11 | Aku Minta Waktumu
Selamat hari Rabu, Readers. Bab ini sebagai pelepas lelah setelah kalian bekerja seharian. Happy reading. ^^
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
“Minghao, ke mana saja kau seharian ini?”
Kedatangan lelaki itu ke Lotus Fortune House langsung disambut Bing Yi dengan ekspresi panik. Jejak kekalutan tergambar jelas di sepasang matanya.
“Kita berhasil dapat pendanaan. Yuxi-ge bersedia bergabung.”
Bing Yi mematung dengan pandangan hampa dan kosong.
“Bing Yi?” Minghao menusuk bahu sahabatnya pelan.
Bing Yi tersentak kaget. “Aku butuh kopi.”
Tanpa menunggu persetujuan, lelaki itu segera berjalan menuju mini bar kecil di sudut kantor Minghao. Dia membuat dua gelas kopi untuk dirinya dan untuk sang sutradara.
“Itu berita bagus. Selamat. Kopi ini untuk kesuksesan drama Lembah Naga dan Garuda.” Bing Yi tersenyum getir.
“Tapi kita juga punya kabar buruk.” Wajah Bing Yi muram. Sepertinya investasi empat ratus juta yuan masih kalah membahagiakan dibanding kabar sedih yang dibawanya.
“Fang Jiaqi hengkang dari proyek ini.”
Minghao langsung menyemburkan kopi yang diminumnya, telak mengenai bagian depan celana Bing Yi. Asisten pribadinya mendesis lantas dengan anggun meraih tisu dan menyesap noda gelap itu perlahan-lahan.
“Jorok sekali. Mana ketenanganmu, Minghao?”
“Kau sendiri juga panik tadi.” Minghao membela diri.
“Itu sebelum aku dengar kabar tentang ratusan juta yuan masuk ke rekeningmu.” Bing Yi ikut membela diri. Dia merosot lemas di sofa. “Investasi itu tak ada artinya tanpa penulis naskah. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Ceritakan kronologinya.”
“Ini gara-gara wanitamu itu!” Si asisten pribadi tak bisa menahan diri. Seruannya keras sampai terdengar oleh beberapa talenta artis yang kebetulan lewat di depan kantor Minghao.
“Pelankan suaramu. Aku tak butuh gosip tambahan.”
“Hah, memangnya gosip seberpengaruh itu padamu? Selama ini nama belakangmu itu adalah ‘Gosip’ karena ke mana pun kau melangkah bersama wanita, pasti ada skandal muncul.”
“Bing Yi,” tegur Minghao.
Sang sahabat mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dia menyerah. Cerita detail akhirnya meluncur keluar dari mulutnya. “Aku menuruti perintahmu membawa wanitamu ke sini–”
“Kama, namanya Kama. Dan dia bukan wanitaku,” potong Minghao.
“Belum-jadi-wanitamu.” Bing Yi mengoreksi, sengaja menjeda tiap kata dan memberi penekanan khusus untuk menyindir sahabatnya.
Minghao mendengkus keras. Bing Yi mengabaikannya.
“Jadi, Kama datang ke sini tepat saat Fang Jiaqi juga ke sini untuk memberikan revisi naskah. Mereka bertemu. Fang Jiaqi memang yang lebih dulu memprovokasi setelah mengetahui siapa Kama.”
Minghao merasa geli. Dia bisa membayangkan chaos yang dihadapi Bing Yi kala berhadapan dengan dua orang yang sama-sama keras kepala itu.
“Fang Jiaqi marah karena Kama mengoreksi naskahnya sesuai fakta sejarah. Dia bilang, dalam dunia seni peran sangat bebas untuk mengembangkan sejarah menjadi sebuah karya seni fiksi. Tidak perlu harus tepat seratus persen dengan fakta sejarah, asalkan sudah memberikan disclaimer di awal cerita.”
Minghao mengangguk-angguk.
“Tapi jawaban Kama juga menarik.” Bing Yi merenung, teringat perdebatan berbobot yang dilakukan dua orang itu.
