Chapter XXXII: Love or not?

Mobil yang mereka tumpangi melambat, mendekati sebuah bangunan megah yang berdiri anggun di tengah kota. Jisoo terkejut saat melihat bangunan di depan, itu bukan mansion milik Kediaman Han yang dia kira akan menjadi tujuan mereka, melainkan sebuah hotel yang megah nan mewah, menjulang tinggi di tengah-tengah kota.

Hotel itu berdiri dengan keanggunan klasik, membawa kesan kemewahan ala era lampau. Strukturnya megah, bercat merah muda dengan aksen emas yang menonjol di setiap sudutnya, memberi kesan dramatis dan tak terbantahkan. Lengkungan besar di atas pintu masuk utama dilapisi dengan ornamen klasik yang rumit, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas berjajar rapi di seluruh bangunan, mencerminkan cahaya lampu-lampu malam yang berkilauan.

Di atas bangunan, kubah besar di puncak hotel bersinar keemasan, menambah kesan mewah dan otoritas pada keseluruhan struktur. Menara-menara kecil berdiri di setiap sudut bangunan, memberi tampilan yang hampir seperti sebuah istana megah di puncak gunung. Balkon-balkon kecil dengan pagar besi tempa yang dihiasi pola-pola anggun tampak di sepanjang lantai atas yang menghadap langsung ke pemandangan kota.

Di bawahnya, lobi hotel yang lebar dikelilingi oleh lampu gantung kristal besar yang memantulkan cahaya berkilauan ke seluruh arah, seolah mengumumkan kemewahan hotel ini kepada siapa pun yang melihatnya. Pintu besar berwarna emas yang elegan terbuka dengan sendirinya begitu mobil tiba di depan, disambut oleh pelayan hotel yang siap melayani.

Taeyong langsung turun, lalu tanpa bicara, dia menggendong Jisoo dengan satu gerakan cepat dan penuh keyakinan. Tubuh Jisoo yang masih lemah, meskipun dia protes dalam hati, tidak bisa melawan. Rasa sakit di tubuhnya dan rasa malu yang mendadak muncul membuatnya hanya bisa diam dalam gendongan Taeyong.

Saat mereka berjalan menuju pintu masuk hotel, seorang pegawai hotel dengan seragam rapi segera menghampiri mereka. “Kamar Anda sudah disiapkan sesuai permintaan, Tuan,” katanya sambil sedikit membungkuk dengan hormat.

Taeyong mengangguk tipis, tanpa berhenti sejenak. “Bagus. Antar kami ke kamar.”

Pegawai itu segera mengarahkan mereka, berjalan cepat menuju lift khusus yang akan membawa mereka ke lantai paling atas, tempat suite mewah yang sudah dipersiapkan menanti mereka.

Jisoo semakin merasa malu seiring perjalanan mereka melalui lobi hotel yang luas dan mewah. Lobi itu dipenuhi oleh tamu-tamu hotel yang tengah berbicara atau berjalan ke sana kemari, beberapa di antaranya langsung menghentikan aktivitas mereka dan menoleh ke arah Jisoo dan Taeyong. Para pegawai hotel berdiri dengan sopan, beberapa menunduk dengan hormat ketika Taeyong melintas, sementara para tamu lain hanya bisa menatap dengan rasa penasaran yang jelas terpancar dari wajah mereka.

Rasa panas menjalar di wajahnya ketika digendong dengan begitu protektif. Malu rasanya menjadi pusat perhatian dari banyak pasang mata yang memandang penuh rasa ingin tahu. Jisoo ingin sekali menghilang dari pandangan semua orang, tapi tubuhnya membeku, tak mampu melakukan apa pun selain menahan. Kedua tangan yang melingkar di leher sang pria semakin mengerat, mencari perlindungan dengan menyembunyikan wajah di ceruk lehernya, berusaha melarikan diri dari perhatian yang begitu menyiksa.

