19 | Can I borrow a Kiss?
Vote sama komennya dulu dong, Readers.
Baru lanjut baca bab 19. ^^
••••••••••
Minghao menahan dahi Kama dengan dahinya sendiri. Seringai lebar tercetak di bibir.
“Aku belajar dari pengalaman,” bisik lelaki itu tepat di depan wajah Kama. Dia tahu, bila gadis itu pasti akan menghantamkan kepalanya untuk kabur dari sergapan Minghao.
“Dan aku tidak akan terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali.” Satu kaki Minghao menyusup di antara kaki Kama, secara efektif menahan pergerakan gadis itu agar tidak menendangnya.
“Hao, lepas.” Kama meronta.
Dua tangan Kama diangkat ke atas kepala oleh Minghao. Dahi mereka kini saling menempel rapat. Pinggul Minghao juga menahan Kama agar tidak terus bergerak.
“Diam,” perintah lelaki itu dengan suara serak.
“Hao, lepas–”
“Kubilang, diam.” Minghao setengah membentak seraya memejamkan mata. Dia mengertakkan rahang, mengatur pengendalian dirinya yang berada di tubir jurang akibat ulah Kama.
Sementara gadis itu terlalu lambat berpikir. Dia masih terus bergerak, berusaha membebaskan diri. Namun, detik berikutnya Kama langsung membeku.
Matanya membelalak. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Tidak! Justru tiga kali lebih cepat berdetak setelah merasakan sesuatu yang terasa asing dan keras menekan perutnya.
Kama menelan ludah. Dia ingin menunduk, tetapi terlalu malu melakukannya. Sementara Minghao tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera melepaskannya.
“Hao,” panggil Kama lirih.
“Kau membangunkannya.” Minghao bicara masih dengan mata terpejam.
Segumpal rasa panas menyumbat tenggorokan Kama. Dia mendadak takut bergerak. Otaknya ternyata tidak sepolos dugaannya sendiri saat menyadari dia tahu persis apa yang dimaksud oleh Minghao.
“Apa yang sudah kau lakukan padaku?” Minghao membuka mata.
Pandangan mereka berdua terkunci. Kama tak mampu bicara. Yang dapat dia lakukan sekarang hanyalah menatap sepasang mata Minghao yang menyorot sangat lembut.
Ini Minghao yang berbeda dari yang dikenalnya selama ini. Kama tergoda untuk berenang di sepasang mata Minghao yang serupa kolam dalam. Entah apakah dia akan tenggelam atau tidak, Kama tidak peduli.
Karena yang diinginkannya saat ini hanyalah merengkuh Minghao.
“Kau cantik.” Minghao menarik dahinya, tetapi tidak meninggalkan gadis itu. Kepalanya menunduk. Bibirnya akhirnya bertemu dengan kulit leher Kama yang halus.
Dan Minghao bersorak dalam hati, bersuka cita saat tidak merasakan perlawanan dari gadis itu. Hanya saja, Minghao memaksa diri berhati-hati agar tidak membuat takut Kama.
“Kau menarik,” puji lelaki itu lagi. Bibirnya menekan daging lembut di bawah telinga Kama. “Belum pernah ada yang membuatku seperti ini sebelumnya.”
Di depannya Kama mengerang pelan. Tanpa sadar dia mengangkat kepala, memberi akses lebih luas pada Minghao untuk melakukan apa pun itu.
Sementara Minghao merasa sudah tidak perlu lagi menahan Kama. Gadis itu secara alamiah mendekatkan diri padanya, seiring bibir Minghao yang merayap pelan mencecap setiap inci kulit leher Kama.
“Tinggallah bersamaku di sini,” pinta Minghao.
“Hao, ….” Napas Kama mulai sesak. Ini pertama kalinya dia berada sangat dekat dengan seorang lelaki. Dan sekalinya dekat, Minghao memberikan sentuhan yang sangat intens, nyaris tidak bisa ditahan oleh Kama.
Dia melengkungkan badan, dengan panik mencari Minghao saat lelaki itu sedikit bergerak menjauhinya. Telinga Kama menangkap suara tawa kecil si lelaki dan mulutnya dengan kurang ajar mengeluarkan rengekan.
