20 | Perseteruan di Balik Layar
“Tatapan itu lagi.”
Minghao tidak menoleh. Tanpa melihat pun, dia tahu Bing Yi sudah datang membawa makan siang.
“Kalau tidak tahu, orang-orang bisa mengira kau sedang melakukan pembunuhan jarak jauh pada Pei Siheng,” komentar Bing Yi lagi.
Minghao menerima kotak makan siangnya tanpa menoleh pada Bing Yi. Dia masih memelototi Siheng yang terlihat asyik berdiskusi bersama Kama. Posisi mereka cukup jauh. Minghao berada di gazebo, sementara Kama dan Siheng ada di pondok berdinding terbuka sepuluh meter di bawah.
“Rumornya kencang sekali, Minghao. Tidak kasihankah kau pada Miss Kama?”
Kali ini Bing Yi mendapat perhatian penuh dari Minghao.
“Semua orang sudah tahu kau menempatkan Miss Kama di kamarmu. Banyak yang bersikap jahat padanya dengan mengatakan, dia memanjat ke tempat tidurmu untuk bisa berada di posisi staff writer sekarang.”
“Yah, itu tidak benar. Kama harus belajar bermental artis.” Minghao berkata dengan nada datar.
“Miss Kama bukan dirimu. Dia datang dari lingkungan yang tidak mengenal kejamnya dunia hiburan. Jika kau memang mau melindunginya, lakukan secara total.”
“Kenapa kau jadi serius?” Minghao mulai kesal. Dia kembali menatap Kama. Batinnya bergemuruh kala memergoki gadis itu tampak tertawa riang bersama Siheng.
“Ada banyak variabel yang harus kau ketahui. Pertama, semua kru menyukai Fang Jiaqi, apalagi Nona Luo Luo. Bagi mereka, Miss Kama adalah musuh karena sudah membuat Fang Jiaqi pergi.
Kedua, hampir semua orang di sini adalah pendukung Nona Luo Luo. Mereka dengan senang hati melakukan apa pun demi menyenangkan asisten sutradaramu yang cantik, glamor, dan berotak jenius itu.
Ketiga, Nona Luo Luo tidak suka pada Miss Kama. Provokasi Nona Luo Luo berhasil membuat Miss Kama dikucilkan. Satu-satunya orang yang masih mau berteman dengan Miss Kama hanya Pei Siheng.”
Minghao membisu. Perkataan panjang lebar Bing Yi sebenarnya sudah diketahuinya sejak lama. Namun, dia seorang sutradara. Ada hal lebih penting yang harus dikerjakannya saat ini dibanding mengurusi kebencian Luo Luo pada Kama.
“Dan keempat–”
“Masih ada yang keempat?” Minghao langsung menoleh.
“Sebenarnya masih ada yang kelima. Aku ringkas saja. Saat ini di Weibo sedang viral perseteruan antara selebgram yang pernah kau tiduri dengan Chen Shangzi. Mereka sama-sama memperebutkanmu.
Berita buruknya lagi, Kakekmu sudah tahu soal Miss Kama. Beliau ingin kau datang ke Nanjing akhir pekan ini.”
Minghao langsung duduk tegak. Matanya melotot lebar-lebar.
“Jangan bilang, kau lupa pada persyaratan Kakek-mu. Tenggat waktumu tinggal sebelas bulan lagi sebelum kau dicoret permanen dari daftar pewaris Zheng.” Bing Yi mengingatkan.
Minghao memijat pelipis. Pening hebat langsung menghantam kepalanya mendengar pemberitahuan Bing Yi. Terlalu fokus pada pekerjaan membuatnya sedikit melupakan tantangan dari Zheng Renzhong.
“Kali ini kau benar-benar jadi trending topic, Minghao. Jangan sampai dramamu kali ini harus dinodai dengan skandal tidak penting.”
“Lama-lama kau jadi seperti Yuxi-ge,” gerutu Minghao.
“Aku adalah alarm hidupmu. Tugasku memastikan kau tak terus-menerus berada di jalan setan. Lebih baik kau menjadi siluman yang manis seperti tokoh yang baru saja kau perankan di Fangs of Fortune.”
Minghao mendengkus keras. Dia beranjak pergi dari gazebo. Lelaki itu kembali bergabung dengan Luo Luo yang tengah mendiskusikan konsep kostum dengan tim wardrobe.
