3 | Kau Bukan Prioritas
Lampu kamar hotel remang-remang, cukup terang untuk menonjolkan pemandangan kota malam di balik jendela kaca yang setengah terbuka. Di ranjang yang seprai putihnya sudah kusut, Minghao duduk dengan rambut sedikit berantakan, kemeja yang hanya terpasang dua kancing, dan senyum yang menyembunyikan lelah.
Di sebelahnya berbaring selebgram cantik dengan mata terpejam rapat, lelah luar biasa setelah percintaan mereka yang panas. Lingerie satin ungunya bahkan tidak mampu menyembunyikan kemolekan tubuh sesempurna Chang-e [1].
Keheningan itu seharusnya menenangkan bagi Minghao. Namun, getar lembut ponsel di nakas membuatnya terusik. Satu pesan muncul dari Bing Yi yang sontak membuat Minghao meradang.
[Flashdisk tidak ada di apartemen dan kantor, Minghao. Aku sudah mencarinya ke mana-mana. Apa kau tak punya salinan draf naskah di Cloud?
Satu lagi. Proposalmu ditolak oleh Yuxi-da ge. Aku baru terima surelnya malam ini.]
“Brengsek.” Minghao merutuk tertahan.
Tangannya cepat menyibak selimut. Ranjang bergoyang agak keras saat dia melompat bangun dan segera merapikan penampilannya.
“Minghao, mau ke mana? Bukankah kau akan bermalam bersamaku?”
Lelaki itu tidak menoleh. Dia hanya menatap si selebgram dari pantulan cermin tempat dia merapikan pakaian.
“Urusan pekerjaan. Penting.” Minghao menjawab datar.
“Lebih penting dariku?”
Minghao mencibir dalam hati. Pada akhirnya dia menatap si perempuan. Sorot matanya tajam, tanpa muatan emosi apa pun di dalamnya, meski hati Minghao bergejolak oleh kemarahan akibat ketidak-becusah Bing Yi dan sikap Yuxi-da ge.
“Tentu saja, Sayang. Bisnisku seribu kali lebih penting dibanding dirimu.”
Wajah sang selebgram memerah. Kantuk sepenuhnya hilang. Dia bangkit sangat cepat dan bergelayut manja di punggung Minghao. Namun, lelaki itu justru menjauh.
“Minghao ….”
“Aku sudah menemanimu. Urusan kita berakhir di sini saja.”
Perempuan cantik itu mencengkeram lengan Minghao kuat-kuat. “Jangan pergi! Kau kekasihku sekarang! Temani aku di sini!”
Satu sudut bibir Minghao tertarik ke belakang. Senyumnya mencemooh. Dengan kekuatannya yang besar, tidak sulit melepaskan cekalan perempuan itu di tangannya.
“Kita hanya berbagi kesenangan, Sayang, bukan berbagi masa depan. Permisi, aku harus pergi.”
“Jadi, aku bukan masa depanmu?” Perempuan itu menjerit.
“Bukan. Tentu saja bukan. Mendekati seujung kuku saja tidak.” Minghao lantas berjalan pergi tanpa memedulikan panggilan si selebgram cantik.
~~~
“Kenapa ada dua flashdisk di sini?” Kama mengangkat dua benda kecil dan pipih berbentuk sama di tangannya.
“Ada apa?”
Gadis itu menoleh. Terlihat Gendhis–sahabatnya sejak dari Indonesia sekaligus teman satu kamarnya di Asrama Fudan–berjalan sambil mengusap-usap rambut yang basah dengan handuk.
Alih-alih menjawab, Gendhis justru balik bertanya. “Gimana sama magangmu di perusahaan Cina itu?”
“Menyebalkan.” Gendhis menghempaskan diri di tempat tidur. “Sikap mentorku sudah seperti titisan dajjal. Jahat benar dia sama aku.”
Kama cekikikan. Dia kembali fokus pada dua benda elektronik di tangannya.
“Resiko jadi anak orang kaya, ya. Hidup aja terus diatur sama orang tua.” Kama setengah meledek sahabatnya.
“Apa itu?” Gendhis menunjuk diska lepas yang dipegang Kama, tidak memedulikan perkataan sahabatnya.
“Kemarin aku nabrak orang. Nggak sengaja, sumpah! Aku bukannya mau cari perkara sama orang lokal sini.” Kama buru-buru menjelaskan saat menangkap tatapan curiga di mata sang sahabat.
