Chapter XXVIII: Lust For Life
❗WARNING AREA 🔞 ❗
“Apa yang mau kau lakukan?” teriaknya dilanda kepanikan dan ketakutan luar biasa, tapi sudah terlambat.
Dengan gerakan cepat dan tegas, Taeyong menggunting gaunnya, memotongnya menjadi dua bagian. Suara gunting yang tajam menciptakan bunyi yang menegangkan, memecah keheningan malam yang mencekam. Gaunnya yang dipotong langsung terlepas, jatuh ke sisi dengan lembut memperlihatkan dada telanjangnya, yang terpapar ke udara dingin yang meresap ke dalam ruangan. Mata Jisoo terbelalak tak percaya, napasnya tercekat di tenggorokannya, dan jantungnya berdegup kencang saat hawa dingin menyentuh kulit membuatnya menggigil.
“Stop!” Jisoo berteriak di tengah kepanikan dan ketakutan. Setiap kata yang dia ucapkan terdengar putus asa, menggema di ruangan yang seakan menolak untuk mendengarnya. “Kumohon, berhenti! Aku ... aku janji tidak akan pergi.”
Namun, permohonan itu tidak mendapatkan balasan. Dia mengabaikan semua permohonannya. Bahkan, sikap memberontaknya tak mendapatkan sedikit pun perhatian darinya sehingga Jisoo merasa terjebak dalam kegelapan yang mengerikan. Perjuangannya melawan ketidakberdayaan terasa sia-sia, seperti berjuang melawan arus sungai yang deras. Takdir yang menyedihkan ini membuat hatinya bergetar dipenuhi dengan rasa putus asa.
Jisoo yang terikat tak mampu berbuat apa-apa selain menggeliat dalam upaya sia-sia untuk melawan. Kepanikannya tercermin dari tubuhnya yang bergetar. Dia merasa terjebak, terkekang oleh situasi yang tampaknya mustahil untuk dihindari. Detak jantungnya semakin cepat, tubuhnya memanas dalam ketakutan mendalam. Kenyataan bahwa tidak ada yang bisa menolongnya membuat semuanya terasa jauh lebih buruk.
Tanpa mengindahkan permohonannya, Taeyong menyingkirkan gunting di tangannya dengan sikap santai. Wajahnya dingin tak menunjukkan sedikit pun rasa simpati atau keraguan. Lalu dengan satu gerakan, dia meraih salah satu si kembar gundukan milik Jisoo yang kini terekspos sepenuhnya. Gadis itu tidak lagi memakai kostum kelinci kotornya yang telah dia buang semalam, sementara kain tipis gaun tidurnya sudah robek meninggalkan tubuh telanjangnya dan gaun itu kini tak lebih dari potongan kain tak berarti di atas kasur.
Apakah ini karma? Karma karena dia berencana melukai pria itu? Atau karma atas kesombongannya yang dulu berpikir bahwa dia bisa menghadapi Taeyong sendirian? Jisoo mulai merasakan penyesalan yang begitu mendalam. Dia pernah menganggap Taeyong hanyalah pria kaya licik dan manipulatif yang bisa diatasi dengan kecerdikan dan keberaniannya. Ternyata, dia terlalu meremehkan pria itu. Sekarang, dia sadar, betapa bodohnya berpikir seperti itu.
Bahkan dibandingkan dengan kedua saudara kembar laki-lakinya, Jun dan Jae, yang pernah membunuhnya dulu, Taeyong jauh lebih berbahaya. Ada sesuatu yang lebih menakutkan dalam diri Taeyong, sesuatu yang tidak hanya kejam, tetapi juga penuh obsesi. Taeyong bukan hanya sekadar licik dan manipulatif—dia adalah pria yang tahu bagaimana memegang kendali, memutarbalikkan realitas, dan membuat orang lain merasa tidak berdaya.
Taeyong tidak hanya lebih berbahaya daripada saudara kembarnya. Dia lebih gila, lebih tak terduga, dan lebih menakutkan.
Jari-jari Taeyong menelusuri garis-garis halus di sepanjang kulitnya, menciptakan sensasi yang membuatnya merinding. Jisoo memejamkan mata, berusaha menghalangi sensasi menggoda, tapi rasanya itu mustahil. Setiap sentuhan Taeyong terasa jelas, penuh perhitungan, dan setiap gerakan mengirimkan getaran ke tulang punggungnya, membuatnya merasakan ketegangan yang mengalir ke seluruh tubuhnya.