Sengaja disewa khusus sebagai kantor darurat oleh tim produksi Minghao, seluruh anggota tim berkumpul di salah satu gudang Pelabuhan Quanzhou. Proses survei telah selesai dilakukan dan sekarang waktunya untuk mempersiapkan produksi syuting.
Makan malam telah usai sejak tiga jam lalu. Sebagian besar kru telah kembali ke hotel. Namun, di gudang masih ada cukup banyak orang yang tinggal untuk bekerja, termasuk Minghao, Kama, dan Siheng.
“Jika kita menyebut Pelabuhan Zayton di naskah, kita juga harus menjelaskan keberadaan Jalur Sutra. Tapi jangan sampai over showing untuk penggambaran Jalur Sutra ini. Set lokasi akan membutuhkan banyak biaya jika kita terlalu mengeksporasi Jalur Sutra.” Siheng mengetik di laptopnya.
“Bagaimana jika kita memasukkan dalam dialog tokoh Dong Jun? Dia seorang laksamana, bukan? Itu akan lebih menghemat anggaran.” Kama memberi opsi.
“Porsi dialog Dong Jun jadi sangat besar nantinya.” Siheng mengernyit.
“Tapi kita memerlukan Jalur Sutra ini, A-Heng. Pelabuhan Zayton adalah dasar pertama dari pembentukan tokoh Dong Jun. Pelabuhan Zayton juga menghubungkan konflik penting antara Dinasti Yuan di Mongol dan Raja Hayam Wuruk di Majapahit.” Kama mengingatkan.
Siheng terlihat berpikir keras. Dua orang itu terlalu asyik merevisi naskah sampai melupakan kehadiran Minghao yang duduk di ujung ruangan.
Jaraknya dengan meja Kama dan Siheng hanya lima meter, tetapi sudah serupa Benua Asia dan Benua Amerika saja jauhnya. Sikap dingin Kama pasca mendapat provokasi frontal dari Luo Luo membuat Minghao jadi blingsatan tak karuan. Apalagi di saat bersamaan, Kama justru mendekat pada Siheng.
“Apa malam ini kau akan bergadang lagi di lounge hotel?”
Minghao melirik Luo Luo yang datang tiba-tiba. Lelaki itu menggeleng. “Aku tak pernah bergadang di lounge. Dua hari ini aku tidur di kamar Bing Yi.”
“Wah, apa pelayanan gadis kecilmu kurang memuaskan sampai kau perlu kabur dari kamarmu sendiri?” Luo Luo melempar pandangan mencemooh pada Kama.
“Luo Luo, jangan mulai lagi. Kau tak perlu mengurus kehidupan pribadiku.” Minghao menegur.
“Dijadikan apa-apa juga boleh, Minghao. Kita akan menjadi pasangan yang luar biasa di dunia hiburan, jika kita bersatu.”
“Ya, pasangan kerja yang luar biasa. Kau memang partner terbaik untuk saat ini.” Minghao menyalakan laptop.
“Hanya partner kerja?” Luo Luo tanpa sungkan merangkul lengan Minghao. Dadanya yang kenyal menekan lembut tangan sutradara.
“Luo Luo, fokus.” Minghao melepaskan diri dari belitan wanita itu.
“Tapi aku sedang fokus,” jawab Luo Luo. Senyumnya miring. Matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Fokus pada hal yang paling menarik di sini …, yaitu kau.”
Minghao hanya tersenyum sekilas. Dia sudah terhubung dengan Yuxi yang berada di Shanghai. Pemilik Zhou Hong Pictures itu memasang wajah masam di layar laptop setelah panggilan video tersambung.
“Zheng Zongcai [1], kau masih lembur rupanya. Bagus, aku punya teman diskusi denganmu.”
“Cepat saja. Aku tak punya banyak waktu untukmu.”
“Harusnya kau punya lebih banyak waktu untukku. Ini soal judul drama. Aku kirim beberapa referensi judul.” Minghao mengetik di ponsel sembari terus menjaga panggilan video virtual dengan penyandang dananya itu.
Di layar laptop, Yuxi membaca email yang dikirim Minghao. Keningnya sedikit berkerut.
“The Feast of Hearts dan Scarlet Skies of Longing. Beri aku konsepmu.”
Minghao menjelaskan panjang lebar. Sesekali dia melirik ke arah Kama. Hati Minghao menghangat kala memergoki gadis itu tengah memandanginya lekat-lekat, tetapi segera mengalihkan tatapan saat berserobok dengannya.
“Minghao?”
Lelaki itu mendongak, “Ya, Zheng Zongcai?”
“Apa seluruh kru di tempatmu memang bersikap seperti itu?”