“Kama langsung menanyakan genre apa dari drama yang ditulis oleh Fang Jiaqi. Saat penulis naskah menyebut historical fiction, Kama langsung membantai Fang Jiaqi.”
Bing Yi duduk tegak. Dia menirukan persis perkataan sekaligus gestur Kama.
“Historical fiction harus sesuai dengan fakta sejarah karena tujuannya untuk memberikan wawasan sejarah pada penonton, Tuan Penulis Naskah. Keaslian sejarah akan menjamin kredibilitas drama. Kau juga harus membedakan antara fiksi historis dan fantasi.
Tindakanmu yang mengubah fakta sejarah dengan alasan memberi ruang untuk imajinasi dan interpretasi kreatif yang terlalu kebablasan itu sudah mendistorsi fakta utama dan menyesatkan pembaca! Tindakanmu ini sama saja tidak menghormati warisan budaya!”
Minghao tersenyum geli.
“Gila! Aku benar-benar gemetar tadi. Kama memang luar biasa.” Bing Yi mengusap peluh di dahi.
“Mereka berdua jadi tontonan orang-orang di agensi. Fang Jiaqi kalah telak. Dia tak bisa membalas argumen wanitamu itu.”
Kali ini Minghao membiarkan saja Bing Yi menyebut Kama sebagai apa.
“Tidak ada yang salah dan benar dalam hal ini. Aku merekrut Fang Jiaqi karena dia mahir menulis naskah xianxia berdasar sejarah China kuno. Pendapat Kama juga benar karena drama kita kali ini mengusung fakta sejarah yang kental. Terlalu banyak perubahan akan menyesatkan pembaca, mungkin juga beresiko memunculkan pro dan kontra yang tidak perlu.”
“Jadi, bagaimana sekarang?” Bing Yi kembali khawatir.
“Zou Hong Pictures punya penulis naskah yang bagus. Aku akan mendiskusikannya dengan Yuxi-ge untuk minta bantuan penulis itu. Selain itu ….”
“Selain itu apa?”
“Masih ada Kama. Aku bisa memberi dia training sambil jalan untuk membantu menulis naskah drama ini.”
Bing Yi ternganga. “Kau serius? Dia amatir, Minghao. Tidak. Tidak. Dia bahkan belum pernah menulis satu naskah pun. Kuakui, dia cerdas dan pintar. Tapi itu belum cukup untuk merekrutnya ke tim kita.”
“Ada aku. Tenang saja.” Minghao menepuk bahu sahabatnya. “Dia punya sense of art yang cukup tinggi. Kau tak perlu khawatir.”
Minghao berdiri. Dia melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul tujuh malam.
Kepergiannya kali ini memang cukup lama. Setelah mendapat validasi kerjasama dengan Zou Hong Pictures, Minghao memang pergi ke beberapa tempat lebih dulu untuk mengurus hal-hal berkaitan dengan rencana pra produksi drama.
“Kau mau ke mana?” Bing Yi bertanya curiga melihat gelagat Minghao yang seperti hendak meloncat pergi dari kantor.
“Bar Phoenix.”
“Minghao, ini urgent. Persoalan Fang Jiaqi–”
“Fang Jiaqi sudah beres. Kita lepas dia. Urus penalti kontrak dengannya dan pastikan dia membayar ganti rugi ke kita. Kau lebih mahir soal ini dibanding aku.”
“Minghao, ini bukan waktunya bersenang-senang.” Bing Yi menahan tangan sahabatnya. “Masih terlalu sore untuk pergi ke bar.”
“Siapa yang mau bersenang-senang? Aku mau mengurus hal yang kau tak mahir sama sekali.” Minghao nyengir lebar.
Dia menyambar kunci motor di atas meja. Mengabaikan Bing Yi, lelaki itu segera melesat pergi dari agensi menuju ke bar tempat Kama bekerja.
Suasana Phoenix di hari kerja tidak terlalu ramai, apalagi jam masih menunjukkan terlalu sore untuk pesta minum. Alunan suara lembut mengalun dari panggung kecil yang diisi seorang wanita yang menyanyikan musik palanta.
