13 | Pembenci Dingin


Otak author-nya lagi sengklek.
Mau bangetlaaah diangetin sama .... ^•^

••••••••••

“Aku ini cewek tropis. Udara dingin tuh, musuh banget buat aku.”

Minghao diam saja, mengabaikan ocehan Kama yang baru ditariknya masuk apartemen. Lelaki itu segera menuang brendi dan menyodorkan pada Kama.

“I am so sorry. Aku tidak minum alkohol.” Kama menggeleng kuat-kuat.

Kening Minghao berkerut. “Kau kerja di bar, tapi tidak minum alkohol?”

Kama mengangguk. “Darahku masih suci dari minuman keras. Aku di Phoenix cuma kerja. Ada bonus minuman juga kuserahkan ke pegawai yang lain.”

Minghao mengangguk-angguk. Sebersit rasa senang muncul di hatinya mengetahui gadis itu ternyata bukan pemabuk. Minghao juga memuji pengendalian diri Kama yang luar biasa terhadap alkohol.

Sebagai gantinya, Minghao membuat kopi hangat. Dia menyetel penghangat ruangan ke suhu maksimal lantas menemani Kama duduk di sofa yang menghadap ke dinding kaca.

Di luar salju turun makin deras. Minghao menjaga jarak dengan Kama, tetapi sofa yang mereka duduki sekarang mendadak terasa sempit. Minghao bisa merasakan jelas panas tubuh gadis itu menembus kemeja yang dikenakannya.

“Kenapa tadi jalan-jalan sendirian di dini hari? Kau itu memang tidak sayang nyawa, ya?” Minghao geleng-geleng kepala tidak percaya.

“Aku bisa bela diri, Hao.”

“Tetap saja itu berbahaya. Berjalan sendirian di dini hari seperti ini rawan mengalami aksi kejahatan. Sekuat apa pun dirimu, tetap saja bakal kalah kalau diserang keroyokan.”

Kama menatap Minghao. “Kau cerewet juga, ya?”

Minghao kembali mengabaikan ocehan Kama. “Untung saja tadi aku lewat. Entah bagaimana nasibmu kalau yang datang bukan aku.”

Kama mengerucutkan bibir. Kesal. Dia menggenggam erat-erat mug berisi kopi hangatnya.

“Kenapa tidak mengantarku ke asrama saja?” Kama protes mengingat setelah bertemu di tepi jalan tadi, Minghao dengan paksa memasukkannya ke mobil dan membawanya ke apartemen lelaki itu.

“Jaraknya terlalu jauh. Masih lebih dekat ke apartemenku.” Minghao menjawab kalem. “Besok pagi-pagi kuantar kau kembali ke asrama–”

“Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Besok akhir pekan, aku juga tidak harus kuliah.” Kama menolak tegas.

Kening Minghao berkerut. Perlahan dia beringsut mendekati Kama. Minghao mencondongkan badan ke depan, memangkas jarak antara dirinya dan gadis itu.

“Kenapa aku merasa, kau terus menghindariku?”

“Siapa bilang? Perasaanmu saja itu. Minggir, Hao! Duduk jauhan sana! Kenapa dekat-dekat begini, sih?” Kama mendorong lelaki itu menjauh.

Kali ini ganti Minghao yang cemberut. Dia menyibak poni, menunjukkan lebam di dahinya akibat ulah Kama malam sebelumnya.

“Kau harus tanggung jawab,” ujar Minghao dingin. “Wajah tampanku ini adalah aset berharga. Kau sudah mencelakakan aku dengan hantaman kepalamu yang sekeras batu itu.”

Kama mengerjapkan mata. Untuk alasan yang dia tidak mengerti, tawa gadis itu ingin meledak. Pandangannya tak henti tertuju pada benjolan di tengah dahi Minghao yang kini makin membesar dan sudah meninggalkan jejak lebam ungu.

“Dasar lemah,” komentar Kama sembari susah payah menahan tawa.

Kesiap kerasnya terdengar saat Minghao tiba-tiba menariknya mendekat. Posisi mereka kali ini terlalu dekat, praktis Kama dan Minghao sudah setengah berpelukan.

