Chapter XXXI: Mine 2.0
Jisoo duduk di kasur, punggungnya bersandar pada kepala ranjang mencoba meredakan rasa nyeri yang menjalar di tubuhnya. Semalam dia tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali menutup mata, bayangan kejadian malam sebelumnya terus menghantui pikirannya. Pinggangnya masih terasa nyeri begitu pula kakinya yang lemas, bukti dari perbuatan Taeyong yang memaksanya melakukan sesuatu yang tak pernah dia inginkan. Rasa sakit itu bukan hanya di tubuhnya, tapi juga di hati. Pikiran tentang apa yang telah dilakukan Taeyong, membuatnya merasa kotor dan tak berdaya.
Kendati demikian, dia masih belum mampu menghindar darinya. Semalam dia tidur di tempat yang sama dengan Taeyong, tapi bukan atas kemauannya. Tentu saja, pria itu membuatnya tidak punya pilihan selain tetap tinggal dalam satu ruangan bersamanya. Taeyong memeluknya erat sepanjang malam, seolah-olah takut kehilangan dirinya. Jisoo merasa tak nyaman dengan pelukannya karena setiap kali dia terbangun, jantungnya terus berdebar cepat. Ada rasa khawatir yang tak pernah hilang darinya, takut kalau Taeyong akan bangun dan menyerangnya lagi seperti yang dia lakukan kemarin.
Meskipun Taeyong semalam tidak mengganggunya secara langsung, tapi keberadaannya yang begitu dekat membuat Jisoo tidak bisa benar-benar merasa aman. Setiap gerakan pria itu di sampingnya membuatnya tersentak, takut serangan berikutnya akan datang kapan saja. Ketakutan dan kecemasan menyelimuti seluruh tubuhnya, membuat tidur nyenyak menjadi hal yang mustahil.
Rasa lelah dan putus asa telah mendominasi Jisoo. Dia tahu tubuhnya belum siap untuk bangkit. Setiap kali dia mencoba bergerak, nyeri di pinggangnya semakin menusuk. Berjalan pun sulit, belum lagi mandi, atau sekadar pergi makan. Semuanya terasa mustahil dilakukan sendiri. Taeyong juga tak memberinya pilihan. Setiap kali dia meminta pelayan untuk membantunya, Taeyong justru menolak hingga akhirnya mereka berdebat panjang.
“Hanya aku yang akan membantumu,” katanya tanpa ragu, seakan-akan dia memiliki hak penuh atas dirinya dan tidak mengizinkan siapa pun untuk menyentuhnya.
Jisoo langsung protes, bibirnya sudah terbuka untuk melontarkan keberatan, tetapi setiap kali dia melakukannya Taeyong selalu membantahnya dengan mudah.
“Aku tidak butuh bantuanmu! Panggil pelayan saja, aku bisa meminta bantuan mereka,” katanya dengan suara tegas, mencoba mempertahankan sisa-sisa harga dirinya. Dia benci harus bergantung pada Taeyong, lebih-lebih setelah semua yang dia lalui.
Taeyong hanya tersenyum dingin, mengabaikan semua permintaannya. “Aku sudah bilang, hanya aku yang akan membantumu. Tidak ada orang lain yang akan menyentuhmu.”
“Ini tidak masuk akal, Taeyong! Kau tidak bisa—”
“Aku bisa dan aku akan.” Suaranya tajam, memotong kalimat Jisoo. Matanya menatap dalam penuh keyakinan. Dia lalu menunduk mendekat, memastikan Jisoo mendengarnya dengan jelas. “Kau milikku dan aku tidak akan membiarkan orang lain mendekat atau menyentuhmu. Aku akan memastikan kau baik-baik saja, tapi dengan caraku.”
Jisoo terdiam, dadanya berdebar keras. Setiap kali dia mencoba melawan, Taeyong selalu memiliki jawaban. Tidak ada ruang untuk perdebatan, tidak ada kesempatan baginya untuk bisa menang dalam situasi apa pun. Semua kata-katanya dibalas dengan dominasi mutlak Taeyong, hingga akhirnya, dia merasa semakin tak berdaya.
“Kau tidak bisa mengatur hidupku.” Jisoo berusaha melawan untuk yang terakhir kali. “Aku punya hak atas tubuhku, atas hidupku sendiri. Kau tidak punya hak—”
“Aku sudah mengambil hak itu, Jisoo. Dan semakin cepat kau menerima itu, semakin baik untukmu,” potongnya dengan nada dingin namun tenang, seolah yang dia katakan adalah kebenaran mutlak.
Dia menelan ludah, rasa frustrasi memenuhi dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Taeyong hanya menambah beban di hatinya, seakan-akan tembok di sekitarnya semakin tinggi dan tak terjangkau. Tidak ada jalan keluar dari cengkeraman kekuasaan pria ini. Setiap kali dia mencoba melawan, protesnya sia-sia, dan setiap penolakan yang dilontarkan dibalas dengan kendali yang semakin kuat darinya.
