18 | Malam Ini Kita Berbagi Kamar, Kama
Tahun baru dimulai dengan sesuatu yang terbuka. Selamat menikmati Minghao, Readers. ^^
••••••••••
“Tuan Besar, ada utusan dari keluarga Chen yang mengirim kembali hadiah giok Anda.”
Zheng Renzhong menurunkan majalah yang dibacanya. Dia menerima kotak berisi patung giok yang khusus diberikannya pada keluarga Chen sebagai tanda perjodohan.
“Nona Chen …,” Bai Jiu–asisten pribadi Renzhong–bicara ragu, “beliau menolak perjodohan dengan Tuan Muda Pertama.”
Renzhong membaca surat yang ada di dalam kotak giok. Isinya sama persis dengan perkataan Bai Jiu. Namun, Renzhong tahu lelaki muda itu tidak mencuri baca suratnya. Bai Jiu pasti mendengar langsung dari utusan Chen.
“Tuan Besar, saya juga hendak melaporkan sesuatu.”
Bai Jiu berbisik ke telinga Renzhong. Mata pria tua itu seketika membelalak lebar.
“Yuxi tidak datang ke restoran? Dan malah Minghao yang datang?”
Bai Jiu mengangguk.
“Apa Shangzi tahu kalau Minghao juga cucuku?”
Bai Jiu menggeleng. “Sampai detik ini, identitas Tuan Muda Kedua masih tersimpan rapat, Tuan Besar.”
“Jadi, maksudmu Shangzi menolak Yuxi karena tertarik pada Minghao tanpa tahu dia juga cucuku?”
“Benar, Tuan. Ada foto-foto tersebar tentang kemesraan Nona Chen bersama Tuan Muda Kedua di depan restoran.”
Renzhong bertepuk tangan keras. “Tak apa-apa kalau begitu. Walau tak dapat Yuxi, setidaknya jodoh Minghao sudah pasti.”
“Tapi Tuan Besar ….”
“Apa lagi?” Renzhong bertanya tidak sabar.
“Tuan Muda Kedua sepertinya tidak tertarik kepada Nona Chen. Beliau langsung kembali ke Quanzhou setelah menyelesaikan makan malam dengan Nona Chen. Di Quanzhou, Tuan Muda Kedua terlihat dekat dengan Nona Kamalika.”
Renzhong menerima ponsel pintar asistennya. Foto-foto yang diambil secara candid saat Kama dan Minghao turun dari jet pribadi menyakiti matanya.
“Bocah tengik! Apa yang sebenarnya dia rencanakan, hah? Bai Jiu, panggil Minghao sekarang juga! Dia harus menjelaskan semuanya padaku!”
“Bagaimana dengan Tuan Muda Pertama, Tuan?”
“Aku akan meneleponnya sendiri. Bawakan aku daftar para nona di ruang kerjaku. Yuxi masih harus mencari jodohnya dalam waktu dekat.”
~~~
Minghao serasa mendapat mimpi buruk beruntun. Setelah kemarin dibakar kekesalan pada Bing Yi yang bisa dekat-dekat dengan Kama, kali ini mimpi buruknya mewujud pada sosok lelaki muda bernama Pei Siheng.
“Kenapa Yuxi-ge mengirim penulis naskah laki-laki?” geram Minghao.
“Oh, dia sudah datang? Baru saja aku mau menjemputnya di bandara. Asisten pribadi Yuxi-da ge memberi-tahuku, Pei Siheng sudah dalam perjalanan ke–”
“Dia sudah terbang ke sini. Tak perlu repot-repot melayaninya. Dia bukan tamu penting,” gerutu Minghao tanpa melepaskan tatapan pada sosok Pei Siheng.
Penulis naskah dari Zou Hong Pictures itu masih berusia muda, mungkin sekitar dua atau tiga tahun lebih tua dibanding Kama. Wajahnya tampan dengan rambut hitam berombak dan sepasang mata yang menyorot sayu.
Tubuh ramping dan jangkungnya terlihat mencolok. Ditambah kulit yang terlampau putih untuk ukuran laki-laki China. Lebih dari itu, yang paling membuat Minghao gusar adalah sosok si lelaki muda yang langsung menempel ketat pada Kama begitu menginjakkan kaki di Quanzhou Port.
