Chapter XXXIX: Run
Jisoo melangkah keluar dari kamar hotel, menahan napas saat melewati lorong panjang yang sepi namun penuh dengan potensi bahaya. Jantungnya berdegup kencang, tiap denyutnya seperti dentuman drum yang mengiringi ketegangan dalam dirinya. Setiap suara dari langkah kaki nan jauh di ujung koridor hingga suara pintu dibuka pelan, terdengar lebih keras dan mengancam. Dia bergerak cepat, lalu dengan hati-hati, mencoba menjaga jarak dari para pegawai hotel dan tamu yang berlalu-lalang.
Matanya terus beralih dari satu sudut ke sudut lain, memeriksa dengan cermat setiap kemungkinan adanya seseorang yang bisa mengenalinya. Lorong-lorong hotel yang megah dan berkarpet tebal tampak lebih seperti perangkap yang siap menangkapnya dalam kepungan kenyamanan semu. Dinding-dinding berlapis marmer berkilau, cermin-cermin besar yang memantulkan bayangannya, dan lampu gantung berkilauan di atasnya—semuanya terasa menekan, seakan melemparkan refleksi ketakutannya kembali ke arahnya.
Ketika akhirnya dia mencapai lobi hotel, suasana di sana masih ramai dengan pegawai dan tamu yang sibuk. Jisoo merapatkan tubuhnya ke dinding, berusaha tidak menarik perhatian. Matanya berkelana dengan cepat, mencari jalur aman tanpa harus berpapasan dengan siapa pun. Ada detik-detik di mana seorang pegawai melintas terlalu dekat dan Jisoo harus menahan napas, berharap orang itu tidak menoleh ke arahnya. Wajahnya tanpa riasan, rambut masih acak-acakan, dan pakaian tidur yang lusuh membuatnya sangat menonjol di tengah kerumunan tamu berpenampilan mewah.
Namun, dengan langkah ringan dan terlatih, dia akhirnya berhasil mencapai pintu utama hotel. Dia berhasil menyelinap di antara kerumunan hotel, tanpa dicurigai. Begitu melewati pintu tersebut, udara luar yang dingin dan segar menyambutnya.
Jisoo menghela napas panjang. Ada rasa lega yang menggumpal di dadanya, tapi dia tahu ini belum saatnya untuk berhenti. Terlalu berbahaya jika dia masih tinggal di tempat ini.
Tanpa membuang waktu, dia mulai berlari, menjauh dari hotel. Jalanan beraspal yang kasar terasa menyakitkan di telapak kakinya yang telanjang. Setiap langkahnya terasa seperti menusuk, seakan tiap butir kerikil dan retakan di jalan sengaja menguji ketabahannya. Kakinya mulai perih, tapi rasa takut dan adrenalin mengalahkan nyeri yang mendera.
“Aku bodoh,” gumamnya sambil berlari dengan langkah cepat, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa belum ada tanda-tanda pengejar. Masih belum ada yang mengikuti, hanya mengartikan satu hal: jebakannya di dalam kamar hotel masih bekerja sesuai rencana, membuat orang-orang di dalamnya tetap terkurung.
Rasa syukur terlintas sejenak di benaknya. Ramuan yang dia siapkan ternyata berhasil memberinya kesempatan untuk kabur. Meski begitu, di balik langkah-langkah tergesanya, Jisoo tak bisa menahan sedikit penyesalan. Pelarian ini terasa terlalu mendadak, seperti langkah nekat tanpa perencanaan matang.
“Kenapa aku tidak membawa alas kaki? Bahkan sekadar sandal pun tak terpikirkan.” Ketika ide melarikan diri terlintas, dia tidak sempat memikirkan hal lain. Saat itu, satu-satunya yang ada di kepalanya adalah bagaimana caranya menjebak pelayan wanita dan dua penjaga di depan pintu kamar hotelnya, agar dia bisa lolos tanpa terhalang.
Setelah berhasil kabur, beginilah jadinya ....