Aroma maskulin dan kuat dari Taeyong seketika memenuhi inderanya, menyusup ke dalam setiap tarikan napas. Meskipun kehadiran aroma itu membuat rasa tidak nyaman semakin besar, pilihan untuk bersembunyi di sana tampak lebih baik daripada menghadapi tatapan yang terus mengekor mereka.

Sebuah kekehan pelan meluncur dari bibir Taeyong, saat menikmati sensasi hangat napas yang bersembunyi di ceruk lehernya. “Malu, ya?” Suara bariton itu berbisik menggoda, sepasang mata tajamnya berkilat penuh kepuasan menyaksikan reaksi yang begitu menggemaskan.

Tak ada jawaban yang terucap, hanya gigitan kuat pada bibir bawah, berusaha meredam rasa malu dan frustrasi yang kian mendera.

Dentingan lembut terdengar saat lift mewah itu terbuka. Pegawai hotel dengan sigal menekan tombol dan pintu lift terbuka, menanti mereka masuk. Taeyong melangkah masuk bersama Jisoo yang masih dalam gendongannya. Setelah membungkuk hormat, pegawai itu mundur perlahan, membiarkan pintu lift menutup dengan dengung halus.

Keheningan mengambang dalam ruang lift yang berlapis cermin dan panel emas. Wajah itu masih setia bersembunyi, enggan bertatapan dengan pantulan bayangan mereka. Namun, tatapan tajam  Taeyong tak pernah lepas mengamati, mengikuti setiap gerakan sekecil apa pun dengan intensitas yang membuat jantung Jisoo berdebar kencang. Sementara lift terus bergerak naik dengan mulus, membawa mereka menuju suite mewah di lantai paling atas.

Begitu pintu terbuka, kemegahan lantai eksekutif langsung menyergap penglihatan. Kelegaan membanjirinya saat menyadari tak ada lagi mata penasaran yang mengawasi. Jisoo menarik kepalanya dari ceruk leher Taeyong, akhirnya merasa sedikit lebih nyaman. Rasa malu yang tadi menelannya mulai mengendur meskipun jantungnya masih berdebar.

Suite presidential ini, yang menempati seluruh lantai teratas, sepenuhnya merupakan milik Taeyong. Tempat yang biasa pria itu tinggali selama tidak pulang ke mansion keluarganya. Langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi dengan lukisan pemandangan langit biru dan awan, memberikan ilusi ruang yang lebih luas. Di tengah-tengah ruangan, lampu gantung kristal besar tergantung megah, memantulkan cahaya lembut yang menyebar ke seluruh ruangan, dan menciptakan suasana hangat namun tetap berkelas.

Dindingnya dilapisi panel kayu gelap, dihiasi ukiran emas halus yang memberi kesan mewah tanpa terlihat berlebihan. Lantai marmer mengilap membentang dari ujung ke ujung, menyatu sempurna dengan karpet merah marun tebal yang menambah kesan elegan dan otoritas. Lukisan-lukisan bergaya klasik yang menghiasi dinding menampilkan pemandangan alam dan potret sosok aristokrat dari masa lalu, seolah mempertegas bahwa tempat ini bukan sekadar hotel biasa—ini adalah simbol kekuasaan dan status.

Di setiap sudut, perabotan antik dari kayu mahoni dengan sentuhan emas tertata dengan sempurna. Sofa berlapis beludru dan kursi berukir menambah nuansa eksklusif, menciptakan kesan bahwa hanya orang-orang dengan status tinggi yang pantas berada di sini.

Lorong panjang dengan dinding berlapis sutra membawa mereka menuju kamar di ujung ruangan. Pintu kayu berat dengan ukiran rumit menunggu di ujung lorong, tampak kokoh dan tak tersentuh oleh waktu. Taeyong berjalan santai, masih menggendong Jisoo tanpa tanda-tanda kelelahan, seolah berat tubuhnya tak berarti apa-apa. Langkah kakinya yang mantap di lantai marmer terdengar jelas, kontras dengan suasana sepi dan mewah di sekeliling mereka.

