Chapter XXXVII: Her planning 2.0
“Cobalah, Jisoo. Cobalah untuk bebas dariku,” bisiknya seraya melangkah mundur, memberikan ruang baginya. “Kita lihat saja siapa yang bertahan lebih lama.”
Jisoo menatap Taeyong dengan pandangan yang penuh kebingungan dan rasa tidak percaya. Ucapannya barusan seakan memberikan tantangan yang serius, tetapi ada sesuatu yang samar di balik tatapannya—campuran antara ejekan dan kesungguhan yang membuat dadanya berdegup lebih kencang.
Dalam diam, Jisoo menarik napas dalam-dalam. Selama ini kata-kata untuk membebaskan diri dari Taeyong hanya ada dalam pikirannya, semua rencana yang ada di kepalanya belum sepenuhnya dicoba, lalu kini, pria itu sendiri yang memintanya mencoba.
Bagaimanapun dia tidak akan termakan oleh jebakannya satu ini. Taeyong mungkin sedang meremehkannya, tapi suatu saat dia akan melarikan diri dan ketika hal itu terjadi, dia akan bersembunyi selamanya darinya dan bersumpah tidak akan pernah mau bertemu dengan seseorang seperti Taeyong lagi.
Taeyong yang semula berdiri dengan postur tenang kini melepaskan pandangannya dari Jisoo. Dia melangkah mendekati kolam lalu tiba-tiba tanpa berkata apa pun, pria itu melepaskan satu per satu kancing pakaiannya dengan gerakan santai, seakan-akan tidak ada orang di sekitarnya. Pakaian yang tadinya melekat di tubuhnya jatuh satu per satu, sebelum akhirnya turun ke dalam kolam air hangat. Permukaan air bergelombang halus menyambut kehadirannya, uap tipis naik ke udara dan menciptakan suasana yang terasa intim dan surreal.
Jisoo terperangah, seluruh wajahnya memerah saat menyaksikan pemandangan yang tidak pernah dia bayangkan. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya terasa kaku seketika, dan terpaku di tempat.
Apa-apaan maksudnya ini? Tidakkah dia lupa apa yang barusan mereka lakukan tadi? Perdebatan sengit mereka belum sepenuhnya selesai, lalu tiba-tiba dia berbalik, mengabaikannya, membuka pakaiannya tanpa ragu, dan langsung masuk ke dalam kolam seakan perdebatan itu tak pernah terjadi.
Astaga, pria ini benar-benar semakin tak waras dan Jisoo semakin tak mengerti dengan jalan pikirannya. Wajah Jisoo makin memerah, antara kaget dan bingung dengan sikapnya yang tak terduga.
Sementara itu, Taeyong menyandarkan tubuhnya ke tepi kolam dengan postru sangai, senyum tipis menghiasi wajahnya saat melihat ekspresi terkejut Jisoo yang masih berdiri kaku di tepi kolam. “Kenapa kau hanya berdiri saja di sana? Kemarilah,” ucapnya sembari mengulurkan tangan ke arahnya, isyarat yang tak bisa disalahartikan.
Jisoo langsung mendelik, menatap pria itu dengan ekspresi yang menunjukkan jelas ketidakpercayaannya. “Apa maksudmu? Kenapa aku harus ikut turun ke sana?” protesnya, mencoba mempertahankan kendali atas dirinya di tengah situasi yang mendadak berubah.
Dia tersenyum, senyumnya penuh dengan kegemasan yang membuat darah Jisoo semakin mendidih. “Untuk berenang, tentu saja. Apalagi?” jawabnya dengan nada bercanda, seakan-akan ajakannya adalah hal paling wajar di dunia.
Wajah Jisoo semakin memerah. Dia segera memalingkan pandangan dari tubuh telanjang Taeyong yang setengahnya bersembunyi di dalam kolam. “Lucu sekali, bukan?” desisnya dengan sinis sembari menahan diri agar tidak terpengaruh olehnya. “Beberapa detik lalu kita berdebat dan sekarang kau mengajakku berenang? Apa kau sudah kehilangan akal?”
Taeyong mengangkat bahu dengan tenang sembari menatapnya tanpa rasa bersalah. “Bukankah itu yang biasa dilakukan pasangan kekasih?” katanya dengan mata yang berbinar penuh kenakalan.
