Chapter XXXVIII: Her planning 3.0

Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menyusup dari celah-celah tirai, menerpa wajah Jisoo yang masih setengah tertidur. Dia terbangun perlahan, disambut rasa pegal yang menusuk di seluruh tubuhnya, seolah setiap otot dan sendinya menuntut istirahat setelah malam panjang yang intens. Dia menghela napas panjang, mengingat semalam. Taeyong benar-benar menepati kata-katanya. Rasa lelah yang menyelusup sampai ke tulangnya mengingatkan Jisoo pada bagaimana pria itu tak pernah setengah hati saat menginginkan sesuatu. Dia memperlakukan Jisoo tanpa ampun, membuatnya kewalahan hingga titik di mana tak ada tenaga tersisa untuk melawan.

Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Saat membuka mata, dia menyadari bahwa ranjang di sebelahnya kosong. Pemandangan itu membuatnya terdiam sejenak. Biasanya Taeyong masih tertidur di sisinya dengan lengan melingkari tubuhnya seolah enggan membiarkan Jisoo pergi walau hanya sekejap. Tapi kali ini hanya kesunyian yang menyambutnya.

Jisoo mencoba untuk tidak peduli, mencoba untuk mengabaikan kehadiran pria itu. “Untuk apa mencemaskan laki-laki yang selama ini jadi beban pikiranku?” batinnya mencoba menenangkan diri.

Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kekosongan ini tak perlu dipikirkan. Seharusnya dia bersyukur karena bisa bangun tanpa sosok Taeyong yang menganggu di sisinya. Tapi entah kenapa, ada bagian dari dirinya yang malah merasa resah dengan ketidakhadiran pria itu. Bahkan ketika dia mencoba memejamkan mata kembali, bayangan Taeyong dan kenangan semalam kembali menghantui pikirannya.

Sekali lagi, dia menghela napas panjang sambil berusaha memejamkan mata lagi, berharap bisa memulihkan energinya. Namun baru saja dia akan kembali terlelap, pintu kamar terbuka, dan langkah kaki yang sudah tak asing lagi itu memasuki ruangan. Taeyong muncul dengan setelan rapi, wajahnya masih tampan dan penuh percaya diri seperti biasanya. Sorot mata teduh namun intens yang dia miliki menyorot langsung ke arahnya.

Anehnya, kali ini bukan hanya sosoknya yang menarik perhatian Jisoo. Aroma khas tubuhnya, campuran antara aroma maskulin dan sedikit wangi khas Taeyong yang sulit dijelaskan, memenuhi udara di sekitarnya. Jisoo tertegun pada dirinya sendiri, perhatiannya tertarik pada bau itu lebih dari biasanya. Bau itu entah kenapa terasa lebih kuat. Ada keinginan aneh untuk mendekat, untuk membiarkan dirinya larut dalam aroma yang entah bagaimana, kini terasa begitu memikat dan membuatnya ketagihan.

“Apa yang terjadi denganku?” pikirnya, merasa kebingungan sekaligus sedikit terintimidasi. Dia meneguk ludah, berusaha mengabaikan pengaruh aroma itu yang merayap masuk dan mencengkeram inderanya.

Taeyong memperhatikan Jisoo yang masih terbaring di ranjang dengan ekspresi penuh rasa puas. Dia lantas melangkah pelan mendekat dengan senyum kecil di bibirnya yang tajam dan penuh arti. Sementara itu, Jisoo mencoba mempertahankan sikap acuh meskipun dia tak bisa sepenuhnya mengabaikan kehadiran pria itu, apalagi aroma tubuhnya yang entah bagaimana terasa begitu mencolok pagi ini.

“Kau baru bangun, ya?” kata Taeyong dengan nada santai sambil mengamati Jisoo penuh intensitas.