Akhirnya, Jisoo menyerah. Bukan karena dia menerima atau merelakan situasi ini, tetapi karena dia tahu tidak ada gunanya melawan saat ini. Kekuatannya habis, tubuhnya lelah, dan Taeyong tidak akan mendengarkan apa pun yang dia katakan. Dia bisa merasakan bahwa setiap usaha untuk melawan hanya akan membuat dirinya semakin terjebak. Lebih baik menunggu dan melihat daripada membuang-buang tenaganya yang tersisa.
Perdebatan mereka pun terhenti. Taeyong dengan caranya yang dingin dan penuh kontrol, melakukan apa yang harus dilakukan—membantu Jisoo meskipun dia terus melontarkan protes. Pada akhirnya, dia hanya bisa pasrah, membiarkan Taeyong merawatnya di tengah kondisinya yang lemah. Setiap sentuhan Taeyong di tubuhnya terasa dingin meski pria itu menunjukkan perhatian yang tidak pernah dia minta.
Jisoo memijat pelipisnya, mencoba meredakan denyut sakit yang tiba-tiba menyerang saat pikiran tentang perdebatan terakhir mereka muncul kembali di kepala. Dia tidak tahu sampai kapan akan terjebak dalam situasi ini, dalam kekuasaan Taeyong yang mencekiknya secara perlahan. Rencana balas dendamnya, yang dulu begitu jelas dan menjadi alasan keberadaannya, sekarang terasa hampa, tidak berarti lagi. Yang tersisa kini hanyalah satu tujuan: melarikan diri. Dia harus keluar dari sini, keluar dari cengkeraman Taeyong sebelum dirinya benar-benar hancur.
Suara langkah kaki Taeyong yang bergerak pelan di atas lantai kayu membuat Jisoo perlahan membuka mata sepenuhnya. Pandangannya langsung tertuju pada pria itu, yang sudah berdiri rapi dengan setelan mahal.
Setelan jas hitamnya tampak sempurna, membungkus tubuh pria itu dengan keanggunan yang sulit disangkal. Kemeja putih yang rapi dipadukan dengan dasi sutra diikat rapi di lehernya, memperkuat kesan elegan dan tak tersentuh. Sepatu kulitnya mengilap memantulkan sedikit cahaya dari jendela, sementara rambutnya tersisir rapi, menambah kesan formal dan berwibawa. Sosok Taeyong yang gagah dan angkuh mungkin akan membuat wanita mana pun terpikat, tetapi bagi Jisoo, penampilan itu hanya memperkuat rasa benci yang dia rasakan.
Rasa kebencian itu menusuk lebih dalam, terutama ketika dia melihat betapa sempurnanya pria itu, seolah tidak ada yang bisa menyentuhnya. Dia benci mengakui bahwa Taeyong memang sosok pria yang ideal di mata banyak orang. Wajahnya sempurna, tanpa cela. Setiap detail dari penampilannya seperti dirancang dengan teliti, menunjukkan betapa sempurnanya dia sebagai sosok pria aristokrat. Tapi baginya, kemewahan dan ketampanannya itu hanya sebuah penampilan untuk menutupi kejamnya sifat pria itu.
Jisoo menggigit bibirnya, mencoba menahan campuran perasaan rumit antara kekaguman yang dipaksakan dan kebencian yang mendalam. Dia ingin mengatakan sesuatu, mungkin melontarkan komentar sinis, tapi suaranya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam diam, dia hanya bisa memandang pria itu, sementara dalam hatinya, dia terus menahan amarah dan rasa benci.
Sambil memperhatikan Taeyong yang sedang merapikan kemejanya di depan cermin, Jisoo merasa penasaran. Taeyong terlihat sangat rapi pagi ini, tidak seperti biasanya. Apa dia akan pergi? Apakah dia akan meninggalkannya lagi? Namun, Jisoo terlalu keras kepala untuk langsung bertanya.
Setelah puluhan menit memerhatikan Taeyong yang sedang merapikan kemejanya di depan cermin, rasa penasaran Jisoo akhirnya mengalahkan gengsinya. Dia menghela napas pelan, menyembunyikan kegugupan di balik suaranya. “Apa kau mau meninggalkanku di kamar lagi?” tanyanya pelan, suaranya masih terdengar lemah, seperti menyimpan harapan bahwa mungkin kali ini Taeyong akan memberinya sedikit kebebasan.
Pria itu berhenti merapikan kemejanya, menoleh, dan menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Bibirnya membentuk senyum tipis, senyum yang menyiratkan kepercayaan diri yang berlebihan. “Tidak, Jisoo. Kali ini aku akan membawamu.”
Jisoo mengerutkan kening, bingung dengan jawabannya. “Membawaku?” tanyanya dengan nada penuh keraguan.
Taeyong mengangguk, matanya tetap tertuju padanya, seolah-olah tidak ada yang lebih penting di ruangan itu selain Jisoo. “Tentu saja. Pria bodoh mana yang akan meninggalkan wanitanya di sini sendirian?”