Jisoo melirik ke sekeliling, matanya menangkap setiap detail kemegahan yang ada di sekitarnya. Meskipun mengagumi keindahan dan kemewahan hotel ini, perasaan tidak nyaman terus menyelimutinya. Semua ini, mulai dari arsitektur megah hingga perabotan mahal, tampak seperti simbol kekuasaan Taeyong, sebuah pengingat jelas bahwa dia terjebak dalam dunia yang sepenuhnya dikendalikan oleh pria ini.

“Mengagumi tempat ini?” tanya Taeyong dengan nada ringan, sambil terus berjalan, seolah membaca pikirannya.

Jisoo menoleh sedikit, menatapnya dengan pandangan datar. “Lebih tepatnya, aku merasa terjebak di sini.”

Taeyong tersenyum kecil, tidak menanggapi langsung. Dia membuka pintu kamar dengan santai, lalu masuk ke dalam ruangan yang tidak kalah megah dibandingkan lorong tadi. Kamar ini lebih besar dari kamar-kamar hotel biasa dengan dinding berlapis kain sutra halus dan jendela besar yang memamerkan pemandangan kota malam.

Setelah masuk ke kamar, pintu kayu berat itu tertutup dengan bunyi halus, menambah kesan bahwa ruangan ini benar-benar terisolasi dari dunia luar. Ruangan itu luas dengan dinding berlapis kain sutra halus berwarna emas lembut yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu antik di sudut ruangan. Jendela-jendela besar menghadap ke pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar bulan. Walaupun keindahan itu terpampang jelas, Jisoo merasa semakin terjebak.

Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur besar dengan kanopi berwarna merah marun dan tirai berenda emas berdiri megah. Seprai satin halus menutupi tempat tidur itu, menciptakan kontras dengan dinding berwarna emas dan perabotan kayu mahoni yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal kecil di tengah ruangan. Sofa panjang berlapis beludru terletak di samping jendela, ditemani oleh meja kecil yang dihiasi bunga mawar putih segar.

Taeyong menurunkan Jisoo perlahan ke atas tempat tidur. “Istirahatlah di sini. Kau butuh waktu untuk memulihkan diri,” katanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Jisoo mengerutkan dahi dan menatapnya. “Energi untuk apa?”

Pria itu tersenyum kecil, lalu menjawab dengan santai, “Untuk bertahan di sisiku, tentu saja.” Nada suaranya terdengar ringan, tetapi Jisoo bisa merasakan ancaman halus di balik kata-katanya.

Jisoo mengepalkan tangan, merasakan amarah bercampur dengan ketidakberdayaan. “Kau benar-benar menikmati mengurung orang, ya?”

Taeyong menoleh, lalu menyeringai. “Lebih tepatnya, mengurungmu.” Dia pun menambahi, “Di tempat ini, tidak ada yang bisa mengganggu kita dan tidak ada yang bisa membantumu. Di sini kau sendirian, Jisoo.”

Jisoo membuang pandangan ke sisi lain kamar, berusaha menenangkan diri. Namun, kata-kata Taeyong terus menghantamnya, mengingatkan bahwa tidak ada jalan keluar mudah dari situasi ini.

“Jadi, apakah aku akan terkurung di sini selamanya?” tanya Jisoo dengan suara getir.

“Kau akan bebas jika aku mengizinkannya. Tapi untuk saat ini,” dia mengangkat dagu Jisoo dengan lembut, memaksanya menatap langsung ke matanya, “kau milikku.”

Jisoo menatap Taeyong, matanya menyala dengan campuran amarah dan ketidakberdayaan. Dadanya terasa semakin sesak, dan kata-kata Taeyong terasa seperti rantai yang membelitnya lebih erat. “Kau benar-benar terobsesi, ya?” ucapnya, nada suaranya getir, tapi juga penuh dengan rasa kecewa.

“Mungkin,” jawabnya tanpa ragu. “Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah kau ada di sini. Di sisiku.”