Minghao menatap bingung. Dari sudut pandang Yuxi, seharusnya kru yang dimaksud hanya Luo Luo. Tidak ada orang lain di belakang Minghao. Kecuali di bagian depan yang masih menyisakan tim naskah dan tim perlengkapan yang berjumlah setidaknya delapan orang.
Dia tidak mengatakan apa-apa saat untuk kesekian kalinya Luo Luo bersandar ke lengannya dalam gerakan seduktif. Musim dingin di Quanzhou tidak terlalu ekstrem. Kesempatan itu jelas digunakan Luo Luo untuk berpakaian seatraktif mungkin dengan menonjolkan bagian dadanya yang membusung indah.
Lalu untuk kesekian kalinya juga Minghao menjauhkan tangannya dari dada penuh Luo Luo. Jika bukan karena wanita itu adalah asisten sutradara yang juga punya kepentingan dengan perubahan judul drama, niscaya Minghao akan secepat mungkin menendang Luo Luo pergi.
“Kurasa, Astradamu itu lebih ingin membuka kakinya di atas ranjangmu, daripada bekerja menggarap drama ini, Minghao!”
Siheng sampai menjatuhkan pena yang dipegangnya. Kama ternganga lebar mendengar suara Yuxi yang keluar dari laptop yang disetel dengan mode pengeras suara. Begitu juga ekspresi enam orang lain di sudut ruangan yang identik dengan Siheng dan Kama.
Sialnya lagi saat itu Bing Yi berjalan memasuki gudang sembari membawa kopi untuk kru yang masih tinggal. Dia sontak berhenti di ambang pintu, tak bisa menahan kekagetan sekaligus rasa geli.
Sementara Luo Luo mematung di samping Minghao. Butuh beberapa detik dia mencerna maksud perkataan Yuxi yang notabene merupakan eksekutif produser proyek drama ini. Lalu perlahan-lahan, dengan muka merah padam menahan malu, Luo Luo sedikit menjauhkan diri dari Minghao.
“Kalau kau butuh asisten baru, Zou Hong punya banyak Astrada profesional. Aku bisa kirim portofolio mereka padamu,” imbuh Yuxi lagi.
Minghao tertawa dalam hati. Kakak sepupunya yang sangat kolot ini pasti sudah risih melihat aksi Luo Luo sejak tadi. Berbeda dengannya yang masih bisa mengeluarkan perkataan lebih lembut, Yuxi selalu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan pemikirannya dengan kalimat tajam.
“Kita lanjut di mobilku saja.” Minghao mengangkap laptop dan berjalan pergi. Saat ini, mengembalikan suasana hati Yuxi jauh lebih penting baginya.
Dia berpapasan dengan Bing Yi yang jelas-jelas menahan rasa geli. Minghao nyengir lebar lantas bergegas keluar gudang. Dan Bing Yi dengan segera membagikan kopi untuk seluruh kru yang masih tinggal.
“Nona Luo Luo.” Asisten pribadi Minghao meletakkan segelas minuman ke hadapan si Asisten Sutradara.
“Aku harus pulang.” Tanpa menunggu balasan orang-orang, Luo Luo berdiri dan menghambur keluar gudang. Namun, kali ini dia tidak mengekor Minghao. Dirinya sudah terlalu malu dengan perkataan pedas eksekutif produser.
“Ini benar-benar menarik.” Siheng bersiul pelan setelah situasi kembali tenang.
“Apa Zheng Yuxi memang selalu seperti itu?” Kama berbisik, penasaran dengan sikap orang nomor satu di tempat Siheng bekerja selama ini.
“Biasanya lebih brutal dari itu.” Siheng ikut berbisik.
Kama membelalakkan mata kaget. Siheng lantas bercerita dalam suara lirih tentang sikap Zheng Yuxi yang terkenal dingin dan kejam pada orang lain. Sudah banyak pegawai wanita yang menangis karena sikap Yuxi, bahkan pegawai pria pun juga tak bisa kebal terhadap ucapan pedas dan tindakan Yuxi yang sering memicu kekesalan orang lain.
“Astaga …,” Kama mendesah, “kenapa masih ada orang yang mau bekerja padanya?”
“Karena dia termasuk loyal pada pegawai. Mulutnya memang patut dikritik, tetapi kebijakan-kebijakannya pada pegawai patut diacungi jempol. Integritasnya juga luar biasa. Itu yang membuat kami bertahan di Zou Hong.”