Dia lupa mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian yang lebih layak. Gaun tidurnya yang tipis dan panjang berkibar di setiap langkah, membuat penampilannya semakin mencolok. Orang-orang yang melintas sesekali melirik, menatapnya dengan pandangan heran dan penasaran. Jisoo hanya bisa berharap mereka menganggapnya sebagai orang aneh yang sedang berjalan tanpa arah, bukan seseorang yang sedang melarikan diri.
Jisoo terus berlari, napasnya mulai terengah-engah. Satu kesalahan lagi: dia tidak membawa uang. Tidak ada uang berarti tidak ada kereta kuda atau alat transportasi lain yang bisa membantunya melarikan diri lebih cepat. Dia sepenuhnya bergantung pada kekuatan kakinya sendiri. Bahkan untuk membeli alas kaki pun dia tak punya uang. Sayangnya, tak ada waktu untuk menyesali keputusannya.
Selama berlari, pandangannya bergerak gelisah, memindai sekeliling, memperhatikan setiap sudut jalan yang kian dipenuhi orang. Rasa lelah mulai terasa di seluruh tubuhnya, terutama di bagian betis yang terus-menerus menegang dengan setiap langkah yang dia ambil. Napasnya terasa berat, dada terasa sesak, tapi dia menolak berhenti. Tidak sekarang. Tidak saat kebebasan tampak di depan mata.
Tujuannya adalah sebuah bar yang tampak biasa, tapi sebenarnya adalah tempat persembunyian cabang guild informasi. Jisoo pernah mendatanginya beberapa waktu lalu, jadi dia tahu persis tempatnya. Namun, perjalanan ke sana bukanlah perjalanan singkat—setidaknya memakan waktu satu jam dengan berjalan kaki dan itu dalam kondisi normal, bukan dalam keadaan seperti sekarang.
Jalanan kota mulai beralih dari trotoar beraspal menjadi jalan-jalan berbatu, membuat perjalanan semakin menyakitkan bagi kakinya yang telanjang. Kakinya sudah mulai lecet dan dia bisa merasakan rasa perih setiap kali kulitnya bergesekan dengan permukaan kasar. Namun, tekadnya untuk mencapai tempat itu mengalahkan rasa sakit yang mulai menggerogoti.
Setelah hampir satu jam perjalanan yang menyiksa, dia akhirnya melihat bangunan bar kecil itu di kejauhan. Bangunan itu tampak sederhana, agak kumuh dengan papan nama kayu yang sudah usang dan dinding bata yang mulai berlumut. Pemandangan itu seharusnya biasa saja, tapi bagi Jisoo, bar tersebut adalah simbol bantuan.
Dengan sisa tenaga yang ada, dia mempercepat langkah menuju pintu bar. Begitu tangannya menyentuh gagang pintu kayu yang tua, suara derit halus terdengar saat dia mendorongnya terbuka. Aroma khas minuman keras dan asap rokok langsung memenuhi inderanya. Di dalam, suasana tampak lengang dan remang dengan percakapan rendah di antara para pengunjung, denting gelas, dan musik pelan yang mengalun di sudut ruangan.
Jisoo melangkah ke dalam dengan hati-hati, merapatkan tubuhnya agar tidak terlalu menonjol. Napasnya masih tersengal-sengal, kakinya berdenyut nyeri, tapi dia menolak untuk berhenti atau menunjukkan kelemahan. Dengan langkah pelan dan pasti, dia menuju ke arah bartender di ujung bar, berharap sosok itu masih mengenalinya.
“Selamat siang,” sapanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suasana bar.
Bartender itu menoleh perlahan, menatapnya dengan pandangan menyelidik sebelum mengangguk singkat. “Kau terlihat ... cukup kacau,” ujarnya singkat, tapi Jisoo bisa merasakan kepedulian tersirat dalam nadanya.
“Aku butuh bantuan,” ujarnya pelan dengan napas yang masih berat, berusaha menahan gemetar di suaranya. “Aku ingin memesan ‘Cahaya Bintang di Langit Gelap’,” lanjutnya, menyebutkan kode yang telah diingatnya sejak dulu—kode yang hanya dikenal oleh mereka yang mencari bantuan dari guild informasi.
Bartender itu mengangguk, wajahnya masih tenang. “Ikuti aku. Kita bisa bicara lebih lanjut di belakang.”