“Separuh percaya aku. Kamu itu, ya, mentang-mentang jago silat jadi nggak ada yang ditakuti lagi. Ini bener nabrak orang atau ketemu preman jalanan terus kamu tabrak?”
“Astaga, Gendhis Anindita Dhanoewinoto. Kamu itu tahu banget sama aku, sih? Suwer, ini beneran tabrakan.” Kama terus meyakinkan.
Secara ringkas dia menceritakan insiden yang dialaminya bersama seorang lelaki di Tangjiawan. Lalu karena terburu-buru, Kama menyambar apa pun yang berceceran di tanah karena mengira benda itu miliknya.
“Ternyata flashdisk aku masih ada di kantong.” Kama mengakhiri penjelasannya.
“Coba cek, gih. Kali aja itu flashdisk punya orang yang kamu tabrak.”
“Colok di laptopmu, ya? Kalo isinya virus, laptopku masih aman.”
Gendhis menjitak dahi sahabatnya. “Enak aja! Terus laptop aku jadi tumbalmu gitu?”
“Ya, kau kan, punya duit buat servis kalo ada apa-apa. Beda sama aku yang mahasiswi kantong cekak gini.” Kama cengengesan.
Gendhis tidak marah mendengar selorohan Kama. Persahabatannya dengan Kama yang sudah terjalin hampir empat tahun sudah membuatnya hafal dengan candaan gadis itu.
Jadilah, mereka menggunakan laptop Gendhis untuk memeriksa diska lepas yang diambil Kama dari lokasi tabrakan. Kening dua gadis itu segera berkerut-kerut saat melihat isi data di dalamnya.
Hanya ada dua fail di sana. Satu proposal pengajuan dana dengan nominal yang membuat mata Kama dan Gendhis nyaris meloncat keluar. Satu lagi adalah dokumen berisi skrip naskah drama.
“Yang nulis namanya Zheng Minghao.” Gendhis memelototi layar. “Tunggu dulu, ini bukan Zheng Minghao yang aktor, model, sutradara super ganteng itu, kan?”
“Kamu kenal?” Kama menoleh.
Sekali lagi Gendhis menjitak kepala Kama. Protes keras langsung diterima oleh gadis berwajah eksotis asal Jogja itu.
“Ndhis, kamu bisa bikin aku tambah bodoh kalo terus-terusan nyasar kepala. Mbok yo nyasar badan apa kakiku aja gitu loh, Ndhis.” Kama sewot.
“Ogah! Yang ada malah kamu gibeng aku sama jurus-jurus silatmu itu.”
Kama mendengkus. Dia kembali pada layar laptop, tetapi Gendhis mencolek bahunya sembari menyodorkan ponsel.
“Zheng Minghao, nih.”
Kama membaca saksama artikel yang memuat profil seorang lelaki muda tampan yang sudah ditabraknya. Batin gadis itu berkata kagum.
Jadi, namanya Zheng Minghao? Pantes aja rasanya nggak asing. Ternyata aku pernah nonton drama yang dia bintangi beberapa tahun lalu.
“Zheng Minghao adalah aktor muda berbakat asal Beijing, Cina. Memulai karier sejak usia tujuh belas tahun, Minghao telah membintangi sejumlah besar film dan acara televisi berating tinggi. Dia lalu mengembangkan sayap ke dunia modeling dan berhasil menjadi duta merek untuk berbagai produk global.”
Gendhis membacakan keras-keras portofolio Minghao.
“Saat kuliah di Cina, Minghao memulai karier sutradaranya dengan merilis beberapa film pendek. Tiga di antaranya memenangkan penghargaan internasional. Lalu dia meneruskan kuliah di Australia dan menghasilkan dua film panjang yang meraup kesuksesan luar biasa. Saat ini, Zheng Minghao tercatat sebagai pemilik dari agensi talenta bakat besar Lotus Fortune House.”
Kening Gendhis berkerut. “Nama keluarganya sama dengan Zheng Yuxi, bos di tempat aku kerja. Apa mereka ada hubungan darah, ya?”
“Memang nggak ada keterangan di artikel soal keluarga Minghao?”
Gendhis menggeleng. “Privasinya tertutup rapat. Foto sama orang tuanya aja nggak ada.”
Kama terdiam. Dia kembali menekuni laptop, sepenuhnya mengabaikan ocehan Gendhis yang duduk di sebelahnya. Pikiran Kama terdistraksi oleh draf naskah drama di layar laptop.