Ibu jari Taeyong mengusap putingnya, memutarnya di antara jari-jarinya dengan keahlian yang membuat Jisoo merintih. Tubuhnya mengkhianatinya ketika merespons sentuhan yang seharusnya membuatnya takut dengan rasa hangat yang tak terduga. Taeyong terus menggoda dan menyiksa payudaranya dengan jari-jarinya yang bekerja dengan presisi yang ahli.
Jisoo ingin melawan, tapi sentuhan pria itu seakan langsung meruntuhkan segala jenis tekadnya. Setiap gerakannya penuh dengan siksaan dan godaan, mengubah rasa sakit menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit dan secara tak sadar, mendambakan.
“Lihatlah betapa responsifnya dirimu,” gumamnya, suaranya mengalun seperti geraman pelan yang menggoda. “Bahkan saat kau tidak menginginkannya.”
Dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tubuhnya yang terekspos tanpa sehelai kain. Bibirnya menyentuh puting Jisoo, dan sebelum gadis itu bisa memprosesnya, giginya mencengkeram lembut, lalu semakin keras. Jeritan Jisoo terlepas, suaranya menggema di kamar yang sepi. Punggungnya melengkung, tidak bisa menahan reaksi tubuhnya yang spontan bertolak belakang dengan apa yang dia inginkan. Lidah Taeyong berputar lembut di sekitar putingnya yang kini menegang kaku, menggoda dan menyiksa secara bersamaan, membuatnya terjebak dalam badai sensasi yang tak pernah dialami sebelumnya.
Dia mencoba menarik napas, tetapi udara di kamar terasa terlalu tipis, seolah-olah menolak untuk masuk ke paru-parunya. Suara napasnya yang terengah-engah menjadi bukti dari perjuangannya untuk bertahan. Namun, Taeyong tak memberikan dia kesempatan untuk tenang. Pria itu mengalihkan perhatiannya ke payudara Jisoo yang lain, memperlakukannya dengan intensitas yang sama tanpa henti. Jemarinya yang kasar mencubit dan memutar putingnya, membuat Jisoo terkesiap, sementara tubuhnya tersentak tanpa kendali.
Desahan Jisoo semakin keras dan meskipun ketakutan masih mencengkeram, sensasi rasa sakit dan kenikmatan yang bercampur aduk membuat pikirannya kabur. Setiap gigitan, setiap belaian terasa seperti percikan api yang mengirimkan getaran di sepanjang punggungnya, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih.
“Berhenti!” Teriakannya terdengar begitu lemah dan penuh ketidakpastian. Walaupun Jisoo tahu dia harus memohon agar semuanya berhenti, ada sesuatu di dalam dirinya takut akan kenyataan bahwa Taeyong mungkin tidak akan mendengarnya. Atau mungkin, jauh di lubuk hatinya, ada bagian kecil dari dirinya yang takut jika dia tidak ingin Taeyong berhenti.
Taeyong tidak merespons dengan kata-kata, tetapi tubuhnya berbicara lebih keras. Tangannya turun menelusuri setiap lekukan tubuh telanjang Jisoo dengan perlahan. Jari-jarinya semakin bergerak turun ke bawah, menyentuh daging lembut paha bagian dalam Jisoo.
Tubuh gadis itu langsung menegang, riak ketegangan mengalir melalui anggota tubuhnya. Tangannya yang terikat erat pada tiang ranjang bergerak-gerak tanpa sadar, berusaha melawan ikatan.
“Tae ... Taeyong ....” Dia terkesiap, suaranya bercampur antara ketakutan dan antisipasi. Sentuhan itu terasa seperti api membakar jalannya, mengaburkan batas antara rasa takut dan hasrat. “Please ... stop ....”
Dia mengabaikan permohonannya, matanya terpaku pada gundukan halus di antara kedua kaki Jisoo. Jari telunjuknya menekan lembut titik sensitif itu, memutarnya perlahan pada awalnya, lalu meningkatkan tekanan saat dia merasakan responsnya. Napas Jisoo tersendat seketika, tubuhnya sedikit melengkung ke arah sentuhannya. Panas di antara kedua kakinya tumbuh, menggenang dalam dirinya saat jarinya melakukan sihirnya.
