Chapter XXXVI: Her planning

Jisoo merasa hidupnya bagaikan burung dalam sangkar emas, terperangkap di dalam kamar hotel mewah milik Taeyong. Interior ruangan dengan langit-langit tinggi berornamen, dinding berlapis wallpaper warna gading, serta perabotan kayu mahoni yang elegan, tak lagi terlihat istimewa di matanya. Semua kemewahan yang dulu sempat membuatnya terkesima, kini hanya menambah rasa terkekang yang mencekam hati.

Beberapa minggu sudah berlalu, sedangkan dia masih terjebak di dalam penjara mewah ini. Jisoo hanya diizinkan keluar saat Taeyong mengajaknya makan, entah itu makan siang atau makan malam bersama. Setiap kali momen makan bersama tiba, Taeyong akan menjemputnya di kamar lalu membawanya turun ke restoran hotel yang selalu dihiasi dengan lampu-lampu kristal berkilauan. Suasana restoran eksklusif, dipenuhi oleh para tamu berkelas yang saling berbisik-bisik dan menyuguhkan pandangan iri saat melihat Taeyong dan Jisoo yang tampak seperti pasangan sempurna di mata publik.

Dalam setiap pertemuan itu, Jisoo selalu mencari celah. Setiap kali mereka turun ke restauran, dia memandang segala detail yang mungkin membantunya melarikan diri. Mengamati pintu-pintu keluar seperti letak lift, tangga darurat, dan penjaga yang ditempatkan di area penting, bahkan pergerakan para staf hotel. Dia tak pernah berhenti berpikir keras untuk mencari celah, mencari momen yang tepat agar bisa kabur tanpa terdeteksi.

Tapi seolah-olah dapat membaca isi kepalanya, setiap kali dia berusaha menyusun rencana atau mencoba memanfaatkan kesempatan, pria itu akan segera menggagalkan niatnya dengan cara yang hampir tak terlihat. Senyumannya yang tenang dan tatapan mata tajam itu, bagaikan sebuah peringatan agar Jisoo tidak berbuat macam-macam.

“Apa yang kau lihat?” tanya Taeyong suatu malam saat Jisoo ketahuan memerhatikan tangga darurat di ujung koridor. Nada bicaranya ringan, tapi sudut matanya terus saja mengawasi setiap gerak-gerik Jisoo.

Jisoo mendesah dan berpura-pura tak acuh. “Hanya ingin tahu apa saja yang ada di hotelmu ini,” jawabnya dengan sinis, berharap sikapnya akan membuat Taeyong bosan. Namun, dia tahu betul bahwa Taeyong tidak akan mudah terkecoh.

Taeyong hanya tertawa kecil, lalu meraih tangan Jisoo, menggenggamnya erat seolah hendak menunjukkan kendalinya. “Kau tahu, tak ada gunanya melihat sekeliling seperti itu. Tak akan ada tempat di sini yang bisa kau gunakan untuk melarikan diri dariku,” katanya sambil menggiringnya berjalan menuju bangku mereka.

Dalam hati, Jisoo merasa semakin tertekan. Setiap kali dia merasa memiliki kesempatan, harapan itu dengan cepat diruntuhkan oleh Taeyong. Seakan-akan hotel ini dirancang bukan hanya untuk kenyamanan para tamu, tetapi juga untuk memastikan bahwa dia tidak bisa ke mana-mana.

Namun, beberapa hari terakhir ini berbeda. Kamar mewah hotel yang biasanya terasa sesak karena kehadiran Taeyong, kini justru terasa kosong dan hampa. Sudah beberapa hari berlalu tanpa bayangan pria itu muncul di ambang pintu, membuat suasana di sekitar kamar menjadi lebih tenang. Biarpun tetap diawasi oleh para staf hotel yang ditugaskan Taeyong, ketiadaannya telah memberi Jisoo sedikit ruang untuk berpikir.

