Chapter XXXV: He is crazy 3.0
Setelah meninggalkan Shani bersama pegawai hotel di kamar tamu, Taeyong bergegas menuju lift untuk naik ke kamar pribadinya di lantai teratas. Lorong hotel terasa sunyi, hanya suara langkah kakinya yang bergema di sepanjang karpet mewah. Setibanya di lantai atas, dua penjaga di depan pintu kamar langsung memberi hormat begitu melihatnya. Seperti biasa, Taeyong mengabaikan mereka dan langsung memilih masuk ke kamar.
Di dalam kamar, dia mendapati Jisoo duduk di sofa menghadap jendela besar, pandangannya menatap jauh ke luar ke arah panorama Ibukota Tarrin. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela memberi kesan melankolis pada sosoknya yang tenggelam dalam lamunan. Taeyong menyeringai ketika mendekati Jisoo tanpa suara. Sesampainya di belakangnya, dia menunduk dan mengecup pipinya dengan lembut.
Jisoo tetap diam, tidak menanggapi atau bereaksi atas kecupan itu. Semua protes atau kemarahan yang biasanya muncul kini tampak memudar, tenggelam dalam kejenuhan dan kelelahan. Sebenarnya dia telah menyadari hal ini sejak lama, tetapi baru kali ini dia meyakinkan diri untuk tidak lagi mengemis atau memohon-mohon kepada Taeyong. Dia tidak ingin membuang tenaga pada sesuatu yang tidak pernah berakhir baik.
Perubahan sikapnya mengejutkan karena tidak biasanya Jisoo diam saat disentuh. Api kemarahan Jisoo yang biasa berkorbar kini meredup. Taeyong menyadari perubahan besar itu, tetapi seperti biasa, dia tidak peduli.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Taeyong sambil melingkarkan kedua lengannya di bahu Jisoo dan menyandarkan dagunya di atas kepala gadis itu.
Taeyong menghirup aroma lembut Jisoo yang menenangkan, bagaikan wangi bunga lilac yang mekar di pagi hari, berpadu dengan kesegaran embun pagi yang masih menempel di kelopaknya. Aromanya mengingatkan pada kehangatan sinar matahari yang menerobos jendela di musim semi, menenangkan dan menyejukkan pikiran.
Namun pikirannya mulai mengembara ke tempat-tempat yang tidak seharusnya. Benaknya terngiang-ngiang pada fantasi liarnya tentang Jisoo ketika berada di kamar tamu hotel bersama sang vokalis The Red Shoes. Dia mulai membayangkan lagi Jisoo berlutut di hadapannya, menghisap miliknya, dan menggodanya dengan ekspresi nakal.
Pikiran Taeyong semakin tak terkendali, membuatnya gelisah dan tak nyaman. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan kembali menghirup aroma menenangkan itu. Seperti terapi aromaterapi alami, wangi lembut itu perlahan menenangkan gejolak dalam benaknya. Setiap tarikan napas membawa kedamaian, mengusir pikiran-pikiran yang tidak diinginkan dari benaknya.
Jisoo menghela napas panjang, pandangannya tajam menusuk Taeyong. Di dalam kamar ini, keheningan terasa berat, hanya dipecahkan oleh desah napasnya yang terdengar sarkastik saat dia berucap, “Aku sedang memikirkan bagaimana caranya membunuhmu, lalu melarikan diri dari sini.”
Taeyong tertawa ringan, seolah jawaban itu adalah hal terlucu yang dia dengar hari ini. “Lucu sekali,” ujarnya, tanpa sedikitpun melonggarkan pelukannya. “Silakan, cobalah jika kau sudah menemukan caranya. Aku akan menunggu dengan sabar.”
Jisoo mendengus sinis, merasa pernyataan itu adalah tantangan yang tak main-main. Matanya menyiratkan kebencian tak terbendung, tangannya mengepal kuat di sisinya. “Percayalah, begitu aku menemukan caranya, kau akan mati seketika,” balasnya tajam, seolah berjanji pada dirinya sendiri.
Taeyong terkekeh pelan, bibirnya melengkung dalam senyuman penuh godaan. “Dan ketika aku mati,” jawabnya dengan nada santai, “aku akan menghantuimu.”