Jisoo merasakan darahnya berdesir, setiap kata yang diucapkan oleh pria itu langsung membuatnya semakin marah. Wanitanya? Bagaimana bisa dia berkata begitu? Dia bukan milik siapa pun, apalagi miliknya! Dia ingin membantahnya namun kata-kata ‘wanitanya’ membuat pikirannya langsung teringat pada para wanita kelinci, sosok yang dipermalukan dan dipaksa lari seperti hewan buruan.
Tiba-tiba kenangan tentang para wanita kelinci terlintas di pikirannya. Dia teringat permainan kejam di mana para wanita harus berlari untuk menghindari para pria pemburu. Mengingat kembali pengalaman buruknya itu, tubuh Jisoo langsung tegang, ketakutan menyergapnya. Apa mungkin hari ini adalah hari perburuan lagi? Dengan kondisinya saat ini, bagaimana mungkin dia bisa berlari?
Seakan-akan bisa membaca kekhawatirannya, Taeyong mendekatinya dengan tenang, lalu menangkup wajah Jisoo dengan kedua tangannya. “Itu tidak akan terjadi lagi,” ujarnya lembut dengan mata menatap dalam, seolah mencoba menyakinkan Jisoo dengan tatapannya. “Jangan khawatir. Kali ini, kita akan pulang.”
“Pulang? Ke mana?” tanyanya pelan.
Namun, sebelum Jisoo sempat mendapatkan jawaban, Taeyong sudah membungkuk dan menempelkan bibirnya di bibir Jisoo. Ciuman itu berbeda, lebih lembut, dan jauh dari kekerasan atau paksaan yang biasanya menyertai setiap sentuhannya. Jisoo tertegun, tubuhnya mendadak membeku. Rasa jijik yang biasanya memenuhi pikirannya setiap kali Taeyong mendekatinya, kini terselip dalam kebingungan yang asing. Dia tidak mengerti, mengapa kali ini terasa berbeda. Tidak ada tekanan, tidak ada rasa terpojok seperti sebelumnya.
Sesaat dia hanya terdiam, terpaku oleh sentuhan lembut yang seharusnya membuatnya ingin mundur, tetapi justru meninggalkan perasaan yang membingungkan.
Taeyong melepaskan ciuman itu perlahan, bibirnya menjauh namun tatapan lembutnya tetap tertuju pada Jisoo. “Aku sudah selesai berkemas,” katanya santai, seolah-olah ciuman itu hanyalah hal biasa, sesuatu yang tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Jisoo masih terdiam, pikirannya berputar-putar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Tanpa peringatan, Taeyong bergerak cepat dan dalam satu gerakan sigap, dia menggendong Jisoo dengan mudah. Tubuhnya yang kuat mengangkat tubuh Jisoo yang masih lemah tanpa kesulitan. Jisoo tersentak, napasnya tercekat sejenak. Tidak ada waktu untuk melawan, dia hanya bisa menatap Taeyong dengan kebingungan, sementara pria itu tampak santai dan penuh kendali, seolah menggendongnya adalah hal yang wajar.
“Kenapa kau menggendongku?” Jisoo terkejut, nadanya setengah panik, tetapi juga diwarnai kebingungan.
Taeyong tertawa pelan, seringai kecil muncul di wajahnya. “Oh? Kau mau berjalan sendiri dengan kaki lemahmu itu?”
Jisoo terdiam lagi, baru menyadari sepenuhnya kelemahan tubuhnya. Keinginan untuk melawan masih ada, tetapi rasa sakit di pinggang dan kakinya terlalu besar untuk diabaikan. Dia ingin membantah, ingin menolak dengan keras, tapi kenyataan tubuhnya yang lemah membuatnya sadar bahwa perlawanan hanya akan sia-sia. Meski begitu, harga dirinya tidak membiarkannya menyerah begitu saja
“Aku bisa berjalan sendiri!” protesnya meskipun suaranya terdengar lemah dan tidak sebanding dengan keyakinan yang coba dia tunjukkan.
Taeyong hanya mengangguk pelan, senyum tipis terulas di wajahnya, tetapi dia tidak melepaskan Jisoo dari gendongannya. “Tentu, tentu,” katanya dengan nada tenang tanpa mau menuruti permintaannya. Dengan langkah tenang, dia membawanya keluar dari kamar.
Jisoo menggigit bibirnya, menahan rasa malu dan frustrasi yang semakin membesar. Dia ingin terus melawan, ingin meminta Taeyong menurunkannya, tapi rasa sakit di tubuhnya mengingatkannya bahwa perlawanan saat ini hanya akan mempermalukannya lebih jauh. Dia akhirnya terpaksa menerima keadaan ini, setidaknya untuk sementara waktu, meskipun hatinya menjerit penuh rasa frustasi dan ketidakberdayaan.