Dengan langkah perlahan, bartender memimpin Jisoo menuju ruangan belakang. Jisoo mengikuti bartender melewati koridor sempit yang terletak di belakang bar, koridor itu gelap dan remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu temaram yang menggantung di langit-langit. Dinding-dindingnya berlapis kayu tua yang sudah mulai lapuk, memancarkan aroma khas kayu yang sudah lama tak diganti. Lantainya berderit setiap kali mereka melangkah, membuat suasana semakin tegang dan misterius.
Di ujung koridor, bartender membuka pintu kayu kecil yang berderit, memperlihatkan sebuah ruangan yang terasa lebih dingin dan tenang dibandingkan dengan bagian depan bar. Ruangan ini adalah markas kecil tempat guild informasi biasa beroperasi. Pencahayaan di dalam ruangan ini bahkan lebih redup, hanya diterangi lampu minyak di atas meja yang menghasilkan bayangan bergetar di dinding. Asap tipis dari tembakau mengambang di udara, mengisi ruangan dengan aroma pedas dan getir.
Di tengah ruangan, duduk seorang pria besar dengan rambut beruban dan mata tajam penuh pengalaman. Pria itu adalah manajer bar sekaligus pemimpin cabang guild informasi—sosok yang sudah terbiasa mengurusi hal-hal rahasia dan memfasilitasi orang-orang yang ingin menghilang dari dunia mereka. Tatapannya segera terkunci pada Jisoo, matanya menyipit saat mengenal wajahnya.
“Ah, kita bertemu lagi,” katanya dengan senyum kecil, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku ingat kau, gadis yang pernah membeli identitas beberapa waktu lalu.” Dia mengamati Jisoo dari ujung kepala hingga kaki, ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit rasa tertarik. Gadis itu tampak kacau, rambutnya berantakan, tubuhnya terbungkus gaun tidur tipis yang kini basah oleh keringat dan debu jalanan, menambah kegetiran pada wajahnya.
Tatapan pria itu tidak sepenuhnya bersahabat, apalagi saat melihat gaun tidur tipis Jisoo yang sedikit memamerkan lekuk tubuhnya. Dia menatapnya dengan penuh minat, senyumnya menyiratkan keinginan untuk tahu lebih dalam tentang situasinya. Jisoo merasa risih, tubuhnya langsung tegang, dan dia segera menarik sisa-sisa kain gaunnya untuk menutupi tubuhnya dengan lebih baik.
“Aku tidak punya banyak waktu,” serunya dengan nada tegas, mencoba untuk mengalihkan perhatian pria itu dari penampilannya yang kurang pantas. “Aku datang ke sini karena butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang perlu kulakukan secepatnya.”
Manajer bar itu mengangkat alisnya, tersenyum tipis. “Oh? Dan bantuan seperti apa yang kau cari kali ini, Nona ...?”
Jisoo menatapnya tajam, tidak ingin memperpanjang percakapan yang tak perlu. “Aku butuh guild informasi untuk melacak seseorang,” ujarnya tanpa basa-basi. “Namanya Arden Macallister. Usianya sekitar 36 tahun.”
Pria itu mengangguk, ekspresi serius menggantikan senyum tipisnya. “Arden Macallister, ya? Nama yang cukup spesifik. Kami bisa membantu dengan harga yang tepat.”
“Dan juga, aku butuh secarik kertas dan pensil,” tambahnya, mempersiapkan langkah berikutnya.
Manajer itu memberi isyarat pada sang bartender, yang segera menyerahkan selembar kertas lusuh dan sebuah pensil. Jisoo menerima keduanya dengan cepat, duduk di kursi kayu yang ada di sudut ruangan, dan mulai menulis. Tangannya bergerak lincah, mencoretkan huruf-huruf dalam bahasa lama Enia—bahasa kuno yang hanya dipahami oleh keluarganya, serta sebagian kecil penduduk asli Enia. Bahasa itu asing dan nyaris tak terbaca bagi siapa pun yang bukan berasal dari wilayah tersebut.
