22 | Jejak Hati
Terima kasih karena sudah membersamai Minghao dan Kama sampai bab ini. Mereka menunggu vote dan komen dari Readers semua. ^^
••••••••••
“Minghao, asisten pribadi Kakekmu meneleponku langsung. Dia minta kau ke Nanjing sekarang juga. Private jet sudah disiapkan di Bandara Jinjiang [1].”
Bing Yi berbisik-bisik agar tidak terdengar Kama. Saat ini dirinya dan Minghao berada di bagian kamar sang bos dengan pintu penghubung ke ruangan Kama dalam kondisi terbuka lebar.
Minghao sontak terbelalak kaget. “Yang benar saja! Kenapa Kakek jadi berubah rencana begini?”
“Karena ulah Chen Shangzi. Kau tak lihat media sosialmu?”
Cepat-cepat Minghao membuka Weibo. Namanya dan Shangzi menjadi trending topic teratas hari ini. Penyebabnya unggahan Shangzi yang mengiakan pertanyaan wartawan tentang hubungan khususnya dengan aktor terkenal Zheng Minghao.
“Ini pasti karena foto kalian di restoran tempo hari itu.” Bing Yi memberi tahu.
“Biasanya Kakek tak peduli dengan siapa kencanku. Kenapa sekarang berbeda?” Minghao menggeram rendah.
“Karena ….” Bing Yi memiringkan kepala seraya memandangi Minghao penuh selidik. “Kau sengaja menyembunyikan hal ini dariku, tapi pada akhirnya terkuak juga. Kali ini aku tak akan membantumu.”
“Bing Yi!”
“Baik. Baik. Penyebabnya karena Shangzi adalah wanita yang dijodohkan dengan kakak sepupumu itu. Tapi kau membuat perjodohan mereka berantakan. Shangzi terang-terangan menolak perjodohan itu dan menyatakan sudah memiliki calon lain, yaitu kau.”
Minghao mengerang keras. Ketakutannya akhirnya terbukti. Dia melirik Kama yang masih berbaring di ruangan sebelah.
“Harusnya jadwal ke Nanjing adalah akhir pekan ini, tapi diubah oleh Kakek. Aku tak mau ke Nanjing hari ini, juga akhir pekan ini. Pokoknya aku tak mau ke Nanjing.”
“Kau mau Kakekmu marah besar?” Bing Yi mencekal lengan Minghao yang sudah hendak kabur, kembali ke sisi Kama.
“Bukannya sudah marah besar?” Minghao berkata sinis. “Aku bukan Yuxi-ge yang bisa terus disetir Kakek. Hidupku adalah milikku. Aku yang akan tentukan sendiri jalan hidupku.”
Bing Yi menghela napas panjang. “Jawab jujur, Minghao. Kau memang menyukai Miss Kama atau hanya ingin mempermainkannya?”
Minghao menatap tajam Bing Yi. “Apa kau sudah termakan omongan orang-orang? Aku bukan playboy.”
Bing Yi mengangguk tegas. “Aku tahu itu. Tapi Miss Kama adalah perempuan yang berbeda. Dia tidak sama dengan perempuan-perempuan yang selama ini mendekatimu. Tujuannya datang ke negara ini sangat mulia. Kau tak boleh merusak dia hanya demi kesenangan–”
Mata Bing Yi melotot. Mulutnya megap-megap mencari udara karena Minghao tengah mencekik lehernya.
“Ming–Minghao ….” Bing Yi berusaha melepaskan tangan Minghao dari lehernya.
“Aku tak pernah merusak Kama,” desis Minghao. Sorot matanya sangat dingin dan kejam.
Bing Yi mengangguk-angguk. Dia bicara terbata-bata. “Kau tak merusaknya. Aku paham. Lepaskan aku dulu, tolong?”
Minghao menyentak kasar leher Bing Yi. Sahabatnya itu terbatuk-batuk sembari mengusap-usap leher yang masih terasa sakit.
Dalam hati Bing Yi sudah mengetahui jawaban untuk pertanyaannya. Dia mengenal sahabatnya dengan sangat baik.