Secara alamiah, Kama bergerak menjauh. Namun, satu tangan kokoh Minghao menahan punggungnya agar tidak bergerak, sementara satu tangan lainnya menarik Kama kian mendekat.

“Aku lemah?” Mata Minghao bersinar jenaka. “Kalau begitu, aku perlu membuktikan padamu seberapa kuatnya aku.”

Ada nada mengancam dalam suara lelaki itu. Minghao menurunkan kepala. Pandangannya masih terkunci pada bola mata Kama yang anehnya tidak berkedip sedikit pun.

“Kau mau apa?” tanya Kama datar.

“Membuktikan kekuatanku.” Minghao mulai memiringkan kepala dan membuka mulut.

“Kepalamu mau kuhantam lagi?”

Minghao langsung berhenti bergerak. Posisinya persis berada di depan wajah Kama. Jarak bibir mereka malah mungkin hanya tinggal setengah inci saja.

Buru-buru lelaki itu menarik diri. Rutukannya terdengar lirih. “Dasar perempuan barbar.”

“Terima kasih. Kuanggap itu pujian.” Kama menyentak lembut tangan Minghao yang menahannya dan bangkit dari sofa.

“Mau ke mana?”

“Pulang.”

“Kau yakin mau pulang sekarang? Di luar sedang turun salju. Walau tak seekstrem Beijing, tapi udaranya bisa dingin sekali.”

Kama berdiri kaku. Ekor matanya melirik pemandangan di luar. Dari tempatnya duduk, keping-keping salju yang turun dari langit terlihat jelas, bahkan Sungai Huangpu pun mulai membeku.

Kama menelan ludah. Dia benci dingin. Sensasi saat salju pertama menyentuh kulitnya setara dengan hujan deras yang mengingatkannya pada kenangan buruk di masa lalu, juga pada malam-malam dingin yang membuat masuk angin karena harus berkubang dalam genangan air.

“Menginap saja di sini. Ada kamar kosong. Aku tak akan mengganggumu.”

Bahu gadis itu sedikit gemetar. Dia menoleh hanya untuk mengangguk, sebelum menundukkan kepala dalam-dalam. Mau pulang ke asrama pun juga sudah terlalu larut. Lebih dari itu, Kama benci dengan sensasi dingin yang harus dirasakannya, jika nekat keluar dari tempat Minghao yang hangat.

Dini hari itu, Kama menginap kembali di apartemen Minghao. Dan esok paginya, di jam sarapan dirinya kembali mendapat kejutan. Bing Yi sudah duduk di meja pantri dengan satu tas kertas besar berada di sampingnya.

“Jadi, kau yang membuat dahi Minghao benjol?” Bing Yi bertanya tanpa tedeng aling-aling saat melihat Kama bergabung dengannya di meja makan.

Minghao yang meminta Kama untuk sarapan hanya cemberut. Sementara, gadis itu mengangguk pelan. Seketika tawa Bing Yi pecah.

“Dia memang pantas mendapatkannya! Astaga, Miss Kama! Kau satu-satunya perempuan yang pernah menghajar Minghao sampai benjol seperti itu.”

“Aku belum menghajarnya.” Kama meralat. 

Dia hendak mengambil tempat duduk di samping Bing Yi, tetapi Minghao tiba-tiba menarik kursi itu menjauh. Otomatis yang tersisa hanya kursi di samping Minghao. Setengah kesal, Kama akhirnya duduk di sebelah tuan rumah.

“Kapan-kapan kau harus menghajarnya. Jangan lupa rekam dia saat kau melakukannya.” Bing Yi terkekeh.

Kama hanya tersenyum simpul. Dia menerima piring yang disodorkan Minghao. Sarapan lengkap dan berlemak ala Inggris datang menyapanya. Telur orak-arik, potongan sosis tebal yang digoreng hingga mekar, kacang merah dalam saus mentega, dan kentang tumbuk yang ditaburi parsley.

“Kau hanya akan mengacaukan diet Miss Kama, Minghao,” komentar si asisten pribadi melihat menu sarapan gadis itu.

