26 Ciuman Tak Langsung
Minghao membawa Kama ke mobil. Tentu saja tidak dibopong karena pasti akan menimbulkan kegemparan. Lelaki itu membiarkan Kama berjalan sendiri setelah berada di luar kamar inap Gendhis.
“Aku masih ingin menjaga Gendhis,” ucap Kama lirih.
“Sudah ada Yuxi-ge. Dia bisa menjaga sahabatmu dengan baik.”
Kama tertegun. Ingatannya menggali sesuatu tentang cara Minghao menyebut nama bos Gendhis. Namun, buntu.
Gadis itu akhirnya memutuskan melupakan. Dia menerima botol minuman yang disodorkan Minghao lalu menenggak isinya hingga separuh habis. Saat hendak menutup, Minghao mengambil botol itu dari tangan Kama dan meminumnya di bekas bibir Kama menempel beberapa detik sebelumnya.
Untuk kedua kalinya Kama tertegun. Matanya tidak berkedip melihat Minghao. Yang dipandang memiringkan kepala.
“Kenapa? Tak biasa berbagi minum?”
Kama menelan ludah. “Itu … bekas ….”
“Bibirmu?” Minghao bertanya jahil. Jarinya terulur, mengusap lembut sudut bibir Kama dengan ibu jarinya. Dia tersenyum geli dalam hati mendapati wajah Kama langsung berubah merah padam.
“Hao,” tepis gadis itu cepat. Namun, tangannya justru digenggam oleh lelaki itu.
“Apa semalam ciuman pertamamu?”
Kama membelalak. Buru-buru dia memalingkan pandangan. Wajah dan lehernya terasa luar biasa panas.
“Begitu rupanya.” Minghao bergumam.
“Apanya yang begitu?” bentak Kama kesal.
“Aku senang karena menjadi yang pertama bagimu.”
“Siapa yang pertama? Kau jangan semba–”
Mata Kama membulat besar. Badannya kaku. Minghao dengan mulus meraih dagunya dan mendaratkan kecupan lembut di bibir gadis itu.
“Kalau begitu, ini yang kedua.”
“Hao!” Kama kesusahan menarik napas.
“Kelinci kecil yang sangat galak. Kau tak punya cakar, tapi kau bisa menggigit dengan kuat.” Minghao mencondongkan badan ke depan, mendekati Kama.
“Dan aku ingin kau menggigitku kuat-kuat. Suatu hari nanti, aku akan membuatmu menggigitku sangat keras, Sayangku.”
Lelaki itu berbisik tepat di telinga Kama. Senyumnya lebar saat menyadari Kama semakin memerah padam.
“Mulutmu memang harus dibungkam, Hao.” Kama bicara dengan suara bergetar.
“Bungkam saja dengan bibirmu.”
“Hao!” Kama setengah membentak kesal.
Minghao tertawa. Dia melajukan kendaraan keluar area parkir rumah sakit. Udara di luar cukup dingin untuk Kama, jadi lelaki itu menaikkan suhu pemanas mobil. Salju yang turun tipis tidak membuat kendaraan rawan tergelincir. Jadi, Minghao bisa menyetir tenang menuju ke satu butik.
“Kuharap kau tidak terus bentrok dengan Yuxi-ge.” Minghao berkata lembut saat mereka berhenti di satu apil. “Dia memang terkenal kejam dan dingin, tapi bukan tipe orang yang suka menelantarkan pegawainya.”
“Kenapa kau membelanya?”
“Yuxi-ge adalah produser eksekutif untuk proyek drama kita. Tidak baik bila menyinggung pemberi dana.”
Kama terperangah kaget. “Tung–tunggu dulu! Yuxi-ge yang ini juga pemilik Zou Hong Pictures yang kita datangi dulu?”
Minghao mengangguk. Dia menghentikan mobil setelah berkendara selama lima belas menit. Lelaki itu membantu Kama melepaskan sabuk pengaman dan membimbingnya turun.
“Kenapa kau tak cerita padaku?” Kama mendesis kaget.
“Karena kau tidak tanya.” Minghao menjawab enteng. “Jika tadi aku tidak masuk tepat waktu, bisa-bisa Yuxi-ge juga harus dilarikan ke Emergency Room karena bogem mentahmu.”
Kama tersipu malu. “Aku tidak sekuat itu, Hao.”
“Aku tidak percaya. Yuxi-ge mungkin juga tidak percaya.” Minghao tersenyum misterius. Dia membawa Kama ke kafe di sebelah butik dan menunggu kedatangan seorang pegawai butik yang membawa satu tas kertas besar.
“Pakai ini untuk makan malam nanti. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Kama melongok isi dalam tas kertas. “Untuk apa?”