Jisoo menduga alasan pria itu menghilang selama beberapa hari ini karena berhubungan dengan urusan yang lebih. Urusan mendesak yang memaksanya untuk pulang ke mansion kediaman keluarga. Dia hanya mengatakan akan pergi selama beberapa hari, lalu sebelum pergi, dia mengancamnya supaya tetap berdiam di dalam kamar atau hal-hal buruk akan terjadi padanya. Meskipun Taeyong tidak pernah mengungkapkan alasan sebenarnya pulang, Jisoo tahu hal itu berkaitan dengan pernikahannya.

Beberapa kali dalam sehari seorang pegawai hotel masuk membawa makanan atau membersihkan kamar. Setiap pegawai selalu datang dengan sapaan sopan, tapi obrolan mereka kadang tak dapat disembunyikan. Dari percakapan-percakapan itu, Jisoo menangkap detail-detail yang mulai mengarah pada spekulasi gosip di kalangan pegawai. Salah satu pegawai pernah berbisik, menyebut Taeyong sebentar lagi akan menikah dengan putri dari keluarga bangsawan di wilayah pesisir.

Pernikahan itu pernah dia baca dalam dokumen yang berkaitan dengan Taeyong Antoine Han yang diperolehnya dari guild informasi. Dia juga pernah mendengar langsung rencana pernikahan itu dari pria tersebut. Namun, pernikahan itu sama sekali tak ada hubungannya dengannya dan dia benar-benar tak peduli akan hal tersebut.

Daripada memikirkan pernikahan seorang pria yang dibenci, ada hal lain yang lebih menganggu benaknya sekarang.

Gosip-gosip yang beredar membuat Jisoo mulai berpikir bahwa para pegawai menganggapnya hanya sebagai “kekasih tersembunyi” atau lebih buruk lagi, “gundik rahasia” yang disimpan Taeyong di sini. Orang-orang itu hanya membicarakan hal-hal buruk saja, bahkan tak ada satupun dari mereka mencurigai bahwa mungkin saja dia gadis malang yang diculik dan ditahan oleh majikannya.

Beberapa dari mereka saling bertukar pandang penuh arti saat melayaninya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat bernada simpati yang seolah menyembunyikan ejekan. Semua itu membuat Jisoo muak, tapi dia memilih untuk tidak bereaksi. Dia hanya ingin keluar dari sini meski setiap kali mendengar kabar burung yang memalukan itu, amarahnya bergolak dalam hati. Namun di balik amarahnya, ada satu kesadaran: momen ini adalah kesempatan baginya.

Tanpa kehadiran Taeyong, dia bisa lebih leluasa memikirkan rencana pelarian yang selama ini tertahan. Tapi setiap kali rencananya mulai tersusun di dalam pikirannya, rasa ragu mulai menggerogoti keberaniannya. Seluruh pegawai di hotel ini berada di bawah kendali Taeyong. Apa pun rencananya, dia tahu ada risiko besar jika salah satu dari mereka melaporkannya kepada pria itu. Bahkan sekadar meminta bantuan untuk keluar bisa berakibat fatal.

Jisoo menarik napas panjang, menyandarkan kepalanya di tepi jendela yang dingin, membiarkan tatapannya menyapu pemandangan kota yang terpampang luas di bawah sana. Gemerlap lampu di luar hanya memperkuat kesendiriannya. Hatinya dipenuhi oleh rasa rindu pada kebebasan yang selama ini hilang darinya.

“Sampai kapan aku harus terjebak di tempat ini?” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang ditelan oleh kesunyian malam.

Setiap waktu dilaluinya dengan pikiran tak tenang. Setiap ide pelarian muncul sejenak, hanya untuk dibatalkan oleh ketakutannya sendiri. Dia meremas tangannya, sementara pikirannya berlari tanpa henti, mencari cara untuk meraih kebebasannya.