Suara langkah kakinya terdengar pelan di sepanjang lorong mansion. Jisoo hanya bisa diam menahan rasa sakit di pinggang dan kaki, serta rasa malu yang semakin mendesak di dalam dadanya. Derap langkah itu terasa seperti suara kekuasaan, membawa Jisoo semakin jauh dari privasinya dan semakin dalam ke dalam genggaman Taeyong.
Lorong panjang di mansion terasa dingin dan sunyi. Dinding-dinding besar yang dipenuhi karya seni klasik seolah memperlihatkan kekosongan, namun gemerlap emas dan ukiran-ukiran indah di langit-langit tak mampu menghapus perasaan dingin yang menyelimuti suasana. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar menyapu lantai marmer yang mengkilap, memperkuat kesan megah dari mansion tersebut.
Ketika mereka tiba melewati ruang tengah, suasana yang awalnya riuh mendadak sunyi. Teman-teman Taeyong yang sedang duduk berkumpul di sofa, asyik berbincang dan menikmati segelas minuman, langsung menghentikan aktivitas mereka saat melihat pemandangan yang tidak biasa.
Taeyong Antoine Han menggendong seorang wanita.
Mata mereka semua terbelalak, kaget, terkejut, bahkan ada yang tidak percaya. Seolah waktu berhenti sejenak, mereka menatap pemandangan itu dengan ekspresi campur aduk. Taeyong yang terkenal dingin dan tidak pernah peduli pada wanita tiba-tiba menggendong seorang perempuan di hadapan mereka semua? Ini bukan hal yang biasa bagi Taeyong, apalagi di depan teman-temannya.
“Hei, lihat itu, apa aku tidak salah lihat?” Wyatt yang pertama kali bersuara. Matanya masih terpaku pada sosok Taeyong yang melangkah dengan tenang tanpa peduli pada tatapan heran teman-temannya.
“Kelinci yang dibawanya kemarin, bukan?” celetuk salah satu dari mereka yang duduk di sofa sebelah. Suaranya mengalir datar, tetapi jelas mengandung rasa penasaran. “Kukira dia kabur kemarin. Bagaimana dia bisa ada di sini lagi?”
Robin, yang sedang duduk di pojok ruangan, langsung mengangkat alis, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Dia sudah kembali?” tanyanya penuh ketertarikan, matanya menatap lurus ke arah Jisoo.
Yunho menoleh sekilas, lalu menggeleng sambil tersenyum miring. “Tidak. Kurasa dia tidak pernah benar-benar kabur,” sahutnya berspekulasi.
Johnny, yang duduk di seberang mereka, menyilangkan tangan di dada dan menyipitkan mata penuh dengan rasa ingin tahu. “Sepertinya Taeyong sengaja menyembunyikannya,” tambahnya, matanya terus mengikuti gerakan Taeyong yang semakin menjauh.
Robin tertawa kecil, tapi ada sedikit keheranan di balik tawanya. “Tapi kenapa?” tanyanya membuat seluruh teman-temannya semakin bingung. Sebelum ini, Taeyong tidak pernah peduli pada wanita mana pun, apalagi sampai menggendongnya seperti itu.
“Itu memang aneh. Kau tahu Taeyong tidak pernah menunjukkan perhatian pada wanita, apalagi sampai menggendongnya seperti itu,” ujar Frans yang paling mengenal sosok pria itu, mengingat mereka pernah tinggal satu asrama di akademi dulu bersama Johnny
“Jadi, dia sudah kembali ke sini sejak kapan?” Wyatt menatap mereka semua, tatapannya penuh rasa ingin tahu yang mendalam. Jisoo, kelinci baru Taeyong yang sempat kabur, kini muncul kembali di mansion ini, dan bukan dalam kondisi terhina, melainkan digendong dengan perlakuan yang sangat berbeda dari wanita lain sebelumnya. “Kenapa dia memperlakukannya seolah kelinci itu adalah wanitanya ?” tanyanya sekali lagi.
Johnny menggeleng pelan, pandangannya tetap pada Taeyong yang menghilang di ujung lorong dengan seringai kecil menghiasi bibirnya. “Entahlah. Tapi ini sangat menarik. Taeyong tak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Biasanya dia hanya memaksa para wanita untuk mengikuti permainannya, tapi yang ini ....”
Gray mengangkat gelasnya, matanya menyipit sedikit sambil menatap kosong ke depan. “Wanita itu pasti punya sesuatu yang spesial. Tidak mungkin teman kita begitu perhatian hanya untuk seorang kelinci biasa. Itu bukan sesuatu yang dilakukan sembarang orang.”
Percakapan terus berlanjut, tapi semua tatapan masih terarah ke pintu lorong tempat Taeyong menghilang bersama Jisoo di lengannya. Spekulasi tentang siapa wanita itu, mengapa dia begitu spesial, dan apa yang sebenarnya terjadi, mengisi udara di ruangan itu. Tidak ada yang benar-benar tahu jawabannya, tetapi satu hal yang pasti—ini adalah pemandangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Taeyong, pria yang biasanya memperlakukan seorang wanita sebagai mainan, kini menunjukkan perhatian yang begitu berbeda pada seseorang, dan hal itu menarik perhatian semua orang.
