25 | Pagi Pertama




Semangat pagi. Selamat berakhir pekan. Minghao dan Kama datang menyapa Readers semua. 💜💜

••••••••••

Cahaya pagi mengintip dari celah tirai di ruang tamu apartemen Minghao. Kama mengintip dari balik pintu kamar, memastikan area dapur dan ruang tengah kosong. Dia menggigit bibir, menatap sepatu kets yang dia tenteng dengan satu tangan. Sisa-sisa kejadian semalam masih memenuhi pikirannya, membuat pipinya panas setiap kali teringat ciuman mereka.

“Sadar, Kam! Sadar! Kamu kudu cabut duluan sebelum Hao bangun.” Kama sekali lagi menengok kanan kiri.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan Minghao di ruang duduk, dapur, dan ruang tamu. Kama menutup pintu perlahan, berusaha semaksimal mungkin tidak menimbulkan suara, lalu berjingkat-jingkat ke arah pintu depan.

Foyer adalah tugas tersendiri bagi Kama. Lampu otomatis pasti akan menyala jika ada orang di sana. Kunci digital juga akan berbunyi setiap ada yang membuka pintu. Kama meringis, mengernyitkan dahi, dan berusaha sepelan mungkin membuka kenop.

Berhasil! 

Namun, jiwanya hampir meninggalkan raga saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Kama yang membungkuk sebagai upayanya meminimalisasi suara bertemu langsung dengan perut yang tertutupi jas formal warna hitam.

Kama mendongak dan ringisannya makin lebar. Ada Bing Yi yang berdiri dengan alis terangkat, jelas kebingungan melihat Kama dalam keadaan seperti itu—rambut acak-acakan, menenteng sepatu, dan wajah merah padam.

“Eh?” Bing Yi memiringkan kepala. “Miss Kama?”

Kama terlonjak, menatap Bing Yi dengan panik. Dia langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibir, memberi isyarat untuk diam. 

“Ssst! Jangan berisik!” bisiknya tegas, wajahnya semakin memerah. 

Tanpa menunggu respons, dia terbirit-birit melewati Bing Yi, meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri terpaku dengan ekspresi penuh tanda tanya.

“Aneh. Ada apa dengannya?” Bing Yi menahan pintu agar tetap terbuka, lalu menyelinap masuk tanpa suara.

Apartemen terasa sunyi seperti biasa. Semua barang tertata rapi dan bersih, khas Minghao. Namun, samar-samar ada aroma rendang yang dibelinya semalam berdasar permintaan Minghao padanya.

Bing Yi hendak membuat kopi saat pintu kamar Minghao terbuka.  Lelaki itu keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan wajah yang masih setengah mengantuk. Matanya menyapu ruang tamu sebelum berhenti pada Bing Yi, yang berdiri di depan mesin pembuat kopi.

“Pagi-pagi sudah di sini? Mau apa?” tanya Minghao sambil menggaruk belakang kepalanya.

Bing Yi menoleh, menatap Minghao dengan tatapan penasaran. “Aku mau tanya hal yang sama padamu, Minghao.” 

Dia meletakkan cangkir kopi dan bersandar dengan tangan disilangkan. “Miss Kama barusan keluar dari apartemenmu. Pagi-pagi buta, tanpa sepatu, dan jelas-jelas panik seperti pencuri. Jangan bilang—”

“Jangan bilang apa?” Minghao menyipitkan mata, meski wajahnya tampak sedikit tegang.

Bing Yi menyeringai, mendekatkan wajahnya. “Kau meniduri Miss Kama, ya?”

Plak! Kepala Bing Yi langsung digeplak keras oleh Minghao.

“Aduh!” Bing Yi mengusap kepalanya, mengerutkan dahi. “Kenapa kau memukulku? Aku cuma menanyakan apa yang semua orang pikirkan!” protesnya sambil cemberut.

Minghao memutar bola mata, menahan tawa. “Pertama, aku tidak meniduri Kama. Kedua, kalau aku mau, itu bukan urusanmu,” ucapnya dengan nada santai, tapi jelas mengandung sindiran.

“Wah, wah, wah!” Bing Yi menunjuk Minghao dengan dramatis. “Aku mati-matian membelamu, menyatakan kau bukan playboy di depan Miss Kama. Tapi otakmu memang sepertinya titisan siluman rubah. Kenapa kau tega merusak gadis sepolos Miss Kama?”

Plak! Minghao kembali mengeplak kepala Bing Yi, kali ini lebih keras. “Kau sudah bosah hidup? Mau kulempar keluar dari jendela?” ancamnya, meski sudut bibirnya tersenyum tipis.

Bing Yi merengut, tapi tetap tertawa kecil. “Baiklah, aku bercanda. Tapi, serius, apa yang terjadi semalam? Miss Kama benar-benar terlihat seperti habis dikejar setan.”

Minghao hanya mendesah, mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi. “Bukan urusanmu. Kusarankan, kau jangan bertanya pada Kama juga, kalau tak mau kena tendangan kaki kanannya. Tubuhnya kecil, tapi tenaganya setara kuda pacuan.”