“So wet already.” Taeyong mengejeknya dengan puas. “Aku ingin tahu apa lagi yang bisa kulakukan padamu.”
Jisoo mengepalkan tangannya, kuku-kukunya menancap dalam ke telapak tangan hingga nyeri. Tapi rasa sakit itu tidak bisa menghentikan apa yang sedang terjadi pada tubuhnya.
Jari Taeyong meluncur lebih rendah, masuk ke dalam lipatan kewanitaannya yang licin karena basah. Dia mulai mendorong masuk dan keluar, sementara ibu jarinya masih memainkan titik sensitifnya, menggoda dan membelai seirama dengan jarinya yang menyelidiki.
Jisoo mengigit bibirnya keras-keras. Setiap gerakan jari itu membuat dunianya berputar dan saat Taeyong menemukan titik yang paling sensitif, tubuhnya bergetar hebat. Pinggulnya bergerak tanpa sadar berusaha mengimbangi atau mungkin justru menolak sensasi tersebut, tapi ikatan tangannya menahannya dengan kuat. Tidak ada jalan keluar. Dia hanya bisa berbaring di sana menjadi tawanan pria ini tanpa ampun dan belas kasihan.
“Ssst....” Suaranya yang lembut dan tegas bergema di telinga Jisoo, membuat bulu kuduknya berdiri. Bibir Taeyong menyentuh cuping telinganya dengan perlahan, mengirimkan sensasi dingin yang menjalar ke tengkuknya. “Lepaskan saja. Tidak ada gunanya melawannya.”
Napas Jisoo terhenti sejenak, tubuhnya menegang di bawah tekanan emosional yang semakin mencekiknya. Dia tahu kata-kata itu bukan sekadar peringatan, melainkan perintah. Di sekeliling mereka kamar terasa sunyi mencekam, menunggu ledakan penyatuan itu terjadi. Hanya ada suara napas mereka yang terpotong-potong di udara yang tebal, memunculkan ketegangan yang sulit dilawan.
Mata Jisoo memandang ke arah cahaya temaram dari lampu gantung yang menerangi ruangan. Latar kamar yang seharusnya memberi ketenangan kini berubah menjadi penjara tanpa celah. Wajah Taeyong yang dingin namun penuh gairah begitu dekat dengannya, sementara emosi yang bercampur antara ketakutan dan keraguan menyelimuti pikirannya.
Jari Taeyong menekan titik sensitifnya lagi, menggosoknya dengan gerakan melingkar yang lambat dan menyiksa. Suasana di sekeliling mereka terasa semakin tegang, seperti listrik yang mengalir di udara menciptakan ketegangan tak tertahankan. Jisoo menggigit bibirnya berusaha menahan erangan yang mengancam akan keluar, tetapi setiap sentuhan Taeyong membuatnya semakin terperangkap dalam gelombang kenikmatan.
Rasa hangat yang menyebar dari titik sentuh itu membuatnya merasa seolah-olah terbang di atas awan, tetapi juga terjebak dalam badai perasaan yang mendalam. Dia berjuang untuk mempertahankan kendali, tetapi itu semua sia-sia. Kenikmatan itu terlalu kuat, terlalu luar biasa. Dalam sekejap, semua usaha untuk menahan diri runtuh dan suara teriakan lembut meluncur dari bibirnya. “Ah!”
Tubuhnya gemetar karena kekuatan orgasmenya, otot-ototnya berkontur dan mencengkeram jari Taeyong dengan kuat, berusaha memeras setiap tetes kenikmatan terakhir yang bisa dia rasakan. Dalam momen itu, dunia di sekelilingnya menghilang, hanya ada dia dan sensasi yang membanjiri seluruh kesadarannya.
Ketika kejangnya akhirnya mereda, Jisoo terengah-engah, tubuhnya lemas dan gemetar, seolah-olah baru saja menyelesaikan maraton yang melelahkan. Taeyong menarik jarinya, menjilatinya hingga bersih sambil tersenyum puas, matanya berkilau dengan kepuasan yang dalam.
“Gadis baik,” katanya, terdengar seperti seorang laki-laki yang merasa bangga pada wanitanya. “Sekarang, mari kita lihat seberapa kuat dirimu.”