Jisoo menggertakkan giginya, berusaha keras menahan emosi yang bergemuruh dalam dirinya. “Aku tahu kau orang gila. Tapi ini sebuah kejahatan! Yang kau lakukan ini bukan karena kau menyukaiku atau mencintaiku, Taeyong. Kau memperlakukanku seolah aku milikmu.”

Taeyong menunduk sedikit lebih dekat, matanya menatap dalam-dalam ke mata Jisoo. “Cinta atau bukan, itu tidak ada bedanya bagiku. Yang aku butuhkan hanya kau di sini. Dan aku akan memastikan kau tetap di sisiku.”

Jisoo menarik napas panjang berusaha keras menenangkan diri meskipun pikirannya dipenuhi rasa takut. “Kau tidak bisa memaksaku, Taeyong. Pada akhirnya, aku akan menemukan caraku sendiri untuk bebas. Kau tidak akan bisa mengontrol semuanya selamanya.”

Pria itu tersenyum lagi, senyum itu begitu dingin. “Kita lihat saja nanti, tapi untuk saat ini jangan terlalu berharap,” ujarnya sambil melepaskan dagu Jiso dan melangkah mundur. “Istirahatlah. Kau akan butuh tenagamu nanti.”

Jisoo tidak membalas, hanya membuang muka dan memalingkan wajahnya dari pria itu. Tidak ada gunanya berbicara lebih jauh, setidaknya untuk saat ini. Rasa lelah dan frustrasi memenuhi dirinya.

Taeyong melangkah ke pintu, lalu berhenti sejenak. Dia menoleh dan memberi peringatan terakhir. “Jangan bertindak sembrono. Semua orang di hotel ini adalah orangku. Dan di luar, pengawal khusus sudah kusiapkan untuk menjaga kamarmu.”

Dia hanya bisa diam mendengar ancaman itu. Pikirannya berputar-putar, namun nihil. Dia tahu Taeyong tidak main-main dengan ancamannya. Melompat dari lantai atas? Itu mustahil. Bahkan jika dia berhasil keluar dari kamar ini, pengawal yang ditempatkan untuk menjaganya sudah siap menangkapnya.

“Jika kau berpikir untuk kabur, Jisoo,” lanjutnya dengan senyum tipis, “mereka punya perintah menembak kakimu. Tidak akan membunuhmu, tapi kau tidak akan bisa berjalan lagi. Jadi, jangan coba-coba.”

Jisoo mengigil mendengar ancamannya. Meski berusaha menyembunyikan ketakutan di wajahnya, keberaniannya seolah hancur berkeping-keping. Dia tidak punya pilihan lain selain pasrah untuk sementara waktu. Melarikan diri dalam kondisi tubuhnya yang lemah saat ini bukanlah pilihan yang bijak. Dia harus menunggu—menunggu hingga pulih, hingga dia bisa berdiri dan berjalan tanpa bantuan.

Taeyong memandangnya sejenak sebelum keluar, meninggalkan keheningan dingin dalam kamar itu. Jisoo menatap langit-langit, berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak. Tidak ada jalan keluar sekarang. Tidur adalah satu-satunya cara memulihkan tubuh. Pelarian itu—entah kapan terjadi—hanya bisa dimulai saat dia kembali sehat.

Lorong hotel yang panjang dan mewah, dihiasi dengan panel kayu gelap dan lampu gantung kristal kecil yang berkilauan, berderak lembut di bawah langkah-langkah Taeyong. Setiap sudut ruangan memancarkan kemegahan, tapi aura dingin dari sikap Taeyong membuat tempat itu terasa kosong. Di ujung lorong, Benjamin sudah berdiri tegap, mengenakan seragam formal seperti biasa, senantiasa dalam posisi siap untuk perintah selanjutnya.

Sementara itu, di luar kamar hotel Benjamin sudah berdiri tegap menunggu untuk menerima perintah selanjutnya. Begitu melihat sang tuan keluar, pelayan senior itu bergegas mendekat.

“Kita pergi sekarang ke mansion. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan,” ucapnya langsung memberi perintah.