Bing Yi menyandarkan diri ke sofa, masih dengan seringai usil di wajahnya. “Kau tahu? Aku jadi semakin penasaran.”

Minghao hanya mendesah panjang. "Kalau kau terus penasaran, aku pastikan kau keluar dari apartemen ini dalam wujud setan. Karena aku akan menebas lehermu sekarang juga."

Bing Yi menyeringai, senyumnya menyiratkan ketajaman. Dia merasa sudah cukup menggoda sahabatnya. Dalam gerakan santai, dia menyerahkan sekeping kartu hitam yang semula tersimpan rapi di saku jasnya. 

“Kau benar-benar akan melakukan ini? Keuanganmu terhubung langsung dengan Kakekmu. Jika beliau tahu kau mengalirkan sejumlah besar uang pada Miss Kama, semuanya akan hancur.”

Minghao tidak menjawab, hanya menatap tajam sebelum merampas kartu itu dari tangan Bing Yi. Sebuah black card eksklusif dari bank ternama Amerika. Kartu itu adalah senjatanya, dan dia tahu persis ke mana senjata itu akan diarahkan.

“Dia tidak akan tahu. Aku akan melindungi Kama—dengan segala cara.”

“Kama?” Bing Yi menaikkan alis, nyaris mengejek. “Kau bicara seolah-olah dia sudah milikmu. Jadi, semua skandal itu akan dilupakan begitu saja?”

“Diam.” Suara Minghao dingin, hampir seperti bisikan maut. “Urus saja reading kita. Semua artis sudah kau atur, bukan?”

“Sudah,” jawab Bing Yi, mencoba meredam rasa tidak nyaman yang perlahan merayap. Dia tidak suka saat ekspresi dan nada suara Minghao seperti ini keluar lagi.

Sudah bertahun-tahun lamanya. Kupikir, Minghao ‘yang itu’ sudah menghilang. Apa aku yang salah? Apa ‘dia’ hanya tertidur?

Bing Yi menghalau firasat buruknya. Dia berkata tegas pada Minghao. “Kau akan bertemu mereka dalam beberapa hari. Sekarang, bolehkah aku pergi?”

Minghao mengangguk. “Cari tahu di mana Kama. Dia tidak akan kembali ke asramanya. Kampus juga bukan pilihan. Dia sedang bersembunyi dariku.”

Bing Yi tertawa kecil, tapi tawanya tak sampai ke mata. “Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian? Miss Kama melarikan diri seperti kelinci ketakutan, sementara kau … kau mengejarnya seperti pemburu haus darah.”

“Semakin sedikit kau tahu, semakin baik.” Tatapan Minghao menusuk sebelum dia melepas kausnya dan berjalan menuju kamar mandi. “Satu jam lagi aku akan pergi. Pastikan kau sudah menemukan tempat persembunyian kelinci kecil itu.”

Sementara orang yang dicari ternyata sedang berada di Rumah Sakit Shanghai University, duduk gelisah di samping tempat tidur sahabatnya. Dia sudah mendapat izin khusus dengan bantuan Jiang Lin untuk menjaga Gendhis yang masih juga belum sadarkan diri.

“Ndhis, bangun, dong. Aku mau cerita banyak ini ke kamu. Aku nggak berani telepon Bapak sama Ibumu kalau kamu sakit. Bisa dicincang jadi tambahan menu gudeg aku nanti, kalau sampai Bapak-mu tahu aku nggak bisa jaga kamu dengan baik.”

Kama mengelus tangan Gendhis yang berhiaskan jarum infus. Dibersihkannya wajah Gendhis yang sangat pucat dengan tisu basah.

“Ayolah, Ndhis. Kamu itu kuat banget. Tidurmu jangan lama-lama. Aku pengen nangis ini, Ndhis. Mosok kamu mau liat sahabat premanmu ini jadi cengeng?”

Namun, tidak ada reaksi apa-apa. Mata Gendhis masih terpejam rapat. Hati Kama bagai diiris sembilu melihat kondisi sahabatnya yang sekaku papan itu.

Kama tidak memedulikan perutnya yang keroncongan dan kepalanya yang mulai pusing. Sejak semalam dia tidak bisa memejamkan mata. Sosok Gendhis dan Minghao tidak henti menjejali benaknya, membuat Kama frustrasi. Namun, saat ini fokusnya tertuju pada Gendhis yang sedikit banyak mendistraksi pikirannya akan Minghao.

Kama hendak memperbaiki posisi tiang infus saat mendengar pintu terkuak membuka. Matanya menyipit demi melihat siapa yang berjalan masuk dengan langkah elegan tanpa cela itu.

“Kau Zheng Yuxi?” tanya Kama memastikan, meski sudah mengenali wajah tampan dengan sorot mata dingin itu dari foto di ponsel pintar Gendhis.

Yuxi berhenti beberapa langkah dari tempat tidur. Dia menjaga jarak. Tatapannya melayang cukup lama ke arah Gendhis, sebelum beralih pada Kama.

“Datang juga kau akhirnya,” ujar Kama dingin. “Apa kali ini kau memastikan Gendhis benar-benar tidak akan bangun lagi?”