Jika di luar udara cukup dingin, di dalam Phoenix terasa lebih hangat. Kedatangan Minghao mendapat tatapan penuh kekaguman dari para pengunjung. Beberapa pandangan penuh arti dan bisik-bisik mencurigakan juga disadari Minghao keluar dari arah para pelayan.
Dan itu memancing kecurigaan artis besar yang tengah naik daun tersebut.
“Di mana Kama?” tanya Minghao tanpa basa-basi ke satu pelayan yang lewat di depannya.
“Di–di ruang VVIP,” cicit pelayan itu ketakutan.
Minghao mengernyit. Gestur si pelayan membuat kecurigaannya kian pekat.
“Room berapa?” tanya Minghao lagi.
“Tuan, ma–maafkan saya. Tapi sa–saya tidak boleh mengatakan apa pun soal VVIP.” Pelayan itu makin ketakutan.
Minghao mendesis kesal. Segera dia naik ke lantai tiga. Penjaga keamanan membiarkannya lewat karena mereka juga sudah mengenal Minghao sebagai pelanggan VVIP bar.
Minghao membuka pintu satu per satu, masih belum menemukan Kama. Hingga dia berada di pintu paling ujung, tempat biasanya dia selalu datang untuk berkumpul dengan teman-temannya.
Lalu dia melihat Wang Heidi ….
… dan Kama.
Hal pertama yang dipikirkan oleh Minghao hanya meninju Heidi. Sahabatnya di dunia hiburan itu terlihat memaksa Kama duduk di pangkuannya, meski gadis itu sudah menolak sekuat tenaga.
Namun, ada yang aneh.
Dua tangan dan kaki Kama terikat, membuat gadis itu sulit untuk melakukan perlawanan. Kemarahan Minghao meledak hingga ubun-ubun. Dalam dua langkah panjang, dia merangsek maju dan menghantamkan tinjunya tepat ke pipi Heidi.
Suara gedebuk keras terdengar mengerikan. Kama menjerit, begitu juga tiga suara lain berseru panik. Minghao tak menyadari hal itu. Dia hanya terus menghantamkan tinjunya ke wajah Heidi, meski lelaki itu sudah berteriak-teriak minta ampun.
Lalu Minghao merasa badannya ditarik ke belakang. Tenaganya kalah kuat dibanding tiga orang yang mengekangnya saat ini.
“Lepas,” geram Minghao kasar.
“Minghao, sadarlah! Itu Heidi!” suara Linghe terdengar.
Minghao menggeram. Dia maju lagi, tetapi pegangan tiga orang itu juga semakin kuat.
“Heidi, lari!” perintah seseorang.
Tak perlu disuruh dua kali, Heidi terbirit-birit meninggalkan ruang VVIP. Linghe menepuk-nepuk punggung Minghao, sebelum perlahan-lahan melepaskan sahabatnya.
“Kami hanya bercanda, Minghao. Ini permainan,” ucap Linghe lembut.
Dada Minghao masih naik turun kencang. Jelas saat ini dia tidak mendengar penjelasan sahabatnya itu.
Sementara Linghe menatap bergantian ke arah Minghao dan Kama. Lelaki itu menghela napas panjang. Dia beranjak hendak melepas ikatan di tangan dan kaki si pelayan bar, tetapi teriakan keras Minghao menahan langkahnya.
“Jangan sentuh dia!”
Linghe langsung mengangkat dua tangannya. “Oke. Oke. Kau lepas ikatannya sendiri. Kami pergi dulu. Kalian ….”
Linghe tidak meneruskan kalimatnya. Dia menatap penuh arti pada Minghao. Sudut-sudut bibirnya berkedut menahan senyum.
Dia memberi isyarat pada dua temannya untuk ikut pergi. Perlahan Linghe menutup pintu, memberikan privasi pada Minghao dan si pelayan bar.
“Apa yang kau lakukan,” desis Kama gusar. “Bisa-bisanya kau meninju tamu VVIP bar!”