“”Hao,” panggil Kama putus asa, mendambakan bibir lelaki itu lagi.
Minghao tertawa. “Tahan dulu, Manis. Pelan-pelan. Kita punya banyak waktu.”
Lelaki itu berbisik di telinganya. Kama kembali memejamkan mata. Tangannya mengepal di atas kepala, ditahan oleh tangan Minghao.
Kini dia bisa merasakan napas panas lelaki itu, tidak lagi di lehernya, tetapi bergerak ke pipinya, bergerak lagi menuju dagu, lalu naik ke atas dan berhenti sejenak di ….
“MINGHAO! BUKA PINTUNYA! KENAPA TELEPONKU TAK KAU ANGKAT?”
Minghao memaki keras. Dia langsung menarik Kama masuk pelukannya, menenteramkan gairahnya yang masih melonjak. Pandangan mata Minghao buas dan tajam, serupa harimau yang bertemu mangsa.
“Pergi ke ruanganmu.” Minghao berkata di atas kepala Kama.
Tanpa disuruh dua kali, gadis itu bersikap patuh. Dengan lutut yang masih goyah, Kama berjalan secepat yang dia bisa menuju ke balik dinding. Di sana dia menemukan satu pintu yang terbuka dan langsung bergerak masuk, lantas perlahan menutupnya.
“Minghao! Kau tak bilang jika pindah ke suite ini. Aku ingin ke sini juga, tapi harganya sangat mahal.”
Telinga Kama menangkap suara yang sangat dikenalnya. Kening gadis itu berkerut. Dia mengintip dari daun pintu yang sengaja dibukanya sedikit, tetapi tidak melihat siapa-siapa di sana.
“Bodoh. Ini penthouse hotel. Ruang tidur sama ruang tamu kepisah. Mana bisa aku ngintip Hao dari sini.” Kama mengomeli dirinya sendiri.
“Tapi … itu suara Luo Luo, kan? Kenapa dia ke sini?”
Rasa penasaran Kama tak bisa terpuaskan. Setelah rentetan kalimat panjang bernada feminin, hanya terdengar suara Minghao yang mengajak sang tamu pergi. Kemudian, hening.
Saat itulah baru Kama menyadari ruangan apa yang dimasukinya sekarang. Griya tawang di hotel ini rupanya memiliki kamar ganda yang terhubung oleh satu pintu cantik. Masing-masing kamar memiliki tempat tidur King size dengan interior senada.
Pipi Kama memerah malu, teringat praduganya yang sangat buruk pada niat Minghao menempatkannya dalam satu kamar bersama lelaki itu. Kama bergerak pelan ke arah tempat tidur. Koper dan ranselnya berdiri rapi di sebelah nakas.
“Walau beda kamar, tetap aja bingung entar gimana keluarnya. Seluruh kru pasti udah tahu kalau aku sekamar sama bos besar.” Kama berbaring di tempat tidur raksasanya. Pandangannya bertemu dengan langit-langit kamar yang dihiasi mural indah.
Lalu benaknya mulai menampilkan adegan di pintu tadi, layaknya kaleidoskop raksasa yang memutar potongan-potongan kisah indah.
Wajah Kama merah padam. Tangannya menangkup pipi. Dengan cepat dia berguling dan kakinya menendang-nendang tempat tidur.
“Astaga! Aku ngapain, sih? Harusnya tadi aku hajar si Hao brengsek itu! Duh, Kam …, koen itu pemegang sabuk hitam silat. Mosok kalah sama lakik pesolek macam dia?”
Kama membenamkan muka di bantal. Rasa malu sekaligus penasaran menghantam dadanya kuat-kuat. Beruntung di saat genting itu ponsel pintarnya berdering kencang. Senyum Kama langsung tersungging lebar.
“Gendhis! Aih, untung wae koen telepon aku!” Kama berujar riang seraya menggeser ikon hijau di layar sentuhnya ke bagian atas.
Detik berikutnya, gadis itu sudah tenggelam dalam percakapan mengasyikkan bersama sang sahabat. Minghao sejenak terlupakan, tetapi tidak benar-benar menghilang dari benak Kama.