“Wajahmu sudah seperti mau menerkam orang. Tuan Pei dan Miss Kama hanya bekerja secara profesional. Jangan berlebihan, Minghao.” Bing Yi mengingatkan.
“Apa peduliku pada mereka?” Minghao melengos.
“Oh, bagus kalau kau tak tertarik. Karena kulihat Tuan Pei sepertinya suka pada Miss Kama. Mereka sangat cocok bila bersama.”
Minghao tertegun. Sekali lagi dia menatap Siheng yang terlihat tertawa bersama Kama.
Ini sudah hari ketiga mereka berada di Quanzhou dan Kama masih terus menghindarinya. Gadis itu seolah bertekad untuk berada sejauh mungkin dari Minghao.
“Setelah ini kita akan pergi ke Jembatan Anping. Lalu malamnya kita makan malam di Wudi. Aku sudah mengatur akomodasi untuk semua orang.” Bing Yi melaporkan.
Minghao masih termenung. Selama itu pula, dia terus mengamati Kama. Tawa dan wajah semringah gadis itu terlihat sangat cerah di tengah musim dingin yang menggigit tulang.
Selama proses survei lokasi untuk syuting, perhatian Minghao sedikit terbelah. Dia perlu usaha ekstra untuk mengembalikan fokus pada lokasi-lokasi yang dikunjungi. Hingga mereka tiba di Jembatan Anping yang legendaris.
Minghao berada tidak jauh dari Kama dan Siheng. Dua orang itu asyik mendiskusikan fakta sejarah dari jembatan batu yang menjadi saksi bisu kejayaan armada laut China di masa lampau. Siheng terlihat sangat tertarik dengan pengetahuan Kama yang luas seputar sejarah Quanzhou sebagai pusat maritim penting penghubung China dengan berbagai daerah di seluruh dunia pada masa kuno.
“Kau pasti kedinginan. Musim dingin di sini memang lebih berangin.” Siheng berkomentar saat melihat Kama menggigil, meski sudah memakai jaket tebal dua lapis.
“Ya, begitulah. Aku orang tropis sejati. Salju di sini adalah penyiksaan untukku.” Kama bicara dengan gigi gemeletuk.
Pei Siheng membuka syal hendak memberikannya pada Kama. Namun, dari arah belakang tiba-tiba satu mantel bulu tebal sudah membungkus gadis itu rapat-rapat. Saat sang penulis naskah menoleh, dia melihat Minghao berdiri tepat di belakang Kama.
“Jangan sampai sakit. Aku masih ingin membawamu ke tempat-tempat indah di Quanzhou,” ucap Minghao lembut.
Siheng tertegun. Dia melihat Kama berdiri kaku saat Minghao melewatinya sembari menepuk kepalanya dengan lembut. Gadis itu terlihat terbenam di bawah lapisan jaket tebal dan mantel bulu besar.
Di Wudi pun, Siheng dan seluruh kru dibuat terperangah dengan perlakuan Minghao pada Kama. Dengan telaten, lelaki itu mengupas kulit udang sebelum memberikannya pada Kama, padahal mereka tidak berada di meja yang sama. Perantara Minghao adalah Bing Yi yang tak henti cengar-cengir saat berlalu lalang mengantar berbagai makanan untuk Kama.
“Bilang pada bosmu, aku bisa makan sendiri. Aku bisa pesan sendiri.” Kama mendesis pada Bing Yi yang untuk keempat kalinya mengantar potongan terbaik daging bebek panggang yang sangat lembut.
“Miss Kama, dia bos Anda juga. Mari, kita permudah urusannya.” Bing Yi mendekatkan diri pada Kama, bicara bisik-bisik yang masih terdengar oleh Siheng yang duduk persis di samping Kama.
“Leherku bisa ditebas oleh Bos Minghao kalau aku menolak mengantar makanan ini pada Anda. Kasihanilah kepala dan jiwaku ini, Miss Kama.”
Gadis itu mendengkus dongkol, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Selama makan malam, dia hanya mampu menahan malu karena terus menjadi pusat perhatian semua kru.
Dan puncaknya adalah saat kembali ke hotel. Kama senang sebab Siheng akan menempati kamar di sebelah kamarnya. Mereka bahkan sudah berjanji untuk mulai membahas draf naskah terbaru setelah berganti baju.