Minghao tersentak kaget. Kesadarannya mulai pulih. Cepat-cepat dia melepas ikatan Kama dan membantu gadis itu berdiri.
“Aku bisa menolong diriku sendiri, Tuan Zheng.”
“Tidak seperti yang kulihat.” Minghao berkata dingin. Tatapannya menelusuri setiap inci kulit tubuh Kama yang terbuka.
“Apa lihat-lihat?” bentak Kama.
“Bukannya aku sudah menyuruh Bing Yi mengirim seragam baru untukmu? Kenapa tidak kau pakai?”
“Demi Tuhan, Tuan Zheng! Itu bukan seragam bar ini! Dari mana kau dapatkan ide membuat baju super tertutup itu untukku?”
Minghao diam. Pilihan bajunya memang tidak sesuai standar seragam di Phoenix Lounge & Bar. Yang dipakai Kama saat ini adalah blus ketat dan rok super pendek dilengkapi stoking. Seluruh lekuk tubuhnya terlihat jelas, bahkan dadanya yang membusung indah itu juga sangat menggoda ….
Minghao tidak suka itu.
“Mau ke mana?” tanya Minghao dingin saat melihat Kama beranjak pergi.
“Kerja. Aku bukan dirimu yang ke sini untuk menghamburkan uang.”
“Temani aku di sini.”
Kama spontan menggeleng. “Kau tak berhak mengganggu pekerjaanku.”
“Apa aku harus menjadi tamumu untuk mendapatkan waktumu?”
Kama tertegun. Pertanyaan sederhana itu terasa susah untuk dijawab.
Dia melihat Minghao menelepon. Dari suara yang sengaja disetel keras, Kama tahu lelaki itu tengah meminta pada bos Phoenix agar Kama hanya melayaninya tiap kali Minghao datang ke bar.
“Aku tak mau pelayan lain. Aku hanya mau Kama saja.” Minghao mengakhiri panggilan teleponnya dan melempar ponsel pintar itu ke meja.
Dia menepuk sofa di sampingnya, memberi isyarat lewat tatapan mata agar Kama duduk di sebelahnya. “Sekarang kau milikku.”
Kama mengertakkan rahang. Dia tidak suka nada arogansi penuh kemenangan Minghao. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa bersyukur karena yang harus ditemaninya malam ini adalah Minghao, bukan orang lain.
Perlahan Kama mencoba duduk. Pekikan tertahannya terdengar saat Minghao menarik tangannya. Gadis itu jatuh tepat di pangkuan Minghao.
“Lepaskan aku, Tuan Zheng.” Kama meronta.
“Hao. Kau sudah berjanji memanggilku Hao.”
Wajah Kama memerah. Bahkan di temaram lampu ruang VVIP, dia yakin betul wajah semerah kepiting rebusnya pasti terlihat jelas oleh Minghao.
“Kau merah,” komentar Minghao.
“Diam!” gertak Kama.
“Kenapa menyuruhku diam?” Jari-jari Minghao merapikan rambut yang menutupi mata Kama.
Pandangan mereka bertemu. Jarak mereka terlalu dekat. Mereka bisa saling merasakan napas hangat masing-masing dan mendengar debar jantung yang berdentum keras.
Perlahan Minghao mendekatkan wajahnya ke pipi Kama. Dia mengamati bola mata indah gadis itu yang memiliki warna cokelat gelap dengan bintik berwarna hitam di tepiannya.
“Matamu indah,” bisik Minghao serak.
Kama menelan ludah. Seharusnya dia langsung menghantamkan dahinya ke dahi Minghao, sama seperti yang dilakukannya pada tiap lelaki yang kurang ajar menyentuhnya.
Sayangnya tubuh Kama seolah menolak perintah otaknya. Kama linglung. Tangannya justru mencengkeram lengan kemeja Minghao, seperti memberi isyarat agar lelaki itu makin dekat dan dekat.
“Kenapa Heidi bermain-main denganmu tadi?” bisik Minghao lagi.
Kama susah payah mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Lidahnya mendadak kelu. Duduk di pangkuan Minghao, dengan dua lengan lelaki itu merangkul tubuhnya, dan wajah yang begitu dekat benar-benar ujian besar untuk kemampuan bicaranya.