Jisoo hanya mendengus, berusaha untuk tidak memedulikan getaran halus dalam suaranya. “Aku tidak ingin memulai hari dengan suaramu di kepalaku,” jawabnya dingin meskipun hatinya berdebar cepat. Dia mencoba mengalihkan perhatian namun aroma itu semakin kuat seiring Taeyong mendekat, membuat pikirannya tak karuan.

“Jadi, kau benar-benar merindukanku?” canda pria itu sembari duduk di tepi ranjang dan meletakkan tangan di dekat Jisoo. Senyum nakal tersungging di wajahnya, seolah menyadari pengaruhnya yang perlahan menjalari Jisoo.

Merasa tak nyaman dengan kehadirannya, Jisoo segera memalingkan muka. “Kau berharap terlalu banyak, Taeyong. Yang kubutuhkan hanyalah tidur yang nyenyak tanpa gangguan dari orang sepertimu,” sahutnya sambil menahan napas, berusaha menolak keinginan aneh untuk mendekat dan membaui aroma pria itu lebih intens.

Taeyong tertawa kecil mendengar balasannya, lalu mendekatkan wajahnya ke arahnya, membuat Jisoo tak punya pilihan selain menatap langsung ke matanya. “Jangan menipu dirimu sendiri, Nona Baek,” bisiknya pelan. “Aku tahu ada hal-hal yang tidak bisa kau abaikan begitu saja.”

Dia menelan ludah, merasa tak nyaman dengan tatapan matanya. Perasaan frustrasi seketika bercampur dengan rasa aneh yang membingungkan dirinya sendiri. “Jangan terlalu percaya diri, Taeyong. Kau hanyalah pria yang suka memaksakan diri,” jawabnya pelan meskipun nadanya terdengar lebih rapuh dari yang diharapkannya.

Pria itu hanya tersenyum, tampak puas dengan pengaruh yang dia miliki atasnya. “Kita lihat saja, siapa yang memaksakan diri di sini,” katanya dengan nada berbisik yang mengandung tantangan, membuat Jisoo merasa seperti ada api kecil yang menyala dalam dirinya, tak peduli seberapa keras dia mencoba memadamkannya.

Dia tak menanggapi perkataannya itu, terlalu sibuk berdebat dengan pikirannya yang mulai terasa aneh sejak malam panjang yang mereka lalui bersama. Atau mungkin, sejak pria ini kembali dan menganggu kedamaian singkat hidupnya.

Taeyong menatap Jisoo dengan mata penuh perhatian, sorotnya terlihat khawatir meskipun Jisoo mencoba mengabaikannya. Wajah yang biasanya penuh energi kini tampak pucat, Taeyong kian memperhatikan setiap perubahan ekspresi Jisoo yang terlihat aneh pagi ini.

Tangannya lantas terulur, menyentuh lembut dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya, membuat gadis itu tertegun sejenak. Anehnya, yang Jisoo rasakan justru bukan sentuhan dingin tangan Taeyong, melainkan aroma tubuh pria ini yang begitu kuat, menyelinap masuk ke seluruh inderanya dan mengusik ketenangan di dalam dirinya.

Jisoo mencoba menelan ludah, berusaha mengatasi keanehan ini, tapi rasa terganggu itu terus-menerus menghantuinya. Tanpa bisa menahan diri, dia langsung melontarkan pertanyaan yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. “Sebenarnya parfum apa yang kau pakai?”

Pertanyaannya membuat Taeyong terdiam sesaat. Alisnya terangkat satu saat memandang Jisoo dengan tatapan bingung. Meski pertanyaan itu terdengar aneh baginya, Jisoo tak mampu mengelak dari apa yang dia rasakan. Aroma itu begitu menyengat, mengusik setiap sudut pikirannya. Namun anehnya, alih-alih merasa terganggu, aroma tersebut justru menariknya—menuntut dirinya untuk mendekat dan merasakan kehadiran pria itu lebih intim lagi.

“Parfumku?” ulang Taeyong sambil mencium pergelangan tangannya sendiri, seperti mencoba memahami maksud dari pertanyaan Jisoo. “Seingatku aku tidak berganti parfum, ada yang salah dengan aromaku?”

