2 | Si Bodoh Kama
“Kamu bodoh! Bodoh! Bodoh! Bisa-bisanya kamu mesum kayak gitu!”
Kamalika Tunggadewi, gadis dua puluh satu tahun berparas eksotis itu berkali-kali memukul kepalanya. Tidak terlalu keras, tetapi cukup menarik perhatian orang-orang, khususnya tiga lelaki yang berdiri di belakang meja bar.
“Kau kenapa?” tanya salah satu dari mereka dalam bahasa Cina. “Dari tadi mengomel terus. Pakailah bahasa setempat. Kami tak tahu sama sekali dengan apa yang kau katakan.”
Gadis yang akrab disapa Kama itu menyeringai. Kepalanya menggeleng-geleng cepat. Dia selalu begini. Sudah setahun tinggal di Shanghai, tapi sering keceplosan bicara Bahasa Indonesia. Terkadang dia malah memakai bahasa ala Suroboyoan, tempat di mana gadis itu hidup sebelum melancong ke Negeri Tirai Bambu.
“Tak apa-apa. Tak apa-apa. Aku hanya capek.” Kama berbohong.
“Istirahatlah. Minggu ini kau ambil tiga pekerjaan sekaligus, bukan?” Rekan bartendernya yang lain memberi saran.
Kama nyengir. Dia mengangkat nampan bulat yang sedari tadi dipegangnya. “Mana bisa istirahat. Hari ini ada tamu VVIP di lantai teratas. Aku belum rela jadi pengangguran karena Bos marah-marah lagi.”
“Ah, itu. Kenapa kau juga bodoh? Seharusnya kau pakai layanan antar saja saat Bos memintamu beli kopi, bukan malah pergi sendiri.”
Seluruh bartender yang malam itu bertugas memang sudah tahu insiden yang menimpa Kama. Sebagai pelayan baru, Kama memang tidak punya hak untuk menolak.
Bos di klub tempatnya bekerja secara mendadak memintanya membeli kopi di Starbuck. Itu karena ada tamu penting yang secara konyol meminta minuman di luar daftar menu ….
Hanya karena dia kaya ….
Kama membatin dengan rasa tidak suka. Berkali-kali dia mengeluh dalam hati. Kenapa harus pergi ke klub malam bila hanya ingin meminum kopi?
Mentang-mentang punya banyak duit, terus tuh, orang bisa seenaknya pesen kopi di klub malam? Halo, ini klub malam! Mana ada ngejogrok di VIP room cuma buat minum Starbuck?
Lagi-lagi omelan dalam bahasa nusantara terbit di batin Kama. Gadis itu menghela napas, memelototi satu rekan bartendernya yang tengah meracik koktail. Mata Kama menyipit saat melihat gelas kopi yang sangat familier teronggok di atas konter.
“Itu kopi yang kubeli tadi, kan?” Kama kebingungan.
“Benar. Untungnya masih ada cukup sisa untuk membuat Espresso Martini.” Bartender bergerak gesit mencampur vodka, Sheridans, dan espresso dari kopi yang berhasil diselamatkan Kama setelah terjatuh karena tabrakan.
“Klien kali ini sangat suka espresso Starbuck. Hanya merek itu yang dia mau. Makanya Bos sampai menyuruh membeli kopi di luar jika dia datang ke sini.” Bartender menjelaskan.
“Apa ada beda rasa?”
Bartender mengangguk. “Tiap biji kopi punya taste yang berbeda-beda. Kudengar klien yang satu ini punya lidah dewa. Dia bisa membedakan beraneka jenis kopi hanya dari sececap likuidnya. Karena itu, Bos minta dibelikan kopi hanya di gerai Shuichan.”
Kama manggut-manggut. Pandangannya setengah melamun menunggu pesanan selesai dibuat. Sebagian otaknya kembali lagi memikirkan insiden kecil di salah satu market area Tangjiawan.
Dia menabrak seseorang. Seolah belum cukup, dia juga tidak sengaja melecehkan orang itu. Pipi Kama merona saat teringat aksinya yang mencoba membersihkan tumpahan kopi di celana orang yang ditabraknya, tetapi malah berakhir dengan memegang sesuatu yang harusnya tidak dipegang.