Sementara Taeyong tetap diam dan terus berjalan melewati lorong, sedangkan Jisoo mencoba menahan rasa malu dan frustasi secara bersamaan. Suara-suara samar dari teman-teman Taeyong yang sedang membicarakan mereka mulai memudar di kejauhan. Mereka berdua mendekati pintu keluar mansion dan udara pagi yang segar mulai terasa di wajah Jisoo ketika mereka semakin mendekat ke luar.
Meski udaranya sejuk dan seharusnya menenangkan, perasaan Jisoo tetap tidak nyaman. Matanya tertutup sesaat, menahan gejolak emosi yang berputar di dalam dirinya. Rasa malu dan frustrasi tidak meninggalkannya sepanjang perjalanan. Rasa sakit di tubuhnya, serta dominasi Taeyong yang begitu kuat, membuatnya tidak punya pilihan lain selain diam dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Taman yang luas dengan rumput hijau yang terhampar sempurna terbentang di depan, bunga-bunga mekar di sepanjang jalan setapak yang membawa mereka ke arah kereta kuda yang telah diparkir rapi. Burung-burung berkicau di kejauhan, namun suara alam yang indah itu tidak bisa menghapus ketegangan yang terasa di udara.
“Kita akan pergi ke mana?” tanya Jisoo dengan suara pelan nyaris seperti bisikan. Dia masih belum tahu apa yang sedang direncanakan Taeyong.
Taeyong tidak menjawab segera, sebaliknya senyumnya tersungging tipis, seolah dia menikmati ketidakpastian yang dirasakan gadis di gendongannya. “Aku sudah bilang, kita akan pulang,” jawabnya santai, matanya menatap lurus ke depan.
Pulang ke mana? Jisoo ingin bertanya lebih lanjut namun urung melakukannya. Mata gadis itu menatap kosong ke depan, mencoba mencari petunjuk di mana mereka akan pergi.
Mereka mendekati kereta kuda yang telah diparkir di depan mansion. Seorang pelayan segera melangkah maju, membuka pintu kereta dengan hormat.
“Masuklah.” Dia laly menurunkan Jisoo dengan hati-hati di kursi di dalam kereta, memastikan bahwa tubuhnya yang lelah dan nyeri tidak semakin terpuruk.
Jisoo menatap ke arah Taeyong, ekspresi bingung dan marah terpatri di wajahnya. “Kau tidak bisa terus begini, Taeyong,” ujarnya dipenuhi dengan kekhawatiran saat memasuki kereta. “Apa yang kau rencanakan sebenarnya?”
“Rencanaku?” Pria itu yang kini duduk di sampingnya tersenyum kecil, penuh arti. “Rencanaku sederhana. Aku akan memastikan kau tetap berada di sisiku.”
“Dengan memaksaku? Ini sebuah kejahatan, kau tahu?” Jisoo berusaha menahan amarahnya meskipun suaranya terdengar lebih frustrasi daripada marah. Matanya menatap tajam ke arah Taeyong, berharap sedikit saja perlawanan ini bisa membuat pria itu mundur.
Taeyong hanya tersenyum tipis, seolah-olah kata-kata Jisoo tidak mengusik ketenangannya sedikit pun. “Mau itu sebuah kejahatan atau bukan, selama bisa membuatmu tetap di sisiku, apa pun itu akan kulakukan.”
“Kau benar-benar gila!” Jisoo mendesis, suaranya bergetar karena amarah yang semakin sulit ditahan. Dia memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap sorot mata tajam Taeyong lebih lama. Dadanya naik turun, menahan rasa kesal dan tidak berdaya yang menguasai dirinya. Tidak ada jalan keluar, setiap kata yang dia lontarkan hanya terasa seperti menambah rantai baru yang mengikatnya lebih erat pada pria itu.
Taeyong memandangi Jisoo sejenak, senyum tipisnya tetap bertahan sambil menikmati perlawanan Jisoo yang perlahan semakin lemah. “Ya, mungkin aku gila,” ucapnya pelan, hampir terdengar seperti bisikan. “Tapi untukmu, aku rela melakukan apa saja, bahkan jika itu membuatku jadi orang yang gila.”
Jisoo semakin memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan ucapannya. Matanya menatap lurus ke luar jendela kereta kuda yang telah berjalan meninggalkan mansion. Pemandangan taman mansion yang indah berubah menjadi kabur di matanya, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menunggu dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Perjalanan pergi terasa panjang bagi Jisoo, meskipun pemandangan di luar jendela kereta indah dengan hamparan hijau pepohonan dan sinar matahari yang mengintip di antara dedaunan. Dia terdiam, membiarkan matanya menelusuri jalan-jalan yang terbentang di hadapan mereka meski pikirannya jauh dari pemandangan itu. Setiap detil jalan yang mereka lalui justru mengingatkannya pada momentum kelam yang pernah dia alami ketika Taeyong membawanya ke tempat perburuan. Kenangan itu menghantui, bagaikan bayangan gelap yang tidak mau pergi, bahkan di siang hari yang cerah ini.