Jisoo tercekat, tidak tahu bagaimana menjelaskan keanehan ini. Dia ingin mengatakan bahwa aroma itu terlalu menyengat dan mengganggu, tetapi kenyataannya berbeda, bau itu memikatnya seperti candu, membuatnya sulit untuk berpaling. Dia terdiam beberapa saat, lalu menggeleng, mencoba mengenyahkan pemikiran aneh yang muncul di benaknya.

“Tidak, bukan begitu,” jawabnya seraya menunduk dan memalingkan wajah, merasa malu akan perasaan yang bahkan tidak bisa dia jelaskan pada dirinya sendiri. “Lupakan saja apa yang kukatakan tadi.”

Namun, Taeyong tidak semudah itu tertipu. Dia memiringkan kepalanya, tatapannya tajam namun penuh perhatian. “Jisoo, apa kau demam?” tanyanya sambil mengamati wajahnya lebih dekat, tangannya masih berada di dahi Jisoo, tak sedikit pun mengendurkan cengkeraman lembut itu.

Menyadari bahwa tangan pria ini masih menyentuhnya, cepat-cepat Jisoo menepis tangan Taeyong dan menghindari tatapannya. Wajahnya terasa panas, entah karena demam atau sesuatu yang lain. “Aku baik-baik saja,” ujarnya cepat, sedikit gugup. “Aku hanya lelah. Bisa kau beri aku waktu untuk beristirahat?”

Dia tidak langsung menjawab. Taeyong menatapnya, menelusuri wajahnya dengan pandangan yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam benak gadis itu. Meski Jisoo berusaha menepis kekhawatirannya, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya percaya. Raut wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya dan sorot matanya terlihat lebih lelah. Taeyong menghela napas pelan, menurunkan tangannya dan memberi Jisoo sedikit ruang, tapi pandangannya tetap tertuju padanya.

“Kau yakin baik-baik saja?” Suaranya tenang, tapi ada nada yang menandakan bahwa dia tidak akan begitu saja menyerah untuk memastikan keadaan Jisoo.

Gadis itu hanya mengangguk, sebelum berpaling menghindari tatapan Taeyong yang terus memperhatikannya dengan intens. “Sudahlah, aku hanya perlu istirahat sebentar. Jangan terlalu mengkhawatirkan hal kecil seperti ini.”

Namun, saat kata-kata itu meluncur dari bibirnya, perasaan gelisah justru semakin mencengkeram hatinya. Kenapa dia merasa jantungnya berdebar lebih cepat saat pria itu menyentuhnya? Kenapa aroma tubuh Taeyong terasa begitu intens hingga dia seolah ingin lebih dekat dan membiarkan dirinya terhanyut? Tak masuk akal, pikirnya mencoba menepis pemikiran itu, tapi perasaan itu tetap menggantung di benaknya, seperti bayangan yang tak bisa diusir begitu saja.

Taeyong yang masih berdiri di dekatnya, menatap Jisoo dengan intens, seolah-olah dia bisa membaca setiap pikiran yang berkecamuk di benaknya. “Jadi,” gumamnya sambil menyeringai, “kau benar-benar tidak suka aroma ini?”

“Sudah kubilang, lupakan saja,” ujarnya sambil mencoba menjaga nada bicaranya tetap stabil. “Aku hanya sedikit kelelahan, itu saja.”

Tanpa peringatan, tiba-tiba Taeyong mendekat lagi. “Kau lelah atau mungkin ada sesuatu yang mengganggu?” tanyanya sambil mengamati setiap ekspresi di wajahnya, membuatnya semakin salah tingkah.

Jisoo merasa pipinya mulai memanas, entah karena presensinya atau aroma pria ini yang semakin menggodanya untuk mendekat. “Kenapa kau begitu peduli? Pergilah, aku hanya perlu waktu sendiri.” Nada suaranya kini hampir menyerupai desakan, berharap Taeyong tidak bertanya lebih jauh.