“Tentu, Tuan,” jawab Benjamin tanpa ragu, langsung mengikuti dari belakang seperti bayangan yang setia tanpa menanyakan lebih jauh.

Sebelum pergi, Taeyong berhenti di depan pintu kamar yang dijaga oleh dua pria berpakaian seragam hitam. Mata dinginnya melirik kedua penjaga itu, memastikan mereka memahami betapa seriusnya perintah yang akan dia berikan.

“Perhatikan wanitaku dengan baik,” ucapnya, suaranya tak meninggi, tetapi terdengar penuh ancaman terselubung. “Jangan sampai dia keluar dari kamar. Jika dia mencoba melarikan diri, kalian tembak saja kakinya.”

Kedua penjaga itu terdiam, namun reaksi mereka jelas. Mata mereka saling bertemu sejenak mencoba memastikan bahwa mereka mendengar perintah itu dengan benar. Ekspresi terkejut berusaha mereka sembunyikan, tapi tetap tidak bisa hilang sepenuhnya. Ancaman itu begitu kejam, bahkan bagi mereka yang terbiasa dengan perintah-perintah brutal. Kendati demikian, mereka tahu bahwa perintah dari Taeyong adalah mutlak.

“Jangan ragu-ragu. Itu adalah tanggung jawabku, bukan kalian. Jadi, lakukan saja apa yang perlu dilakukan.”

Salah satu penjaga segera mengangguk, menelan kegelisahan dalam-dalam. “Baik, Tuan.”

Taeyong tersenyum kecil, senyum itu tipis dan dingin, seperti seorang yang terbiasa mengendalikan segala sesuatu di sekitarnya. “Bagus.” Setelah itu, tanpa berkata lebih lanjut, dia berbalik dan melangkah pergi dengan sikap tenang. Langkah-langkahnya mantap, tak tergesa, seolah-olah dunia ini sepenuhnya berada dalam kendalinya.

Benjamin mengikuti dengan patuh di belakang, berjalan melewati koridor hotel yang sunyi dan berkilau di bawah cahaya lampu kristal. Mereka meninggalkan hotel mewah milik Taeyong, keluar ke udara malam yang segar. Mobil hitam elegan sudah menunggu di pintu masuk, lampunya bersinar terang di tengah gemerlap kota.

Taeyong masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata, diikuti oleh Benjamin yang segera menutup pintu. Dalam sekejap, mesin mobil mulai berdengung dan mereka melaju dengan tenang menuju mansion Han.

Taeyong tiba di mansion beberapa menit kemudian—jarak antara hotel dan mansion tidak terlalu jauh, keduanya sama-sama berada di pusat Kota Tarrin. Wajahnya menyiratkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Tanpa menunggu lama, dia melangkah cepat menuju ruang pribadi ibunya, Nyonya Laura, diikuti oleh Benjamin yang bergerak tenang di belakang.

Begitu sampai di depan pintu, tanpa mengetuk, Taeyong langsung masuk. Ruangan itu dihiasi perabotan mewah dengan cahaya lembut dari lampu gantung yang memantul di meja kerja besar. Di balik meja, Nyonya Laura duduk tenang tengah membaca dokumen yang tertata rapi di hadapannya.

Mendengar pintu terbuka, Nyonya Laura mengangkat wajahnya perlahan, melihat kedatangan putranya yang tiba-tiba. “Taeyong, kau sudah kembali?” sapanya dengan nada tenang.

“Kita harus bicara, Bu,” ujar Taeyong dengan tajam.

“Tentang apa?” tanya Nyonya Laura meskipun dia sudah bisa menebak dari ekspresi putranya.

“Pernikahanku. Kenapa kau mempercepatnya?” Taeyong langsung menyentuh inti masalah, matanya menatap ibunya dengan dingin, menuntut penjelasan.

Nyonya Laura meletakkan dokumen di tangannya, lalu menghela napas panjang. “Bukankah kau sendiri yang menyuruh ibu untuk mengurus pernikahanmu? Kau yang memintanya, Taeyong. Jadi, kenapa sekarang kau keberatan?” jawabnya tenang sambil menjaga suaranya tetap lembut namun tegas.