Selesai menulis, Jisoo menghela napas pelan, seolah-olah setiap huruf yang dia tulis melepaskan sedikit beban di dadanya. Surat itu bukan hanya pesan, tetapi permohonan yang tulus kepada saudara laki-lakinya, Junghoon, satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya.
Sebagai langkah terakhir, Jisoo meraih cincin kecil yang melingkar di jari manisnya—cincin identitasnya sebagai putri kedelapan Keluarga Kim. Cincin itu memiliki lambang khusus keluarga, sebuah simbol kecil yang hanya dikenali oleh keluarganya dan orang-orang tertentu di Enia. Lambang itu adalah bukti identitasnya yang tak terbantahkan dan begitu saudara laki-lakinya melihat cincin ini bersama surat dalam bahasa lama Enia, dia pasti akan mengerti.
Dengan hati-hati, dia menyerahkan surat dan cincin itu kepada manajer bar. Kemudian tatapannya berubah serius dan penuh harapan. “Pastikan surat ini sampai pada orang yang tepat,” ucapnya dengan suara bergetar sedikit meskipun berusaha tetap tegar. “Jika kau bisa memastikan Arden Macallister menerimanya, aku akan membayar berapa pun yang kau minta.”
Membayar berapa pun yang dia minta? Sebenarnya, Jisoo berniat meminta saudaranya untuk menanggung biaya jasa guild informasi ini. Dalam suratnya, dia tak menjelaskan masalahnya secara rinci, hanya menyampaikan garis besarnya. Namun, di bagian akhir, dia menekankan urgensi keadaannya dan berharap saudaranya mau berbagi sedikit dari kekayaannya demi membayar bantuan dari guild informasi ini.
Manajer bar itu mengamati surat dan cincin tersebut, sedikit tertarik dengan benda kecil yang tampak tak berharga bagi orang luar, tapi jelas memiliki makna mendalam bagi gadis ini. “Arden Macallister, saudaramu?” tanyanya dengan mata menyelidik, mencoba mencari petunjuk lebih dalam.
“Bukan. Hanya seorang kenalan yang berhutang kepadaku,” jawabnya singkat, enggan mengakui karena hal itu terdengar terlalu beresiko. “Katakan padanya, aku butuh bantuannya.”
Pria itu mengangguk pelan, lalu menyelipkan cincin dan surat tersebut ke dalam saku jaketnya dengan hati-hati. “Kami akan memastikan surat ini sampai ke tangan yang benar,” katanya sebelum mengubah suaranya jadi lebih terdengar profesional. “Namun, kau tahu untuk pekerjaan seberat ini, bayarannya tidak murah.”
“Aku akan membayar lebih, asalkan pekerjaan ini selesai secepat mungkin!” tegasnya.
Sekali lagi, manajer bar itu mengangguk, puas dengan keseriusan dan kesediaan Jisoo untuk membayar jasa guidlnya. “Baiklah. Kami akan mulai bekerja,” katanya sambil menyeringai kecil. “Begitu kami menerima balasan, kami akan mencarimu. Kita tidak ingin ada yang mencarimu dengan cara yang tidak kita inginkan, bukan?”
Jisoo mengangguk, sepenuhnya memahami. Dia tidak boleh kembali ke tempat ini sebelum menerima balasan dari Arden Macallister—Junghoon, saudara laki-lakinya. Sang manajer guild tampaknya cukup memahami garis besar situasinya, sangat jelas bahwa mereka tidak ingin terlalu terlibat dalam masalahnya yang mungkin mengundang risiko besar meskipun mereka bersedia membantu selama dia membayar jasa mereka.
Seraya mengambil napas dalam, Jisoo pun berdiri dari kursi kemudian melangkah keluar dari ruangan itu dengan kepala tegak.
Di belakangnya, sang manajer bar memperhatikan punggung Jisoo yang semakin menjauh, dengan senyum tipis penuh arti terlukis di wajahnya. “Arden Macallister, ya?” gumamnya pelan.
