1 | Layar Pembuka

Shanghai, kota yang tak pernah tidur, gemerlapnya cahaya kota seperti orkestra bintang yang jatuh ke bumi. Di satu sudut Distrik Huangpu, tepatnya di apartemen yang menghadap langsung ke Sungai Huangpu, duduk seorang lelaki muda tampan berusia dua puluh enam tahun.

Zheng Minghao, nama lelaki itu, terlihat merapatkan bibir. Senyum maut yang biasanya mampu membius kaum hawa itu kini lenyap. Pasalnya saat ini dua tengah terjepit di antara dua realitas.

“Setahun, Minghao! Aku memberimu satu tahun untuk menikah, atau kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada Zheng Global Holdings!” suara berat Zheng Renzhong menggema di ruang makan mewah apartemen Minghao.  

Daging wagyu seharga tiga bulan gaji karyawan biasa itu mendadak terasa alot digigit. Hampir tersedak, Minghao memelotot kaget ke arah pria delapan puluh tahun yang masih terlihat bugar. Usia tua rupanya tak mengikis ketampanan Zheng Renzhong yang kian matang.

“Kakek, ini lelucon, kan? Di zaman sekarang, siapa yang menikah karena ultimatum? Itu kuno!”  

Renzhong mengerling tajam dari balik kacamatanya. 

“Kuno? Kalau begitu biar kuperjelas. Lotus Fortune House-mu, film-film mahalmu itu, dan apartemen mewahmu ini …, semuanya berasal dari pendanaan perusahaan keluarga. Tanpa warisan ini, kau akan bangkrut.”  

“Bangkrut?” Minghao tertawa gugup sambil melirik ke arah asistennya, Bing Yi, yang berdiri canggung di sudut ruangan. 

Bing Yi yang punya ketampanan tak kalah dibanding bosnya hanya mengangguk pelan, seperti mengatakan, “Ya, bos, rekeningmu kering seperti gurun Gobi.” 

“Lagi pula film ketigamu yang sedang kau garap ini butuh biaya mahal. Tabiatmu yang tak suka mencari investor karena tak mau didikte oleh mereka itu menyusahkanmu, Minghao. Idealismemu itu butuh uang yang banyak.”

Si jangkung pemilik agensi talenta bakat Lotus Fortune House itu mengunyah daging wagyunya dengan bibir cemberut. Dia memang menghindari pendanaan dari pihak luar untuk mencegah intervensi atas kreativitasnya. Sebagai seorang aktor, sutradara sekaligus produser, penting baginya untuk menjaga autentifikasi cerita tanpa campur tangan penyandang dana yang materialistis.

Untungnya dua film terakhir Minghao sukses besar. Keuntungan yang dihasilkannya cukup untuk mendanai operasional agensi sekaligus memproduksi satu film lagi.

Seharusnya begitu ….

Minghao berkata getir dalam hati, mengingat idenya akan film terbaru ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Sialnya lagi, saat hendak meminta tambahan dana pada tetua grup Zheng, justru dia mendapat ultimatum untuk segera menikah dan mewarisi bisnis keluarga.