“Pakai saja, Kama. Aku ingin memberimu kejutan. Sekarang makan. Kau melupakan sarapan karena tergesa-gesa kabur dariku.”
Wajah Kama memerah. Lagi-lagi dia merasa malu karena tertangkap basah oleh Minghao. Dalam diam, dia menyantap makanan yang dipesankan Minghao, lalu dalam diam juga meminta Minghao mengantarnya ke asrama alih-alih apartemen lelaki itu.
Di asrama, baru Kama bisa melihat jelas hadiah pemberian Minghao. Satu cocktail dress berwarna hitam yang dibuat khusus berdasar ukurannya. Kama sampai mengernyit memikirkan dari mana Minghao tahu ukuran badannya. Lebih dari itu, Kama sedikit bergidik saat mengangkat gaun yang terasa berat di tangannya itu.
“Yang bener aja Hao suruh aku pake gaun ini. Gaunnya mini banget. Mana ini punggungku juga keekspos pula. Duh, ini lakik emang sengaja mau pamerin aku ke orang-orang apa, ya?”
Kama mendesah keras. Beruntung dia sekarang di asrama. Beruntung lagi karena baju-baju Gendhis masih ada di lemari. Bergegas dia membongkar koleksi pakaian sahabatnya dan tersenyum puas saat mengeluarkan dua helai pakaian.
~oOo~
Menggagalkan kencan buta Yuxi dan menghibur Kama adalah agenda utama Minghao malam ini. Dia menunggu dengan sabar Kama yang keluar dari asrama. Sengaja lelaki itu tidak keluar mobil untuk menghindari tatapan penasaran para penghuni Asrama Fudan.
Namun, saat Kama benar-benar datang dan membuka mantelnya di dalam mobil, tenggorokan Minghao langsung kering seketika. Matanya membelalak lebar. Otaknya yang biasa cerdas mendadak jadi imbisil.
“Kenapa kau pakai baju ini?” Minghao susah payah bicara dengan pandangan terpaku ke bagian dada Kama.
Sial, ternyata memang benar tidak datar. Dia punya dada yang indah.
“Gaun yang kau beri terlalu pendek. Aku tak nyaman.” Kama menjawab. “Jadi, aku pake kebaya sebagai ganti gaunmu. Ini pakaian tradisional di negaraku, Hao.”
Minghao memejamkan mata, mengusir gairah yang menyeruak sangat kuat. Dia bergerak gelisah di kursi pengemudi, dan tetap tidak bisa mengalihkan pandangan dari tubuh ramping Kama yang sangat indah.
Gadis itu mengenakan kebaya putih berbahan renda transparan yang menonjolkan siluet tubuh. Ada kesan elegan sekaligus menggoda darinya. Sepasang dada indah Kama menjadi daya tarik dari sudut pandang Minghao yang sekepala lebih tinggi dibanding gadis itu.
Dan kain batik dengan corak tradisional yang dikenakan di bawahnya membalut pinggul Kama dengan pas. Ikat pinggang merah marun yang menjuntai memberikan kontras yang berani, mengarahkan perhatian pada garis tubuh gadis itu yang sangat sempurna. Minghao bahkan tidak yakin mampu menyetir dengan benar jika Kama terus duduk di sampingnya.
“Hao, kenapa diam? Jalan sana.”
Lelaki itu patuh. Ketenangan sikapnya di permukaan hanya kamuflase semata. Di dalam hatinya, api itu terus menggelora dan nyaris menghanguskan dirinya. Saat tiba di Salon de Ville, restoran Eropa mewah yang ada di tepian Sungai Huangpu, Minghao langsung pamit ke rest room.
“Pesan sesukamu, Sayang. Dan hadap jendela, jangan menghadap ke para tamu.” Minghao mengertakkan gigi saat menyadari tamu laki-laki di ruangan itu tak henti memandangi Kama sejak gadis itu memasuki restoran.
“Oke.” Kama hanya patuh, tidak mengerti kegelisahan Minghao.
Begitu berhasil meninggalkan Kama, lelaki itu segera menuju lantai dua. Dekorasi yang kontras dengan lantai dasar memberi nuansa nyaman yang menenangkan. Kepala Minghao berputar, mencari sosok wanita yang pernah dilihatnya di dokumen Yuxi.
Saat menemukannya, detik itu juga Minghao merutuk dalam hati. Yan Bingzhi–kencan buta kakak sepupunya kali ini–berhasil memadamkan gairah Minghao dengan cepat. Kontras dengan Kama yang seksi, menggoda, sekaligus elegan, penampilan Yan Bingzhi justru sangat konservatif.
Putri dari keluarga pejabat di Kementerian Keuangan itu memakai dress putih yang tertutup, longgar, dan sangat membosankan. Wajahnya tidak memakai riasan apa pun. Setiap wanita memang cantik. Namun, Minghao berpendapat Nona Yan yang satu ini lebih pada tipe wajah autentik.