Gemetar Kama mengangkat tangan kanan. Telapaknya seolah menjadi hal yang sangat menarik perhatian. Kama memelototi tangannya sendiri, merasakan sensasi yang masih belum hilang dari ingatan, dan kembali tersipu malu.
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu itu udah jadi orang paling memalukan sedunia, Kama!
Dalam hati, dia menghardik dirinya sendiri. Kama menelan ludah kala teringat masker wajah yang sempat melorot dan menampilan seraut muka tampan yang terlihat tidak asing.
“Dia siapa, ya? Perasaan pernah lihat.” Kama menggaruk-garuk pelipis, mengingat-ingat di mana pernah melihat lelaki yang ditabraknya di Tangjiawan tadi.
“Nah, selesai! Antar sekarang juga.” Bartender meletakkan Espresso Martini di nampan Kama.
“Kau belum tahu orangnya, bukan? Siap-siap dapat tip besar. Dia terkenal loyal menghamburkan uang.” Rekannya mengedipkan sebelah mata.
Kama mengangguk riang. Memasang senyum maksimal, dia mulai berjalan menerobos padatnya tamu di Phoenix Lounge & Bar menuju ke lantai tiga.
Dentum suara musik sedikit teredam di lantai khusus ruang VVIP ini. Pengunjung klub eksklusif yang bisa menikmati fasilitas premium di lantai tiga Phoenix Lounge & Bar tentu hanya yang berkocek tebal. Dan hal itu membawa sederet konsekuensi, salah satunya pada pelayan baru seperti Kama.
Dia diwajibkan menyimpan rapat-rapat privasi klien lantai tiga. Bagi Kama, hal itu tidak terlalu masalah. Toh, dia juga tidak berminat untuk mengulik kehidupan pribadi orang lain.
“Pesanan Anda, Tuan.” Kama memasuki pintu setelah mengetuknya dan berhadapan langsung dengan sekelompok lelaki muda.
Tidak ada yang istimewa, seharusnya begitu. Kama tidak peduli siapa yang sedang dilayaninya saat ini. Namun, sikap acuh tidak acuhnya langsung berubah drastis setelah satu tangan kurang ajar bertengger tanpa permisi di pantatnya.
“Tuan …,” desis Kama berusaha sesopan mungkin, “tolong pindahkan tangan Anda.”
“Ah, maksudmu di sini?”
Darah Kama mulai mendidih saat tangan kurang ajar itu malah berpindah ke pinggangnya. Si lelaki muda dengan cepat menarik Kama, hingga duduk di pangkuannya.
“Tuan, maaf. Saya di sini hanya mengantar minuman,” ucap Kama dingin pada seorang lelaki muda tampan dengan rambut bermodel undercut.
“Bosmu bisa mengerti kalau kupinjam dirimu sebentar.” Si lelaki muda berbisik di telinga Kama yang disambut sorak riuh tiga temannya yang lain.
Bibir Kama menipis. “Beliau mungkin tidak keberatan. Tapi saya sangat keberatan.”
Kama bergerak sangat cepat. Dengan gerakan silat yang nyaris tidak terlihat, dia menggunakan siku untuk memukul rusuk lelaki itu dan menghempas rangkulan si lelaki di badannya. Spontan tangan si lelaki yang mencengkeram pinggang Kama terlepas. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Kama dengan segera berpindah dari pangkuan si tamu lelaki.
“Anda baik-baik saja, Tuan?” Kama bertanya dengan nada manis pada tamunya yang masih meringis kesakitan.
Suasana sontak berubah hening. Empat pasang mata menatap Kama dengan ekspresi bermacam-macam. Namun, yang ditatap seolah tidak peduli.
Dia mengambil Espresso Martini dan meletakkannya di genggaman si lelaki. Cengkeraman Kama kuat, mantap, dan mengandung peringatan.
“Kalau tidak ada yang dipesan lagi, saya permisi.”