Jisoo mendengus tajam, wajahnya kini benar-benar memerah karena marah, bukan lagi malu. “Aku bukan kekasihmu!” serunya, suaranya penuh ketegasan yang mencoba memecah kebingungan di dalam dirinya. Pria ini benar-benar punya keberanian yang tak tertandingi untuk terus-menerus mengklaim sesuatu yang tak pernah dia setujui.
“Kau tidak perlu mengakui apa pun. Faktanya, kita sudah sering tidur bersama. Itu saja cukup untuk membuatku yakin akan hubungan ini.” Ucapannya begitu percaya diri, seolah-olah apa yang baru saja dia katakan adalah kebenaran mutlak yang tak bisa dibantah. “Dan aku menyukaimu. Kurasa itu cukup untuk menjadikanmu sebagai kekasihku.”
Kata-katanya membuat Jisoo terdiam sesaat, mulutnya terbuka ingin membantah, tapi urung dilakukan. Ucapan Taeyong terdengar begitu yakin dan penuh percaya diri hingga membuatnya kehabisan argumen. Dia tahu caranya mempermaikan seorang wanita hanya dengan melalui kata-katanya itu. Beruntungnya, Jisoo bukan sembarangan wanita yang tidak akan mudah terayu oleh tipu muslihatnya.
Merasa tak ingin terjebak lebih jauh dalam permainan kata-katanya, Jisoo akhirnya mendengus dan melotot kesal. “Omong kosong!” balasnya dengan dingin dan kesal, sebelum memalingkan wajah, dan memutuskan untuk tidak menanggapi provokasi Taeyong lebih jauh.
Melihat Jisoo yang mengabaikannya, Taeyong tersenyum tipis bagaikan seekor kucing besar yang menikmati kemenangan kecilnya. “Kau bisa menolak sekeras apa pun yang kau mau,” ujarnya dengan lembut yang terasa seperti racun halus. “Tapi kau dan aku saling tahu, Jisoo. Aku akan selalu ada di pikiranmu.”
Jisoo mengepalkan tangan, giginya bergemeletuk menahan rasa frustrasi yang kian mendidih. “Ya Tuhan! Kau terlalu percaya diri sekali,” gumamnya pelan, setengah untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia tahu bahwa ada sedikit kebenaran dalam ucapan Taeyong barusan.
Pikiran Jisoo memang dipenuhi oleh bayang-bayang Taeyong, tetapi itu bukan karena dia telah ditundukan, apalagi menyukainya. Semua itu terjadi karena pria ini terus menghantui hari-harinya dengan tindakan yang sulit diterima akal. Mana mungkin ada perempuan yang tidak memikirkan pria obsesif yang telah menculik dan menahannya tanpa memberinya kebebasan sedikit pun? Dia memikirkannya hanya untuk satu alasan, mencari cara untuk melarikan diri dan jika mungkin, menghentikan Taeyong untuk selamanya.
Taeyong menutup mata tanpa menjawabnya, menikmati kehangatan kolam seolah-olah Jisoo tidak lagi berada di sana. Sementara Jisoo di sisi lain, mencoba untuk menenangkan hati yang masih bergejolak antara marah dan bingung.
Setelah hening selama seperkian detik, pria itu akhirnya membuka mata lagi dan langsung menarik pandangan ke Jisoo yang masih berdiri di sisi kolam. “Kau hanya ingin berdebat tanpa akhir, ya?” ucap Taeyong dengan mata yang tak pernah lepas dari Jisoo barang sedetik pun. “Padahal airnya sangat nyaman dan aku yakin kau lelah setelah sepanjang hari berada di kamar.”
“Aku tidak membutuhkan perhatianmu atau kolam hangat ini,” balasnya tak acuh.
Taeyong tertawa pelan, cukup untuk meretakkan ketenangan yang masih Jisoo pertahankan dengan sisa egonya. Sambil menyandarkan punggung ke dinding kolam, dia kembali mengulurkan tangan ke arah Jisoo, seolah berharap kali ini gadis itu mau menerimanya.
“Kau berani menantangku di satu detik dan mencoba lari di detik berikutnya. Sungguh menarik,” ujarnya sambil menyeringai.