Minghao bukan orang yang berbelit-belit. Aksinya kali ini yang berani mencekik leher sahabatnya sendiri demi seorang perempuan sangat gamblang menunjukkan perasaannya pada Kama.
“Aku hanya mengingatkanmu, Minghao.” Bing Yi berkata hati-hati.
“Jika kau hanya ingin bermain-main dengan Miss Kama karena penasaran–tunggu dulu! Dengarkan aku bicara! Aku masih ingin hidup!” Bing Yi langsung mundur dan melindungi lehernya dengan dua tangan.
“Teruskan.” Minghao berkata dengan keengganan yang terdengar jelas dalam suaranya.
“Aku tahu, Miss Kama adalah perempuan yang sangat berbeda dibanding circle-mu selama ini. Kalau kau memang serius dengannya, kuharap kau melindunginya sekuat tenaga. Aku juga akan membantumu, Minghao.”
“Kau bicara apa, sih?”
Bing Yi gatal ingin menggetok kepala sahabatnya. “Kau lupa apa pura-pura lupa? Kakekmu bisa memberangus Miss Kama jika kau nekat mengencaninya. Kau tahu sendiri bagaimana kekuatan Kakekmu itu dalam kehidupanmu dan Yuxi-da ge.”
Minghao tertegun. Imajinasi mengerikan dengan cepat muncul di benaknya. Kakeknya yang sangat konservatif soal trah keluarga pasti tidak akan suka dengan latar belakang Kama yang sangat jomplang dengan keluarga Zheng.
“Jika Kakekmu sudah ‘menyentuh’ Miss Kama, kehidupan perempuanmu itu bisa hancur berantakan, Minghao. Apa kau mau Miss Kama mengalami hal itu hanya karena egomu untuk memuaskan rasa penasaranmu padanya?”
Minghao menggeleng lemah. “Aku tidak penasaran padanya. Aku ….” Lelaki itu tidak mampu meneruskan perkataan.
“Aku tahu.” Bing Yi mendekat dan menepuk bahu sahabatnya. “Kurasa kali ini kau sudah bertemu pawangmu, Minghao. Miss Kama memang hebat karena mampu menaklukkan hati salah satu lelaki paling diincar di negara ini.”
Minghao menatap ke ruangan Kama.
“Baiklah, aku akan membantumu. Kita hadapi Kakekmu bersama-sama, demi Miss Kama.”
Minghao melirik dingin pada sang sahabat. “Apa kau tertarik pada Kama-ku?”
“Astaga, tidak! Miss Kama jelas-jelas tak menyukaiku! Jangan cemburu padaku, Minghao. Ayolah.” Bing Yi geleng-geleng kepala.
Minghao mendengkus keras. “Kau sengaja merusak momen kami.”
Bing Yi meringis, teringat saat dia menerobos masuk kamar di waktu yang amat-sangat-tidak-tepat.
“Aku minta maaf. Sekarang kalian boleh meneruskan yang tertunda tadi.” Bing Yi nyengir lebar. “Aku akan keluar dan pikirkan cara menolak permintaan Kakekmu.”
Sebelum Minghao bereaksi, Bing Yi sudah terbirit-birit keluar kamar. Kali ini, dia lebih memilih menghadapi kemarahan tidak langsung Zheng Renzhong ketimbang harus kehilangan kepala karena amukan Zheng Minghao.
Sementara Minghao harus menenangkan diri lebih dulu sebelum menemui Kama. Dia segera mengirim pesan pada kakak sepupunya.
[Yuxi-ge, jika kau mau kencan buta keduamu batal, kau juga harus menolongku. Minta pada Kakek untuk mengubah jadwal kencan buta kalian ke akhir pekan ini. Jangan tanya apa pun. Kau terima beres hasilnya nanti.]
Setelahnya baru Minghao mendekati Kama. Dengan telaten, lelaki itu membujuk gadisnya untuk pergi ke klinik. Iming-iming bisa kembali hari itu juga ke Shanghai bila hasil pemeriksaan kesehatan Kama membaik, akhirnya bisa meluluhkan ketakutan gadis itu pada jarum suntik.