Dia tidak menanggapi kata-katanya itu, hanya memalingkan muka dan menganggap bahwa pria itu tidak pernah ada di sini.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tanpa peringatan, pria itu berpindah tempat berubah jadi duduk di sampingnya, lalu tanpa ragu berbaring dengan menidurkan kepalanya di pangkuan Jisoo. Keheningan mendadak berubah tegang sekian detik selama Jisoo terperangah. Refleks dia tersentak, sorot matanya menyiratkan kemarahan yang membara.
“Kita bukan pasangan kekasih yang bisa mengobrol santai dengan posisi seperti ini. Jadi, menyingkirlah dariku!” desisnya tajam sembari mencoba melepaskan diri.
Taeyong hanya mengangkat satu alis, menatapnya dengan senyum penuh keisengan. Tatapan itu seolah berkata bahwa dia menikmati setiap respons marah Jisoo. “Siapa bilang kita bukan pasangan kekasih?” jawabnya pelan dengan suara menggoda. “Kau adalah kekasihku.”
Amarah memenuhi wajah Jisoo seketika, matanya menyipit menahan api kemarahan yang seakan bisa membakar apa pun. “Aku bukan kekasihmu! Aku tidak pernah menyukaimu, apalagi mencintaimu!” Seruan itu terdengar tajam, tegas, tapi di balik nada kerasnya, tersimpan kelelahan mendalam. Dia benar-benar lelah dan ingin melupakan segalanya, lalu melarikan diri dari kenyataan ini.
“Tidak perlu saling mencintai untuk menjadi pasangan kekasih,” ujarnya ringan sebelum membalikkan tubuh sehingga wajahnya menghadap perut ramping Jisoo. “Aku menyukaimu. Itu sudah cukup untuk menjadikanmu sebagai kekasihku,” lanjutnya sembari melingkari pinggang Jisoo dengan kuat, membuat gadis itu tak punya pilihan selain tetap diam di tempat.
Sentuhan itu mengirimkan gelombang keterkejutan, sementara Jisoo meronta berusaha untuk menjauh meskipun sia-sia. Suara Jisoo bergetar penuh dengan amarah yang kini bercampur dengan ketakutan samar saat mengatakan, “Kau gila!”
Taeyong hanya menatapnya, matanya yang gelap berkilat penuh intensitas, lalu sebuah senyum kecil yang licik menghiasi wajahnya. “Begitulah kekasihmu,” katanya sambil terkekeh pelan, membuat jantung Jisoo berdegup kencang di antara rasa takut dan ketidakberdayaan yang kian mencengkeramnya.
Cahaya matahari siang yang terik masuk melalui jendela besar. Pancaran cahayanya jatuh lembut di sisi wajah mereka, menyoroti kontras antara ekspresi wajah Jisoo yang tegang dan ketenangan yang memancar dari Taeyong. Warna keemasan itu menciptakan bayangan samar, menciptakan ilusi kehangatan di antara mereka yang sebenarnya jauh dari kenyataan.
Jisoo mendesah keras, memalingkan pandangan ke luar jendela yang menampakkan pemandangan kota sambil berharap bisa melupakan kehadiran pria itu yang begitu dekat dengannya. Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena keberadaan Taeyong, tetapi juga karena kebingungan yang dia rasakan sendiri—perasaan berlawanan antara kemarahan dan rasa aneh yang perlahan merayap di dalam hatinya.
“Jangan tegang seperti itu,” bisik Taeyong dengan suara rendah, “aku bisa merasakannya, kau tahu.”
Jisoo mengernyitkan dahi, mencoba tetap tenang dan berusaha keras untuk tak terganggu oleh godaan itu. “Aku tidak tegang! Aku sedang memikirkan cara untuk membunuhmu. Kau mengerti, itu?!” balasnya dengan nada kesal sembari mengalihkan pandangan ke luar jendela, berharap kesibukan di luar bisa mengusir ketidaknyamanan yang kian menjalar. Namun, Taeyong tampaknya tak mau melepaskannya begitu saja, menikmati setiap detik yang membuatnya terus terpojok.
“Kau sepertinya benar-benar terganggu, ya?” godanya lagi dengan nada yang dibuat-buat santai, seakan rasa kesal Jisoo adalah hiburan kecil yang dia nikmati.
Taeyong terus mengamati wajah Jisoo, mencari setiap jejak kemarahan atau kejengkelan yang kini terpancar jelas. Ada tatapan benci di matanya, tapi Taeyong justru makin menikmati reaksinya. Pandangannya kemudian melayang jauh, pikirannya mendadak terseret kembali pada momen singkatnya bersama Shani, menghadirkan bayangan yang membuatnya tersenyum samar.