“Kau bisa mencari istri atau mencari pekerjaan baru. Pilihanmu,” lanjut Renzhong dengan nada final. Lalu, seolah itu hanyalah urusan sepele, da kembali menikmati teh hijaunya.
 
~~~ 

Minghao menunggu hingga kakeknya pergi dari apartemen. Baru dia memeras Bing Yi untuk memberinya sebanyak mungkin informasi tentang tuntutan Zheng Renzhong.

“Kurasa usia kakekmu yang semakin tua yang membuat beliau mengambil keputusan itu.” Bing Yi menjawab bijaksana.

“Masih ada Ayah dan Pamanku. Mereka bisa mengendalikan perusahaan, bukan?” Minghao mondar-mandir.

Bing Yi memperbaiki letak kacamatanya yang melorot. Seringainya lebar.

“Memang bisa, tapi ….”

“Tapi apa?” Minghao mengejar.

“Kurasa Tuan Besar Zheng sudah pusing dengan kelakuan dua cucunya.” Bing Yi berkata lugas. “Bisnis keluarga kalian mencakup pelayaran, properti, dan teknologi. Tapi dua cucunya malah sibuk sendiri di dunia hiburan. Kakek mana yang tidak jengkel dengan kelakuan cucu-cucunya ini?”

Pandangan Bing Yi penuh arti pada Minghao, cucu kedua generasi terakhir Zheng yang terkenal rajin menghiasi halaman gosip Cina dan internasional dengan prestasi berikut sederet skandal percintaannya.

“Aku dengar, syarat untuk mewarisi perusahaan Zheng Global Holdings juga diberikan kepada kakak sepupumu.”

Minghao sontak membelalak. “Yuxi? Zheng Yuxi? Si Dewa Api yang tak bisa didekati perempuan itu?”

Bing Yi berdecak keras. Kepalanya menggeleng-geleng. “Aku heran dengan kalian berdua. Satu darah, tapi sifat sangat bertolak belakang. Tuan Yuxi terkenal dingin pada lawan jenis. Sementara kau malah suka bermain-main perempuan. 

Tuan Yuxi dikenal sebagai Dewa Api karena sikapnya yang tak kenal ampun pada orang lain. Kau dikenal sebagai Dewa Es yang dingin, tapi begitu mudah menggoda perempuan dan membuat mereka membuka kaki untukmu di ranjang.”

“Mau gajimu kupotong?” Minghao mendelik kesal mendengar ejekan asistennya.

“Tidak bisa, Tuang Zheng Minghao yang terhormat. Kau sudah memotong gajiku bulan lalu. Sekali lagi kau melakukannya padaku, dengan senang hati aku akan menghubungi Serikat Pekerja untuk melaporkan penindasan ini.” Bing Yi berkata kalem.

Mata Minghao berkilat-kilat. Belum sempat dia membalas, Bing Yi sudah bersuara lagi.

“Dan kurasa dengan rekor skandalmu selama ini, keluarga ayahmu dan ibumu tak akan senang membersihkan satu skandal lagi.”

“Seharusnya kau jadi asisten Kakek saja. Kalian sama-sama tukang ancam.” Minghao mendengkus kesal.

Bing Yi tidak merespons perkataan bosnya yang juga mantan teman sekolah dan kuliahnya itu. Ekspresinya kali ini lebih santai. Dia menuang segelas anggur untuk dirinya sendiri dan berjalan ke tepi dinding kaca yang menampilkan pemandangan Sungai Huangpu di malam hari.

“Informanku di tempat Tuan Yuxi mengatakan bila sepupumu itu sudah menolak dua gadis yang dijodohkan oleh kakekmu.”

Minghao tampak tertarik. “Kau lebih gosip dibanding para perempuan.”

Bing Yi mengangguk khidmat seolah-olah kalimat itu adalah sebuah pujian.

“Putri keluarga Xu dan keluarga Lu ditolak mentah-mentah oleh kakak sepupumu itu.”

Minghao bersiul keras. Ekspresi wajahnya berubah semringah. Dia menepuk tangan penuh sukacita.

“Kali ini aku senang dengan kesamaan kami berdua. Berani taruhan, Yuxi-da ge pasti juga tak suka dijodohkan.”

Bing Yi memandangi wajah bosnya. “Hubunganmu dengan Tuan Yuxi bukannya masih buruk?”

Minghao mengangkat bahu. Senyumnya lebar. Di mata para perempuan, itu adalah jenis senyum penuh daya pikat. Namun, di mata Bing Yi, senyum itu ibarat serigala yang tengah mengincar mangsa.

