14 | Mengaku Pacar

Hao, aku tak membencimu.
Aku mencintaimu. Tapi wae wae wae
kau tak tahu aku hidup apa gak?

[author_galau]

••••••••••


"Gila, ceweknya bening-bening banget. Cantik."

Kama mendesah perlahan. Kepalanya tak henti menoleh dari kiri ke kanan, mengikuti pergerakan setiap orang yang berlalu lalang di lobi production house besar ini.

Zou Hong Pictures adalah satu tempat yang membuat Kama serasa mind blowing. Setelah selama ini melihat para artis Mandarin berakting di layar ponsel pintar atau laptop, kali ini Kama disuguhi pemandangan live dari kecantikan dan ketampanan mereka.

"Ya ampun, itu kan, Xu Kaicheng? Omegod, ganteng banget!" Kama gatal ingin memotret, tetapi menahan diri. Dia tahu pentingnya menjaga privasi orang-orang di Negeri Tirai Bambu ini.

"Itu Tan Song Yun, kan? Ya ampun, bening bangeeet!" Kama menahan diri tidak menjerit.

Dia menelepon Gendhis, tetapi tidak diangkat. Sebagai gantinya, gadis itu meninggalkan pesan suara di aplikasi perpesanan sahabatnya.

"Ndhis, koen kudu ndelok aku saiki ndek endi. Edan tenan! Aku ndek panggon artis-artis ngumpul! Bar nyawang Xu Kaicheng, Tan Song Yun, eh sik ta lah! Ndhiiis, ono Yan An! Ganteeeeng, Ndhis! Mimisen aku ngene iki!"

"Xu Kaicheng? Tan Song Yun? Yan An? Kau penggemar mereka?"

Ponsel pintar Kama tergelincir jatuh dari genggaman. Gadis itu menoleh kaget. Jantungnya hampir berhenti berdetak mendengar suara orang di belakangnya.

Pandangan Kama seketika melotot galak demi melihat Minghao berdiri di belakangnya. Gadis itu melambaikan tangan dalam gerakan menggusah dengan kepala melongok-longok melihat kepergian Yan An.

"Minggir sana. Aku mau lihat orang ganteng lewat." Kama tidak menggubris keberadaan Minghao.

Sementara sang aktor sekaligus sutradara populer itu justru memungut ponsel Kama. Dia mengamati layar sentuhnya yang dihiasi wallpaper Yan An.

"Kau pengagum dia?"

Kama mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari sang aktor yang memulai debutnya sebagai penyanyi di Negeri Ginseng tersebut. Detik berikutnya, Kama terkesiap lirih saat pergelangan tangannya ditarik Minghao.

"Hao, apa-apaan ini? Lepas." Kama meronta sembari melirik kanan kiri. Tingkah Minghao mendapat tatapan penasaran dari orang-orang di lobi.

"Aku meninggalkanmu di sini karena kau bilang, kau tak mau mengganggu urusan bisnisku dengan pemilik production house ini."

Kama mengangguk.

"Tapi kau malah jelalatan melihat laki-laki lain," tuduh Minghao.

Kening Kama berkerut. "Memang ada yang salah dengan itu? Aku masih lajang, Hao. Suka-suka aku mau lihat siapa."

"Ada yang lebih tampan dibanding mereka, kenapa kau malah tak mau lihat?" Minghao mendengkus keras, masih mencengkeram pergelangan tangan Kama.

"Oh, memang ada? Mana?" Kama tolah-toleh.

Minghao tak sabar lagi. Satu tangannya mencengkeram dagu Kama, mengarahkan pandangan gadis itu padanya.

"Di hadapanmu ini, Kama."

Gadis itu mengerjapkan mata. Jantungnya kembali berdentum-dentum. Jarak mereka terlalu dekat. Minghao benar-benar tidak baik untuk kewarasannya.

Alih-alih memasang ekspresi penuh kekaguman, Kama justru bersikap seperti mau muntah. "Kau memang tampan, Hao. Aku akui itu. Tapi kau bukan seleraku."

Minghao tertegun. Aliran hawa dingin mengaliri tulang belakangnya. Raut mukanya berubah dingin. Dia melepas pegangan pada pergelangan tangan Kama dan berlalu pergi tanpa berkata apa-apa.

"Eh, Hao!"

Kama berlari mengejar lelaki itu, tidak menyadari sama sekali bila tingkahnya mulai mencuri perhatian banyak pasang mata. Minghao berjalan menuju parkir bawah tanah dan Kama mengikutinya.

"Kok, ngambek? Aku kan, sudah memujimu tampan." Kama buru-buru mengenakan helm saat Minghao mulai menyalakan motor.

"Cepat duduk."

Kama patuh. 

"Pegangan yang erat." Minghao berkata dengan nada tidak sabar yang kentara jelas.

"Memang mau ngebut? Pegangan di motor saja sudah cukup. Di luar salju, Hao. Tak mungkin nyetir kencang, kan?"

"Kau tak kedinginan? Bukannya kau perempuan tropis yang alergi cuaca dingin China?"