Lebih tepatnya, benaknya kini kembali pada fantasi liarnya tentang Jisoo. Hal ini hanya membuat hasrat Taeyong semakin tak terkendali, memicu kegilaan yang membara di dalam dirinya.
Seolah ingin melihat reaksi gadis itu, tentang bagaimana dia membayangkan sosoknya di tengah permainan singkatnya bersama wanita lain, Taeyong kemudian mengubah posisinya yang semula berbaring jadi duduk di dekatnya. Dia mendekatkan diri dan menatap lurus ke arah Jisoo, sementara gadis itu masih bertahan di posisi memalingkan muka.
“Ada seorang wanita yang mendatangiku tadi, setelah pertemuanku dengan rekan bisnis,” dia mengawali cerita itu sambil memperhatikan ekspresi Jisoo dari sudut matanya, “kami makan siang dan mengobrol bersama. Kau masih ingat wanita yang kusebutkan semalam? Dia wanita itu.”
Namun, wajah Jisoo tetap datar, nyaris tak tersentuh oleh ceritanya. Tidak ada tanda-tanda cemburu atau gusar di sana, hanya ekspresi tenang yang ingin menunjukkan bahwa dia sama sekali tak terganggu. Pandangannya lurus ke depan, sengaja tak memberi kesempatan Taeyong untuk melihat apa pun selain ketenangan dingin yang ingin dia tunjukkan.
Meksipun dia mengabaikannya, cerita Taeyong tidak berhenti sampai di sana. Dia terus melanjutkan cerita itu, bagaimana mereka berpindah tempat dari restauran ke kamar tamu hotel setelah menghabiskan makan siang dan mengobrol bersama. Lalu tanpa rasa malu, dia terus melanjutkan cerita saat menyuruh wanita itu untuk melakukan sesuatu di bawah sana dengan miliknya, sementara dia sibuk berfantasi liar dengan membayangkan wanita itu sebagai Jisoo.
Semula Jisoo tidak terlalu peduli dengan keseluruhan isi ceritanya. Namun, begitu Taeyong mulai menceritkan pengalaman nakal singkatnya bersama wanita lain, Jisoo langsung menatapnya. Dia terperangah, seakan tak percaya mendengar semua cerita itu. Semakin lama mendengarkan, perasaan jijik semakin menyelimutinya, terutama ketika Taeyong mengaku bahwa di tengah momen tersebut, dia berfantasi liar tentang dirinya.
“Aku tidak peduli dengan urusan gilamu itu,” katanya tajam sambil menatap Taeyong dengan marah.
Taeyong sekadar menyeringai, matanya membalas tatapan Jisoo dengan sinar penuh ketenangan yang justru semakin membuatnya frustrasi. “Aku tak meminta perhatianmu,” ujarnya santai. “Aku hanya ingin kau tahu hal-hal yang kulakukan di luar sana.”
“Enyahlah! Aku tidak peduli!” seru Jisoo sambil mencoba mengendalikan gejolak emosi yang bercampur di dalam hatinya. Dia mendengus keras, lalu menambahkan dengan nada sinis, “Kenapa kau tidak tidur saja dengannya? Lalu lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”
“Kenapa aku harus tidur dengannya, sementara aku memiliki dirimu?” tanyanya, mencoba menggodanya lagi. “Ah, perlu kau ketahui, tidak ada wanita lain yang bisa meniduriku selain dirimu.”
Jisoo mendengus, rasa jijik jelas terpancar dari raut wajahnya. “Kau benar-benar gila,” desisnya, mencoba mendorong Taeyong agar menjauh. Namun, tubuh pria itu tetap tidak bergerak sedikitpun. Sebaliknya, dia justru semakin mendekat, membuat Jisoo terpojok ke sudut sofa tanpa celah untuk melarikan diri.
Taeyong menatap Jisoo tanpa henti, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah gadis itu. Cukup dekat hingga dia bisa merasakan hembusan napasnya yang stabil. Tangan kokohnya bertumpu pada kedua sisi sofa, membentuk kurungan tak kasat mata yang membuat Jisoo tak punya ruang untuk bergerak. Detak jantungnya berdebar kencang, menggema di telinganya, seolah-olah tubuhnya sedang memberikan sinyal untuk melarikan diri—tapi ke mana? Di hadapannya hanya ada tatapan tajam pria ini dan dinding-dinding sepi yang menjadi saksi kebisuannya.