Namun, Kama tidak bisa membuka pintu kamarnya. Kartu aksesnya ditolak. Saat berdiri kebingungan seorang diri di koridor –sebab Siheng sudah masuk ke kamarnya lebih dulu–Bing Yi tergopoh-gopoh berlari mendatanginya.
“Miss Kama, maafkan aku. Aku lupa memberi tahu Anda. Kamar Anda sudah dipindahkan.”
Kama mengerang keras. “Pindah kamar lagi? Apa Nona Luo Luo yang melakukannya? Aku sudah menjauh darinya, kenapa aku masih terus dirundung begini?”
Bing Yi tersenyum prihatin. Sorot matanya penuh permohonan maaf. “Bukan Nona Luo Luo yang memindahkan kamar Anda, tapi ….”
“Tapi siapa?” Kama sudah kelelahan. Emosinya jadi tidak terkendali. Tanpa sadar dia bertanya dengan nada membentak kepada Bing Yi.
Lelaki itu berbisik ke telinga Kama. Detik berikutnya, Kama langsung merutuk keras dalam Bahasa Surabaya. Berbagai umpatan diberikannya pada dalang kerusuhan malam ini.
“Semua barang Anda sudah dipindahkan, Miss. Mari, aku antar ke atas.”
Kama menghentakkan kaki kesal. Langkahnya panjang-panjang. Raut mukanya menahan kedongkolan saat memasuki lift yang membawanya naik ke lantai dua puluh lima.
“Lantai teratas?” Kekesalan Kama sedikit luntur saat melihat Bing Yi menempelkan kartu akses khusus ke papan tombol lift.
“Presidential suite room.” Bing Yi mengangguk.
“Astaga, apa yang ada dalam pikiran Minghao?” Kama mulai cemas. “Kalau kru yang lain tahu, mereka pasti akan merundungku habis-habisan.”
Bing Yi meringis dalam hati, menyetujui kekhawatiran Kama. Situasi gadis itu sudah cukup sulit saat mencoba bersosialisasi dengan anggota tim yang lain.
Bing Yi membawa Kama langsung ke depan pintu kamar griya tawang, lalu langsung kabur terbirit-birit ke lift saat pintu kamar terbuka.
“Hao, apa-apaan ini? Kenapa kau–”
Kalimat itu tak pernah selesai diucapkan. Kama terkesiap kaget saat tangan Minghao terjulur dan menariknya masuk. Pintu berdebam menutup di belakangnya dengan suara keras.
Gadis itu tersentak saat punggungnya bertemu dengan permukaan dingin pintu kamar hotel. Tubuhnya menegang, sementara kedua lengan Minghao terangkat, mengurungnya dalam jarak yang tak memberikan ruang untuk melarikan diri.
Sorot mata lelaki itu tajam, penuh dengan sesuatu yang tak terdefinisikan—separuh ancaman, separuh godaan. Napas Minghao hangat di pipinya, jaraknya terlalu dekat, terlalu menguasai.
Lelaki itu tak berkata sepatah pun. Namun, keheningan itu terasa lebih keras dari suara apapun, memenuhi udara di antara mereka dengan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.
Kama menggigit bibir bawahnya. Satu gerakan refleks yang tak dapat dia kendalikan. Detak jantungnya berpacu seiring dugaan liar yang menguasai pikirannya.
Apa Hao akan cium aku?
Namun, Minghao hanya diam, mengunci pandangannya dalam tatapan yang membuat Kama merasa telanjang, terekspos. Tangannya gemetar kecil saat dia mencoba meraih gagang pintu di belakang punggungnya.
Namun, sebelum sempat bergerak lebih jauh, salah satu tangan Minghao meluncur perlahan, menahan pintu agar tetap tertutup.
“Tidak perlu terburu-buru,” gumamnya, suaranya rendah, seperti bisikan yang menggetarkan hingga ke tulang Kama.
“Hao, kenapa kau ada di sini? Kembali ke kamarmu sendiri, please?” Kama berkata susah payah di tengah gempuran kedekatan Minghao yang menguji pertahanan dirinya.
“Kamarku di sini.”
Kama mengerjap. Dia mendongakkan pandanga lalu segera menunduk saat menyadari bibir Minghao tepat berada di depan bibirnya, hanya terpisah beberapa inci saja.
“Hao, jangan bercanda.”
“Aku tidak bercanda. Mulai malam ini, kita berbagi kamar, Kama.”
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top