Bibir Taeyong menghantam bibir Jisoo dengan kekuatan brutal. Ciuman itu penuh gairah, lidahnya menyerbu mulut Jisoo dengan semangat membara yang ingin menguasainya sepenuhnya. Suara desahan lembut Jisoo terdengar samar di tengah ciuman yang kasar dan mendesak, menciptakan ketegangan yang menyesakkan. Untuk sesaat Taeyong melepaskan ciuman mereka, membiarkan Jisoo yang kelelahan terengah-engah seperti seseorang yang baru saja berlari jauh.
Tak lama, dia menciumnya lagi. Lebih cepat dan lebih keras dari sebelumnya. Di tengah suasana yang penuh gairah ini, tangan kanan Taeyong terus menyerang titik sensitif Jisoo tanpa henti. Jari-jarinya menari dengan ahli di atas tonjolan sensitif itu, menciptakan gelombang rasa yang tak tertahankan. Tangan kirinya bergantian mencubit dan meremas putingnya, menciptakan rangsangan ganda yang sangat luar biasa.
Jisoo merasa dunia sekitarnya berputar, pikirannya melayang dalam lautan kenikmatan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih apalagi menolak. Tangannya masih terikat, sabuk dari kulit binatang itu mengiris pergelangan tangannya menambah rasa sakit saat dia berjuang lemah melawan ikatan tersebut. Setiap gerakan hanya membuatnya merasakan betapa terjebaknya dia dalam permainan berbahaya ini.
Dia bisa merasakan napas panas Taeyong di lehernya, mengalir seperti api yang membakar, sangat kontras dengan udara dingin di kamar yang membuatnya menggigil tanpa sadar. Suasana di sekitar mereka terasa semakin intens dengan cahaya redup yang memantulkan bayangan tubuh mereka di dinding, menciptakan nuansa misterius yang menambah ketegangan.
Taeyong terkekeh pelan melihat kesulitan Jisoo, suara gelapnya mengirimkan hawa dingin ke tulang punggungnya. “Kau terlihat cantik seperti ini,” gumamnya di sela-sela ciumannya. Ungkapan itu seperti mantra, membuat Jisoo merasa semakin terperangkap dalam jaring keinginan dan ketidakberdayaan.
“Tak berdaya dalam belas kasihanku,” lanjutnya seraya menekankan setiap kata dengan nada penuh keyakinan.
Jisoo merasakan jantungnya berdegup kencang, campuran antara rasa malu dan hasrat yang membara. Dia ingin melawan, tetapi di dalam hatinya, ada bagian kecil yang merindukan lebih banyak—lebih banyak dari semua yang ditawarkan oleh Taeyong. Membuatnya malu pada kenyataan bahwa ada bagian dari dirinya yang ternyata mengharapkan hal-hal tak diinginkannya ini.
Taeyong melepaskan salah satu puting Jisoo, membiarkannya tegang dan mengeras, sementara jari-jarinya mulai bergerak perlahan menyusuri perutnya yang halus. Sentuhan lembut itu terasa seperti aliran listrik, merayap dari ujung jari Taeyong hingga ke seluruh tubuh Jisoo. Dengan gerakan malas jari-jarinya menelusuri pusarnya, menciptakan gelombang rasa yang menggetarkan.
Ketika jari-jarinya meluncur lebih rendah, Taeyong memasukkan dua jari ke dalam lipatan kewanitaannya yang sudah licin untuk kedua kali, membuatnya tersentak. Jisoo melengkungkan punggungnya, napasnya terhenti sejenak saat sensasi yang tak terduga itu melandanya lagi. Setiap dorongan yang dilakukan Taeyong terasa seperti gelombang yang menghantam tepi pantai, perlahan pada awalnya, tetapi semakin cepat saat Taeyong menemukan ritmenya.
“Please ...,” rintihnya, suaranya pecah saat dia mencoba menyusun pikiran yang koheren. “Stop ... kau tidak perlu melakukan ini ....”
Namun, Taeyong hanya menyeringai, ekspresi wajahnya penuh dengan keinginan dan tantangan. Jari-jarinya terus menari tanpa ampun di dalam dirinya, menciptakan sensasi yang membuat Jisoo semakin terperangkap dalam pusaran emosi yang sulit dijelaskan. “Oh, but I want to,” katanya sambil mencondongkan tubuh untuk menggigit cuping telinganya dengan ringan.