“Aku memang memintamu untuk mengurusnya, tapi bukan berarti kau harus mempercepatnya tanpa memberitahuku terlebih dahulu!” sergah Taeyong, suaranya sedikit meninggi. “Aku tidak suka didekte, Bu. Aku tidak suka dipaksa menjalani sesuatu yang belum kupersiapkan.”

Tatapan Nyonya Laura semakin cermat, matanya meneliti setiap perubahan di wajah putranya. “Kenapa kau merasa seperti itu? Bukankah kau sendiri mengatakan bahwa kau tidak keberatan menikah dengan Aimi?” tanyanya, mencoba memahami kegelisahan putranya.

Taeyong terdiam sejenak. Wajahnya menegang, seolah berusaha menimbang kata-kata yang tepat. “Aku memang bilang begitu, tapi itu tidak berarti harus dipaksakan secepat ini.”

“Kenapa?” Nyonya Laura menatapnya dengan alis sedikit terangkat, penuh rasa ingin tahu. “Apakah ada sesuatu yang terjadi?”

Taeyong menahan diri, sejenak terlihat seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan emosi yang terus berkecamuk di dalam dirinya. “Terserah ibu,” ujarnya kemudian dengan nada lebih tenang meski masih menyiratkan ketidakpuasan. “Aku tidak peduli kapan pernikahannya dilakukan. Selama itu tidak mengganggu kehidupan pribadiku, aku tidak akan protes.”

Nyonya Laura menatap putranya dengan sedikit terkejut. Dia meletakkan tangannya di pangkuan, lalu berbicara dengan nada sedikit kecewa. “Apa kau akan selalu begini, Taeyong? Apakah kau tidak menganggap pernikahan itu penting? Pernikahan adalah sesuatu yang sakral.”

“Selama hidupku tidak terganggu, aku akan selalu begini, Bu,” jawabnya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu mengusap rambutnya seolah ingin menghilangkan ketegangan. “Itu semua tergantung pada bagaimana Aimi akan menjadi istriku. Apakah dia akan memenuhi standarku atau tidak, aku tidak tahu.”

Nyonya Laura menghela napas panjang, kepalanya terangguk perlahan dengan ekspresi lelah. “Selalu bicara soal standar,” gumamnya, menggeleng pelan. “Nak, pernikahan bukan soal memenuhi standar. Pernikahan adalah soal berbagi hidup, berbagi cinta.”

Taeyong mendengus pelan, tampak tak tertarik pada topik itu. “Standar adalah segalanya, Bu. Tanpa standar, apa artinya sebuah hubungan? Aku tidak akan menikahi seseorang yang tidak bisa menyeimbangi diriku. Jika Aimi bisa melakukannya, maka semuanya akan baik-baik saja. Jika tidak ... maka aku tidak akan repot-repot mempedulikan hubungan ini.”

Nyonya Laura menghela napas panjang, kali ini lebih dalam, memandang putranya dengan sorot yang penuh kesedihan dan kelelahan. Wajahnya menggambarkan kepedihan seorang ibu yang menyaksikan putranya terjebak dalam pandangan hidup yang begitu kaku dan terukur. “Taeyong,” ucapnya lembut dengan suara bergetar halus, “hidup tidak bisa selalu diukur dengan standar yang kaku. Terkadang, kita harus membuka hati, bukan hanya melihat apa yang terlihat di permukaan.”

Taeyong hanya mengangkat bahu, sikapnya tetap tak acuh, seolah nasehat ibunya tak berarti baginya. “Aku sudah terbiasa menjalani hidup seperti ini, Bu. Standar adalah yang membentukku dan aku tidak akan mengubahnya.”

Nyonya Laura terdiam sejenak, meneliti wajah putranya yang kini terasa begitu asing. Dalam benaknya, dia bertanya-tanya bagaimana Taeyong bisa tumbuh dengan pandangan yang begitu dingin terhadap hidup. ”Apakah kau benar-benar berpikir kau bisa menjalani pernikahan seperti ini, Nak? Tanpa cinta, tanpa hati?”

