24 | Tinggal Satu Atap

Readers, author lagi kangen banget sama Hou Minghao a.k.a Neo Hou (padahal dia juga gak tahu aku hidup di dunia ini. Huhu ....) Anyway, bab Tinggal Satu Atap ini baca sambil dengerin lagu di atas, yak. Semoga juga pas cuacanya lagi mendukung buat Readers baper. Selamat membaca. ^^

•••••••••

“Itu orang emang minta di-sleding. Enak banget nyuruh-nyuruh aku nginep tempat dia.”

Kama membanting diri di tempat tidur. Langit-langit kamar yang berwarna abu-abu muda menyapanya dengan maskulinitas tingkat tinggi.

“Tapi emang enak tinggal di sini, sih. Kamarnya luas. Tempatnya juga sepi.”

Kama menyapukan pandangan ke sekitar. Dia sudah berada di apartemen Minghao, akhirnya menyerah pada bujukan lelaki itu.

Selain tempat tidur queen size, ada meja rias besar dan lemari dinding di kamar ini. Tepat di samping tempat tidur adalah jendela lebar yang menampilkan keindahan Sungai Huangpu beserta gedung-gedung pencakar langit yang mengelilinginya.

Yang paling disukai Kama adalah kamar mandinya. Berukuran luas, dengan shower dan bathtube, toilet duduk yang lagi-lagi berada tepat di samping jendela dengan pemandangan gedung yang indah, serta wastafel cantik yang sudah dipenuhi berbagai produk perawatan kulit untuk wanita.

“Dia sering bawa cewek nginep sini, ya?” Ada rasa cemburu menyelinap di hati Kama saat menengok produk-produk khas wanita di kamar mandi.

“Bodo amat, ah! Sial buat tuh, cewek karena kamarnya udah aku tempatin. Sori, ceweknya Hao. Kali ini kupinjam dulu barang-barangmu.”

Kama berguling-guling di atas tempat tidur. Sejak di panti asuhan, sejak di indekos murah di kampus, dan sejak tinggal di asrama kampus Fudan, dia selalu mendapat ranjang berukuran kecil. Kini, gadis itu memuaskan diri menikmati leganya tempat tidur dengan rasa bahagia membuncah.

“Kam?”

Gulingan Kama terhenti di angka ketujuh. Gadis itu membeku.

“Makan dulu.”

Spontan Kama melirik jam dinding. Memang sudah hampir jam sembilan malam. Ini makan malam yang sangat terlambat.

Sejak pulang dari klinik tempat Gendhis dirawat tadi, memang Kama lupa makan. Perutnya mulai keroncongan. Dengan malu-malu, dia meninggalkan tempat tidur untuk membuka pintu kamar.

“Spesial untukmu.” Minghao menarik Kama keluar.

“Hao, lepas apa tidak? Aku bisa jalan sendiri.” Kama memukul-mukul tangan Minghao yang erat menggenggamnya.

“Tak mau. Susah payah kubawa sampai sini, tak boleh kulepas-lepas.”

“Dasar playboy. Gombalanmu itu pasti sering kau ucapkan ke perempuan-perempuan yang datang ke sini, kan?”

Minghao menarik kursi dan membimbing Kama duduk di sana. “Kubilang aku bukan playboy, kau pasti tak percaya. Tapi kali ini kau harus percaya karena aku tak pernah membawa perempuan ke apartemen.”

Kama memicingkan mata curiga. “Bohong! Barang-barang perempuan di kamar mandi itu apa memangnya? Pajangan doang? Atau kau punya hobi khusus yang tidak boleh diketahui orang lain?”

“Sembarangan.” Minghao mengetuk lembut dahi Kama dengan ujung sumpit. “Itu semua sengaja kubeli khusus untukmu.”

Kama tertegun. “Untukku? Memangnya kau tahu kalau aku bakal datang ke sini?”

“Aku yakin, kau pasti datang ke sini.” Minghao mengoreksi perkataan gadis itu. Senyumnya lebar. 

Sementara Kama blingsatan tak karuan. Instingnya mengatakan bila Minghao berkata jujur. Dan detik itu juga, hati Kama merasa tidak nyaman luar biasa.

Ini bukan perasaan tidak nyaman yang negatif. Justru sebaliknya, Kama merasa seperti ada lusinan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, menggelitik hatinya, hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah.

Ingat, Kama. Dia itu playboy! Playboy! Omongannya cuma gombal doang! Jangan baper! Kamu dilarang baper sama siluman ganteng satu ini!

Hati Kama meleyot seketika.