Dia teringat saat Taeyong membawanya dengan kuda, berdua melintasi hutan, menuju mansion mewah di tengah pepohonan lebat. Rasanya seperti mimpi buruk—semua hal yang terjadi setelah itu, semua penghinaan, rasa takut, dan penderitaan yang dia alami di sana. Wajahnya tegang ketika mengingat bagaimana dia dipaksa ikut dalam permainan perburuan yang kejam, di mana dia bukan hanya seorang pengamat, tetapi korban yang terjebak dalam permainan tersebut. Dan bagaimana dia harus melalui malam panjang bersama Taeyong dalam permainan kotor yang dipenuhi oleh dosa. Seluruh tubuhnya merasakan ketegangan itu lagi. Napasnya bergetar pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berkelana ke masa lalu yang menyakitkan.
Di sampingnya, Taeyong duduk dengan tenang, tapi Jisoo bisa merasakan tatapan tajam pria itu menempel pada dirinya. Dia tidak berbicara namun kehadirannya begitu kuat, membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Sesekali Taeyong meraih rambut panjang Jisoo, jemarinya membelai surai lembut itu sebelum membawa rambutnya ke hidung dan menciumnya dengan gerakan halus. Jisoo tersentak kecil, merasakan sentuhan Taeyong yang tiba-tiba pada rambutnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, tetapi dia tidak protes.
Protes sudah tidak ada gunanya, pikirnya. Seberapa keras pun dia melawan, akhirnya dia akan kalah, dan Taeyong akan selalu menang. Itu kenyataan yang harus dia hadapi meskipun rasa sakit dan frustrasi tetap menghantui.
Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang, mereka tiba di sebuah pondok kecil dan sederhana, tempat Benjamin menunggu mereka selama pergi berburu. Kereta kuda berhenti dengan lembut di depan pondok. Seolah telah menunggu kedatangan mereka, Benjamin segera berjalan mendekati kereta.
Saat Taeyong membuka pintu kereta, Jisoo masih merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Dia tidak bisa bangkit sendiri, kakinya masih lemah dan pinggangnya masih terasa sakit. Taeyong tidak menunggu lama, dia segera meraih Jisoo dan menggendongnya lagi, seperti yang telah dia lakukan sejak tadi. Gerakan itu begitu alami bagi Taeyong, seolah-olah dia telah melakukannya berkali-kali, tanpa ragu atau pertanyaan.
Benjamin menatap mereka dengan tidak menunjukkan eskpresi terkejut sedikitpun. Dengan tenang, dia membuka pintu mobil tanpa mengatakan sepatah kata. Benjamin sudah terlalu biasa melihat hal-hal seperti ini, terutama dari majikannya.
Jisoo menatap sekilas ke arah Benjamin, merasa aneh karena tidak ada ekspresi terkejut atau rasa ingin tahu dari pelayan tua tersebut. Seolah baginya ini adalah hal yang wajar, meski bagi Jisoo, setiap kali dia digendong oleh Taeyong, perasaan malunya tetap terasa begitu tajam.
Mereka tidak tinggal berlama-lama. Setelah Taeyong menggendong Jisoo dan memindahkannya ke dalam mobil, mereka segera melanjutkan perjalanan. Benjamin menutup pintu dengan hati-hati, lalu kembali ke kursi pengemudi, memulai perjalanan berikutnya tanpa ada jeda. Pondok singgah itu ditinggalkan di belakang dan keheningan kembali mengisi mobil, hanya ditemani oleh deru mesin mobil dan pemandangan hutan yang lewat dengan cepat di luar jendela.
Jisoo menutup matanya sejenak, merasa lelah, tetapi tidak bisa tidur. Setiap detik bersama Taeyong adalah perjuangan untuk tetap bertahan. Hari-hari seperti ini terus membuatnya merasa terjebak seperti kelinci dalam sangkar, dan Taeyong adalah pemburunya yang tidak pernah lelah mengejar.
Dalam keheningan mobil yang melaju perlahan, Taeyong akhirnya memecah keheningan. Tatapannya beralih dari Jisoo ke Benjamin, yang duduk tenang di kursi pengemudi. “Benjamin, ada hal penting yang terjadi selama aku pergi berburu?”
Benjamin menoleh sedikit ke arah kaca spion, memastikan tatapannya bertemu dengan tuannya sebelum menjawab. “Ya, Tuan. Ada beberapa hal penting yang perlu Anda ketahui.” Suaranya terdengar profesional, seperti biasanya. “Beberapa orang telah mencari Anda untuk membahas bisnis. Yang pertama adalah Tuan Park dari Tarrin. Dia ingin mempercepat kesepakatan terkait proyek konstruksi besar di daerahnya. Mereka membutuhkan keputusan Anda terkait investasi tambahan.”