Malam itu, Minghao tidak kembali ke kamar. Sebersit rasa curiga muncul di hati Kama saat esok harinya turun ke restoran untuk sarapan dan menemukan Luo Luo sudah duduk satu meja dengan sang sutradara.
“Pagi, Kama!”
Gadis itu hampir saja menjatuhkan piringnya. “Pei Siheng!” sapa Kama riang.
“Aheng saja, itu panggilanku di sini.”
Kama tersenyum lebar. Ekor matanya kembali melirik ke arah Minghao dan seketika dia tertegun. Minghao tampak menatapnya sangat tajam dengan bibir cemberut dan kerut muncul di kening.
Kama mengangkat bahu. Ada rasa sebal kala memergoki tangan berkuku merah Luo Luo meraih dagu Minghao, membawa lelaki itu kembali fokus pada dirinya. Sepertinya perubahan ekspresi Kama terdeteksi oleh Siheng, karena lelaki itu tiba-tiba membicarakan Luo Luo.
“Asisten sutradara sangat wajar untuk akrab dengan sutradara. Terkadang muncul cinta lokasi karena kedekatan satu sama lain.”
Kama mengernyit, tetapi masih tetap diam.
“Zheng Minghou dan Luo Luo sangat serasi. Mereka sama-sama jenius di dunia sinematik. Media hiburan China sudah mengakui kehebatan pasangan itu. Aku beruntung bisa bekerja sama dengan mereka berdua.”
Kama berjalan ke tepi jendela. Duduknya sengaja membelakangi Minghao.
“Ngomong-ngomong, sepertinya si Naga Biru itu berhasil menaklukkan Luo Luo. Semalam aku melihat mereka berduaan di lounge hotel.”
Tanpa sadar Kama mencengkeram garpunya kuat-kuat.
Jadi, Luo Luo yang bikin kamu semalam nggak pulang, Hao?
“Kalau mereka betul berkencan, ini pasti jadi berita hebat. Kudengar Zheng Minghao juga sedang dekat dengan seorang model papan atas di Shanghai. Sementara di Quanzhou, dia juga berkencan dengan asisten sutradara yang cantik dan seksi.”
“Aheng, apa gosip soal kehidupan pribadi Zheng Minghao bisa dimasukkan ke draf naskah drama kita?” tanya Kama dingin.
“Eh, apa?”
“Karena kau saat ini sepertinya sibuk melakukan reviu orang. Apa ini masuk dalam riset naskah?” sindir Kama.
Pei Siheng tertawa kecil, “Ah, baiklah. Maafkan aku. Aku tak akan menggosipkan orang yang sudah memberiku makanan untuk hidup.”
Kama tidak bicara lagi. Jam menggelinding sangat cepat. Tahu-tahu waktu sarapan sudah usai dan seluruh kru harus berangkat untuk survei lokasi lagi.
Sayangnya pagi yang cerah di Quanzhou terasa tegang bagi Kama. Para kru memang sibuk mempersiapkan peralatan, tetapi Kama merasa seperti berjalan di atas duri. Sejak pagi, dia sudah merasakan tatapan dingin dan bisikan kecil dari beberapa kru. Curiga Kama itu adalah hasil dari provokasi Luo Luo.
Jadi, dia memutuskan untuk menjauh, menenangkan diri di dekat salah satu paviliun kuno yang menjadi fokus survei. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Minghao berdiri di dekat sebatang pohon plum tua.
Luo Luo juga ada di sana, berdiri terlalu dekat, dengan senyuman yang tak bisa disalahartikan. Jari-jari wanita itu yang bercat kuku menyala menyusuri lipatan kecil di kerah kemeja Minghao.
“Aku masih merasa tempat ini kurang cocok untuk adegan puncaknya, Minghao,” kata Luo Luo sambil menyentuh lengan Minghao dengan ringan. “Tapi, jika kau yang menyutradarainya, aku yakin apa pun akan terlihat sempurna.”
Minghao menarik lengan pelan, ekspresinya datar. “Luo Luo, fokus kita sekarang survei. Aku ingin memastikan semua lokasi sesuai dengan naskah.”