Rasa geli yang menyenangkan mengalir di sepanjang tulang belakang Jisoo, membuatnya menggigil. “Dan kau akan menikmatinya entah kau mau atau tidak,” lanjutnya dengan keyakinan yang memabukkan.
Kata-kata Taeyong mengirimkan gelombang kepanikan ke dalam diri Jisoo. Dia tahu dengan sangat jelas bahwa pria ini tidak menggertak. Dalam keputusasaannya, dia menendang kakinya dengan sia-sia berusaha melepaskan cengkraman tangan Taeyong yang kuat, tetapi semua itu tampak sia-sia. Setiap usaha yang dilakukannya hanya membuat pria itu semakin bergairah, matanya menjadi gelap karena nafsu, seolah-olah menikmati pertarungan ini.
Suasana di sekeliling mereka terasa semakin mencekam, seolah waktu berhenti saat Taeyong memperhatikan Jisoo berjuang. Dengan gerakan cepat, Taeyong menyingkirkan jari-jarinya dari kewanitaan Jisoo yang basah, kali ini menyekanya pada sisa-sisa gaun tidurnya yang robek, menciptakan sensasi yang membuat Jisoo merasakan campuran antara rasa malu dan keterpaksaan. Tanpa peringatan, Taeyong membungkuk dan menggigit bahu Jisoo dengan keras, menyebabkan gadis iru menjerit kesakitan.
Taeyong mengisap bagian yang digigitnya, meninggalkan bekas gigitan yang jelas, seolah-olah menandai Jisoo sebagai miliknya. “Lihat aku!” perintahnya sambil memaksa Jisoo mendongak sehingga mata mereka bertemu.
Jisoo merasakan jantungnya berdebar kencang lagi, napasnya masih tersengal-sengal saat dia menatap mata Taeyong yang dingin dan gelap. Tidak ada kehangatan di sana, hanya rasa lapar yang mengerikan dan sesuatu yang jauh lebih gelap.
Dalam tatapan itu, dia merasakan ketidakberdayaannya semakin mendalam. Kemudian Jisoo menyadari bahwa Taeyong tidak hanya melakukan ini untuk kesenangan; pria ini memperoleh kepuasan dari rasa takut yang terpantul dalam mata Jisoo, dari ketidakberdayaannya yang nyata. Setiap detik berlalu terasa seperti sebuah permainan bagi Taeyong, sedangkan Jisoo adalah bidak yang tidak memiliki kuasa untuk melawan.
Pria itu kemudian berdiri di atasnya, seringai puas tersungging di bibirnya. Dia mengulurkan tangan dan melepaskan ikatan yang mengikat pergelangan tangan Jisoo ke tiang tempat tidur dengan gerakan cepat. Ikatan yang dilepaskan tiba-tiba itu membuat Jisoo mengerang pelan, matanya berkedip terbuka saat dia berusaha untuk fokus.
“Lihatlah dirimu, Nona Baek. Lemah dan tak berdaya.”
Ucapanya menggemar di telinganya, tapi dia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk membalasnya. Rasa lelah telah menguras seluruh energinya untuk melawan. Bahkan ketika ikatan di tangannya dilepaskan, dia tidak memiliki niatan sedikitpun untuk mencari cara melarikan diri. Tubuhnya seolah menyerah, terlalu letih untuk bergerak atau bahkam berpikir tentang pelarian.
Taeyong mengamati Jisoo yang kelihatan sangat lelah. Sambil menyeringai, dia dengan lembut menariknya, memindahkan tubuh gadis itu untuk duduk di atas pangkuannya. Tangan kirinya melingkari pinggangnya dengan posesif; tangan kanannya mengusap-usap punggung telanjangnya. Posisi itu intim, tapi Jisoo terlalu lelah untuk protes. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Taeyong, memejamkan mata, dan mendesah lelah.
Namun, dia belum bisa beristirahat sepenuhnya. Saat dia rileks di atas pangkuan Taeyong, berpikir bahwa segalanya telah berakhir, tiba-tiba dia merasakan sesuatu menekan daging sensitifnya—sesuatu yang keras dan mendesak. Matanya terbuka lebar, sontak dia menunduk karena terkejut melihat ereksi Taeyong menekan pantatnya.