Wajah Jisoo merona dalam perpaduan antara amarah dan rasa malu yang tertahankan. Dia mencoba memalingkan muka, tapi mata Taeyong yang tak beranjak membuatnya sulit mengabaikannya.
“Kalau kau terus berdiri di sana dengan wajah marah seperti itu,” lanjutnya dengan suara rendah, “orang akan mengira kau merindukanku.”
Siapa? Di mana orang-orang itu? Tak ada siapa pun di ruangan ini, selain mereka berdua. Mungkin saja orang-orang itu benar-benar ada—Jisoo yakin mereka pasti berada di balik pintu besar itu saat ini.
Melihat Jisoo yang masih berusaha keras menahan diri, Taeyong memiringkan kepala. “Kau tahu, Jisoo, semakin kau menolakku, semakin aku ingin membuatmu bertahan di sini.” Taeyong semakin mengangkat tangannya dari air, menunjukkan jari yang basah sambil menantangnya dengan sorot mata penuh percaya diri. “Kemarilah. Jika tidak untukku, maka untuk dirimu sendiri. Kau terlihat lelah.”
Jisoo menelan ludah, merasakan gelombang panas yang merayap di wajahnya. “Tidak ada yang ingin lebih kulakukan selain keluar dari tempat ini,” gumamnya, tapi tanpa sadar, dia mendapati dirinya terdiam sejenak, mempertimbangkan ajakan pria ini.
Seketika sebuah suara dalam benaknya berbisik keras, mengingatkan akan tujuannya untuk melarikan diri, bahkan kalau bisa membunuh pria itu. “Tidak. Pokoknya tidak boleh! Aku tidak boleh terjebak dalam omong kosongnya,” batinnya meskipun hatinya tahu, di hadapan pria ini, semua alasan selalu saja goyah.
“Berhentilah berpikir keras,” ujar Taeyong lembut ketika melihat kebimbangan di mata Jisoo. “Sekali-kali, cobalah untuk menikmati ketenangan.”
Namun, gadis itu tetap bergeming, tak kunjung menerima uluran tangannya. Pria di dalam kolam menarik napas dalam, sebelum tiba-tiba dia beranjak berdiri dari air. Melihat hal itu, Jisoo seketika membeku di tepi kolam, jantungnya berdebar kencang saat melihat Taeyong kini berdiri tegak dengan tubuh basah kuyup, sementara air mengalir di sepanjang kulitnya yang berkilauan dalam cahaya lilin di sekitar kolam. Kepanikan mulai merayap ketika dia melihat pria itu perlahan melangkah naik ke permukaan.
“Kenapa kau berdiri?!” Seketika Jisoo berteriak panik. “T-Turunkan tubuhmu ke dalam air!” Dia kemudian memalingkan muka, tak berani menatapnya terlalu lama.
Alih-alih menurut, Taeyong justru terkekeh ringan dengan mata menelusuri wajah Jisoo yang merah padam, menikmati rasa malu yang menyelubungi gadis itu. “Kenapa harus malu? Kau sudah sering melihat ini sebelumnya, bukan?” godanya dengan nada main-main.
Jisoo merasa pipinya semakin panas. Kata-kata itu menelusup tajam ke dalam pikirannya, membangkitkan kenangan yang ingin dia lupakan. “Berhentilah bicara hal-hal tidak berguna!” jawabnya cepat, berharap bisa menutupi kegugupannya.
Taeyong tetap tak mengalihkan pandangan, bahkan kini kedua tangannya bersedekap, menatapnya dengan tatapan penuh tuntutan. “Baiklah, kalau begitu, aku akan menghitung sampai hitungan ketiga. Jika kau tidak turun, aku sendiri yang akan menarikmu ke sini."
“Jangan macam—” Jisoo mencoba membalas, tapi kalimatnya terputus oleh tatapan intens Taeyong yang tidak memberikan ruang untuk protes.
“Sikap keras kepalamu yang membuatku harus bertindak tegas,” sahutnya tetap dalam nada tenang, lalu dia mulai menghitung dengan mata yang tak pernah lepas dari Jisoo. “Satu ....”