Namun, alih-alih mundur, Taeyong justru tertawa kecil. “Lucu, kau seolah-olah mencoba menghindariku, padahal kau tak perlu repot melakukannya.” Dia menundukkan wajahnya, cukup dekat hingga Jisoo bisa merasakan napasnya yang hangat menyapu wajahnya.

Merasakan kedekatannya, Jisoo hampir refleks menjauh, tapi tubuhnya malah diam tak bergerak. “Aku ... aku benar-benar lelah, Taeyong. Jadi tolong—”

“Kalau begitu istirahatlah,” Taeyong berbisik pelan di dekat telinganya. “Dan jangan terlalu memikirkan aroma ini karena suka atau tidak, kau akan terus merasakannya.”

Setelah menyuruhnya untuk beristirahat, Taeyong tiba-tiba ikut berbaring di sampingnya, membuat Jisoo sedikit terkejut. Dia sempat berpikir untuk mengelak, tetapi tubuhnya malah diam tak bergerak. Lengan Taeyong merangkulnya perlahan, menggiringnya agar lebih dekat, hingga akhirnya Jisoo meringkuk dalam pelukannya dengan wajah menghadap ke dada Taeyong yang hangat dan beraroma khas.

Biasanya, dia akan memberontak atau memprotes, setidaknya sedikit berusaha menjauh. Tapi kali ini berbeda. Aroma tubuh Taeyong yang menguar di sekelilingnya justru membuat perasaan tenang yang aneh menyelimuti dirinya. Jisoo merasakan kantuk perlahan merayapi kesadarannya, lalu tanpa sadar dia sedikit memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa nyaman yang jarang dia rasakan.

Taeyong memperhatikan dengan tatapan bingung dan sedikit heran, melihat betapa Jisoo kali ini begitu tenang dalam pelukannya, tak seperti biasanya. “Kau tak mengelak?” bisiknya lembut, suaranya terdengar samar namun penuh keterkejutan. Namun, Jisoo hanya terdiam, tak ada niat untuk bergerak menjauh.

Bahkan saat ini dia tampak begitu tenang, seperti anak kecil yang merasa aman dan nyaman dalam pelukan seseorang yang dipercayainya. Perlahan, gadis itu menutup mata, membiarkan aroma Taeyong memenuhi seluruh indranya. Dia merasa aneh, tapi sekaligus damai, sesuatu yang membuatnya lupa akan segala kekhawatiran dan ketegangan yang biasa mengganggu pikirannya saat pria itu berada begitu dekat dengannya.

Taeyong tersenyum kecil, senyuman yang lembut dan penuh kehangatan sambil mengeratkan pelukannya. Tangannya bergerak lembut mengusap punggung Jisoo, gerakan yang berirama menenangkan, seakan ingin menidurkannya dengan damai. “Istirahatlah,” ucapnya pelan, nadanya begitu menenangkan. “Aku akan membangunkanmu lagi saat sarapan tiba.”

Tanpa waktu lama, Jisoo merasakan kantuk yang perlahan tapi pasti menariknya ke dalam lelap. Tubuhnya semakin rileks. Dalam dekapan Taeyong, dia menyerah pada perasaan aman yang jarang dia rasakan. Aroma yang selama ini dia kira akan membuatnya terganggu, kini justru menjadi semacam selimut hangat yang membawanya semakin dalam ke alam tidur.

Saat tubuh Jisoo mulai rileks dalam pelukannya, Taeyong merasakan perubahan yang halus namun nyata. Biasanya dia akan protes atau berusaha melarikan diri dari genggamannya. Tapi kali ini, tidak ada perlawanan, tidak ada usaha untuk menolak, hanya keheningan dan kehangatan dari tubuh Jisoo yang akhirnya menyerah dalam pelukannya. Rasanya seperti merasakan sisi lain dari Jisoo, yang selama ini jarang terlihat.