“Mungkin aku bisa mengirim surat untuk Ibu,” pikirnya sambil menggigit bibir. Tapi setiap kali bayangan wajah ibunya muncul, selalu disertai bayang-bayang yang lebih gelap. Saudara laki-laki kembarnya, Jun dan Jae.

Bagaimana jika surat itu jatuh ke tangan mereka? Jika mereka tahu dia hidup, bukankah mereka akan segera datang mencarinya? Terlalu berbahaya.

Jisoo menghela napas panjang, mendengar suara hatinya yang penuh kekhawatiran dan keraguan. “Kalau mereka tahu aku di sini, mereka pasti akan membunuhku. Tapi ibu pasti mencariku. Sudah berapa lama aku hilang darinya?” pikirnya merasakan dorongan untuk menghubungi sang ibu begitu kuat meskipun logikanya menahan.

Jika surat itu sampai pada ibunya, apakah itu akan membuatnya langsung datang tanpa persiapan? Dan kalau para pembunuhnya tahu dia masih hidup, mereka mungkin akan segera bergerak. Apa pun bisa terjadi dan itu adalah risiko yang terlalu besar. Apalagi dia tidak tahu siapa saja orang-orang terdekatnya yang berkerjasama dengan si kembar Jun dan Jae. Dia menyadari satu hal penting, bahwa si kembar tidak mungkin merencanakan ini hanya dengan mereka berdua saja. Pasti ada sosok lain di belakang mereka. Tapi siapa?

Satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian. Jisoo terus menimbang-nimbang, merasakan hatinya terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. “Tapi kalau aku tidak menghubungi ibu, aku benar-benar akan terjebak di sini selamanya. Ibu tidak akan pernah tahu aku masih hidup, bahkan dunia luar pun tidak tahu.”

Jisoo mendesah panjang. Rencana menghubungi ibunya terlalu berisiko. Si kembar, Jun dan Jae, adalah bayang-bayang kelam dari masa lalunya yang siap menghancurkan semua harapan jika mereka tahu dirinya masih hidup. Rencana itu pasti gagal, bahkan sebelum ibunya datang untuk menyelamatkannya.

Dia beranjak dari tempatnya berdiri, mulai berjalan mondar-mandir di kamar. Sekilas ide untuk mencari bantuan dari kakaknya, Junghoon, melintas. “Kalau saja aku bisa menghubunginya, mungkin dia masih bisa membantuku. Tapi di mana dia sekarang?”

Sudah lama Junghoon meninggalkan keluarga. Mereka terakhir bertemu dua tahun lalu, saat perayaan ulang tahun Jisoo yang ke-25. Sejak itu, dia tidak pernah pulang lagi. Kakaknya meninggalkan rumah karena ketidakcocokan dengan keluarga, tetapi selalu meluangkan waktu untuk adiknya. Setiap tahun, tanpa absen, Junghoon selalu datang untuk merayakan ulang tahunnya.

Jisoo tersenyum pahit, mengenang momen-momen singkat mereka. Sosok Junghoon adalah satu-satunya saudara laki-lakinya yang selalu bersikap lembut dan perhatian padanya, tidak seperti saudara laki-lakinya yang lain. “Jika Junghoon tahu aku di sini,” gumamnya, setengah berharap dan setengah ragu. Junghoon bukan hanya saudara laki-lakinya; dia adalah satu-satunya yang memahami posisinya, selalu berusaha menjaga dan mengerti tanpa menuntut apa pun.

Tiba-tiba sebuah kenangan muncul, mengingatkannya pada surat ulang tahun terakhir yang dikirim Junghoon satu tahun lalu. Dalam surat itu, Junghoon menuliskan sesuatu yang aneh, berbeda dari biasanya. “Jika kau membutuhkan bantuan, hubungilah aku melalui Guild Informasi dengan nama Arden Macallister,” begitu pesan terakhir dalam suratnya. Waktu itu, dia tidak terlalu memikirkannya, tetapi sekarang ... sekarang nama itu seperti cahaya di tengah gelap.