“Tae-taeyong ....” Jisoo berbicara dengan suara panik ketika merasakan dorongan yang kuat dari bawah pantatnya, sebuah sinyal yang tak terelakkan bahwa Taeyong ingin lebih. Dia tidak menyadari perubahan itu; tubuhnya terlalu lelah, terjebak dalam keletihan yang menyelimuti seluruh diri setelah pengalaman intens untuk pertama kali dalam hidupnya. Namun, saat kesadaran mulai kembali, dia merasakan ketegangan di udara, sebuah peringatan bahaya sesuatu yang lebih jauh sedang menunggu.
Jisoo merasa jantungnya berdegup kencang, ketakutan dan kebingunhan bercampur aduk dalam dirinya. “Kita tidak bisa ... Aku tidak bisa ....”
Sebelum Jisoo bisa menyelesaikan kalimatnya, Taeyong bergerak dengan gesit. Dia menggeser Jisoo sedikit, memposisikannya dengan tepat sebelum mendorong masuk. Sensasinya luar biasa, rasa sakit bercampur kenikmatan saat milik Taeyong mendorong lembut melewati otot kencang yang menjaga pintu masuk Jisoo. Jisoo tersentak, kukunya menancap di bahu Taeyong berusaha untuk memproses gangguan yang tiba-tiba itu.
“Ssst,” bisik Taeyong, mencondongkan tubuh untuk menggigit telinga Jisoo. “Just relax, Sweetheart. Let me take care of you.”
Namun, relaksasi bukanlah pilihan. Gerakan Taeyong lambat dan hati-hati, setiap dorongan dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan terlalu banyak rasa sakit. Tetap saja, itu menyakitkan—setiap inci penetrasi merenggangkan Jisoo selebar-lebarnya. Dia menggigit bibirnya, air mata membasahi sudut matanya saat dia berusaha menahan isak tangis.
“Please,” Jisoo memohon di tengah serangannya. “Please, stop ....”
Namun Taeyong mengabaikannya, melanjutkan ritmenya yang lambat dengan mantap. Dengan satu gerakan yang ganas, dia mendorong masuk, mengubur dirinya dalam-dalam di dalam milik gadis tersebut. Napas Jisoo tercekat saat dia merasakan dirinya mulai mengendur di sekitar Taeyong, tekanan meningkat di bagian bawah perutnya.
“Bagus,” gumamnya merasa puas.
Jisoo menjerit, rasa sakitnya langsung terasa dan intens. Keperawanannya telah terkoyak dalam sekejap dan dia bisa merasakan rasa terbakar menyebar melalui perut bagian bawahnya. Perih itu tak tertahankan, setiap dorongan mengirimkan gelombang penderitaan ke seluruh tubuhnya. Namun, bahkan di tengah rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain—sensasi aneh dan asing yang mulai terbentuk dalam dirinya. Meskipun dia benci mengakuinya, tubuhnya merespons, mengkhianati permohonan putus asa pikirannya untuk melarikan diri.
Taeyong memanfaatkan kemauan baru Jisoo yang muncul, mempercepat langkahnya dengan semangat yang mendebarkan. Dalam sekejap dia mengangkat tubuh Jisoo dari tempat tidur, menopangnya sepenuhnya dalam pelukannya yang kuat saat dia mulai menghantamnya dengan kekuatan baru. Suasana di ruangan itu menjadi semakin intens, dikelilingi oleh cahaya lembut yang memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan nuansa intim yang menggoda. Jisoo berpegangan erat pada Taeyong untuk hidup, kakinya melilit erat di pinggangnya, seolah-olah mencari pegangan dalam gelombang kenikmatan yang mengguncang tubuhnya.
“Fuck... you’re so tight,” gerutu Taeyong, suaranya tegang karena usaha, napasnya terengah-engah penuh gairah. “Sangat bagus ....”
Jisoo bisa merasakan dindingnya mengepal di sekelilingnya, mengencang dengan setiap dorongan keras yang dilakukan Taeyong. Rasa sakit dan kenikmatan mulai bercampur, menciptakan campuran berbahaya yang mengancam untuk menghancurkannya sepenuhnya. Dia berteriak lagi, suaranya serak karena emosi membara saat Taeyong menyentuh titik yang sangat sensitif, mengirimkan gelombang sensasi yang mengguncang seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap sel dalam dirinya terbangun.