Taeyong menatap wajahnya yang perlahan mereda dalam tidur, mata yang tertutup rapat seakan terbebas dari kekhawatiran. Dia mengulurkan tangan, mengusap perlahan rambutnya, menikmati setiap helai yang terurai di antara jarinya. Ada ketenangan yang dia rasakan, sesuatu yang membuat dadanya berdebar pelan dan hangat, perasaan yang belum pernah benar-benar dia sadari sebelumnya.

“Kau benar-benar aneh hari ini,” bisiknya lirih, separuh mengamati wajah Jisoo yang kini tenang. “Biasanya, kau akan memarahiku habis-habisan karena berani mendekat seperti ini.” Dia tersenyum kecil, menyimpan kebahagiaan yang hanya bisa dia mengerti.

Tak berapa lama, suara napas Jisoo yang lembut dan teratur terdengar, menandakan bahwa dia telah benar-benar tertidur. Taeyong tetap membiarkannya berada dalam dekapannya, takut melepas momen ini. Dia tahu, mungkin besok Jisoo akan kembali menjadi dirinya yang keras kepala yang selalu berusaha melawan dan kabur dari jangkauannya.

Sambil menatapnya, Taeyong bergumam pelan, “Mungkin kau tak akan pernah tahu, tapi aku benar-benar berharap kau tetap di sini seperti ini.”

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai tebal kamar hotel, menyebar lembut dan menghangatkan ruangan yang luas dan mewah. Jisoo membuka matanya perlahan, kesadarannya kembali pelan-pelan, seperti ditarik dari kedalaman mimpi yang memudar. Dia terkejut saat menyadari hari sudah siang dan ruangan itu kosong. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Taeyong. Biasanya, pria itu akan membangunkannya dengan senyuman sinis atau perintah samar untuk segera bersiap, tetapi kali ini, kehadirannya hilang begitu saja, meninggalkan keheningan yang tak biasa di kamar itu.

“Dia tidak membangunkanku?” gumamnya sedikit kesal. Padahal, dia sendiri yang bilang akan membangunkannya saat sarapan tiba. Sekarang, waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Aneh, tidak seperti biasanya pria itu membiarkannya tertidur lama tanpa mengusiknya.

Jisoo menghela napas, berusaha menepis rasa kosong yang tiba-tiba menyelinap di hatinya.

Mungkin, hanya mungkin, kehadiran Taeyong dan aroma tubuhnya yang khas telah menyusup ke pikirannya lebih dalam daripada yang dia sadari. Tapi sejak kapan semua ini mulai mengubah perasaannya? Apakah sejak semalam, saat pria itu kembali setelah beberapa hari meninggalkannya?

Jisoo merasa alasan perubahan suasana hatinya tak sesederhana itu. Dia tahu, di dalam hatinya, dia masih membenci Taeyong. Bahkan keinginannya untuk membunuh pria itu tetap menyala, lebih kuat dari sebelumnya. Lalu bagaimana? Kenapa hatinya justru terasa kacau saat pria itu tidak ada?

Lalu aroma samar menyelimuti bantal di sampingnya menarik perhatiannya. Ah, sepertinya perubahan itu mulai terjadi pagi tadi, sejak dia merasa terganggu dengan bau badan Taeyong. Aroma khas tubuhnya, campuran antara wewangian maskulin dan sedikit wangi khas dari tubuh pria itu masih terasa samar di sekitarnya, membekas di bantal dan selimut seperti hantu yang enggan pergi.

Dalam sekejap, rasa rindu yang aneh muncul merasuki perasaannya hingga membuatnya semakin terganggu. Dia mencoba menenangkan diri, tapi aroma yang melekat di kamarnya malah membuat hasrat itu semakin membakar di dalam dadanya.

Menyadari keanehan dalam dirinya, Jisoo mengerutkan kening, mencoba menepis pikiran-pikiran yang tidak seharusnya. Mengapa dia merindukan sesuatu yang justru membuatnya merasa terikat? Dia menggerutu pelan, memperingatkan dirinya sendiri agar tidak tenggelam dalam nostalgia tak berguna itu.