“Arden Macallister,” gumamnya, mengulang nama itu berulang kali, seakan takut terlupakan. “Aku harus menghubunginya. Kakak mungkin satu-satunya yang bisa menolongku.”

Namun, begitu antusiasme itu memuncak, kenyataan kembali menamparnya. “Tapi bagaimana aku bisa menghubungi kakak kalau aku terkurung di sini?” pikirnya frustasi. Tidak izin untuk keluar maka tidak ada pesan yang bisa dia kirimkan. Setiap gerak-geriknya diawasi oleh pegawai hotel yang setia pada Taeyong.

Jisoo mengepalkan tangannya erat, menahan perasaan marah dan putus asa yang semakin besar. “Apa aku akan terus terjebak di sini, tidak bisa mencari bantuan?” gumamnya sambil menatap jendela kamar yang terasa seperti jeruji besi yang mengurungnya.

Seandainya bisa keluar untuk beberapa saat saja, mungkin dia bisa menyelinap ke Guild Informasi dan menemukan cara untuk menyampaikan pesan kepada Junghoon. Tapi tanpa izin atau pengawalan ketat dari Taeyong, keluar dari kamar saja adalah sesuatu yang mustahil. Keberadaan penjaga dan petugas hotel yang terus mengawasi setiap gerakannya seperti membangun tembok tak kasatmata yang tinggi dan dingin di sekelilingnya.

“Tidak, aku harus memikirkan cara lain,” gumamnya, mengeraskan tekad. Beberapa hari terakhir, satu ide mulai melintas di kepalanya. Berbekal pengalaman ketika dulu membantu ibunya meracik obat-obatan sederhana, Jisoo terpikir untuk menciptakan ramuan tidur. Jika dia bisa membuat semua yang mengawasinya tertidur, mungkin itu akan memberinya waktu untuk melarikan diri.

“Tidak akan sulit, mereka pasti tidak curiga dengan bahan-bahan sederhana ini,” pikirnya sambil merenung, menyusun daftar bahan yang diperlukan. Semua bahan bisa dengan mudah ditemukan di sekitar—beberapa tanaman herbal yang biasa digunakan untuk pengobatan atau sekadar aroma terapi. Jisoo menulis daftar bahan itu di secarik kertas, lalu memanggil pelayan lewat penjaga pintu kamarnya.

Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita masuk, wanita yang biasa mengantarkan makanan sekaligus yang suka membicarakannya di belakang. Namun, kali ini Jisoo tak peduli pada cemoohan terselubung di matanya. Dia menyodorkan daftar itu dengan wajah tenang sebelum mengatakan, “Aku membutuhkan ini untuk kesehatanku. Hanya beberapa bahan herbal untuk membantu meredakan lelahku.”

Si pelayan memandang daftar itu dengan ragu, lalu menatap Jisoo, seolah mempertanyakan niat sebenarnya. “Anda yakin ini hanya untuk kesehatan?” tanyanya dengan nada mencurigakan.

Jisoo mengangguk tegas, mencoba meyakinkan. “Bahan-bahan ini tidak berbahaya. Kau bisa bertanya pada ahli herbal atau apoteker di kota ini kalau kau mau. Aku hanya butuh ini agar tubuhku bisa beristirahat dengan tenang,” ucapnya dengan suara sehalus mungkin, mencoba menyembunyikan kegugupan.

Sebetulnya dia tidak pernah berbohong tentang kondisi tubuhnya. Akhir-akhir ini, tubuhnya sering terasa lemah, napasnya mudah tersengal hanya dengan sedikit aktivitas, dan punggungnya terasa pegal bahkan saat dia duduk. Rasa lelah itu begitu mendera hingga beberapa kali dia tertidur di tempat-tempat yang tak seharusnya—di sofa dekat jendela besar itu, di atas kasur, bahkan saat sedang makan di dalam kamarnya.