“Tuan Wang ….” Kama gugup. “Tuan Wang mengadu pada Laoban karena aku sudah menghajarnya tempo hari. Jadi, … dia … dia ingin balas dendam tadi.”
“Dengan melecehkanmu?”
Kama menggeleng. “Kau … kau datang di saat yang kurang tepat,” jawab Kama terbata-bata. “Tadi dia menyuruhku berdiri dan menari ta–tarian tradisional ne–negara kalian. Ta–tapi aku tersandung dan jatuh ke ….”
Wajah Kama benar-benar merah. Dia tak sanggup lagi bicara.
“Menyuruhmu menari dengan tangan dan kaki terikat?”
Kama mengangguk perlahan.
“Heidi pantas mendapat tonjokanku lagi,” geram Minghao.
“Jangan!” Kama spontan melarang.
Kening Minghao berkerut banyak. Gadis di depannya buru-buru menjelaskan saat melihat kilat di sepasang mata gelap Minghao.
“Dia–dia tamu penting tempat ini. Aku bisa dipecat kalau sampai dia kenapa-kenapa.”
“Tidak akan. Laoban kesayanganmu itu tak akan berani memecatmu setelah aku menandaimu.”
Kama mengerjapkan mata. “Me–apa?”
Satu tangan Minghao terangkat. Jarinya menelusuri leher Kama yang terpampang jelas tepat di depan mata, lalu turun menuju tulang selangka yang tidak tertutupi karena dua kancing teratas blus gadis itu sengaja dibuka.
“Hao!” Kama berseru kaget saat lelaki itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Kini posisi Kama berhadapan dengan Minghao, dan masih tetap berada di pangkuannya.
“Ya, panggil aku Hao,” suara lelaki itu parau. Tangannya menyapu paha Kama yang tersingkap dan kembali mendekatkan diri ke arah sang gadis.
Kama memalingkan wajah, tapi Minghao sudah terlalu dekat. Dia bisa mencium aroma maskulin yang samar dari tubuh lelaki itu, sesuatu yang membuat pikirannya berkabut. Kama benci pengaruh Minghao atas dirinya, tapi tubuhnya tak bisa berbohong.
“Aku ingin menandaimu.” Napas panas Minghao menyapu kulit leher Kama. “Agar semua orang tahu, kau milikku.”
“Aku bukan milikmu,” bisik Kama tertahan.
“Sekarang belum, tapi secepatnya.”
“Hao?” Kama membelalakkan mata. “Tidak ada secepatnya. Kau hanya bosku. Tidak ada hubungan lebih.”
“Ah, bicara soal bos, kau harus bertanggung jawab, Kama.”
Kama menelan ludah. Suara Minghao yang teramat lembut membuat dirinya kewalahan. Yang lebih menjengkelkan, dia tak berdaya melawan saat Minghao menarik dirinya kian mendekat.
“Tanggung jawab apa?” Kama menahan dada Minghao.
“Nanti, setelah aku menunjukkan padamu sesuatu yang tak bisa dilakukan Heidi.”
Kama tak mengerti apa yang dimaksud Minghao. Namun, saat lelaki itu memiringkan kepala dan mendekatkan bibirnya, saraf Kama bereaksi sangat cepat.
Kama memundurkan kepala, mengambil ancang-ancang, dan menghantamkan kepalanya ke kepala Minghao kuat-kuat. Saat lelaki itu memaki kesakitan, Kama memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meloloskan diri.
Dia melompat turun dari pangkuan Minghao dan memiting tangan lelaki itu. Suara Kama tegas, meski sedikit bergetar.
“Bukan Tuan Wang yang melecehkan aku, tapi justru kau. Mulai detik ini, kita tak perlu bertemu lagi, Hao!”
~~ BERSAMBUNG ~~
Bentaaar, ini aku kok, gregetan sama Kama, ya? Kenapa dihajar si Minghao? Haish, ini cewek emang nggak tahu barang bagus di depan mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top