Kama nyengir lebar. "Masih ingat saja. Aku sudah pakai jaket, Hao."

"Kurang hangat. Lebih bagus kalau kau pegangan padaku."

Tanpa permisi, Minghao menarik dua tangan Kama dan melingkarkan ke perutnya. Kehangatan menyebar perlahan dari tubuh Kama yang membungkus dirinya.

Sementara di jok belakang, Kama salah tingkah parah. Jika di lobi jaraknya sangat dekat dengan Minghao, sekarang malah dia tidak berjarak sama sekali. Lelaki itu membuatnya menempel begitu erat di punggung.

"Hao, aku mundur sedikit, ya," pinta Kama.

"Kenapa? Takut aku mengambil kesempatan? Jangan khawatir, tidak ada yang bisa diambil darimu. Dadamu kecil, tak terasa sama sekali—Aduh! Kenapa kau memukulku?"

Wajah Kama merah padam di balik kaca helm. "Jancok, Hao! Ngomong koyok uwong kesurupan. Iso-isone ngomongne dadaku! Sengojo tak toyor ndasmu ben pinter mikir!"

"Kama, kau sedang memakiku, ya?" Minghao menoleh.

"Tidak. Aku sedang memuji kemampuan menyetirmu. Cepatlah pergi. Aku sudah kelaparan."

Minghao mengangkat bahu. Tanpa banyak kata, dia menggeber gas dan motor Ducati pun meraung kencang meninggalkan parkiran bawah tanah Zou Hong Pictures.

Esok paginya terjadi kegemparan di Bar Phoenix. Saat Kama datang ke tempat kerjanya, sang bos langsung menyuruhnya pulang saat itu juga. Belum cukup kejutan untuk Kama, bos besarnya juga memberikan pesangon yang lumayan tinggi.

"Laoban, apa ini? Aku bahkan bukan pegawai tetap. Kenapa memberiku uang sebanyak ini?" Kama kebingungan.

"Itu tanda terima kasihku padamu. Sejak kau melayani lantai tiga, pelanggan VVIP-ku bertambah. Mereka mendapat rekomendasi dari Wang Heidi dan Zhang Linghe."

Kama mengerjapkan mata. "Maaf? Rekomendasi dari pelanggan yang aku hajar?"

"Haiya ..., Kama. Aku sangat senang kau bekerja di sini dan harapanku kau tetap di sini. Kau itu bawa hoki untuk bisnisku."

"Lalu kenapa aku dipecat?" Kama mengerucutkan bibir. Dia melirik teman-teman kerjanya yang berada di dapur. Mereka semua menonton dengan senyum penuh arti tersimpul di wajah.

"Pacarmu itu yang minta aku untuk melepasmu pergi."

Kama semakin bingung. "Pacar? Pacar apa? Pacar yang mana? Laoban, aku masih lajang."

Bos besar mengusap dahi yang berkeringat dengan tisu. Ekspresinya sedikit panik. Suaranya bergetar saat menyebut satu nama.

"Semalam Zheng Minghao meneleponku. Dia bilang, kau tak boleh bekerja lagi di Phoenix. Kalau aku masih nekat menahanmu, aku bisa ...."

"Bisa apa?" Kama membelalak lebar. "Laoban, katakan padaku. Zheng Minghao mengancam apa padamu?"

"Kama, jangan mempersulitku. Tolong, kasihani aku."

Kama menghentakkan kaki. Matanya berkilat-kilat.

"Aku bukan pacar Zheng Minghao! Aku juga tidak minta berhenti dari tempat ini. Laoban, jangan dengarkan omongan dia! Dia pasti mabuk saat menelepon Anda."

"Terakhir kali aku minum alkohol sudah tiga hari yang lalu. Dan semalam, aku benar-benar dalam keadaan sadar seratus persen saat menelepon Laoban tersayangmu ini, Kama."

Seluruh kepala di dapur bar menoleh bersamaan. Di pintu masuk dapur tampak Minghao dan Bing Yi berdiri. Minghao berjalan santai menghampiri Kama yang menatapnya dengan gusar.

"Zheng Minghao—"

"Hao. Panggil aku Hao. Sudah berapa kali kubilang, kau harus memanggilku dengan nama itu, kan?" Minghao mengedipkan sebelah matanya pada Kama.

Gadis itu meradang. "Jangan bercanda! Aku tidak minta berhenti dari tempat ini."

"Tapi kau memang harus berhenti, Sayangku." Minghao menjulurkan tangan. Jari-jarinya yang ramping merapikan poni yang menutupi mata Kama.

"Apa-apaan kau ini?" Gadis itu mendesis seraya menepis tangan Minghao.

"Beraktinglah. Kau sudah teken kontrak denganku. Kau juga harus belajar akting." Minghao menundukkan kepala dan berbisik di telinga Kama.

Gadis itu bergidik. Suara lembut Minghao, lengkap dengan napasnya yang hangat, menggelitik telinga Kama. Bulu kuduknya merinding. Refleks Kama mendorong dada Minghao menjauh.