“Kam, aku mau nyari makan, nih. Nitip nggak?”
Kama menggeleng.
“Habis ini mau ke Yuyuan Bazar [2]. Ikut nggak? Kutraktir satu jaket, deh.”
Kama menggeleng. “Aku mau beresin sesuatu. Kamu pergi aja sendiri.”
“Kam, kamu yakin? Entar Bapak nelepon, gimana jawabku coba?”
Kama mengerang dalam hati. Dia benar-benar lupa dengan persoalan satu itu.
Posisinya di Shanghai ini tidak hanya sebagai mahasiswi pascasarjana Universitas Fudan. Namun, juga sebagai balas budi kepada keluarga Gendhis yang sudah membiayai kuliahnya di Cina sekaligus bodyguard sang sahabat.
“Tunggu bentar kalo gitu, ya. Aku nge-print naskah ini dulu.”
“Buat apa emangnya?”
Kama hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab, dia segera tenggelam pada kesibukannya mencetak skrip drama dan mencoret-coret beberapa bagian.
~~~
“Bos, yang benar saja! Ini baru jam delapan pagi dan kau menyuruh kami rapat sekarang juga?”
Fang Jiaqi, penulis skenario yang bekerja sama dengan Minghao untuk proyek terbaru mengeluh keras-keras. Berdalih pekerja seni yang bebas dan independen, Jiaqi menolak untuk berkantor di gedung Lotus Fortune House. Hal itu membuatnya sering kerepotan sendiri saat ada jadwal meeting dadakan seperti sekarang.
Minghao yang duduk di depan Jiaqi hanya menatap dingin. Sempat dia melirik Bing Yi yang berdiri di sebelahnya, tetapi segera memusatkan perhatian kembali pada penulis naskahnya.
“Kirim draf naskah ke surelku sekarang juga.”
Jiaqi mengernyitkan dahi. “Kemarin sudah aku kirim, bukan?”
“Fang Jiaqi, saat ini adalah masa pertumbuhan teknologi. Kau bisa kirim failnya lewat surel, ketimbang langsung pindah data dari laptop ke flashdisk.” Minghao berkata datar.
Di sebelahnya Bing Yi membulatkan mata. Rupanya rumor bila Fang Jiaqi adalah orang yang eksentrik memang benar. Namun, bagi Bing Yi ada tambahan julukan lagi untuk penulis skenario itu. Fang Jiaqi si dungu.
“Jangan bilang kalau fail yang aku kirim kemarin hilang.”
Minghao hanya terdiam. Dia memang belum sempat memindahkan fail berisi draf skrip drama itu ke tempat penyimpanan digital. Itu karena Fang Jiaqi baru saja menyerahkan naskahnya pagi kemarin.
“Kirim ulang ke surelku. Kita bisa permudah revisi dengan dokumen daring.” Minghao tidak menjawab tuduhan Jiaqi. “Aku butuh draf itu sekarang juga untuk dikirim ke para aktor kita.”
“Apa lagi yang harus direvisi? Skenarioku itu sudah final, sudah yang terbaik.”
Minghao memejamkan mata. Saraf-sarafnya terasa tegang. Proyek drama terbarunya kali ini benar-benar menguras energi, bahkan sebelum proses produksi dimulai.
Pada akhirnya kesepakatan dicapai. Fang Jiaqi akan pulang ke apartemennya untuk mengambil salinan naskah. Sementara Minghao menunggu di gedung agensi setelah gagal membujuk pria itu untuk mengirim dokumen lewat surel.
“Tuan, ada yang mencari Anda di bawah.”
Bing Yi berkata pada Minghao saat mereka berjalan kembali ke kantor sang bos.
“Siapa?”
Bing Yi kembali berbisik. Minghao berhenti sejenak.
“Bawa dia ke kantorku.”
Butuh lima menit bagi Minghao untuk menunggu tamunya datang. Saat gadis itu berjalan memasuki kantornya yang sejuk karena pendingin udara, hati Minghao berdesir.
Orang yang masuk dengan pakaian terbilang sederhana itu terlihat penuh percaya diri. Dagunya terangkat tinggi. Punggungnya tegap. Langkah kakinya mantap. Dan yang paling mencolok perhatian adalah tatapan si gadis yang terlihat biasa saja saat berserobok dengan Minghao.