Tepat ketika dia berusaha memulihkan ketenangannya, pintu kamar terbuka, dan seorang pelayan hotel masuk dengan trolley makanan, membawa aroma menggoda dari hidangan yang masih hangat. Pelayan wanita itu berbeda dari orang sebelumnya yang rutin keluar-masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya ada pergantian, pikirnya sambil menatap pelayan itu, seorang wanita muda dengan seragam rapi yang bergerak penuh kehati-hatian, seolah takut mengganggu ketenangan di dalam ruangan mewah ini.

“Selamat siang, Nona. Saya membawakan makan siang Anda,” ujar pelayan itu sopan sambil meletakkan piring-piring dengan teratur di atas meja makan di sudut kamar.

Setidaknya dia lebih sopan daripada pelayan sebelumnya, pikirnya lagi.

“Ke mana Tuan Han?” tanya Jisoo tiba-tiba, tanpa bisa menahan rasa penasaran yang muncul di dalam dirinya. Dia sendiri cukup terkejut mendengar nada suaranya yang terdengar seperti merindukan ketiadaan seseorang di dekatnya, lalu buru-buru menyamarkan ekspresinya agar tak terlihat oleh si pelayan ini.

Pelayan itu menoleh, tersenyum singkat. “Tuan Han sudah meninggalkan hotel sekitar tiga jam yang lalu, Nona,” jawabnya dengan tenang. “Beliau meninggalkan pesan untuk Anda. Beliau akan kembali malam nanti, mungkin sekitar tengah malam karena ada perjamuan yang harus dihadirinya.”

Ah, ternyata dia meninggalkan pesan lewat orangnya, gumamnya mencoba memahami situasinya.

Jisoo  menelan ludah, mencoba mencerna informasi tersebut. Dia pergi tanpa membangunkannya? Aneh sekali. Pria itu biasanya suka mengganggunya, mengingatkannya akan otoritas dan kendalinya, tapi kali ini, dia pergi begitu saja. Dalam hatinya, ada sedikit rasa kecewa yang enggan diakui.

“Perjamuan, ya,” gumamnya, “hmm, mungkin berhubungan dengan rencana pernikahannya.”

Lantas kenapa? Pernikahan itu bukan urusannya. Dia segera menepisnya, merasa bodoh telah memikirkan hal tersebut. Taeyong bukan urusannya, bukan bagian dari hidupnya, bukan seseorang yang layak dia rindukan. Tapi entah kenapa, aroma tubuhnya yang hangat dan khas masih membayangi, menggoda keinginan yang mulai membuatnya resah.

Di satu sisi, si pelayan hotel mulai sibuk menata piring-piring dan mengatur makan siangnya di atas meja. Jisoo memperhatikan wanita itu dengan seksama, matanya menyipit saat sebuah ide berkelebat di pikirannya. Kenapa dia tidak mencoba melarikan diri sekarang? Mumpung Taeyong tidak ada, ini bisa jadi kesempatan emas untuk mengambil langkah pertama menuju kebebasannya.

Dengan gerakan perlahan, Jisoo bangkit dari tempat tidur seketika merasakan setiap ototnya bergetar dengan rasa sakit luar biasa. Semua ini gara-gara Taeyong! Dia benar-benar membuatnya tidak punya pilihan, selain menerima penderitaannya. Kurang ajar, tapi mau bagaimanapun semalam dia yang membiarkannya melakukan apa yang pria itu mau. Maka beginilah akhirnya.

Dia mencoba menahan desakan sakit di tubuhnya. Setiap langkah terasa seperti mengingatkan tubuhnya akan rasa lelah yang mendalam, tetapi tekadnya sudah bulat. Jisoo melangkah pelan-pelan menuju sudut ruangan, tempat ia menyembunyikan ramuan tidur buatannya di balik meja kecil. Dia menggenggam botol kecil itu dengan hati-hati dan mengintip ke arah pelayan yang masih sibuk menata piring-piring makan siang.