“Aku tidak diet,” ujar Kama malu-malu. “Aku suka makan. Apa pun makanan pemberian orang, pasti aku habiskan.”

Bing Yi terdiam. Garpu yang dia pegang tertahan di udara. Dia memang melihat Kama makan dengan lahap, tanpa ekspresi bersalah atau ketakutan melihat tumpukan kalori di piring sarapan.

“Dia beda, kan?” bisik Minghao ke telinga sahabatnya.

Bing Yi mengangguk. Dalam hati, dia merasa senang dengan selera makan Kama yang sangat sehat. Sungguh berbeda dengan para wanita yang mengelilingi dirinya dan Minghao selama ini.

“Setelah sarapan kau ganti baju. Aku ingin mengajakmu ke Zou Hong Pictures.” Minghao menggeser tas kertas ke hadapan Kama.

“Buat apa?”

“Bertemu Produser Eksekutif.”

Kama dan Bing Yi serempak menyemburkan makanan yang tengah mereka kunyah. Dua-duanya tersedak, tetapi Minghao bergerak cepat menepuk-nepuk punggung Kama, dan mengabaikan Bing Yi yang susah-payah berhenti batuk.

“Buat apaan, weh? Bing Yi yang harusnya pergi. Dia asisten pribadimu!” Kama berseru kaget menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Mandarin.

“Kau perlu berkenalan dengan penulis naskah proyek drama kita. Fang Jiaqi sudah mengundurkan diri. Kita butuh penggantinya secepat mungkin.”

Kama tertegun. Rasa bersalah menghantamnya sekarang. “Maafkan aku. Seharusnya tempo hari aku tidak berdebat dengan Tuan Fang.”

“Tak masalah. Aku juga kurang cocok dengan cara kerjanya. Habiskan makananmu, setelah itu kita ke Zou Hong Pictures.”

Kama tak berani berlama-lama makan. Namun, sarapannya memang enak. Jadi, gadis itu dengan cepat menandaskan makanannya penuh suka cita.

Sayangnya, Kama sedikit mengalami kesulitan saat mempersiapkan diri pergi bersama Minghao. Dia tertahan di depan cermin setelah mandi.

“Kama, masih lama?”

Gadis itu mulai panik. Berkali-kali dia menarik resleting di belakang blusnya yang macet. Gagal. Malah tangan Kama yang pegal sendiri karena setengah terpuntir ke belakang.

“Kama?”

Suara ketukan terdengar lagi. Ragu-ragu gadis itu membuka pintu. Wajahnya memerah, sembari memegangi bagian bahu blusnya yang agak melorot.

“Bisakah kau membantuku?”

Minghao mengernyit. Dia berjalan masuk tanpa menutup pintu, mengikuti Kama yang mundur ke arah cermin di samping tempat tidur.

“Resletingnya macet. Aku tak bisa gerakkan dari tadi.”

Minghao mengangguk. “Berbalik sana.”

Kama patuh. Dia merasakan rambutnya yang terurai disingkirkan ke depan oleh Minghao. Gadis itu menundukkan kepala, memberi akses agar Minghao lebih mudah menarik resleting blusnya.

Lalu sentuhan itu datang. Kama bisa merasakan jelas ujung-ujung jari Minghao yang menyentuh kulitnya. Hanya sebuah sapuan kecil, tetapi panasnya terasa membakar hingga ke jantung.

Kama tak sadar menahan napas. Matanya terpejam rapat, menikmati momen saat Minghao menarik resleting ke atas. Entah itu hanya perasaannya saja, atau gerakan lelaki itu sangat lambat. Yang jelas, jantung Kama berdenyut makin kencang hingga terasa nyeri. Sesuatu seperti kupu-kupu juga tak henti beterbangan di dalam perutnya.

Dan siksaan nikmat itu akhirnya berakhir setelah resleting terkunci sempurna di bagian atas blus. Kama hendak berbalik, tetapi mematung seketika.