Taeyong mengangguk, mendengarkan dengan saksama. Proyek konstruksi itu penting—dia tahu bahwa keberhasilan proyek itu akan menambah kekuatannya di pasar. “Apa mereka mendesak?” tanyanya, sedikit antusias dengan perkembangan tersebut.
Benjamin menggeleng pelan. “Tidak terlalu mendesak, Tuan, tetapi Tuan Park ingin jawaban dalam waktu dekat. Dia akan menghubungi Anda kembali setelah Anda tiba di mansion.”
Taeyong mendengus, sedikit puas mendengar bahwa dia masih memiliki waktu untuk mempertimbangkan tawaran itu. “Siapa lagi?”
“Kemudian ada Baron Wilder, yang sedang menunggu keputusan Anda soal merger antara perusahaan milik Baron Wilder dan perusahaan milik Anda. Dia mengatakan merger ini sangat penting bagi kelangsungan bisnis mereka.”
Taeyong mengangguk lagi, matanya menyipit sedikit. Merger itu juga hal penting yang telah dia pertimbangkan cukup lama. Dia tahu betapa besar dampaknya bagi perkembangan kekayaannya jika merger itu berhasil.
“Apa lagi?” tanyanya, ingin mendengar lebih banyak.
“Selain itu, Nyonya Anne dari Leeside juga menghubungi, mengatakan bahwa mereka membutuhkan bimbingan Anda terkait ekspansi bisnis pelabuhan. Mereka menunggu keputusan Anda tentang investasi tersebut.” Benjamin berbicara dengan lancar, memaparkan satu demi satu detail penting yang perlu diperhatikan Taeyong.
Taeyong tetap tenang, mendengarkan laporan dengan tatapan serius. Dia tahu setiap langkah bisnis yang dia ambil sekarang akan membangun atau menghancurkan pengaruhnya di berbagai wilayah. Perburuannya bersama teman-temannya mungkin adalah pelarian, tetapi bisnis tetap menuntut perhatiannya.
Namun, di sela-sela obrolan soal bisnis itu, Benjamin tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. “Oh, dan Tuan ....” Benjamin tiba-tiba melirik sekilas ke kaca spion, menatap Jisoo yang duduk di samping Taeyong, lalu kembali menatap jalan. “Nyonya Laura terus menanyakan kapan Anda akan kembali dan—beliau juga menanyakan kabar Nona Baek.”
Mendengar nama ibunya, Taeyong sedikit mengerutkan kening. Dia tahu ibunya selalu peduli, tetapi jarang dia mendapat pesan seperti ini. “Ibu menanyakan Nona Baek?” tanyanya dengan nada bingung, sesekali melirik ke arah Jisoo yang masih diam melihat keluar jendela.
“Ya, Tuan.” Benjamin melanjutkan, “Selama Anda pergi berburu selama sepekan ini, Nyonya Laura tampaknya cukup sering bertanya-tanya tentang keberadaan Nona Baek.”
Taeyong tersenyum kecil, sadar betul bahwa ibunya memang mengetahui bahwa dia sering pergi berburu dengan teman-temannya, tapi tidak mengetahui betapa kejam dan tidak lazimnya perburuan yang dilakukan.
“Setelah Anda selesai berburu, Nyonya Laura meminta Anda segera pulang ke mansion,” tambah Benjamin dengan suara tenang.
Taeyong mengernyit penasaran, jarang-jarang ibunya meminta sesuatu dengan nada mendesak. “Apa ada alasan lain?” tanyanya matanya menyipit, mencoba memecahkan teka-teki itu.
Benjamin terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan hati-hati, “Sepertinya ... pernikahan Anda dengan putri Viscount akan dilangsungkan dalam waktu dekat.”
Kalimat itu membuat Taeyong terdiam sejenak, sebelum dia menoleh ke arah Benjamin dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Apa maksudmu?”
Benjamin mengulangi lagi, tetap tenang dalam suaranya. “Nyonya Laura menyampaikan bahwa pernikahan Anda dengan putri Viscount akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Itulah alasan mengapa beliau meminta Anda segera pulang setelah selesai berburu.”
Mata Taeyong melebar dalam keterkejutan yang jelas. Dia tidak menyangka bahwa pernikahan itu akan dipercepat, apalagi dia baru saja terlepas dari suasana perburuan yang melelahkan. Wajah Aimi Cove melintas dalam benaknya, tapi tidak ada perasaan istimewa yang menyertainya. Aimi adalah wanita yang dipilihkan untuknya, putri Viscount dengan reputasi baik dan silsilah yang sesuai dengan status keluarga Taeyong. Tapi pikirannya justru tertuju pada Jisoo—wanita yang kini duduk diam di sebelahnya, menatap keluar jendela tanpa suara.