Jisoo menatap ke permukaan air kolam renang yang memantulkan cahaya lembut dari lilin-lilin sekitar. Pikirannya bergejolak, hatinya bingung antara ketakutan dan rasa penasaran yang sulit dijelaskan. Dia tahu betul bahwa menerima ajakan Taeyong berarti membiarkan dirinya terjebak lagi dalam permainan yang dikuasai sepenuhnya oleh pria itu. Namun, di sisi lain, dorongan untuk menolak dan pergi terasa sia-sia. Tatapan tajam Taeyong, seolah-olah membacanya hingga ke dasar hatinya dan terus menyudutkannya.
“... dua .…” Suara pria iry terdengar semakin dekat dan lebih dingin, penuh ketegasan yang memaksanya untuk segera mengambil keputusan. “Kesabaranku menipis, kau tahu itu?”
Jisoo menggigit bibirnya lebih keras, menimbang segala risiko. Tubuhnya terasa gemetar, tapi bukan karena dingin melainkan karena terus didesak untuk membuat pilihan. Jika dia tetap menolak, Taeyong pasti tidak akan segan-segan untuk menariknya ke dalam kolam.
Akhirnya dengan perasaan yang campur aduk, Jisoo menghela napas panjang, menurunkan kedua bahunya sebagai tanda pasrah. “Baiklah, aku akan turun,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar, dipenuhi keengganan dan ketegangan.
Taeyong tersenyum, senyum yang menunjukkan kepuasaannya. “Bagus. Setidaknya, kali ini kau tahu batasnya.” Pria itu kemudian memberi sedikit ruang, tangannya bergerak ke sisinya, memberikan jalan agar Jisoo bisa turun ke dalam air.
Dengan langkah hati-hati, Jisoo mendekat ke pinggiran kolam sementara jantungnya berdegup semakin kencang. Perlahan-lahan dia melangkah masuk ke dalam kolam, sensasi hangat seketika menjalari kulitnya, tetapi kehangatan air itu tak mampu menandingi panas yang menjalari tubuhnya di bawah tatapan intens Taeyong. Tatapan pria itu terus mengawasinya dari jarak dekat, membuat darahnya berdesir tak menentu. Namun, ketika akhirnya tubuhnya sepenuhnya tenggelam dalam air, Jisoo merasakan ketenangan sejenak meskipun tahu itu hanyalah sebuah ilusi.
Saat tubuhnya mulai menyatu dengan air, Taeyong melangkah lebih dekat, mempersempit jarak di antara mereka. Dengan gerakan yang terasa lebih lembut, dia mengulurkan tangan ke arah Jisoo, sentuhannya kali ini berbeda, seolah memberinya ruang untuk menerima atau menolak kehadirannya.
“Lihat? Tidak sulit, bukan?”
Jisoo menatapnya dengan pandangan penuh waspada, berusaha menjaga jarak meski tahu itu takkan bertahan lama. “Aku di sini bukan karena aku mau. Kau yang memaksaku!”
“Entah kenapa, aku merasa sebaliknya,” ucapnya dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu dan godaan. “Kau hanya butuh dorongan kecil.”
Jisoo langsung memalingkan muka, mencoba menghindari tatapan itu. Tapi Taeyong justru menempatkan jarinya di dagunya, memaksanya untuk kembali menatapnya.
“Apalagi sekarang?” tanyanya sambil menahan suaranya agar tetap tenang. “Apa ini cukup bagimu? Aku sudah di sini.”
Taeyong hanya mengangguk, matanya mengamati setiap ekspresi yang tersirat di wajah Jisoo, tengah menikmati kepasrahannya. “Kau tahu jawabannya,” jawabnya samar, sementara tangannya perlahan bergerak mendekat ke pinggang Jisoo, menahan tubuhnya agar tak bisa menjauh.
Dia tahu kalau hal ini tidak akan pernah berjalan semudah pemikirannya. Jisoo hanya bisa mendesah dalam hati, menyadari bahwa begitu berada di dalam kolam ini, dia sekali lagi berada dalam kendali penuh Taeyong.
Tepat saat dia memikirkan hal itu, Taeyong tahu-tahu sudah menggiringnya menuju tepi kolam. Gemericik air kolam terdengar samar di telinga Jisoo, berpadu dengan detak jantungnya yang berdebar pelan. Tak ada protes yang keluar dari bibirnya saat Taeyong duduk tepat di belakangnya, mendekap pinggangnya yang ramping dibalut gaun tidurnya yang kini basah. Tangan Taeyong yang hangat melingkari pinggangnya dengan lembut, membawanya ke dalam kehangatan yang entah mengapa selalu membuatnya merasa terperangkap.