Namun, keraguan di wajah pelayan itu tak kunjung hilang. Jisoo yang sudah hampir kehilangan kesabaran menarik napas dalam-dalam dan menghela dengan berat, lalu berkata dengan nada tajam, “Kalau tidak percaya, sampaikan saja pada tuanmu. Aku tak punya niat buruk, hanya ingin merasa lebih baik di sini.” Dia menatap pelayan itu dingin, berharap kalimat itu bisa membuatnya menuruti permintaannya.

Akhirnya dengan anggukan enggan, pelayan itu berbalik dan pergi, meninggalkan Jisoo dalam kesendirian yang menengangkan. “Semoga saja dia mau menuruti permintaanku,” bisiknya.

Setelah pintu kamar tertutup, Jisoo merasa perasaannya campur aduk, antara rasa lega dan gelisah. Dia melihat sekitar kamar yang terasa lebih menyesakkan daripada biasanya dengan dinding-dinding megah yang kini lebih mirip jeruji. Dalam keheningan itu, pikirannya terus berkutat pada rencana yang baru saja dia susun.

“Aku harus bersiap, ini mungkin satu-satunya kesempatan,” gumamnya pelan meskipun tahu tidak ada yang mendengarkan. Segala hal mulai ia pertimbangkan, dari bagaimana mengolah bahan-bahan itu menjadi ramuan hingga cara memastikan bahwa mereka yang mengawasinya benar-benar tertidur lelap. Jika pelayan tadi benar-benar melaporkan permintaannya pada Taeyong, kemungkinan rencananya akan gagal bahkan sebelum dimulai.

Dia mendekati lagi jendela besar yang menghadap ke pemandangan Kota Tarrin. Lampu-lampu berkerlap-kerlip di kejauhan memberi ilusi kehangatan. “Setidaknya jika ini berhasil, aku punya harapan untuk bertemu kakak,” pikirnya sambil memandang ke luar dengan mata berkaca-kaca.

Malam semakin larut ketika pikirannya membawa ingatan masa kecilnya bersama Junghoon kembali. Kakaknya adalah satu-satunya saudara laki-lakinya yang memperlakukan Jisoo dengan ketulusan. Dalam bayangannya, dia melihat wajah Junghoon yang tenang, sering kali datang di malam-malam yang dingin untuk membacakan cerita atau sekadar duduk bersamanya sambil mendengarkan musik klasik. Kenangan itu adalah satu dari sedikit hal yang membuatnya merasa memiliki saudara laki-laki yang menyayanginya.

Kenangan itu perlahan menimbulkan rasa kantuk yang mendalam, seperti selimut hangat yang melingkupinya di malam yang sunyi. Jisoo menghela napas pelan, membiarkan bayangan masa kecilnya bersama Junghoon menjadi pelipur sebelum tidur. Dengan langkah lelah, dia berpaling dari jendela, meninggalkan gemerlap lampu kota yang redup di kejauhan. Dia melangkah ke ranjang, merasakan kasur yang dingin dan nyaman di bawah tubuhnya. Saat kepalanya menyentuh bantal, kantuk yang membebani tubuhnya terasa semakin berat, menariknya perlahan ke dalam keheningan malam.

Di antara detak-detak jarum jam yang samar, Jisoo memejamkan mata, tenggelam dalam mimpi-mimpi yang membawa kehangatan kenangan masa kecilnya. Bayangan Junghoon hadir dalam mimpinya, duduk di sampingnya sambil tersenyum lembut, seperti dulu—memberikan rasa aman yang nyaris terlupakan. Malam semakin larut dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Jisoo merasa dirinya tidak sepenuhnya sendirian.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Esok harinya, pelayan yang sama datang dengan tatapan penuh curiga sambil membawa keranjang kecil berisi bahan-bahan yang Jisoo minta. Melihat kedatangannya, Jisoo menahan senyum samar dan berkata dengan suara seramah mungkin, “Terima kasih sudah membawakan ini. Aku harap tak merepotkanmu.”