“Aku bisa melakukannya,” bisiknya pelan sambil menenangkan dirinya.

Dengan napas tertahan, Jisoo perlahan mendekat ke arah pelayan sambil menyusun rencana, bagaimana caranya memberikan ramuan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia berdiri di belakang wanita muda itu, memikirkan bagaimana cara yang paling tepat. Pelayan itu sedang sibuk menuangkan minuman dari teko ke gelas kristal tanpa menyadari kehadiran Jisoo yang begitu dekat.

“Tunggu sebentar,” ujar Jisoo dengan suara yang dibuat lembut dan setenang mungkin, membuat pelayan itu menoleh dan sedikit terkejut.

“Nona?” Pelayan itu mengangkat alisnya, bingung.

Jisoo tersenyum manis, seolah-olah tidak ada niat tersembunyi di balik raut wajahnya. “Oh, tadi malam saya merasa sedikit tidak enak badan,” ujarnya berusaha terdengar polos, tapi dia tidak sepenuhnya berbohong. Semalam dia memang tidak enak badan, ditambah rasa sakit hari ini juga—Taeyong mengubah rasa sakitnya menjadi tiga kali lipat. “Ada minuman khusus yang saya buat sendiri. Bisakah kau mencampurkannya di sini? Rasanya akan lebih enak kalau dihidangkan hangat.”

Pelayan itu mengangguk tanpa curiga, menerima botol kecil dari tangan Jisoo. “Tentu, Nona. Apakah saya perlu menyiapkan air hangat?”

“Tidak, cukup tuangkan saja secukupnya ke dalam teh di gelas itu,” jawabnya, matanya tetap tenang sementara hatinya terus berdebar tak karuan. Pelayan itu membuka botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas, tidak sadar bahwa cairan yang dituangkannya adalah ramuan tidur yang kuat.

Jika itu pelayan biasa yang melayaninya, dia pasti akan menatapnya dengan tatapan curiga dan tidak akan mau menuruti perintahnya sebelum mengetahui maksud tersembunyinya. Jisoo memperhatikan dengan saksama, berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu tegang. Begitu pelayan itu menghirup aroam teh yang telah dicampur ramuan, Jisoo hanya tinggal menunggu waktu.

Di sampingnya, Jisoo diam-diam menutupi kedua lubang hidungnya dengan sebuah gumpalan kain, menghindari aroma ramuan yang bisa berefek pada orang-orang di sekitar hanya dengan mencium aromanya saja. Ramuan itu cukup efektif tanpa perlu memaksa seseorang untuk menelannya.

Tak lama pelayan tersebut menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Matanya mengerjap beberapa kali, wanita muda itu berusaha melawan kantuk yang tiba-tiba menyerang. “Maaf, Nona ... saya merasa ... sedikit lelah,” ucapnya dengan nada yang mulai terdengar lesu.

“Tidak apa-apa,” jawab Jisoo dengan tenang meskipun hatinya berdebar keras. “Mungkin kau bisa beristirahat sebentar,” lanjutnya, memberi pelayan itu izin untuk menyerah pada kantuk yang mulai membebaninya.

Pelayan itu akhirnya duduk di kursi, matanya perlahan tertutup, dan hanya dalam hitungan detik, dia tertidur dengan napas yang tenang.

Jisoo menghela napas pelan saat melihat pelayan yang sudah terlelap di kursi dengan napas yang teratur. Ini baru permulaan, pikirnya. Langkah berikutnya lebih sulit—dia harus membuat kedua penjaga di luar pintu ikut tertidur agar jalan keluarnya benar-benar terbuka.

Dia berdiri sejenak, merenung sambil mengatur posisi si pelayan agar tampak nyaman di sofa. Sesekali, dia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada suara atau tanda-tanda bahwa penjaga mencurigainya. Pikirannya berputar cepat saat mencari ide yang cukup berani dan efektif.