Dia tidak salah merasakan. Hembusan panas itu berasal dari napas Minghao. Memberanikan diri melirik lewat cermin, Kama tersentak kaget melihat Minghao menundukkan kepala ke arah tengkuknya.

Lelaki itu tidak mencium. Lelaki itu hanya bernapas di sana. Seolah tengah menahan diri sekuat tenaga. Kama menatap pemandangan itu dalam diam. Seharusnya saat ini dia memberontak, sama seperti saat di bar Phoenix. Namun, Kama mendadak enggan melakukannya.

“Sudah.” Minghao tiba-tiba mengangkat kepala. Suaranya parau sembari menepuk bahu Kama.

“Terima kasih.” Gadis itu memasang nada ceria yang palsu dalam suaranya lalu berbalik dan mendorong Minghao keluar kamar.

“Tunggu aku di depan. Sana pergi!”

Kama membanting pintu kamar tepat di depan wajah Minghao. Detik berikutnya dia menggelosor lemas di lantai. Tangannya mengusap-usap bagian depan blus. Wajah Kama terasa sangat panas.

Cuk! Ono opo karo aku ki? Iku Hao! Zheng Minghao! Playboy cap kadal!” Kama merutuk pelan.

“Nggak ada apa-apa. Nggak ada apa-apa. Kama, dia nggak tertarik sama kamu. Stop ngehalu dan salting kayak gini!”

Dengan sugesti itu, Kama akhirnya bangkit dan segera membereskan barang-barangnya. 

~~~

Bing Yi berdiri di lobi apartemen Minghao. Baru saja dia melihat kepergian bos sekaligus sahabatnya bersama dengan Kama. Pandangannya masih tertuju ke arah dua orang itu menghilang. 

Ponsel pintar Bing Yi menempel di telinga. Dia bicara dalam nada pelan ke lawan bicaranya di seberang.

“Aku tak menyangka hari ini akan tiba. Minghao mengizinkan seseorang duduk di kursi belakang motornya. Selama ini dia tidak pernah membonceng siapa pun, bahkan tak pernah mengizinkan aku naik motornya.”

“Motor bagi Zheng Minghao sama dengan kekasihnya,” balas orang di seberang panggilan.

“Itulah yang kupikirkan. Miss Kama membawa banyak pengaruh pada Minghao.”

“Hei, Bing Yi. Apa ini gadis yang kau ceritakan padaku dulu?”

Bing Yi mengiakan. Orang di telepon kembali bicara. 

“Apa kau sadar? Belakangan ini Zheng Minghao tidak tertangkap kamera wartawan bersama seorang wanita pun?”

Bing Yi tertegun. Dia mengingat-ingat dan mengangguk cepat.

“Ini rekor baru. Dua minggu Minghao tidak kedapatan berkencan dengan satu wanita pun. Astaga, kenapa aku baru sadar hal ini?”

“Kalau begitu, apa menurutmu Zheng Renzhong juga tidak menyadari hal itu?”

Kening Bing Yi berkerut. “Apa maksudmu?”

“Jika aku saja sadar, bukankah si Tuan Besar Zheng itu juga sadar? Kalau dia sadar, bukankah beliau juga akan menyelidiki siapa Miss Kama itu? Apa tragedi masa lalu akan kembali terjadi kalau Zheng Renzhong tahu latar belakang Miss Kama?”

Wajah Bing Yi memucat. Kepalanya menggeleng-geleng.

“Jangan cepat-cepat berprasangka. Minghao dan Miss Kama hanya rekan bisnis. Tidak lebih. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kakek tidak akan menyakiti Minghao lagi.”

“Kuharap begitu. Karena informanku mengatakan, tangan kanan Zheng Renzhong sudah bergerak menyelidiki wanita yang kau panggil Miss Kama itu. Kurasa kali ini tidak mudah bagimu menjaganya, Bing Yi.”

Bing Yi mencengkeram ponsel erat-erat. “Kenapa kehidupan orang kaya sangat pelik? Kenapa Kakek tidak ingin cucunya bahagia?”

~~ BERSAMBUNG ~~

Readers udah pada vote
buku ini apa belum?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top