Si pelayan hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan pergi tanpa sepatah kata. Setelah pintu menutup, Jisoo memandang bahan-bahan itu dengan perasaan lega dan tekad.

“Ini langkah pertama,” katanya pada dirinya sendiri. Dia segera mulai meracik ramuan itu dengan hati-hati, memadukan daun-daun dan bunga yang memiliki efek menenangkan, seperti yang pernah dipelajarinya dari ibunya. Tangannya bekerja dengan cepat namun teliti, sementara pikirannya terus berputar merancang langkah-langkah berikutnya.

Setelah selesai meracik, dia duduk sejenak, memandangi botol kecil ramuan yang kini ada di tangannya. Sekarang hanya ada satu pikiran yang terlintas dalam benaknya, “Tunggu waktu yang tepat,” ujarnya sambil menyimpan botol itu di tempat aman. Sekarang, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu dengan sabar—menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan rencananya.

Hari-hari berikutnya dia lalui dengan penuh kehati-hatian. Setiap jam yang berlalu, Jisoo mengamati pergerakan pelayan yang keluar masuk kamar, serta para penjaga yang berjaga di luar pintu. Dia mempelajari rutinitas mereka, mencatat setiap pola, setiap langkah, dalam upaya memahami kapan waktu paling aman untuk melancarkan rencananya.

Ketika Jisoo yang masih terlelap nyenyak, mendadak merasa seseorang menggoyangkan pundaknya pelan. Matanya setengah terbuka, pandangannya kabur dan pikirannya masih terbelenggu kantuk. Di hadapannya, seorang pelayan wanita menatap dengan raut sedikit cemas sedang memanggil namanya pelan.

“Ada apa? Kenapa kau membangunkanku jam segini?” gumam Jisoo dengan suara serak, masih diselimuti rasa kantuk yang berat. Dia mengira ini sudah larut malam, sementara dia belum merasa tidur lama.

Pelayan itu mengernyit bingung. “Nona, sekarang baru jam sembilan malam. Anda sudah tertidur sejak sore tadi,” jawabnya dengan nada hati-hati, seolah tidak ingin membangunkannya lebih dari yang diperlukan.

Belakangan ini memang Jisoo sering tertidur di luar jam tidur, wajar jika dia terkejut, tak menyangka bahwa dia sudah ketiduran sejak sore hari. Namun, dia segera menutupi keterkejutannya dan memasang ekspresi dingin, berpura-pura tidak peduli. “Apa memang ada sesuatu yang penting? Untuk apa kau membangunkanku di tengah malam seperti ini?” tanyanya dengan nada acuh tak acuh, mencoba menahan rasa kesal yang perlahan muncul.

“Maaf, Nona. Saya diperintahkan oleh Tuan Han untuk menyampaikan pesan bahwa beliau menunggu Anda di kolam renang pribadi,” jawab pelayan itu hati-hati.

Ucapan itu seketika membuat Jisoo tersentak. Seperti tersiram air dingin, dia langsung tersadar sepenuhnya. “Taeyong ... sudah kembali?” gumamnya tak percaya, setengah bertanya-tanya kenapa Taeyong tidak langsung membangunkannya seperti biasanya. Seingatnya, pria itu kerap kali langsung mengganggunya saat pulang, tanpa peduli keadaan Jisoo yang mungkin kelelahan atau tidak ingin diganggu. Ada rasa cemas dan ketidakpastian yang seolah membelit pikirannya, membuat pikirannya melayang pada apa yang mungkin telah menanti dirinya di kolam itu.

“Tuan sudah kembali sejak sore tadi, lalu meminta agar saya membangunkan Anda untuk menemuinya. Beliau sekarang menunggu Anda di kolam renang pribadi dan saya diinstruksikan untuk mengantarkan Anda ke sana.”