Nama itu tidak asing lagi, melainkan nama yang sangat dikenal di dunia bawah. Arden Macallister bukan sosok sembarangan, bukan seseorang yang bisa disentuh atau diganggu tanpa resiko besar. Pengaruh pria itu di dunia bawah bukan main-main. Berurusan dengannya berarti berhadapan dengan salah satu tokoh paling berpengaruh di jaringan bayangan yang jarang terlihat namun selalu ada.
Manajer bar teringat pertemuan mereka beberapa tahun lalu di Wilayah Barat, jauh dari Ibukota Tarrin di Wilayah Selatan. Mereka bukan teman, tetapi cukup untuk saling memahami batasan yang tidak boleh dilanggar. Arden Macallister adalah tipe orang yang hidup di balik bayang-bayang, menjaga jarak dengan siapa pun yang berusaha mendekat atau mencoba mengungkit kehidupannya. Jika ada yang mencoba, mereka mungkin tidak akan selamat untuk melihat hari esok.
Manajer itu sejenak merasa tertarik, ingin tahu lebih banyak tentang hubungan Jisoo dan Arden yang tampak tak terduga ini. Namun, dia segera menepis dorongan itu. Terlalu berbahaya, Arden terkenal bengis terhadap siapa pun yang mencoba menggali masa lalunya atau mencampuri urusannya. Menghormati batasan adalah pilihan yang bijaksana.
“Hei, segera kirim pesan untuk Arden Macallister!” perintahnya kepada bartender yang setia menunggunya di sisi ruangan.
Bartender itu langsung mengangguk, menyadari betapa pentingnya nama yang baru saja disebut. Arden Macallister, hanya menyebut nama itu saja sudah cukup membuat bulu kuduknya berdiri. Tanpa membuang waktu, dia segera menyiapkan pesan untuk dikirim.
Manajer bar menatap bartendernya dengan senyum yang lebih puas. “Kurasa kita akan mendapat keuntungan besar dari ini,” gumamnya, membayangkan bayaran besar yang mungkin akan dia terima.
Arden terkenal bukan hanya karena ketajamannya, tetapi juga kemurahan hatinya terhadap mereka yang menjalankan tugasnya dengan benar. Manajer itu menyeringai, merasa ini adalah salah satu pekerjaan paling mudah dengan hasil yang menjanjikan.
❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜
Jisoo berhenti sejenak, berdiri di pinggir jalan sambil mengatur napas. Udara di sekitar terasa dingin dan menusuk meskipun matahari sudah cukup tinggi di langit. Hiruk-pikuk Kota Tarrin terasa begitu kontras dengan situasinya saat ini. Orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian rapi, pedagang di pinggir jalan berteriak menawarkan dagangan, dan kereta kuda lewat dengan suara derit yang mengisi udara. Namun, Jisoo tak bisa merasakan kenyamanan di tengah hiruk-pikuk ini. setiap wajah asing yang melewatinya tampak seperti ancaman yang mengintai.
Atensi Jisoo menyapu sekeliling dengan kewaspadaan tinggi, setiap orang yang melintas tampak mencurigakan di matanya. Taeyong mungkin sudah menyadari kepergiannya atau paling tidak, akan segera mengetahui bahwa dirinya telah kabur. Begitu menyadarinya, dia pasti akan langsung bergegas mengejarnya.
Tidak ada waktu untuk bersantai. Bahkan dengan pesan yang telah dia tinggalkan untuk kakaknya, Jisoo tidak bisa menunggu di tempat yang terlalu terbuka seperti ini. Resikonya terlalu besar. Rasa takut dan khawatir masih bersemayam dalam dirinya, membuatnya gelisah setiap kali seseorang berjalan terlalu dekat.
Jalanan berbatu di bawah kakinya terasa keras dan dingin, mengingatkannya pada persiapan yang kurang matang. Gaun tidur yang melekat di tubuhnya terasa semakin tidak nyaman; kain tipis itu tidak memberikan perlindungan apa pun dari pandangan orang-orang atau dinginnya udara. Rasa malu dan lelah bercampur dalam benaknya, tapi dorongan untuk melarikan diri mengalahkan segalanya.