Yuxi melangkah hingga ujung tempat tidur. Dua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Aku datang untuk memeriksa kondisi karyawanku. Kau adalah Kama?”

Kama tidak menggubris pertanyaan itu. Tatapannya gelap penuh bara. Gadis itu bicara tanpa sopan santun sama sekali, merasa lelaki bertampang dingin di hadapannya tidak layak mendapatkan penghormatan darinya.

“Kau tahu, Yuxi? Ini semua salahmu. Hari pertama dia bekerja untukmu, kau biarkan dia kelaparan seharian. Kau pasti sudah tahu dia hanya bertahan dengan obat yang dia telan, kan? Obat, Yuxi. Tanpa makanan. Kau bahkan tidak peduli.”

“Itu tidak ada hubungannya denganku.”

“Tidak ada hubungannya denganmu?” suara Kama sedikit meninggi, membuat seorang perawat di luar pintu mengintip cemas sebelum berlalu pergi.

“Kecelakaan dulu itu. Kau yang membuat Gendhis kecelakaan. Kau meninggalkannya begitu saja di sana. Baik, kau memang membawanya ke rumah sakit. Setelah itu apa? Membiarkannya menebus obat sendirian dalam keadaan terluka?”

“Jangan mendramatisasi keadaan.” Yuxi berkata dengan nada tajam.

Kama berhenti, hanya satu langkah di depan Yuxi. Napasnya terdengar lebih berat.

“Dia meninggalkan mimpinya di bidang IT untuk belajar manajemen di tempatmu. Di semua tempat di dunia ini, kenapa harus di tempatmu? Dia sudah mengorbankan segalanya untuk membuktikan dirinya. Tapi kau?”

Tanpa takut, Kama menusuk dada Yuxi dengan jari telunjuknya. Suaranya sinis dan ketus. 

“Kau hanya menjadikannya obyek permainan untuk pegawaimu. Kau biarkan mereka merundung Gendhis di bawah matamu. Kau biarkan mereka menghancurkan sahabatku. Setelah sekian lama dia bisa bertahan, pegawai sialanmu itu datang dengan perisakan lagi ”

Yuxi tersenyum mengejek. “Jadi, kau lebih baik dariku? Kau yang lemah ini merasa diri mampu melindungi sahabatmu? Gadis kecil sepertimu tidak punya hak untuk bicara soal ini.”

Kalimat itu mematahkan kendali Kama. Dalam sekejap, tangan kanannya melayang. Tubuhnya bergerak cepat dengan pukulan yang sangat terlatih, mengarah lurus ke rahang Yuxi. 

Namun, sebelum pukulan itu mencapai sasarannya, satu tangan besar menangkap pergelangan tangan Kama dengan kekuatan luar biasa.

“Minghao,” ucap Yuxi dengan suara sedikit meninggi, keheranan akan kehadiran adik sepupunya yang begitu tiba-tiba. Keningnya sempat mengernyit, lalu mengangguk paham saat menangkap basah tatapan sarat makna Minghao pada Kama.

Sementara gadis itu merasakan cengkeraman kuat Minghao melilit pergelangan tangannya seperti belenggu. Tubuhnya tertarik mundur dengan kasar. Dengan cepat dia menggeser kakinya ke posisi yang lebih stabil. Berat tubuhnya terpusat untuk menahan tarikan itu.

“Jiang Lin!” Terdengar Minghao berteriak memanggil asisten pribadi Yuxi. Lalu sosok orang yang dipanggil tergopoh-gopoh masuk dan menjadi tameng hidup Yuxi.

Kama berniat memutar pergelangan tangan Minghao untuk melepaskan diri. Hanya saja, sepasang lengan kukuh langsung memeluknya erat-erat dari belakang. Kama meronta kuat-kuat. 

“Lepaskan aku, Hao!” teriak Kama gusar. “Aku tidak akan membiarkan orang sialan ini bicara seenaknya seperti itu!”

“Tenang, Sayangku. Tenanglah. Aku di sini. Semua baik-baik saja.” Minghao berbisik sangat lembut di telinga Kama, menenangkan gadis itu, membuainya dalam perasaan yang menenteramkan.

“Gara-gara dia. Gara-gara Yuxi sialan ini, trauma Gendhis muncul lagi. Dia tidak hanya melukai fisik Gendhis, tapi juga membunuh mentalnya!” Kama mengertakkan gigi menahan amarah.

Minghao mendongakkan pandangan dan bertemu dengan Yuxi yang tengah menatap Kama. Lelaki itu terkejut saat melihat jejak duka di sepasang mata kakak sepupunya. Hanya sekejap, tetapi sudah mampu membuat Minghao mengerti.

Butuh waktu cukup lama bagi Kama untuk akhirnya berhenti melawan. Tubuhnya lemas di pelukan Minghao. Napasnya terengah-engah, sementara air mata mulai mengalir tanpa bisa dia tahan. 

“Jiang Lin, tenangkan Yuxi-ge. Aku pergi dulu.” Minghao tanpa kata membopong gadisnya keluar dan meninggalkan kesunyian mencekam di kamar inap itu.

~~ BERSAMBUNG ~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top