Perasaan Jisoo kini berubah campur aduk antara ketidakpastian, kecemasan, dan sedikit kemarahan yang terpendam. Dia ingin menolak, merasa tidak siap untuk bertemu dengannya dalam situasi ini, tetapi tahu bahwa Taeyong tidak akan menerima penolakan dengan mudah. Akhirnya, dengan tarikan napas panjang, dia menganggukkan kepala.

“Baiklah, bawa aku ke sana,” gumamnya dengan nada enggan, mengikuti langkah pelayan itu yang segera berbalik dan membuka pintu, membawanya ke luar kamar.

Jisoo mengikuti pelayan itu menyusuri lorong hotel yang sepi, hanya diterangi lampu-lampu kecil di sepanjang dinding yang memberikan cahaya lembut. Bayangan mereka memanjang di lantai, menciptakan kesan mencekam di malam yang hening. Suara langkah kaki mereka terdengar jelas dan setiap kali mereka berbelok menuju arah yang lebih dalam, perasaan was-was di hati Jisoo semakin menjadi. Ada sesuatu yang terasa aneh malam ini, seakan ada beban yang menekan dadanya setiap kali dia melangkah semakin dekat ke tempat Taeyong sedang menunggunya.

Sampai di ujung lorong, mereka berhenti di depan sebuah pintu ganda besar berlapis kayu mahoni yang menuju ke area kolam renang pribadi. Pelayan itu mengangguk, memberi isyarat agar Jisoo melangkah masuk. Sejenak, dia hanya berdiri menatap pintu itu dengan ragu, merasa ingin melarikan diri namun tak punya pilihan.

“Silakan, Nona.” Pelayan itu berkata pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan Jisoo sendirian.

Dengan napas tertahan, Jisoo meraih kenop pintu dan membukanya perlahan. Udara di dalam terasa hangat dan lembap, aroma klorin bercampur dengan wangi lavender yang samar-samar menguar dari lilin-lilin besar yang ditempatkan di sekitar ruangan. Di sana, di sisi kolam renang yang airnya memantulkan sinar lilin, Taeyong berdiri menunggunya. Dia mengenakan kemeja putih yang digulung pada lengan, tubuhnya bersandar santai di pinggir kolam, sementara matanya mengawasinya dengan tajam.

“Sudah bangun rupanya,” sapa pria ittu sambil menyunggingkan senyum kecil yang sulit diterjemahkan.

Jisoo menatapnya dengan waspada, mempertimbangkan untuk tetap menjaga jarak. “Kenapa kau menyuruhku datang kemari?” tanyanya datar, berusaha menutupi ketakutan yang mendesak di balik matanya. Hatinya berdegup kencang, sementara pikirannya sibuk menebak maksud di balik undangan ini.

Taeyong tidak menjawab langsung. Dia berjalan pelan mendekatinya, menyusuri tepi kolam dengan langkah yang nyaris tanpa suara, hingga berhenti hanya beberapa langkah darinya. Sorot matanya tetap tak teralihkan dari wajah Jisoo, seolah-olah membaca setiap emosi yang dia coba sembunyikan.

“Karena aku ingin berbicara,” jawabnya masih dengan nada santai namun penuh maksud tersembunyi. “Terlalu lama tidak melihatmu membuatku merasa kehilangan.” Tatapannya berubah intens, senyum kecil di wajahnya menghilang, digantikan ekspresi yang lebih serius. “Kau tahu, aku pulang untuk mengurus banyak hal. Tapi ternyata yang terus kupikirkan hanya dirimu.”

Perkataan itu menyesakkan Jisoo, membuatnya merasa semakin tidak nyaman. “Itu bukan urusanku,” jawabnya dengan nada tajam, mencoba menghindari tatapan pria itu. “Jika kau punya urusan lain yang lebih penting, kenapa repot-repot memanggilku tengah malam ke sini?”

Taeyong terkekeh pelan sedang menikmati ketegangan yang menguar di antara mereka. “Oh, Jisoo ... kau mungkin tidak sadar, tapi keberadaanmu selalu penting bagiku. Kau tahu itu, bukan?” Dia berjalan mendekat lagi, hingga berdiri tepat di hadapannya, membuat Jisoo terpaksa mendongak untuk melihat wajahnya.