Kama melanjutkan tugasnya, meninggalkan VVIP Room dengan anggun. Namun, di ambang pintu gadis itu sempat terdorong ke belakang saat seseorang membuka daun pintu dari luar.
Kama mengerjapkan mata. Dua lelaki di ambang pintu menatap dengan bingung. Satu lelaki yang berdiri paling depan seketika membelalakkan mata.
“Kau?”
“Tuan Celana Besar?” Kama terperangah.
Detik berikutnya dia membekap mulut dan nampan di genggamannya tergelincir ke bawah, sukses menghantam lantai dengan suara kelontang keras.
~~~
Minghao menghempaskan badan di sofa kulit mahal. Ekspresinya dingin. Tatapannya tajam menusuk pada Wang Heidi, Zhang Linghe, Zhang Chen, dan Charles Lin. Empat orang itu adalah para aktor berbakat yang tergabung dalam berbagai agensi dan mulai saling menjalin persahabatan erat.
“Jadi, apa maksud Tuan Celana Besar tadi?” Linghe memandangi sang bos besar Lotus Fortune House.
Setelah aksi dramatis antara pelayan klub dengan Minghao–yang diakhiri si pelayan lari terbirit-birit keluar ruangan–semua orang mendadak disergap rasa penasaran.
“Diam kau,” hardik Minghao ketus.
Terdengar cekikikan dari arah depan. Pandangan Minghao menyambar ganas ke arah Heidi.
“Baru kali ini aku melihat seorang perempuan yang tidak tertarik pada Dewa Es,” celetuk Heidi.
“Dan baru kali ini aku lihat kau disodok tak berdaya oleh seorang perempuan,” sindir Minghao.
Senyum di wajah Heidi menudar. Dia mengangkat bajunya. Ada lebam merah di rusuk yang mulai terlihat jelas.
“Sial. Tenaganya seperti kuda.” Heidi meringis. “Sodokannya benar-benar kencang, Minghao. Kau harus merasakannya sendiri.”
Minghao bergeming. Bibirnya terkatup rapat. Pelan dia menerima martini dari Bing Yi yang duduk di sebelahnya.
Jangan sampai aku bertemu gadis itu lagi. Dia hampir saja menghancurkan masa depanku.
Minghao tanpa sadar bergidik, teringat rasa sakit hebat ulah tangan tak senonoh si gadis.
“Sudah. Sudah. Jangan bahas dia lagi. Minghao, ada apa kau mengajak kami bertemu malam ini?” Charles mengalihkan topik pembicaraan.
“Pastinya untuk party liar. Phoenix adalah sarang Dewa Es. Jadi, perempuan mana yang akan kau bawa malam ini, Dewa?”
Sekali lagi tatapan setajam pedang terhunus ke arah Linghe. Lelaki itu nyengir lebar tanpa rasa bersalah.
“Para aktorku mengundurkan diri,” ucap Minghao setelah terdiam beberapa saat.
“Mengundurkan diri di proyek drama barumu?” Chen mengernyitkan dahi. “Mereka aktor pendatang baru, masih junior. Berani-beraninya mereka mundur dari tawaran sutradara sehebat dirimu.”
Minghao menghela napas panjang. Dia benci harus membahas urusan pekerjaan di luar kantor. Namun, ini mendesak.
“Aku menduga ada sabotase.” Minghao mengutarakan kecurigaannya.
Empat lelaki tampan yang mengelilingi Minghao saling bertukar pandang heran. Sejurus kemudian, Charles mulai angkat bicara.
“Selama ini kau menghasilkan film-film berkualitas tinggi dengan rumah produksi di luar negeri. Untuk proyek terbarumu ini, kau mencoba serial drama kolosal dengan rumah produksi lokal. Pemain lokal pasti banyak yang ingin menjegalmu, Minghao.”
Lelaki itu menghembuskan napas panjang. “Karena itu, aku ingin minta bantuan kalian.”
Empat aktor ternama Cina itu mendengarkan dengan serius.
“Aku butuh kalian untuk bermain di dramaku. Aku yakin, kalian tak akan mudah disogok oleh lawan-lawanku.”