Tapi dia emang ganteng bangeeet! Zheng Minghao, kau sadar nggak sih, kalau wajahmu udah bikin aku hampir kena serangan jantung! Mana susah pula jaim depan kamu, tuh. Tuhanku, ya ampun. Kasih aku kekebalan batin pada gantengnya ini lakik!

“Kam, kau baik-baik saja?”

Kama mengangguk dengan wajah terasa panas. “Mana makanannya?”

“Nah, aku sudah panaskan sesuatu yang kau pasti suka.”

Minghao berjalan ke oven listrik. Begitu membuka pintu kaca kecil itu, jantung Kama langsung berdenyut keras.

Aroma itu sangat dikenalnya dengan baik. Air liur Kama serasa hampir menetes, bahkan sebelum Minghao balik badan dan menunjukkan isi piring yang sudah dihangatkan.

“Rendang? Kau dapat dari mana, Hao?” Mata Kama berbinar-binar melihat potongan daging sapi berwarna cokelat indah di piringnya. Bau sambal cabe hijau dan sayur nangka menggocek rasa laparnya hingga maksimal. Kama bahkan tak merasa malu saat menyadari perutnya berbunyi berisik di depan Minghao.

“Jing’an. Tadi aku suruh Bing Yi mencarinya ke seluruh Shanghai.”

Bola mata Kama membulat besar. “Ah, kalau begitu aku harus berterima kasih pada Bing Yi! Sebentar, aku ambil ponsel du–HAO!”

Kama memekik kaget kala tangannya ditarik. Dia jatuh tepat di pangkuan Minghao. Aneh. Kali ini tidak ada senyum di wajah lelaki itu. Sepasang mata Minghao menyorot sangat tajam. Bibirnya juga mencebik kesal.

“Saat bersamaku, jangan pernah membicarakan lelaki lain,” ucap Minghao dengan nada dingin.

Kama menelan ludah. “Kenapa aku harus menurutimu? Aku bukan siapa-siapamu, Tuan. Aku bebas membicarakan siapa pun saat bersamamu.”

“Gadis nakal.” Jari-jari kurus Minghao mencengkeram dagu Kama. “Kau memang selalu menantangku. Apa ini adalah trikmu, Kam?”

“Kau bicara apa, sih?” Kama meronta-ronta, mencoba membebaskan diri dari pangkuan Minghao.

Lelaki itu akhirnya membiarkan Kama pergi. Di dalam hati, Minghao bertepuk tangan senang karena Kama tidak jadi mengambil ponsel.

Mereka makan dalam diam. Minghao tidak peduli akan hal itu. Yang terpenting baginya saat ini adalah bisa melihat dan berdekatan dengan Kama.

“Hao, aku saja yang cuci piring.” Kama mencegah Minghao yang tengah memberesi peralatan makan.

“Tak usah. Kau duduk saja. Kau baru saja sakit, Kam.”

Kama mendesah pelan. Karena merasa tidak dibutuhkan, gadis itu mencoba menyisir tiap sudut dapur. Lagi-lagi gaya clean dan minimalis menjadi tema utama dari dapur apartemen ini. Anehnya Kama merasa bila apartemen ini amat sangat butuh sentuhan wanita untuk melembutkan sisi tajam dari maskulinitas Minghao.

Lalu perhatian Kama teralihkan. Cahaya lampu dapur yang hangat menyinari sudut-sudut apartemen Minghao. Di atas meja, sisa makan malam masih berserakan. Akan tetapi, perhatian Kama tidak tertuju ke arah sana.

Dia bersandar di ambang pintu, memperhatikan punggung Minghao yang sibuk mencuci piring. Air mengalir deras, dan suara gesekan spons pada piring memecah keheningan. Kaus hitam yang dikenakan Minghao menempel sempurna, menonjolkan garis-garis tubuhnya.

Tangan Kama terangkat membelai kulit lehernya. Di balik baju turtle neck yang dikenakannya, ada bercak merah keunguan yang menghiasi leher. Hasil karya Minghao yang baru disadari Kama saat keluar dari rumah sakit.

Pandangannya lantas tertumbuk pada sekeranjang jeruk segar di atas meja. Berniat mengusir debaran di dadanya, Kama melontarkan pertanyan yang memecah kebisuan di antara mereka.

“Mau jeruk, Hao?”

Minghao menoleh sejenak. Bibirnya melengkungkan senyum tipis. “Kalau kau yang memberikannya.”

Tangan Kama gemetar saat dia mengupas jeruk di meja dapur. Jemarinya pelan-pelan membelah kulit jeruk itu, menciptakan aroma segar yang memenuhi ruangan sempit. 