“Kau lagi?” Minghao mendengkus.
Gadis itu menyeringai lebar. “Halo, Tuan Celana Besar. Kita bertemu lagi.”
Minghao melotot galak. Di samping pintu, Bing Yi menatap dengan penuh ketertarikan. Namun, lelaki itu segera keluar saat bosnya memberikan lirikan tajam penuh arti.
“Mau apa ke sini?”
Kama meletakkan amplop cokelat besar di meja Minghao.
“Kalau mau melamar kerja, bawa saja ke bagian Personalia,” ujar Minghao.
Terdengar decak keras dari mulut Kama. “Tuan Celana Besar, namaku Kama dan aku anti mengemis pekerjaan melalui jalur tabrakan. Simpan saja lowongan kerjamu untuk orang lain.”
Minghao menatap Kama dengan raut muka bingung.
“Itu adalah flashdisk-mu yang terjatuh kemarin. Aku kembalikan.”
Minghao membuka amplop. Ada tumpukan kertas di dalamnya, juga satu diska lepas yang memang miliknya. Saat mengetahui tumpukan kertas yang disatukan dengan penjepit itu, Minghao tertegun.
“Apa yang kau lakukan dengan ini?”
“Membacanya.” Kamalika berkata dengan percaya diri. “Drama kolosal tentang konflik Tartar dan Majapahit ini berpotensi, tapi naskahnya penuh lubang.
Kau tahu apa yang membuat penonton bosan? Dialog yang terlalu modern dalam latar abad ke-13. Oh, dan jangan lupa, kau bahkan salah menyebutkan nama raja Majapahit. Hayam Wuruk baru memerintah di abad ke-14, tahu?
Satu lagi, naskahmu ditujukan untuk penonton Cina, bukan? Kenapa kau memilih nama Tartar dibanding Mongol? Apa kau yakin menggunakan nama dari Turki alih-alih menggunakan nama dari negaramu sendiri?”
Minghao menatapnya, terkejut. “Bagaimana kau tahu semua itu?”
“Aku ambil jurusan sejarah,” Kamalika menjawab dengan santai. “Aku senang membaca naskah kuno. Fakta kecil seperti itu mudah bagiku. Dan kalau kau biarkan naskah ini dirilis tanpa revisi, serial ini akan jadi bahan tertawaan.”
“Jadi, kau berpikir kau bisa memperbaikinya?” tantang Minghao.
“Bukan berpikir. Aku tahu.” Kamalika menyodorkan lembaran revisi. “Aku tambahkan detail yang lebih akurat, memperbaiki alur, dan memberi sentuhan emosional yang lebih kuat antara tokoh utama, seorang prajurit Majapahit, dan gadis Tartar yang dia cintai.”
Minghao membaca beberapa lembar revisi itu, dan matanya membelalak. Dialognya terasa lebih hidup, konfliknya lebih memikat.
“Kenapa kau bekerja di bar jika punya bakat seperti ini?” tanyanya tak percaya.
Kamalika tersenyum tipis. “Karena bar tidak membutuhkan CV.”
Minghao ternganga mendengar alasan sesederhana itu tentang motivasi kerja Kama di Phoenix Lounge & Bar.
Dan mendadak, pertanyaan itu meluncur keluar begitu saja, tanpa mampu ditahan oleh Minghao.
“Apa kau tahu siapa aku?”
Kama mengangguk. “Zheng Minghao, bukan? Aktor, model, dan sutradara?”
Minghao menatap ragu.
“Kalau tak ada yang mau ditanyakan lagi, aku permisi.”
Minghao hanya mampu menatap kepergian Kama. Dunia serasa berhenti berputar selama beberapa detik. Tangan Minghao terjulur tanpa mampu dicegah, seolah hendak menahan kepergian gadis itu.
Namun, dia hanya menangkap udara. Kosong, tanpa ada Kama di genggamannya.
Catatan Kaki:
[1] Chang’e adalah Dewi Bulan dalam mitologi Tiongkok. Dia terkenal karena kecantikannya yang abadi setelah meminum ramuan keabadian.
[2] Yuyuan Bazar adalah salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Shanghai. Letaknya di jantung kota Shanghai dan menjadi destinasi wisata populer karena menjual oleh-oleh khas Tiongkok dengan harga murah. Selain itu, lokasinya juga eye catching karena didominasi arsitektur Tiongkok klasik.
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top