Sinar lilin di sekitar kolam memantul ke permukaan kolam, menciptakan riak-riak lembut yang membuat suasana semakin intim dan mendalam. Gaun tidur Jisoo yang basah menyebar di permukaan air, menyelimuti mereka dalam kilauan cahaya yang berkilau seperti permata.
Taeyong kemudian menyelipkan wajahnya di ceruk leher Jisoo, menghirup aroma tubuhnya yang lembut. Setiap kecupan yang dia berikan di sana terasa lembut nan memabukkan, seakan menanamkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja. Jisoo terdiam, membiarkan dirinya larut dalam setiap sentuhan dan dekapan Taeyong yang begitu hangat. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan pria itu.
Gadis itu hanya terpejam merasakan kelembutan yang terasa begitu manis namun sekaligus menyesakkan. Ada lelah yang tak tertahankan, bukan hanya tentang fisik, tapi juga mental. Akhir-akhir ini dia selalu merasa letih, seperti kehilangan kekuatan untuk membantah atau mempertanyakan apa yang Taeyong lakukan. Entah karena memang dirinya sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran pria itu atau karena kini dia memang terlalu lelah bahkan untuk sekadar melawan.
Padahal, selama beberapa malam terakhir ini, dia tidak pernah melakukan hubungan intim bersama Taeyong semenjak pria itu pulang ke mansion kediaman Han. Biasanya setelah mereka melakukan itu, Jisoo akan kelelahan sepanjang hari. Tapi anehnya akhir-akhir ini dia jadi mudah kelelahan dan suka ketiduran, bahkan tanpa melakukan apa-apa.
Rasa lelah yang membebaninya ini bukan sekadar akibat dari kehadiran Taeyong. Ada sesuatu yang lain, sebuah ketidaknyamanan yang bersembunyi dalam keheningan dan menyeruak di sepanjang waktu. Rasa lelah ini bukan hanya tentang Taeyong; ada sesuatu yang lebih dalam dan sulit dimengerti olehnya.
Jisoo menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Dalam pelukan Taeyong yang erat, dia merasa terbagi antara kenyamanan yang diberikan pria itu dan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang terus menghantui dirinya. Tapi malam itu, di bawah cahaya bintang dan riak air kolam, dia memilih untuk mengesampingkan semua pikiran itu, setidaknya untuk sementara.
Ciuman Taeyong di lehernya semula membuat Jisoo nyaris tersesat dalam kehangatan yang memabukkan, tapi suara pria ini kemudian membuatnya tersadarkan kembali. “Kudengar akhir-akhir ini kau sering tertidur?” tanyanya di sela-sela kecupannya dengan suara lembut dan penuh perhatian.
Jisoo tersadarkan satu hal, ini pasti ulah para pegawai hotel yang melaporkan setiap kegiatannya pada Taeyong, termasuk saat-saat dirinya tak sengaja tertidur di mana pun dan dalam situasi tak tentu. Meskipun Taeyong berada di tempat lain, dia tetap seperti bayangan yang selalu mengawasinya dari kejauhan. Tapi tetap saja, dia tak ingin mengakui hal tersebut apalagi menunjukkan kelemahannya di depan pria ini.
“Apa urusanmu?” balasnya datar seraya memalingkan wajah agar tak bertemu dengan tatapan matanya. “Mau aku sakit atau tidak, itu bukan urusanmu.”
Jawaban itu hanya membuat Taeyong semakin erat memeluknya dari belakang. Dengan cengkeraman yang lebih kuat, dia menahan tubuh Jisoo seolah tak ingin gadis itu pergi, membuat Jisoo merasa terperangkap di antara dekapan dan hasratnya yang tak bisa dijelaskan.
“Kenapa kau begitu keras kepala?” tanya Taeyong, suara beratnya bergetar di telinganya. Kedua lengannya makin mengeratkan, membuat Jisoo terperangah dan panik. Dia bahkan sempat berteriak saat dekapan itu terasa makin mengekangnya.
“Lepaskan aku!” desisnya lemah namun berusaha keras terdengar tegas. Namun, Taeyong seperti biasa tak menggubris permintaannya.