“Aku pergi dulu, Bing Yi.”

“Zheng Minghao! Jangan bikin ulah yang aneh-aneh! Aku tak mau membereskan kekacauanmu lagi! Hei, Zheng Minghao! Minghao!”

Namun, lelaki itu tak menggubris peringatan asistennya. Langkahnya panjang-panjang keluar gedung apartemen. Lift yang membawanya langsung ke parkir bawah tanah membuat Minghao tak perlu repot-repot berpapasan dengan orang-orang di lobi.

Lalu dia terjebak macet.

“Sial!” Minghao memukul roda kemudi. Jalanan Shanghai di jam sembilan malam benar-benar serupa neraka kecil untuknya.

Butuh usaha ekstra bagi Minghao untuk memarkir mobil di tepi jalan. Dia melakukannya dan mengirim pesan pada Bing Yi untuk mengambil kendaraan roda empat itu. Sementara Minghao meneruskan perjalanan ke gedung agensi dengan berjalan kaki.

Dia memastikan masker terpasang rapat di wajah dan membenamkan topi bucket dalam-dalam saat melewati area Tangjiawan. Nama besarnya sebagai salah satu aktor top tier Cina membuat Minghao terpaksa harus menutup wajah serapat mungkin saat berada di tempat umum. Tujuannya tentu saja agar tidak dikenali dan beresiko mencelakakan dirinya.

“AWAS!” suara perempuan melengking mengagetkannya. 

Minghao menoleh bersamaan dengan laju satu sepeda yang sangat kencang ke arahnya. Dia mencoba menghindar, tetapi terlambat. Sepeda itu menyeruduknya dengan dramatis hingga membuat Minghao menabrak satu kios buah.

Jeruk dan apel berhamburan ke segala arah. Wajah Minghao pucat pasi. Hal terakhir yang diinginkannya hari ini setelah makan malam penuh tekanan bersama sang Kakek adalah dikenali di tempat umum.

“Ya ampun! Maaf, aku nggak sengaja!” Pemilik suara tadi meloncat turun dari sepeda.

Minghao mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan oleh gadis bermata besar dan berambut hitam panjang itu. Di tangan si gadis tergenggam gelas kopi dalam tas kertas yang bergoyang mengerikan seirama dengan langkah cepatnya menghampiri Minghao.

Lelaki itu berjengit ngeri kala melihat tubuh ramping si gadis oleng ke depan. Sepertinya dia tersandung sesuatu, pikir Minghao. Seharusnya dia menghindar. Namun, sorot panik dan bibir penuh si gadis sontak melumpuhkan sistem sarafnya.

Dan Minghao merasakan sesuatu yang basah dan panas di celana. Dia menunduk, beberapa detik merasa bingung, lalu tersadar apa yang sudah terjadi.

“Ya ampun, maafin aku! Aku beneran nggak sengaja!”

Gadis itu buru-buru mengusap celana Minghao yang basah terkena tumpahan kopi. Sialnya Minghao bergerak spontan menghindari sentuhan apa pun yang terjadi di antara mereka. Sialnya lagi, si gadis juga bertekad membersihkan noda di celana Minghao. Alhasil, tangan gadis itu justru bertengger di bagian depan celana Minghao dan menyentuh area sensitif lelaki itu.

Selama beberapa detik yang terasa sangat panjang, Minghao dan si gadis sama-sama membeku. Pandangan mereka bertemu. Minghao menelan ludah. Si gadis mengerjap-ngerjapkan mata.

“Pergi,” desis Minghao.

Gerak refleks si gadis tak berfungsi. Dia masih meletakkan tangan bertisu di bagian depan celana Minghao.

“Pergi!” bentak Minghao kasar. 

Si gadis tersentak kaget. Gerakan Minghao yang tiba-tiba membuatnya gelagapan. Alih-alih segera berdiri, gadis itu justru tergelincir. Panik dia mencoba meraih sesuatu untuk dipegang. Tanpa pikir panjang, dia memegang erat-erat tonjolan di celana Minghao.

“GADIS BRENGSEK!” Minghao menjerit keras merasakan hantaman sakit yang meledakkan kepala.

~~ BERSAMBUNG ~~

Follow akun penulis
dulu ya, Gaes

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top