombong untuk meminta bantuannya. Satu kali pun Kama tidak mengiriminya pesan, apalagi sampai menelepon. Sekali bertemu, gadis itu justru mengkhawatirkan orang lain alih-alih dirinya.

Minghao tak tahu lagi bagaimana harus menunjukkan perasaannya pada Kama. Gadis itu seolah tidak membutuhkannya. Kama memang anomali dalam kelompok perempuan yang mengelilinginya selama ini. Kama adalah perempuan pertama yang mampu membuatnya uring-uringan karena sikapnya yang kelewat mandiri.

Bersama Kama, Minghao merasa ingin dibutuhkan. Sialnya, gadis itu justru merasa tidak membutuhkan Minghao sama sekali.

Dia menggeser cangkir teh Kama ke sisi, lantas menggenggam tangannya yang dingin. “Dengarkan aku. Kau tidak merepotkan. Kau butuh tempat yang aman dan aku punya apartemen. Tinggallah di sana untuk sementara.”

Kama menatap bingung. “Kau sudah gila, ya? Akar permasalahan ini adalah dirimu. Bagaimana jika Luo Luo dan media sampai tahu kalau kau menyembunyikan diriku–” 

“Kam,” potong Minghao dengan suara lembut, tetapi tegas. “Aku tak peduli apa yang orang pikirkan. Kalau mereka tahu, maka biarkan mereka tahu. Yang penting kau aman.”

Hening menyelimuti mereka. Kama tak bisa membantah, tetapi hatinya berdebar. Sementara itu, Minghao menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahnya yang tertunduk. Jarinya terasa hangat di kulit dingin Kama.

“Kau tahu aku tak bisa meninggalkanmu di sini, bukan?” tambahnya pelan, dengan nada yang tak bisa ditolak.

“Aku tak mau berutang budi padamu.”

“Demi Tuhan, Sayangku. Tak ada utang budi di sini. Anggap aku seperti sahabatmu itu. Jika Gendhis tahu hal ini, dia pasti juga akan menyewakanmu apartemen saat ini juga.”

Kama menelan ludah. Itu memang tindakan yang khas Gendhis. Bibirnya tak urung menyunggingkan senyum tipis.

“Kau tak berutang budi apa pun padaku,” Minghao mengulang perkataannya, “dan aku tak bisa tenang jika melihatmu keluyuran di luar sana. Kau tak tahan dingin. Kau bisa mati kedinginan tanpa kehangatanku.”

Kama memejamkan mata, merasa geli karena di situasi genting macam sekarang bisa-bisanya Minghao masih berseloroh mesum seperti itu.

Minghao tersenyum kecil, samar, tetapi cukup untuk membuat Kama merasa sedikit lebih ringan. Dia bangkit, meraih mantel dan syal tambahan dari tasnya. “Pakai ini. Di luar semakin dingin.”

Saat mereka keluar dari kafe, salju masih turun dengan lembut, melapisi trotoar. Minghao berjalan di sisi Kama, menjaga langkahnya agar tetap sejajar. Udara malam terasa menusuk, tetapi untuk pertama kalinya, Kama merasa sedikit lebih hangat.

Di bawah lampu jalan yang berpendar lembut, bayangan mereka berjalan berdampingan, meninggalkan jejak samar di atas salju yang membeku. Minghao mengeluarkan beberapa lelucon yang perlahan-lahan membuat senyum Kama lebih lebar. Keduanya begitu larut dalam kebersamaan yang nyaman sampai-sampai tidak menyadari satu mobil mulai melaju pelan membuntuti di belakang.

Ada Luo Luo duduk di kursi pengemudi. Bibirnya mengatup rapat menahan gejolak kemarahan yang menghantam dada. Tangannya mencengkeram roda kemudi erat-erat, menahan diri untuk tidak meloncat keluar mobil dan memisahkan Minghao serta Kama yang bergandengan tangan erat.

“Kenapa kau memilih dia, Minghao? Kenapa?” Luo Luo berkata geram.

Di ujung jalan, wanita itu berbelok–sengaja menjauhi Minghao dan Kama yang sudah hendak memasuki mobil milik aktor papan atas tersebut. Mengabaikan resiko ditilang karena kedapatan menggunakan ponsel saat mengemudi, Luo Luo menelepon Pei Siheng.

“Ini darurat. Aku tahu kau dekat dengan Zheng Yuxi. Buatkan aku janji temu dengannya besok. Aku tak mau tahu, Tuan Pei. Pokoknya besok siang aku harus bertemu dengan Zheng Yuxi.”

~ BERSAMBUNG ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top