Setelah beberapa saat mempertimbangkan pilihannya, Jisoo akhirnya memutuskan untuk menuju sisi gelap Kota Tarrin, sebuah wilayah pinggiran yang terkenal kumuh dan berbahaya. Di sana dia akan lebih mudah untuk bersembunyi tanpa menarik perhatian. Wilayah pinggiran Tarrin adalah tempat yang dihindari oleh para bangsawan dan orang-orang berkelas. Tempat itu seperti labirin gang sempit, bangunan-bangunan reyot, dan penduduk yang tidak terlalu peduli pada urusan orang lain. Jika dia ingin menghilang dari pandangan dunia, di sanalah tempatnya.
Jisoo mengencangkan pegangan pada kain gaun tidur yang melilit tubuhnya, seolah-olah kain tipis itu bisa melindunginya dari pandangan orang lain dan bahaya yang mungkin mengintai di pinggiran kota. Dengan langkah cepat dan hati-hati, dia mulai bergerak menuju jalanan yang lebih sempit, meninggalkan pusat keramaian Tarrin.
Perjalanan ke pinggiran kota terasa panjang dan melelahkan. Jalanan yang tadinya ramai mulai berubah menjadi lebih sunyi dan gelap, seiring dengan semakin jauhnya dia dari pusat kota. Bangunan-bangunan megah yang berderet di Kota Tarrin digantikan oleh deretan rumah-rumah tua dengan cat mengelupas, dinding berlumut, dan jendela-jendela yang retak. Aroma apak dan debu yang lembab memenuhi udara, bercampur dengan bau sampah yang berserakan di sudut-sudut jalan.
Jisoo menahan napas, merasa mual oleh aroma yang menyengat di udara. Kerikil tajam dan pecahan kaca kecil di jalanan menusuk telapak kakinya, meninggalkan rasa perih yang semakin parah. Namun, rasa sakit itu kini bukanlah masalah utama. Satu-satunya hal yang penting baginya adalah menemukan tempat aman untuk bersembunyi, tempat di mana dia bisa menunggu dengan tenang hingga Junghoon datang mencarinya.
Saat semakin dalam memasuki gang-gang sempit, Jisoo terus melirik sekeliling, memastikan tak ada mata yang memperhatikannya dengan terlalu lama. Beberapa penduduk setempat menoleh sekilas, tapi kebanyakan hanya menatapnya tak acuh. Bagi mereka, seorang gadis asing dengan pakaian lusuh dan tampak kebingungan bukanlah sesuatu yang menarik perhatian di lingkungan ini. Wajah-wajah lelah yang biasa hidup di balik bayang-bayang kemewahan Kota Tarrin lebih sibuk dengan urusan masing-masing dan hal itu memberi Jisoo sedikit rasa aman.
Jisoo melangkah lebih jauh, hingga lorong yang dia masuki semakin gelap dan pengap, dipenuhi oleh bayangan gedung-gedung tua yang berdiri miring dan terasa mengancam. Udara semakin lembab dengan bau campuran sampah dan asap yang pekat menusuk hidungnya. Di sini hiruk-pikuk pusat kota nyaris tak terdengar, hanya suara samar percakapan dan tawa serak yang pecah dari kejauhan.
“Di mana aku bisa menunggu dengan aman?” gumamnya pelan sambil melangkah hati-hati. Telapak kakinya terasa semakin sakit karena bebatuan kasar yang terus menekan kulitnya yang sudah mulai lecet.
Di ujung gang, pandangannya tertumbuk pada sebuah bangunan kecil yang tampak sepi dengan pintu kayu sudah lapuk dan jendela berdebu. Jisoo sedikit ragu-ragu saat mendekati pintu itu dan mencoba mengintip ke dalam melalui celah sempit di jendela yang berdebu, berharap bangunan tua ini bisa memberinya tempat untuk sekadar berlindung sementara.
Namun, sebelum dia sempat memastikan keamanannya, sebuah suara berat terdengar di belakangnya. “Hei, Nona, kau tersesat?”
Jisoo terlonjak kaget, seketika membalikkan badan dan melihat seorang pria tinggi dengan tatapan tajam tengah menatapnya. Tatapan pria itu tajam, penuh kecurigaan, membuat Jisoo menelan ludah dan rasa cemas langsung menyeruak di dadanya.