Mata Jisoo berkedip gugup, tapi dia tidak mundur, berusaha menunjukkan kekuatan yang tersisa meskipun dirinya rapuh. “Jika benar begitu, kenapa terus menyiksaku seperti ini?” bisiknya penuh emosi, tak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi.

Pria itu terdiam, memandang gadis di depannya dengan tatapan yang sulit ditebak. Dia kemudian mengulurkan tangan, jari-jarinya perlahan menyentuh pipi Jisoo yang terasa dingin di bawah sentuhan hangatnya. “Aku tidak menganggapnya sebagai penyiksaan,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Hanya saja ... aku tidak pernah ingin melepaskanmu.”

Jisoo mengepalkan tangannya, memaksa dirinya untuk tidak terhanyut dalam kata-katanya yang berbahaya itu. “Dan aku hanya ingin bebas darimu!” katanya penuh keberanian meski nadanya bergetar.

Kata-kata itu membuat mata Taeyong berkilat sesaat, tapi dia hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau harus berusaha lebih keras lagi, Nona Baek.”

Taeyong tetap mempertahankan tatapannya yang intens, penuh kepastian yang tak tergoyahkan. Sementara Jisoo merasakan detak jantungnya semakin tak terkendali di bawah tatapan pria itu. Ruangan di sekitar mereka terasa hening, hanya suara gemericik air dari kolam renang yang mengisi keheningan malam. Lilin-lilin besar yang berjajar di sekeliling kolam memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan lembut di wajah Taeyong yang penuh pesona dan misteri.

“Lebih keras lagi, kau bilang?” gumam Jisoo dengan senyum pahit, berusaha mengabaikan getaran di tubuhnya. “Aku sudah berusaha cukup keras, Taeyong. Namun kau selalu ada, seperti bayang-bayang yang tak bisa kuhindari. Apa kau benar-benar tidak bisa membiarkanku hidup tenang?”

Taeyong menatapnya dalam-dalam, matanya yang gelap mengunci wajah Jisoo, penuh misteri dan ketenangan yang tidak bisa ditebak. “Tenang?” gumamnya. “Kau pikir hidup tenang itu cocok untukmu?” Dia melangkah lebih dekat, hingga hanya selangkah yang memisahkan mereka. “Tidak ada yang tenang tentang kita, Jisoo. Dan itu yang membuatmu semakin sulit kutinggalkan.”

Jisoo menghela napas panjang, matanya berusaha menghindari tatapan tajamnya. “Mungkin untukmu tidak. Tapi untukku, kebebasan adalah satu-satunya yang kuinginkan.”

Sekilas Taeyong tersenyum dingin, tetapi ada sesuatu yang dalam di baliknya, seolah-olah ada pertarungan emosi yang tidak terucapkan. “Kalau begitu, kita dalam posisi yang saling bertolak belakang, Nona Baek,” katanya pelan dengan nada yang nyaris lembut tapi juga mengancam. “Kau ingin bebas dariku, sedangkan aku hanya ingin memastikan kau tetap berada di sisiku. Dan aku akan melakukan apa pun agar itu terwujud.”

“Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu padaku seumur hidup!” tandasnya namun di dalam hati, dia tak yakin sepenuhnya.

“Cobalah, Jisoo. Cobalah untuk bebas dariku,” bisiknya seraya melangkah mundur, memberikan ruang baginya. “Kita lihat saja siapa yang bertahan lebih lama.”

Kalau hari ini aku editnya selesai, ntar malam sekitar jam 9/10 aku double update hehe sebagai pengganti updatean hari kamis—mulai hari kamis dan beberapa hari, “Breaking Her” enggak akan update. Besok mau lanjut kemo keenam, semoga aja efeknya sebentar kayak tiga minggu lalu 💪🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top