Jisoo merasakan suasana tegang di dalam mobil meskipun dia berusaha untuk tidak terlibat dalam percakapan yang baru saja terjadi. Berita tentang pernikahan Taeyong entah bagaimana membuat dadanya sesak—meskipun dia tidak ingin peduli, ada perasaan aneh yang menyelinap masuk. Dia tidak tahu kenapa, tapi mendengar Taeyong akan menikah dengan putri Viscount membuat perasaannya menjadi rumit. Pernikahan itu, tentu saja, tidak ada hubungannya dengan dirinya, tetapi entah kenapa dia merasa seolah sesuatu yang penting sedang diambil darinya. Lalu tanpa peringatan, pikirannya kembali pada malam panjangnya bersama Taeyong. Mengingatku hal itu, membuat Jisoo marah dan semakin jijik pada dirinya sendiri.
Suara Taeyong yang akhirnya memecah keheningan menarik perhatian Jisoo kembali. “Pernikahan dipercepat?” tanya Taeyong dengan nada penuh kebingungan. “Kenapa mendadak sekali?”
Benjamin tetap tenang, meski dia tahu berita ini tidak disampaikan dengan cara yang paling halus. “Menurut Nyonya Laura, ada pembicaraan di kalangan bangsawan bahwa keluarga Viscount Cove ingin mempercepat pernikahan sebelum akhir musim panas.”
Taeyong menyipitkan matanya, ekspresi di wajahnya sulit ditebak. “Aku tahu mereka ingin mempercepat, tapi tidak secepat ini. Apa ada alasan lain?”
Benjamin menghela napas pelan, merasa agak canggung menyampaikan kabar yang mungkin tidak disukai oleh majikannya. “Nyonya Laura tidak menjelaskan secara detail, Tuan. Hanya saja, beliau mengatakan bahwa ini adalah permintaan langsung dari keluarga Viscount dan tampaknya mereka sudah mempersiapkan segalanya.”
Taeyong terdiam lagi, pandangan matanya terarah ke luar jendela, tapi pikirannya masih tertuju pada pernikahan yang tiba-tiba dipercepat. Aimi Cove mungkin wanita yang tepat secara politik atau bisnis untuk keluarganya, tetapi dia tak bisa menepis bayangan Jisoo yang terus menghantui pikirannya. Jisoo adalah sesuatu yang berbeda—sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya.
“Kau tampak terkejut, Tuan,” kata Benjamin pelan meskipun itu bukan tempatnya untuk mengomentari reaksi Taeyong.
Taeyong tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Tentu saja,” gumamnya. “Menikah dengan Aimi Cove bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi aku tak suka didikte.”
Benjamin hanya mengangguk, mengetahui betul sifat majikannya. Taeyong tidak pernah menyukai ketika orang lain mencoba mengatur hidupnya, bahkan jika itu untuk hal-hal yang dianggap penting oleh keluarganya.
Jisoo mendengar percakapan ini dengan hati yang berat. Meskipun dia merasa tidak ada hubungannya dengan pernikahan Taeyong, rasa aneh itu tetap mengusik pikirannya. Taeyong yang berbicara tentang pernikahan dengan begitu santai membuat perutnya terasa mual. Dia tidak ingin peduli, tetapi kenyataannya, dia peduli lebih dari yang seharusnya.
Taeyong memandang Jisoo sekilas, menyadari bahwa dia mungkin mendengar setiap kata yang diucapkan. Ada senyum tipis yang bermain di sudut bibirnya. Dia menunduk sedikit ke arah Jisoo, suaranya rendah dan tenang, tetapi sarat dengan maksud yang lebih dalam. “Apa kau mendengar itu, Jisoo? Aku akan menikah.”
Jisoo menoleh perlahan, matanya menatap tajam ke arah Taeyong meskipun hatinya bergejolak. Tidak ada emosi yang terlihat di wajahnya, hanya ketenangan yang dia paksakan untuk tetap bertahan. “Tentu, saya mendengarnya. Selamat, Tuan,” ucapnya dengan nada datar, seperti menutup pintu perasaan di dalam dirinya.
Taeyong tertawa kecil mendengar ucapannya. “Selamat, ya?” Dia memperhatikan ekspresi dingin Jisoo, senyum di bibirnya semakin lebar. “Kau tahu, Jisoo. Meskipun aku menikah, kau tetap akan berada di sisiku.”
Jisoo tersentak mendengar kata-katanya. Dia menatap Taeyong dengan kebingungan dan ketidakpercayaan. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan meski sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut pria itu.
Taeyong memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca. “Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja, Jisoo. Kau akan selalu menjadi milikku, apa pun yang terjadi.”
Kata-kata itu bergema di benak Jisoo, seperti rantai yang menjerat lebih erat. Dia merasa dadanya sesak, seolah setiap harapan untuk kebebasan semakin jauh dari genggamannya. Dia tahu Taeyong tidak main-main dan fakta bahwa pernikahan itu tidak akan mengubah apa pun membuatnya semakin sulit untuk bernapas.
Ntar kalau kutulis unpub kalian baru muncul di komen :((( 🫂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top