“Jika hal buruk terjadi padamu, itu akan membuatku sakit,” lanjut pria itu, kali ini suaranya terdengar tulus tanpa dibuat-buat. Ketulusannya menusuk, membuat dada Jisoo terasa sesak dan perasaannya bergelut antara kenyamanan dan kebencian yang terpendam.
Tidak, dia tidak boleh terhasut oleh tipu muslihatnya. Dan ingatlah, orang ini bukanlah sosok pria baik. Dia hanyalah pria licik berbahaya yang terobsesi padamu!
Jisoo menghela napas, menenangkan diri dari gejolak yang Taeyong ciptakan. “Kau adalah hal buruk yang terjadi dalam hidupku,” ujarnya dengan suara penuh tekad sembari melirik Taeyong yang kepalanya kini bersandar di bahunya.
Jeda panjang itu seperti menggantung di udara. Taeyong menatap Jisoo dalam-dalam, mencoba menangkap setiap kata yang baru saja keluar dari bibir gadis itu.
“Jadi, apakah hal itu juga menyakitimu?” lanjut Jisoo, menekankan setiap kata-katanya supaya membuatnya tersadarkan bahwa semua perlakuannya terhadapnya telah menyakitinya. Pertanyaannya terkesan tajam namun juga getir, seperti sedang menantang Taeyong apakah perasaannya sesakit apa yang selama ini dia alami.
Jisoo menatap ke arah kolam yang tenang, membiarkan dirinya sejenak terlarut dalam pantulan bayangannya di air. Keheningan menggantung di antara mereka, sementara Taeyong masih mendekapnya erat dari belakang.
Setelah diam untuk sesaat, Taeyong akhirnya tersenyum kecil usai mendengar ucapan Jisoo yang tajam dan sinis. “Mungkin benar,” jawabnya pelan. “Aku adalah hal terburuk yang pernah terjadi padamu ... tapi juga yang terbaik.” Ada nada lembut yang tak biasa dalam suaranya dan itu membuat Jisoo sedikit terganggu, merasa bahwa segala ucapannya mungkin tak sepenuhnya jujur.
Sementara itu, rasa lelah semakin menyerang tubuh Jisoo. Gaun tidurnya yang basah menyerap air kolam sehingga menambah beban di tubuhnya. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tetap waspada, tetapi lelahnya tak bisa lagi dia pungkiri. “Kenapa kau tak membiarkanku pergi?” bisiknya lemah, hampir seperti pertanyaan pada dirinya sendiri daripada kepada Taeyong.
Taeyong tertawa kecil, merapatkan pelukannya sekali lagi dan menyandarkan dagunya di bahu Jisoo. “Karena kau sudah menjadi bagianku, Jisoo. Kau sudah terlalu dalam dan aku tidak berniat melepaskanmu.” Bisikannya terasa mengancam sekaligus juga menenangkan, membuat Jisoo semakin bingung dengan perasaannya sendiri. Sekuat tenaga dia menolak keintiman ini, tapi tubuhnya mulai lelah berontak.
“Coba saja kau lepaskan aku sekali ini,” ucapnya mencoba bernegosiasi meskipun tahu itu percuma. “Aku tidak akan pergi, setidaknya bukan sekarang,” lanjutnya, berharap ada celah untuk mengendurkan kendali Taeyong padanya biarpun hanya sejenak.
Taeyong tidak menjawab, hanya tersenyum samar dan kembali mencium lembut ceruk leher Jisoo. Jisoo mendesah dalam hati, menyadari bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah keadaan.
“Terserah kau saja, Taeyong,” gumamnya akhirnya, pasrah. “Lakukan apa yang kau mau. Aku sudah tak punya tenaga untuk berdebat denganmu.”
“Kau yakin memberiku izin melakukan apa saja yang kumau?” tanyanya, suaranya rendah namun mengandung ancaman halus yang membuat Jisoo bergidik. “Karena begitu kau mengizinkan, aku tidak akan berhenti ... bahkan jika kau memohon.”
Jisoo mendengus, setengah jengkel namun tak mampu menutupi rasa pasrahnya. Rasanya seluruh energinya telah terkuras habis oleh ketegangan dan permainan tarik ulur yang terus-menerus dilakukan Taeyong. “Kapan kau pernah mendengarkan permintaanku untuk berhenti?” tanyanya lemah, suaranya mengandung kelelahan yang begitu nyata.