“Please ...,” pintanya setengah menjerit, suaranya terputus-putus antara kesakitan dan kenikmatan. “Sakit ... hentikan ...!”
Namun Taeyong hanya tertawa, suara gelap dan menyeramkan menggema di dalam kamar. Dengan kekuatan yang semakin meningkat, dia mencengkeram pinggul Jisoo dan menghujamnya lebih keras, seolah ingin menandai kepemilikannya. “Kau milikku, Jisoo. Sepenuhnya milikku,” katanya disela-sela aktivitas panasnya.
Setiap dorongan mengirimkan gelombang kejutan ekstasi melalui tubuh Jisoo, teriakan kenikmatannya pun bergema di seluruh kamar menciptakan simfoni antara keinginan dan rasa sakit. Sensasinya hampir terlalu berat untuk ditangani—sarafnya menyala dengan cepat, pikirannya diliputi nafsu yang tak tertahankan. Dalam momen-momen itu, Jisoo merasakan batas antara realitas dan fantasi semakin kabur, terjebak dalam pusaran emosi yang mengguncang jiwanya.
Saat Taeyong terus menghujamnya, Jisoo merasakan dirinya terhuyung-huyung di tepi jurang, batas antara rasa sakit dan kenikmatan menjadi kabur hingga dia tidak bisa lagi membedakan satu dari yang lain. Tubuhnya bergetar karena kekuatan dorongan Taeyong, setiap hentakan membuatnya melayang di antara dua dunia: satu di mana rasa sakit menggerogoti dan satu lagi di mana kenikmatan membanjiri setiap selnya. Tangisannya perlahan berubah menjadi erangan yang dalam saat dia menyerah pada pusaran sensasi yang mengguncang seluruh tubuhnya.
Kemudian dengan dorongan terakhir yang brutal, Taeyong mengubur dirinya dalam-dalam di dalam milik Jisoo, mencapai klimaks yang mengguncang keduanya. Pelepasan Taeyong membanjiri bagian dalam Jisoo dengan kehangatan yang menyebar luas, dan dia pun menjerit, orgasme menghantamnya seperti gelombang pasang yang tak terduga. Dia merasakan setiap detik dari momen itu, ketika dia menumpahkan tangannya ke tangan Taeyong yang telah menemukan jalan menuju kewanitaannya yang berdenyut, menciptakan sensasi yang luar biasa.
Setelah momen itu, Taeyong mendekap tubuh Jisoo erat-erat hingga menciptakan perasaan terjebak yang aneh. Mereka berdua terengah-engah, napas berat mereka menjadi satu-satunya suara di ruangan yang kini terasa sunyi. Dalam keheningan itu, Jisoo menyandarkan kepalanya di bahu Taeyong sementara pikirannya terguncang oleh gempuran emosi dan sensasi yang membanjiri dirinya. Dia tidak yakin apa yang harus dirasakan—marah, terhina, lega? Atau mungkin perasaan diterima yang aneh, sebuah rasa memiliki yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya?
Namun, tepat saat Jisoo mengira mereka akhirnya akan selesai, Taeyong bergeser di atasnya, mengangkat Jisoo lalu membaringkannya kembali di tempat tidur
“Belum selesai,” ujarnya, sama sekali tidak terlihat kelelahan.
Mata Jisoo membelalak kaget saat melihat Taeyong bergerak, memposisikan dirinya di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. Rasa panik mulai menyelimuti dirinya, dia mencoba untuk memprotes, memohon belas kasihan, tetapi yang keluar hanyalah rengekan menyedihkan
“Tolong,” pintanya dengan suara bergetar, hatinya berdebar kencang. “Aku tidak bisa ... aku tidak bisa menerimanya lagi.”
Taeyong menatapnya dengan ekspresi heran, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Apa maksudmu?” tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya dengan nada yang mencerminkan ketidakpedulian. “Ini baru appetizer, Jisoo. Kita bahkan belum memulai main course-nya.”
Mata Jisoo semakin terbelalak tak percaya, jiwanya bergetar di antara rasa takut dan hasrat saat dia menyadari bahwa semua permainan berbahaya yang dilewati tadi hanyalah sebuah hidangan pembuka, bahkan belum memasuki hidangan utamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top