Setelah berpikir keras, sebuah rencana terlintas di benaknya. Matanya berbinar, lalu tanpa membuang waktu, dia meraih botol kecil berisi ramuan obat tidur yang masih tersisa kemudian mulai menyebarkan aroma ramuan tersebut ke seluruh kamar. Uap samar-samar yang menguar dari cairan tersebut memenuhi udara dalam waktu singkat. Jisoo menutup hidung dan mulutnya dengan kain, memastikan dia tidak terpengaruh oleh ramuan tidurnya sendiri.

Ketika ruangan sudah cukup dipenuhi aroma yang samar namun mematikan kantuk itu, Jisoo menarik napas dalam kini mempersiapkan dirinya untuk berakting. Dia menyiapkan suara, lalu berteriak sekuat tenaga, nada suaranya tinggi dan panik. “Tolong! Tolong! Ada yang tidak beres di sini!” Teriakannya menggema, memenuhi kamar dan menyusup ke luar pintu dengan keras. Teriakan yang penuh ketakutan dan kepanikan itu cukup menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya.

Tak butuh waktu lama, terdengar suara langkah kaki terburu-buru dari luar. Dua penjaga bergegas masuk, wajah mereka penuh kebingungan dan kewaspadaan. Begitu mereka membuka pintu, mereka langsung mendapati Jisoo yang tampak gemetar, wajahnya sengaja dibuat pucat dan panik. “Tolong! Aku tidak tahu apa yang terjadi ... dia ... dia tiba-tiba pingsan!” serunya seraya menunjuk ke arah pelayan yang terbaring di sofa, sambil berusaha menahan senyuman yang nyaris muncul di wajahnya.

Kedua penjaga itu saling berpandangan sebelum melangkah lebih dekat ke pelayan yang tak sadarkan diri di sofa. Tanpa memikirkan apa pun, mereka mendekati pelayan itu dengan raut wajah penuh kewaspadaan, memperhatikan apakah ada sesuatu yang tidak biasa.

Jisoo mengambil kesempatan ini, perlahan bergerak mundur menuju pintu. Saat kedua penjaga itu semakin sibuk memeriksa si pelayan, dia meraih pegangan pintu dan segera menyelinap keluar dengan hati-hati. Begitu berada di luar, dia langsung menutup pintu dengan cepat dan tenang, lalu memutar kunci dari luar dengan cekatan.

Begitu pintu terkunci, terdengar suara teriakan kaget dari dalam kamar. Para penjaga mencoba membuka pintu, tetapi Jisoo hanya tertawa kecil, menikmati keberhasilannya. Akhirnya, dia bebas, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, dia merasa udara segar kebebasan menghampirinya.

Kedua penjaga itu mungkin tak menyadari persiapan matanganya untuk melarikan diri sehingga mereka tidak mencurigainya saat berteriak meminta bantuan. Bahkan, mereka tidak memperhatikan dirinya yang memakai penutup hidung dan mulut. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda perlawanan, mereka tidak pernah mengira bahwa dia akan mencoba melarikan diri. Mereka sudah terbiasa dengan sikapnya yang menurut dan tenang. Mungkin itulah yang membuat mereka lengah.

Tak mau menyia-yiakan waktu sedikitpun, Jisoo bergerak cepat menyusuri koridor. Jantungnya berdebar kencang dan setiap langkah yang diambilnya terasa ringan, penuh harapan untuk kehidupan yang lebih baik di luar. Dalam hati, dia masih tak percaya bahwa dia berhasil meloloskan diri dengan begitu mudah, tapi ini hanya permulaan.

Dengan semangat yang membara, Jisoo mempercepat langkahnya menuju jalan kebebasannya dan siap menghadapi apa pun yang menantinya di luar.

Double update, nih. Mulai besok dan beberapa hari ke depan libur update dulu. Kalau efeknya sebentar, updatenya bakalan cepet. Kalau lama ya, liburnya lama 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top