Dia lalu mendekat, menatap punggung Minghao yang masih sibuk, lalu berdiri di sisinya. Suara Kama gemetaran. Benaknya sejak tadi terus berkecamuk mempertimbangkan satu hal. Hingga akhirnya, Kama mantap memutuskan mencoba sesuatu yang baru dalam hidupnya.

“Buka mulutmu,” bisik Kama.

Minghao menghentikan kegiatannya, memutar tubuhnya sedikit, dan menatap Kama dengan mata yang penuh goda. Tanpa berkata apa-apa, dia membuka mulut.

Kama menahan napas, masih bertarung dengan pikirannya sendiri apakah dirinya seberani ini menggoda Minghao. Namun, tangannya telah berkhianat dengan menyodorkan sepotong jeruk ke bibir lelaki itu. Tangan kecil Kama sedikit gemetaran dan matanya membelalak lebar.

Minghao tidak hanya memakan jeruk itu. Bibirnya melingkupi jemari Kama, membiarkan manisnya jeruk bercampur dengan rasa kulit tangannya. Lidah Minghao bergerak halus, lambat, menjilat telapak tangan Kama dengan gerakan yang seolah disengaja. 

Kama tercekat. Tubuhnya gemetar seperti disentuh aliran listrik.

“Hao …,” suara gadis itu lirih, hampir tidak terdengar.

Minghao terdiam sejenak. Matanya menatap Kama dengan intensitas yang sulit diartikan. Suara lirih gadis itu memanggil namanya seolah menghapus batas tipis yang selama ini dia pertahankan. Dan Minghao tidak bisa menahan diri lagi.

Dalam satu gerakan halus, tetapi penuh kendali, Minghao melingkarkan lengan di pinggang Kama, mengangkat dengan mudah tubuh ringan gadis itu, lalu mendudukkannya di atas meja dapur.

Kama terkesiap, tetapi tidak dapat menghindar. Jarak di antara mereka begitu dekat, hingga dia bisa merasakan kehangatan tubuh Minghao yang memancar. Hatinya berdebar keras. Sementara tangan Minghao tetap berada di sisi pinggangnya, memberi rasa aman yang aneh di tengah situasi yang begitu mendebarkan.

“Kama …,” bisik Minghao dengan suara rendah, hampir serak, seperti mencerminkan perjuangan yang baru saja dia lewati untuk tidak menyerah pada dorongan hatinya lebih awal. Dia menundukkan kepala, hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci.

“Boleh aku?” tanyanya. Napasnya hangat menyapu bibir Kama.

Otak gadis itu tak mampu berpikir lagi. Tanpa sadar dia mengangguk. Gerakan kecil yang seperti angin tipis di malam yang sunyi. Itu sudah cukup bagi Minghao.

Bibirnya perlahan menyentuh bibir Kama, lembut seperti bisikan pertama angin musim semi. Ciuman itu tak tergesa-gesa, hanya eksplorasi yang dipenuhi rasa ingin tahu dan keinginan untuk merasakan lebih banyak.

Kama merasakan sentuhan itu meluruhkan segala kekakuan dalam dirinya. Tangan kecilnya terangkat, berlabuh di dada Minghao, merasakan denyut jantung yang serupa dengannya. 

Bibir mereka bergerak dalam harmoni, seolah telah lama saling mengenal. Tidak ada gerakan kasar, hanya kelembutan yang semakin dalam seiring waktu berjalan.

Saat akhirnya Minghao menarik diri, hanya beberapa inci dari wajahnya, dia masih menatap Kama dengan mata yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa disebutkan dengan kata-kata. Rasa hormat, keinginan, dan perasaan yang lebih dari sekadar fisik.

“Kama,” ucapnya lagi, kali ini lebih lembut, seperti merapal sebuah janji.

Kama hanya bisa menatap, masih terperangkap dalam kehangatan yang ditinggalkan. Suara air keran yang masih mengalir seperti bergerak menyadarkan mereka, bila masih ada dunia nyata yang menanti.

Namun, Minghao tidak membiarkan gadis itu pergi. Dahinya dan Kama saling menempel. Ibu jari yang terangkat mengusap lembut bibir gadis itu, bibir yang bengkak, setengah terbuka, dan sangat menggoda seperti ceri merah yang menunggu dipetik.

Batas itu semakin menyusut. Godaan Kama terlalu sulit untuk dilawan. Minghao kembali menundukkan kepala dan memagut lembut bibir Kama. Malam itu, di dapur kecil yang sederhana, segalanya terasa begitu tak berbatas.

~~ BERSAMBUNG ~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top