Pria itu mengenakan pakaian lusuh dan topi hitam yang sudah pudar warnanya, sementara wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan topi tersebut. Di tangan kanannya tampak sebuah botol yang setengah kosong, menambah kesan bahwa dia mungkin menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat ini
“Tidak, aku ... aku hanya sedang melihat-lihat saja,” jawabnya sambil mengambil langkah mundur, menjaga jarak dengan pria itu. Di lingkungan ini, jangan terlalu dekat atau percaya dengan orang asing terutama seorang pria.
Pria itu menyipitkan mata, memperhatikan penampilannya yang kacau. “Hanya melihat-lihat, ya?” gumamnya sambil melirik ke arah bangunan kecil yang baru saja dilihat Jisoo. “Tapi kelihatannya kau tersesat.”
Tatapan pria itu berubah, campuran antara rasa geli dan nafsu yang membuat Jisoo segera merasakan ancaman di hadapannya. Saat itu juga, tanpa pikir panjang, dia memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah cepat, Jisoo mundur satu langkah, lalu berbalik dan segera melesat, berlari secepat yang dia bisa.
Namun, pria itu lebih gesit dari yang dia bayangkan. Begitu melihat Jisoo melarikan diri, dia langsung bergerak mengejarnya, tubuhnya melesat di antara gang-gang sempit seperti bayangan gelap, sementara Jisoo berusaha sekuat tenaga untuk terus berlari. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar kencang di dadanya seperti genderang perang. Setiap langkah terasa semakin berat, terutama karena kakinya yang lelah dan terluka—rasa perih dari lecet yang menyayat di telapak kakinya mulai menusuk-nusuk.
“Jangan lari, Nona! Tak ada gunanya,” teriak pria itu dari belakang, suara kasarnya bergema di dinding-dinding gang sempit.
Jisoo menggigit bibir, berusaha mengabaikan sakit di kaki dan dorongan untuk berhenti. Kepanikan dan ketakutan menguasai pikirannya, memaksanya untuk terus bergerak. Gang-gang sempit yang berkelok-kelok membuatnya sulit memperkirakan arah, hingga dia hanya bisa memilih jalan secara acak, tanpa sempat berpikir lebih jauh.
Saat tiba di salah satu tikungan, pandangannya menangkap sebuah tong besar yang tersandar di dinding. Jisoo segera melompat ke belakangnya, tubuhnya menyusut rendah, berusaha menyembunyikan diri di balik benda itu. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat, dan dia berusaha sekuat tenaga menahan suara napasnya agar tidak terdengar. Di kejauhan, langkah pria itu semakin mendekat, gema langkahnya menggema di dinding-dinding sempit yang mengurungnya.
Langkah kaki pria itu semakin mendekat. Detak jantung Jisoo terasa memburu di dadanya, sementara seluruh tubuhnya menegang dalam ketakutan. Dia makin merapat ke dinding di belakang tong besar itu, berharap benda tersebut cukup besar untuk menyembunyikan tubuhnya.
“Kau pikir bisa bersembunyi dariku?!” Suara pria itu terdengar mengejek, tapi Jisoo tetap diam, memaksa tubuhnya untuk tidak bergerak sedikit pun.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, di mana hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar begitu jelas di telinganya. Kemudian, dengan suara geram, pria itu menggerutu sambil menendang batu kecil di dekatnya. “Keparat! Di mana kau bersembunyi?! Ketika aku menemukanmu, kau tidak akan bisa lepas dariku!” ancamnya sebelum langkah kakinya mulai terdengar menjauh.
Setelah yakin pria itu pergi, Jisoo menghela napas panjang sedangkan tubuhnya masih gemetar. Kali ini dia mungkin selamat, tetapi di tempat seperti ini, ancaman semacam itu bisa datang kapan saja. Masih ada banyak orang-orang berbahaya seperti pria itu di tempat ini. Di saat dia belum benar-benar sepenuhnya bebas dari Taeyong, sekarang dia harus menghadapi bahaya lainnya.
Udah mulai masuk chapter 40, tandanya buku satu “Breaking Her” mau end 🙂↔️🙂↕️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top