Wang Heidi, Zhang Linghe, Charles Lin, dan Zhang Chen menatap lekat-lekat ke arah Minghao.
“Apa kau yakin?” Heidi mendesak. “Kau tahu berapa bayaran kami. Walau ada harga sahabat, mengumpulkan kami berempat akan membebani anggaranmu.”
Satu sudut bibir Minghao tertarik ke belakang. “Itu urusanku. Yang terpenting, kalian bersedia bergabung dalam serialku.”
“Aku tak masalah.” Linghe berkata cepat. “Bekerja sama denganmu bisa dikatakan jaminan sukses.”
“Aku juga tidak keberatan.” Charles dan Chen sama-sama mengangguk.
Heidi mengetuk-ngetukkan jari di sandaran sofa. “Kirimkan skripnya padaku. Biar kupelajari dulu agar bisa memerankan tokohmu dengan baik.”
Wajah Minghao semringah. Satu tugas selesai dan hasilnya cukup memuaskan.
“Mau ke mana? Ini masih sore,” celetuk Heidi saat melihat Minghao terburu-buru pergi.
“Bertemu seseorang,” jawab lelaki itu singkat.
Terdengar koor riuh meledek Minghao sebagai Dewa Es. Namun, lelaki itu mengabaikannya. Bersama Bing Yi, dia berjalan menyusuri lorong Phoenix yang sepi orang.
“Kirimkan proposal yang sudah kubuat tadi ke kantor Ge Yuxi.”
Bing Yi sontak menghentikan langkah. “Tuan Muda … Yuxi?”
“Ada berapa Yuxi yang kupanggil kakak di dunia ini?” Minghao mencebik ketus.
“Apa kau sedang menabuh genderang perang?” Bing Yi bergegas mengejar bosnya. “Kau dan kakak sepupumu itu bukannya sudah perang dingin sejak tiga tahun ini?”
“Kau salah besar.” Minghao berbelok di ujung lorong. Alih-alih turun menuju lantai dasar, lelaki itu justru berjalan lurus menuju pintu paling ujung.
“Aku bukan menabuh genderang perang. Aku sedang mengemis pada Ge Yuxi yang kaya raya.”
“Kenapa tidak pada kakekmu saja?”
Minghao berhenti mendadak. Jika ada tali di tangannya, niscaya sudah digunakannya untuk mencekik Bing Yi.
“Kau sengaja menyodorkan aku ke tiang gantungan? Minta bantuan Kakek sama saja melepaskan kebebasanku. Ultimatum pernikahannya itu ….” Minghao bergidik.
“Tak ada yang salah dengan dirimu menikah dan mewarisi Zheng Global Holdings.”
Kali ini tingkat keseriusan Minghao untuk mencekik Bing Yi bertambah seratus persen. “Aku lebih dari rela mengalah pada Ge Yuxi. Biar dia saja yang mengurus bisnis keluarga. Aku tidak berbakat di dunia bisnis kakek.”
“Kau bisa dicoret dari daftar keluarga jika menolak permintaan Tuan Besar.”
Minghao menyeringai lebar. “Karena itulah, aku ingin menghangatkan lagi hubunganku dengan Yuxi-ge. Kakek lebih menyayangi dia ketimbang aku. Jika aku bisa membawa Yuxi-ge menjadi pewaris, Kakek tak akan merongrongku dengan pernikahan itu.”
Bing Yi hendak bicara lagi. Namun, Minghao sudah mengetuk pintu di hadapannya. Sang asisten buru-buru memalingkan pandangan saat seorang selebgram terkenal muncul dari balik pintu.
“Malam ini aku tak pulang. Kau kirim skrip serialnya ke empat sekawan itu. Datanya ada di flashdisk di laci pertama meja kerjaku.”
“Apartemen atau kantor, Tuan?” Bing Yi berkata penuh hormat.
“Apartemen.”
Itulah perkataan terakhir Minghao untuk malam itu, sebelum dia menghilang di balik pintu kayu tebal bersama sang selebgram cantik yang bergelayut manja di lengannya.
~~ BERSAMBUNG ~~
Kasih komen ya, Gaes
🤎🤎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top