Luo Luo tertawa kecil, suaranya terdengar manis, tetapi menusuk. “Kau terlalu serius. Kadang-kadang, kau perlu bersantai.” Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan yang dibuat-buat anggun. “Lagipula, aku yakin kau tahu siapa yang benar-benar bisa memahami visimu.”
Kama, yang berdiri tidak jauh, mencoba mengabaikan percakapan itu, tetapi Luo Luo tiba-tiba menoleh ke arahnya.
“Oh, Kama.” Suara Luo Luo naik setengah oktaf, seolah menyapanya dengan hangat, tetapi dengan nada yang penuh ejekan. “Kukira kau sedang sibuk mempelajari sejarah Quanzhou. Kau kan pakar sejarah di sini, bukan?”
Kama menelan ludah, mencoba menahan rasa panas di pipinya. “Aku sedang mencari referensi,” jawabnya pendek.
Luo Luo tersenyum dingin, lalu berpaling ke Minghao. “Kau tahu, Minghao, dia begitu rajin. Tapi aku khawatir, tanpa pengalaman praktis, semua bacaannya hanya akan membuat pekerjaan kita semakin tertunda.” Wanita itu merujuk pada Fang Jiaqi yang mengundurkan diri karena kehadiran Kama.
“Luo Luo, cukup,” Minghao memotong dengan nada tegas, tapi wanita itu hanya mengangkat bahu santai.
“Aku hanya bercanda. Jangan terlalu serius,” katanya sambil tertawa kecil. Kemudian, dia berjalan mendekati Kama, menatapnya dengan mata yang sedikit mengancam.
“Sekali lagi kuingatkan, Kama. Dunia ini kejam untuk pemula. Jangan sampai kau tenggelam sebelum belajar berenang. Terima nasehat dari seniormu ini, gadis kecil.”
Kama menelan ludah. Kalimat yang diucapkan dengan nada ringan itu terdengar seperti belasan jarum yang dijejalkan ke telinga dan hatinya. Kama sudah ingin cepat-cepat hengkang dari tempat itu, saat tangan Luo Luo tiba-tiba saja merenggut syal yang dikenakannya.
“Nona Luo Luo.” Kama sedikit panik. Dia meringis merasakan kuku-kuku tajam Luo Luo mencengkeram lehernya. Pandangan wanita itu tertuju ke satu titik yang sontak membuat bulu kuduk Kama meremang.
“Ternyata kau lebih punya pengalaman hidup dibanding aku.” Luo Luo berkata dengan nada mengejek. “Tidak kusangka, kau punya nyali melakukan sesuatu yang besar di sini.”
Ujung jari Luo Luo menyentuh tanda samar di leher Kama. “Tanda ini terlihat seperti bekas belas kasihan daripada gairah.”
Luo Luo mendekatkan wajahnya, seolah memeriksa lebih jelas, lalu menghela napas dramatis. “Entah siapa yang cukup putus asa untuk meninggalkan jejak itu padamu. Mudah-mudahan bukan seseorang yang kau kira mencintaimu. Akan sangat menyedihkan, bukan? Jadi ... murahan.”
Kama mengertakkan gigi. Dia mencengkeram pergelangan tangan Luo Luo dan menyentaknya lembut. Suara gadis itu dingin.
“Seharusnya seorang senior menjadi teladan yang dihormati, bukan bayangan gelap yang ditakuti.”
Kama menutupi lehernya kembali. Pandangannya tajam menusuk. “Permisi, Nona Asisten Sutradara. Si pegawai rendahan ini harus bekerja keras agar bisa tetap kuat menghadapi senior yang menakutkan.”
Luo Luo tercengang. Dia tidak bisa bereaksi saat Kama berjalan anggun meninggalkannya.
Dagu Kama terangkat tinggi. Dengan sengaja, dia mengabaikan Minghao yang berdiri menyambutnya. Langkah gadis itu panjang-panjang melewati sang sutradar dan langsung menuju kepasa Pei Siheng yang sejak tadi mengamati tidak jauh dari mereka bertiga.
“Aheng,” ucap Kama dengan suara bergetar, “bantu aku berjalan. Cuk, wanita beracun itu membuatku ketakutan.”
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top