“Apa yang mau kau lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara bergetar tipis sembari mempertahankan dirinya. Matanya melesat ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar yang sebenarnya tidak ada lagi, sementara bayangan Taeyong di depannya terasa seperti tembok tak tergoyahkan, memagari semua harapan untuk lari.
“Melakukan apa yang seharusnya kulakukan,” ucapnya dengan suara tenang dan sama sekali tak peduli dengan raut cemasnya.
Jisoo merasakan hatinya mencelos. Dia tahu bagaimana permainan ini akan berakhir, seperti malam-malam sebelumnya dengan dirinya terjebak dalam kendalinya yang selalu membuatnya menyerah tanpa bisa melawan. Taeyong bukan hanya pria yang menuntut, pria ini seperti monster yang tidak pernah tahu kapan harus berhenti dan selalu mencari lebih dari yang bisa dia berikan.
“Kau tidak bisa melakukan itu lagi. Tidak sekarang. Tidak juga nanti,” ujarnya dengan napas terengah, mencoba memohon sekaligus memperingatkan dan berharap entah bagaimana bahwa kali ini dia akan mengerti.
Namun, Taeyong malah tertawa kecil, tatapan matanya tetap dingin dan tak sedikit pun menunjukkan belas kasihan. “Oh, ayolah,” ucapnya sambil menaikkan satu alis, “aku bisa melakukannya kapan pun aku mau.” Dia makin memperkecil jarak di antara mereka, hingga Jisoo bisa merasakan hangatnya napasnya yang menerpa kulitnya, menciptakan ketegangan yang membuat udara terasa semakin tipis.
Dengan suara yang hampir putus asa, Jisoo berusaha keras mempertahankan ketenangannya. “Kubilang tidak, maka tidak bisa!” Suaranya meninggi, bercampur antara ketakutan dan ketegasan. “Taeyong, aku benar-benar kelelahan—sungguh, aku tidak berbohong. Setiap malam kau terus menarikku ke dalam permainan gilamu dan kau tak pernah memberiku waktu untuk bernapas, apalagi berhenti!”
“Lelah?” gumamnya seakan mengejek. “Kalau begitu, mungkin sudah saatnya kau harus terbiasa denganku,” lanjutnya dengan nada santai, seolah-olah permohonannya hanyalah sekadar angin lalu yang tidak layak dipertimbangkan.
Jisoo mendengus dengan getir, menggenggam tangannya erat-erat untuk menahan rasa frustasi. “Aku tahu kau akan mengatakan hal menjijikan seperti itu,” ujarnya sambil mempertahankan diri. “Apa kau hanya menganggapku sebagai wanita penghiburmu saja? Yang bisa kau tiduri kapan pun kau mau? ”
“Kenapa kau berpikir serendah itu? Tidak, Jisoo. Kau salah. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai wanita penghiburku,” jawabnya, matanya yang dingin menelusuri wajah Jisoo dengan cara yang membuat darahnya seolah membeku. “Aku menginginkan dirimu, hanya itu saja. Dan menidurimu? Yah, ini salahku karena tidak bisa mengontrol diriku ketika bersamamu.”
Salahnya tidak bisa mengontrol diri, dia bilang? Tidak, dia tidak mau mempercayainya karena pria ini penuh dengan tipu muslihat. Jisoo tidak akan terjebak pada omong kosongnya.
Jisoo mencoba mengatur napasnya. Kendati demikian, dia tetap bertanya dengan nada lebih lembut. “Kalau begitu, kenapa kau tidak mencoba berhenti dan mengontrol dirimu?” Dia menatap Taeyong dengan pandangan penuh harap, berharap bahwa kali ini pria itu akan mempertimbangkan ucapannya, untuk sekadar membiarkannya beristirahat. “Aku lelah ... aku bahkan belum benar-benar pulih setelah yang terakhir kali itu. Tidakkah kau mengerti posisiku?”
Dalam keheningan yang menyelimuti, Taeyong hanya diam. Wajahnya tak menampakkan emosi, tapi mata itu terus mengunci mata Jisoo dengan tatapan dalam. Dia menatapnya tanpa berkedip, seolah berusaha menembus batinnya. Keheningan yang kian mencekam itu membuat waktu terasa membeku, membuat Jisoo bertanya-tanya apakah pria itu sedang memikirkan kata-katanya atau hanya bermain-main dengan perasaannya seperti biasa.