Kama manggut-manggut. “Marga mereka sama. Apa Zheng Yuxi dan Zheng Minghao adalah saudara? Wajah mereka juga seperti kembar.”
Siheng menggeleng. “Banyak di negara ini yang berwajah sama dan bermarga sama, tetapi tidak memiliki hubungan darah. Sebut saja artis Ryan Ding dan Neo Hou yang sering dikira kembar itu.”
Kama sekali lagi mengangguk-angguk.
“Sudah malam. Ayo, kutemani kembali ke hotel.”
Kama mengangguk. Jam memang sudah menunjukkan hampir menuju tengah malam. Dia membereskan seluruh barang dan berjalan keluar gudang. Sempat menyapa Bing Yi dengan ramah, Kama menolak halus tawaran asisten pribadi Minghao untuk mengantarnya pulang.
Kama dan Siheng berjalan di pinggiran gudang. Jalan beraspal terlihat basah oleh salju yang meleleh. Udara cukup dingin, tetapi masih bisa ditoleransi oleh Siheng. Namun, melihat gadis di sebelahnya gemetaran meski sudah berjaket tebal, Siheng jadi tak tega.
“Pakai jaketku, Kama.” Siheng membuka resleting jaketnya hendak diberikan pada Kama.
“Tak usah. Tak usah. Aku masih bisa tahan, kok. Mobilmu sudah tak jauh lagi parkirnya, bukan?”
Namun, Siheng tidak menggubris. Dia membungkus tubuh mungil Kama dengan jaketnya. Posisi mereka berhadapan, membuat Siheng bisa melihat jelas puncak kepala gadis yang tingginya hanya sebahunya itu.
“Jaketnya kebesaran,” komentar Siheng.
Kama tertawa gugup. Dia hendak mundur menjauhi Siheng. Sial baginya karena kakinya tersandung paving block yang mencuat rusak. Kama terhuyung-huyung, sudah ketakutan karena hendak jatuh, sampai Siheng menyambar tangannya dan menariknya ke pelukan.
“Hati-hati. Di sini cukup gelap.”
Kama spontan mendorong dada Siheng. Tawanya gugup. “A–aku baik-baik saja. Te–terima kasih.”
Gadis itu bergegas pergi. Dia berjalan sangat cepat, ingin kabur sesegera mungkin dari Siheng.
“Kama, hati-hati! Jalannya licin!”
Kama menelan ludah. Sepertinya peringatan itu terlambat karena dia sudah terpeleset. Kama mengerang keras saat pantatnya menghantam paving block. Sengatan nyeri tajam merambat cepat hingga ke kepalanya.
“Kau tak apa-apa?” Siheng bergegas mendekat.
“Tak apa-apa. Tak apa-apa.” Kama menolak uluran tangan Siheng. Dia berkata gugup, bersikap gugup.
“Kama, apa kau takut padaku? Aku tak akan menyentuhmu, jika kau tak nyaman.” Siheng berkata lembut.
Kama meringis. Sorot matanya penuh permohonan maaf. Dia mendongak, ingin mengatakan bila memang dirinya tidak nyaman dengan sentuhan Siheng. Namun, tidak ada sepotong pun kata mampu keluar dari mulutnya.
Susah payah Kama mencoba bangun, tetapi terjatuh lagi. Punggung bawahnya terasa sangat sakit. Saat dia mulai putus asa karena hawa dingin menusuk tulang mulai merambat menembus bajunya, sepasang tangan kukuh tiba-tiba terselip di belakang lutut dan di belakang punggung.
Lalu tubuhnya terangkat begitu saja. Kama membeliak kaget. Pandangannya segera bertemu dengan Minghao yang kini menggendongnya.
“Ayo, pulang.” Lelaki itu bicara tanpa dapat dibantah.
“Pei Siheng, kau bawa mobil sendiri, bukan? Biar kubawa Kama ke klinik dulu.”
Siheng hanya mengangguk pelan. Matanya tak lepas dari punggung Kama yang tergolek lemah di pelukan Minghao. Langkah dua orang itu kian menjauh, menyisakan bayangan samar yang perlahan tertelan gelapnya malam.
“Kama memang aneh. Dia tak mau kusentuh, tapi kenapa malah nyaman sekali digendong Minghao-ge ge? Apa rumor soal dia jadi simpanan Minghao-ge ge itu benar?”
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
[1] Zongcai adalah sapaan formal di China untuk menyebut seseorang yang kedudukannya lebih tinggi. Biasanya digunakan dalam konteks bisnis profesional.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top