"Aku tak bisa keluar dari pekerjaan ini. Aku—"

"Kau harus keluar dari Phoenix. Besok pagi kita harus pergi ke Quanzhou untuk survei lokasi syuting." Minghao masih bicara dengan suara pelan.

"Quanzhou?" gumam Kama dengan nada tidak percaya. Suaranya bergetar, seolah otaknya masih berusaha mencerna informasi dari Minghao.

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" Kama mendesis.

"Aku sekarang memberitahumu, Kama."

"Kau sengaja melakukannya mendadak seperti ini, bukan?" Kama menuduh.

"Sssttt ..., kita teruskan debat di mobil saja. Sekarang kau harus mengambil seluruh barangmu dari Phoenix. Aku beri waktu lima menit untuk berpamitan dengan rekan kerjamu yang lain."

Kama membelalakkan mata.

"Oh, jangan lupa berpamitan dengan baik hanya pada rekan kerja perempuan saja. Jangan terlalu melodramatis pada rekan kerja lelakimu."

"Zheng Minghao," desis Kama menahan rasa geram.

Nyatanya proses berpamitan itu berjalan jauh lebih lama dibanding waktu yang disediakan oleh Minghao. Hampir lima belas menit kemudian, baru Kama terlihat keluar dari Phoenix.

Di mobil, Minghao melihat staff writer barunya itu berjalan gontai. Barang bawaan gadis itu tidak banyak, hanya satu totebag besar saja. Kening Minghao berkerut tidak suka saat memergoki satu sekuriti Phoenix memberikan syalnya pada Kama.

"Jika aku tak tahu sejarah kalian, bisa-bisa aku mengira kau memang pacar Miss Kama."

Di kursi sopir, Bing Yi menatap sahabatnya dari spion di atas dasbor. Lelaki itu tersenyum geli melihat bibir Minghao yang menipis.

"Kenapa kau harus pura-pura mengakui Kama sebagai pacarmu segala? Apa kau tak takut akan muncul skandal lagi di kolom gosip negeri ini?"

"Phoenix sangat ketat menjaga rahasia pengunjungnya. Apa yang aku katakan tidak akan keluar ke media." Minghao berkata dingin. Matanya masih terpaku pada sekuriti yang membantu Kama melilitkan syal di leher.

"Apa sebenarnya rencanamu, Minghao?" Bing Yi penasaran.

"Membuat drama kolosal pemecah rekor," jawab Minghao datar.

"Ayolah, kau tahu bukan itu maksudku. Miss Kama hanya gadis biasa. Kenapa kau sangat melindunginya seperti itu?"

"Karena Heidi hampir melecehkannya di Phoenix," geram Minghao tanpa sadar. 

Bing Yi tertegun. Dia mengamati Minghao yang masih menatap ke arah Kama.

"Kenapa dia lama sekali? Katanya alergi dingin. Kenapa sekarang malah betah berlama-lama di luar?" Minghao menggerutu.

Bing Yi tersenyum tipis. Dia menyalakan lampu hazard dan menyorot Kama, tidak lupa membunyikan klakson. Gadis itu tersentak kaget sebelum buru-buru berjalan ke arah mobil.

Asisten pribadi itu sempat terkejut saat melihat Minghao tiba-tiba keluar mobil dan membuka pintu untuk Kama. Namun, tawa geli Bing Yi hampir meledak karena si gadis menolak perlakuan istimewa dari aktor papan atas itu.

Kama justru memutari bagian depan mobil dan masuk dari pintu di sisi lain. Dia menghempaskan badan begitu keras di jok belakang seraya menggerutu dalam bahasa asing.

"Lagi-lagi kau memakiku." Minghao lebih santai saat akhirnya bergabung dengan Kama di kursi belakang mobil.

"Tahu dari mana aku memakimu?" Kama ketus.

Minghao mengeluarkan ponsel pintarnya. "Ada teknologi penerjemah digital. Aku menerjemahkan seluruh perkataanmu kemarin."

Kama terperangah. "Semuanya? Kau hafal?"

"Tuan Minghao punya ingatan yang sangat bagus, Miss Kama. Karena itulah, dia cepat menghafal skenario." Bing Yi menjelaskan tanpa diminta.

Mulut Kama terbuka lebar. Bola matanya membulat besar. Perasaannya campur aduk, antara malu, jengkel, dan marah luar biasa. Telunjuknya spontan menuding wajah Minghao.

"Zheng Minghao! Kau memang manusia paling menyebalkan di dunia nomor dua setelah Dosen Historiografiku! Aku benci dirimu!"

Minghao menangkap jari Kama erat-erat. Seringainya licik. "Hati-hati, Nona. Siapa pun yang membenciku akan berakhir dengan cinta."

"Najis!" Kama merutuk keras. "Tuan Bing Yi! Turunkan Hao di jembatan dan buang ke sungai! Makhluk satu ini harus diberangus dari dunia!"

~~ BERSAMBUNG ~~

Udah vote di bab ini, kan?
Author yang lagi galau
mau ngucapin makasiiih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top