“Selama itu tidak mengganggu hidupku, aku tidak peduli. Jika Aimi bisa menyesuaikan diri dengan apa yang aku mau, maka semuanya akan berjalan baik.”

Nyonya Laura menggelengkan kepalanya perlahan, kesedihan jelas tergambar di wajahnya. “Kau mungkin bisa mengatur segala sesuatu dalam hidupmu, Taeyong, tetapi kau tidak bisa mengatur cinta.”

Senyum tipis menghiasi bibir Taeyong, tapi senyum itu tidak mengandung kehangatan, lebih mirip seringai yang penuh keyakinan dingin. “Aku tidak butuh cinta, Bu. Aku butuh kendali.”

Nyonya Laura menatap putranya dengan perasaan campur aduk, kecewa dan prihatin. Dia tahu bahwa hubungan yang dijalin putranya ini akan terasa kosong—pernikahan tanpa cinta, tanpa kehangatan, tanpa makna yang seharusnya ada antara dua orang yang memutuskan untuk hidup bersama.

Hatinya terasa berat, seolah ada beban besar yang tak terucapkan di antara mereka. Wajah Taeyong tak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyadari ada sesuatu yang hilang dalam pandangannya tentang hidup.

Nyonya Laura menatap putranya dalam-dalam, sorot matanya penuh dengan rasa prihatin. “Ingatlah, Nak. Suatu saat nanti, cinta itu akan datang kepadamu dan saat itu tiba, kau harus siap menerimanya.”

“Aku tidak akan membiarkan perasaan yang tidak logis mengganggu hidupku,” jawabnya dengan nada dingin, seolah cinta hanyalah konsep yang tidak berguna dan rapuh.

Nyonya Laura menggeleng pelan, kepalanya tertunduk sejenak, matanya penuh dengan kesedihan yang dalam. “Aku hanya berharap kau tidak akan menyesal suatu hari nanti, Nak. Hidup tanpa cinta, tanpa hubungan yang sesungguhnya, hanya akan membuatmu kosong.”

Taeyong berdiri, mengabaikan nasihat ibunya dengan sikap dingin. “Aku tidak akan menyesa. Aku tahu apa yang aku lakukan.” Dia menatap ibunya sekali lagi sebelum beranjak pergi. “Dan soal pernikahan, terserah Ibu. Aku tidak akan mengganggu rencana apa pun selama Aimi bisa menyesuaikan diri dengan hidupku.”

Nyonya Laura hanya bisa menatap punggung putranya, hatinya penuh dengan kekhawatiran yang semakin mendalam. Setiap langkah Taeyong menjauh terasa semakin berat di hatinya karena meskipun putranya begitu yakin pada jalannya, kendali yang ketat itu hanya akan mengantarkannya pada kehampaan. Tatapan matanya penuh harap, berharap suatu hari Taeyong akan menyadari bahwa hidup tanpa cinta adalah hidup yang hampa, sebuah eksistensi yang tidak memberikan kebahagiaan sejati.

Namun, Taeyong tidak menoleh ke belakang. Langkahnya tetap tegap, penuh percaya diri. Dalam hatinya, semua yang dikatakan ibunya tidak memiliki tempat dalam logikanya. Dia tidak butuh cinta. Kendali adalah segalanya dan selama dia bisa mempertahankan kendali atas hidupnya, dia percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan sesuai rencana. Baginya, perasaan hanyalah gangguan dan hidupnya sudah dirancang untuk menghindari gangguan itu.

Latar ini tuh, kayak jaman dulu setelah masa revolusi tapi dunianya itu buatan—kayak Tarrin, Leeside, Benellau, dll. Makanya yang kemarin mereka naik dari kereta terus pindah ke mobil, karena akses ke mansion di hutan cuma bisa dilalui lewat kereta, kalau mau ganti mobil berhenti dulu di pondok. Makanya gak ada hape 🙈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top