Namun, perlahan Taeyong bergerak, melepaskan cengkeramannya dan menarik diri dengan gerakan yang tertahan. Kelegaan menyebar dalam hati Jisoo saat melihat perubahan sikap ini; perasaan lega yang langka, membuat tubuhnya sedikit lebih rileks, seakan beban besar akhirnya terangkat. Sejenak dia bisa bernapas lega, menganggap ini sebagai tanda baik bahwa mungkin—mungkin saja—pria itu akhirnya mau mendengarkannya.
Biarpun dia kini duduk menjauh, Taeyong tampak gusar. Alisnya berkerut tipis, memperlihatkan kegalauan yang terselubung di wajahnya yang biasanya penuh percaya diri. Menyadari ekspresi itu, Jisoo mencoba berbicara lagi, suaranya sedikit ragu, seolah menapaki jalan yang penuh duri. “Jika ... jika memang mendesak, kau bisa menemui wanita itu lagi dan melanjutkan permainan kalian sebelumnya,” ucapnya pelan, tak tahu apakah kalimat itu akan membangkitkan amarahnya atau malah meredakan kegelisahan Taeyong.
Taeyong langsung menoleh, sorot tajam matanya menusuk ke arah Jisoo. Detik berikutnya, tanpa peringatan, dia tertawa keras, suara tawanya dalam dan mengisi seluruh ruangan. Tawa itu—tawa yang dalam, menggelegar, menggetarkan suasana—membuat Jisoo tersentak. Dia terperanjat, bibirnya terkatup rapat sementara perasaan takut yang samar mulai menjalar, membuat tubuhnya kaku dalam kewaspadaan.
Dia tahu betul, tawa seperti ini jarang berakhir menyenangkan baginya. Mata Taeyong yang berkilat tajam menatapnya dengan intensitas baru, memperlihatkan keinginan lebih gelap dan lebih dalam dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Rasa dingin menjalar di punggungnya, lalu dengan cepat, Jisoo mencoba berdiri, melangkah mundur perlahan, berharap bisa menjauh sebelum sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Namun, seperti seekor elang yang tak membiarkan mangsanya kabur, Taeyong langsung meraih lengannya dan menariknya mendekat, membuat Jisoo terjatuh langsung ke pangkuannya. Mata mereka bertemu, kali ini ada kilatan tekad di tatapan Taeyong yang membuat Jisoo tak bisa berkata-kata.
Saat Jisoo merasakan lengan Taeyong mengerat di pinggangnya, dia tahu sudah tak ada lagi jalan untuk melarikan diri. Matanya menatap tajam, penuh intensitas berbahaya dengan senyuman tipis yang melengkung di sudut bibirnya, seolah menyimpan rahasia gelap yang hanya dia yang tahu.
“Sungguh? Kau benar-benar menyuruhku menemui wanita lain?” Suaranya rendah dan dingin, seperti nada yang memancarkan kekecewaan yang tak terucap. Tatapannya semakin tajam seperti mata elang, tak pernah teralih sedikit pun dari wajah Jisoo. Dia semakin mempererat pelukan itu, membuat Jisoo tak mampu lagi bergerak, selain hanya bisa merasakan cengkeraman pria itu mengunci dirinya.
“Mari kita perjelas lagi, Nona Baek,” ucapnya perlahan, setiap kata seperti pisau yang menusuk dalam-dalam. “Aku tidak suka didekte oleh siapa pun, bahkan oleh wanita yang kuinginkan.” Kata-katanya jelas dan tajam, membuat Jisoo terdiam hingga menyadari bahwa perlawanan hanya akan memperburuk keadaan.
Jisoo terdiam, tahu bahwa setiap perlawanan hanya akan memperburuk keadaan. Pengalaman sebelumnya mengajarkannya bahwa pria ini tidak segan-segan mengambil kendali sepenuhnya. Dengan napas yang tertahan, dia akhirnya menghentikan usahanya untuk meronta. Tapi di tengah keheningan itu, hatinya masih dikuasai oleh rasa penasaran yang kuat.
Dia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya dengan suara yang bergetar dan pasrah, “Kalau begitu, apa yang sekarang kau inginkan dariku?”