Minghao melangkah mendekati Bingzhi. Kehadirannya serupa badai yang terbungkus jas mahal, mengobrak-abrik hati para pengunjung wanita di sepanjang meja yang dilewati Minghao. Bisik-bisik sopan terdengar memuji ketampanannya. Beberapa yang mengenalinya sebagai aktor papan atas China mengedipkan mata menggoda. Namun, semuanya diabaikan Minghao.
“Maaf, aku terlambat.” Suara Minghao berat, rendah, dan menggoda tanpa usaha.
Bingzhi menyandarkan tubuhnya ke belakang, matanya menyipit. “Zheng Minghao? Kenapa kau ke mejaku? Aku sedang menunggu seseorang.”
Minghao menyandarkan satu siku di meja, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Aku tahu. Yuxi tidak bisa datang. Jadi, aku datang menggantikannya.”
Ekspresi Bingzhi berubah, tapi dia menutupinya dengan cepat. “Dia tidak bisa datang? Apa hubunganmu dengannya?”
Minghao senang karena Yan Bingzhi rupanya tidak terpengaruh dengan pesonanya. Dia berharap pekerjaannya kali ini bisa selesai lebih cepat–terutama saat dia ingin segera terbang ke sisi Kama kembali.
“Aku sahabatnya,” jawab Minghao pendek.
Mata Bingzhi membesar sesaat sebelum dia kembali menampilkan senyuman dingin. “Kenapa Yuxi mengirimmu ke sini?”
Minghao tidak menjawab. Sebaliknya, dia mengambil gelas anggurnya, memutar isinya perlahan, lalu menyesapnya. “Dia pikir kau tidak akan tertarik padanya setelah bertemu denganku.”
Bingzhi mengerutkan kening. Ada nada tersinggung dalam suaranya. “Yah, meski kenyataannya memang Zheng Yuxi sama tampannya denganmu, tetapi datang ke kencan buta ini hanya karena tertarik dengan fisik seseorang sepertinya alasan yang sangat dangkal.”
Minghao meletakkan gelasnya, memandangnya dengan intensitas yang memaku. “Bagus, kita sepakat soal itu, Nona ….”
“Bingzhi. Kau bisa memanggilku itu.” Bingzhi masih mengerutkan dahi.
Minghao menyeringai, sebuah senyuman yang setengah manis, setengah menghancurkan. “Aku suka dengan kecerdasanmu, Bingzhi. Ini mempermudah urusanku malam ini.”
“Dia menolak diriku?” Anehnya, Bingzhi tidak terlihat terlalu terkejut. Seolah dia sudah bisa mengetahui hal itu sebelumnya.
Ada rasa kasihan di hati Minghao melihat reaksi wanita di hadapannya. Dia menduga, Yan Bingzhi adalah sosok yang senang berada di belakang layar. Rasa rendah diri dan putus asa dari wanita itu saat berhadapan dengan calon kencan butanya tertangkap jelas oleh Minghao.
Minghao berkata dengan nada lebih pelan dan lebih dalam. “Kupikir, kau memang tidak butuh seseorang seperti Yuxi. Dia tidak akan pernah bisa memenuhi harapanmu. Kau butuh seseorang yang bisa menantangmu, mengguncang duniamu.”
Minghao berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Dan jelas, orang itu bukan Yuxi.”
Bingzhi terdiam, tapi matanya tetap terkunci pada lelaki di depannya. Aura Minghao yang gelap, intens, dan memikat membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, dia tahu permainan ini. Dia tahu ada sesuatu yang tidak dikatakan.
“Apa sebenarnya tujuanmu?” tanyanya akhirnya.
Minghao berdiri, membungkuk ke arahnya, membiarkan jarak di antara mereka semakin dekat. Bingzhi bisa merasakan napas hangat Minghao di kulitnya.
“Tujuanku? Membuatmu melihat bahwa kau pantas mendapatkan lebih dari sekadar perjodohan yang direncanakan orang lain.”
Minghao menarik diri, lalu menatapnya untuk terakhir kali. “Pikirkan itu, Yan Bingzhi.”
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, Minghao berbalik dan pergi, meninggalkan Bingzhi yang kini terdiam, terjebak di antara kebingungan dan sesuatu yang dia takuti untuk diakui—ketertarikan.
Minghao benar-benar pergi tanpa menoleh. Langkahnya panjang-panjang turun ke lantai satu. Namun, di ujung tangga dia tertegun. Jantungnya nyaris melompat keluar saat melihat Kama berdiri dengan mata berkilat-kilat.
“Jadi, apa sebenarnya fungsiku di sini, Hao? Kenapa kau mengajakku ke sini kalau sudah punya wanita lain untuk dirayu?”
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top