Pada akhirnya Kama harus menginap semalam di rumah sakit untuk memasukkan obat via infus. Walau hasil tes darah gadis itu stabil semuanya, Minghao tidak mengizinkan Kama untuk pulang.
“Patuh pada dokter. Aku akan menemanimu di sini.” Minghao membetulkan selimut Kama yang melorot.
Lelaki itu duduk di sofa dan membuka tablet. Dalam hitungan menit, dia sudah tenggelam pada pekerjaannya dengan Kama berbaring memandanginya.
“Kenapa melihatku? Terpesona pada ketampananku?”
Kama mendengkus. “Kau tampan, aku akui itu. Sampai-sampai banyak perempuan mau membuka kaki untukmu.”
Minghao meringis. “Kau dan Zheng Zongcai sama-sama bermulut tajam dan suka menyindir. Kalian harusnya bersatu, agar para wanita penggoda di dunia ini menghilang.”
“Basi banget sih, candaanmu.” Kama merengut dalam bahasa Indonesia.
Minghao melirik Kama. “Bagaimana kalau kita buat perjanjian? Saat bersamaku, kau hanya boleh menggunakan Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris.”
“Tak mau. Aku tak bisa memakimu nanti.” Kama langsung menolak.
“Hah, jadi kau mengakui kalau selama ini kau sering memakiku.” Minghao menelengkan kepala.
“Ya iya-lah. Apa lagi memangnya?”
Minghao tersenyum tipis dan kembali menunduk, berkonsentrasi penuh pada layar tabletnya.
“Apa kau selalu seperti ini?”
“Bekerja di mana pun? Iya. Kurasa hampir seluruh populasi penduduk China saat ini punya kebiasaan baru. Bekerja di mana saja dan kapan saja.”
Kama memutar bola mata. “Maksudku bukan bekerja.”
“Lalu?”
Kama menunjuk Minghao dan dirinya dengan satu tangannya yang bebas infus. “Maksudku begini ini. Kau menunggui setiap perempuanmu yang sedang sakit.”
“Bilang dulu kau cemburu, baru aku jawab.”
“Dih, najis!” Kama melengos.
“Bahasa Mandarin, Sayangku. Tolong.”
“Sayangku. Sayangku. Koen ngiro aku gampangan po? Sak penake dewe nyeluk sayang-sayangan.”
“Kama?” Kening Minghao berkerut.
Kama segera menarik selimut hingga menutupi kepala. Suaranya teredam. “Terserah! Aku juga tak butuh jawaban.”
Hening. Tidak terdengar suara apa pun. Dari balik selimut, Kama menggigit bibir, sedikit menyesal karena bertingkah kekanak-kanakan. Namun, suara Minghao tiba-tiba menerbitkan senyum di bibir Kama.
“Tidak. Hanya dirimu yang pernah aku tunggu saat sakit.”
Rasa hangat dari jawaban Minghao mendatangkan kantuk pada Kama. Ditambah obat dari dokter, gadis itu akhirnya jatuh dalam tidur yang lelap.
Dia tidak mengetahui saat Minghao berjalan perlahan mendekatinya dan menarik selimut yang menutupi wajah. Perlahan, sangat perlahan, Minghao menundukkan kepala. Bibirnya sudah berada tepat di depan bibir Kama, tetapi lelaki itu segera mengalihkan sasaran dengan mengecup bagian dahi.
“Tak menyenangkan mencuri ciuman saat dirimu tidur. Kita akan melakukannya dengan benar lain kali.” Minghao berbisik lembut.
“Tapi aku perlu meninggalka sedikit jejak padamu, Sayangku. Agar orang-orang seperti Pei Siheng tahu siapa dirimu ini.”
Minghao kembali menunduk. Bibirnya menyentuh leher Kama dan mulai bersenang-senang di sana.
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
[1] Bandara Jinjiang adalah bandara bertaraf internasional yang terletak di wilayah Jinjiang, Quanzhou, Provinsi Fujian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top