“Kau menantangku, Nona Baek,” ucapnya dengan nada menggoda yang membuat detak jantung Jisoo seakan berhenti sesaat. “Dan percayalah, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau tidak bisa berjalan besok.”
Ancaman halus itu membuat bulu roma Jisoo bergidik, teringat kembali pada malam-malam sebelumnya saat tubuhnya terasa remuk, terutama di sekitar pinggang dan kakinya, seolah-olah seluruh tenaganya telah diserap habis oleh Taeyong. Namun, Jisoo tahu, sekalipun dia ingin melawan, kenyataannya dia tidak pernah benar-benar bisa mengelak dari genggaman pria ini.
“Apa aku punya pilihan untuk menolak?” tanyanya dengan suara getir yang mencoba untuk tetap tenang. “Sekalipun aku tidak mau, kau tetap akan melakukannya.”
Taeyong tertawa kecil sebelum menggelengkan kepala tak setuju. “Kau berpikir begitu? Buktinya, kau selalu menerima sentuhanku,” gumamnya penuh ironi. “Mari kita lihat, setiap kali aku menyentuhmu, kau tidak pernah benar-benar menolak.”
Dengan satu gerakan cepat, Taeyong mengangkat tubuh Jisoo dan membalikkan posisinya, menempatkannya di atas pangkuannya. Kejadian itu terlalu cepat hingga Jisoo tidak sempat bereaksi. Matanya membelalak, terkejut dengan gerakan tiba-tiba Taeyong yang membuatnya kini berada di pangkuannya, wajah mereka begitu dekat hingga Jisoo bisa merasakan hembusan napasnya. Belum sempat dia protes atau mengatakan apa pun, Taeyong sudah menangkup wajahnya dan langsung mencium bibirnya, menciptakan sebuah sentuhan lembut namun intens yang seolah ingin menyerap setiap keraguan yang masih tersisa di benak Jisoo.
Awalnya Jisoo hanya diam, tak berniat membalas. Namun, ciuman Taeyong yang penuh kehati-hatian itu, perlahan-lahan meluluhkan ketegangan di tubuhnya. Tangan yang semula mencoba menahan dorongan di dadanya akhirnya melemah, membiarkan diri terhanyut dalam setiap sentuhan yang penuh gairah namun juga terasa mendalam. Ada konflik di dalam dirinya, antara rasa pasrah yang mulai mendominasi dan bisikan-bisikan hatinya yang memintanya untuk menjauh.
Namun, Jisoo merasa sangat lelah. Lelah melawan, lelah berdebat, lelah membendung segala jenis perasaan yang sudah begitu lama bercampur aduk. Dalam dekapan Taeyong, dia hanya ingin melupakan sejenak semua kebingungan yang selama ini menguasai dirinya. Untuk beberapa saat, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan itu, meskipun dia tahu bahwa membiarkan diri terbuai hanya akan membuatnya terjebak lebih dalam.
Ciuman itu akhirnya terhenti, tapi Taeyong tetap menatap Jisoo, sorot matanya penuh intensitas yang sanggup menembus ke dalam hatinya. “Lihat, Jisoo. Kau bisa berkata tidak, tapi tubuhmu selalu mengatakan yang sebaliknya,” ucapnya sambil menyeka bibir Jisoo yang berdenyut akibat ciumannya dengan ibu jarinya.
Jisoo menatapnya dengan tatapan lelah namun tak mampu menyangkal. “Kau selalu tahu caranya menipu, Taeyong,” katanya pelan dengan nada campuran antara ketidakberdayaan dan sedikit kepedihan yang dia sembunyikan. “Tapi jangan salah mengira. Meski aku diam, bukan berarti aku sepenuhnya menyerah padamu.”
“Tidak masalah, mau kau menyerah atau tidak. Kau akan selalu menjadi milikku.” Lalu dia menciumnya lagi, melumat bibirnya dalam ciuman yang dalam dan lapar. Lidahnya menyapu mulutnya, merasakannya dalam-dalam saat tangannya menjelajahi tubuhnya, mengklaimnya sebagai miliknya.
Mau double update malah kelupaan, semalam ketiduran huhu 😖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top