Keputusasaan dan ketidakberdayaan terpancar dari matanya. Dia tahu, tidak ada jalan keluar kali ini. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menunggu apa yang akan dilakukan pria ini padanya.
Taeyong hanya memandangnya tanpa keraguan sedikit pun. “Dirimu,” jawabnya tegas, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. Tangannya menarik Jisoo lebih dekat, membuatnya seolah tak ada ruang untuk bernapas, hingga kepalanya bisa bersandar di bahunya. Suara napasnya yang tenang dan dalam terdengar begitu dekat, menyelimuti Jisoo dalam keheningan yang semakin mencekam.
“Baiklah,” lanjutnya dengan suara sedikit melunak meski masih terdengar serius. “Hari ini, aku membebaskanmu.”
“Membebaskanku?” Ada ketidakpercayaan yang jelas di suara Jisoo. Apakah dia benar-benar mendengar hal itu keluar dari mulutnya? Dia tidak sedang membodohinya, kan? Kata-kata yang terlontar dari mulut pria ini, seakan mustahil untuk dipercaya, bahkan sulit bagi Jisoo untuk langsung percaya. Matanya kemudian menatap Taeyong, mencari kepastian dalam tatapannya yang dingin.
Taeyong hanya tersenyum tipis, senyum yang membuat sorot matanya semakin tajam. “Bukan kebebasan seperti yang kau inginkan,” ucapnya terlihat begitu tenang, tapi kata-kata itu langsung menghantam Jisoo keras bahwa kenyataan tidak seindah harapannya. “Mungkin saja, kita bisa menjadwal ulang urusan kita.”
“Menjadwal ulang?” Jisoo menatapnya, matanya melebar seiring dengan kesadaran yang muncul akan ke arah mana percakapan ini. Desakan dan ketegangan mencuat dari suaranya saat dia mencoba menyela, berharap bisa menghentikan niatan Taeyong. “Bagaimana kalau kita tidak perlu menjadwal apa-apa? Bagaimana kalau aku—”
“Jangan membuat alasan lain.” Taeyong memotong kata-katanya dengan tajam, nadanya seperti sebuah ultimatum. “Aku tidak suka ketika seseorang diberi kesempatan, lalu meminta lebih. Kau mengerti, Nona Baek?”
Jisoo terdiam sejenak, hatinya berdebar keras sementara kebencian dan ketidakberdayaan bercampur jadi satu. Dengan enggan, dia akhirnya mengangguk, tahu bahwa perdebatan hanya akan menguras tenaga yang sudah habis untuk melawannya. Namun, tekad dalam hatinya belum sepenuhnya pudar. Dengan suara yang ditegaskan oleh keberanian terakhirnya, dia menatap Taeyong penuh keberanian yang tersisa.
“Setidaknya, beri tahu aku jika kau menginginkannya,” ucapnya tegas, matanya menantang meski bibirnya gemetar. “Jangan memaksaku ketika aku jelas menolak! Dan perlu kau tahu, aku tidak tunduk padamu dengan mengatakan ini. Aku melakukannya demi bertahan hidup, sampai aku menemukan cara untuk melarikan diri atau bahkan membunuhmu.”
Senyum Taeyong berubah menjadi seringai penuh kemenangan. Alih-alih terlihat terancam, dia malah tertawa pelan, seakan ancaman Jisoo hanyalah sebuah hiburan. Ruangan yang awalnya hening kini terisi oleh suara tawanya yang menggelitik telinga, membuat bulu kuduk Jisoo meremang.
Tanpa peringatan, Taeyong mendekat, mengurung tubuh Jisoo dengan kehadirannya yang terasa begitu intens. Dia menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Jisoo dan napasnya yang hangat menyentuh kulitnya, menciptakan sensasi yang membuat tubuh Jisoo menegang tak terkendali. Perlahan bibirnya menelusuri kulitnya, menciptakan aliran panas yang tak bisa mereka kendalikan sementara jantung Jisoo berdegup semakin cepat, tak mampu mengusir ketegangan yang menjeratnya.
“Biarpun kita tidak akan melakukan itu sekarang,” bisiknya di telinga Jisoo dengan suara serak yang membuat tengkuknya meremang, “tapi aku masih bisa menikmati momen ini.”
Perjalanan kapal di lapak ini masih panjang ..... harap sabar 🫡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top