Chapter XXIX: Lust for life 2.0
Jisoo mengerang pelan, tubuhnya terasa berat karena kelelahan saat dia terbangun dari tidur lelapnya. Kenangan sesi seks maraton semalam masih menempel padanya, seperti selimut hangat yang menyesakkan. Dia merasakan nyeri di antara kedua kakinya dan sensasi geli yang masih tersisa dari sentuhan terampil Taeyong. Namun, sebelum dia sepenuhnya tersadar dari rasa kantuknya, sesuatu mengejutkannya.
Dia terkesiap, matanya terbuka lebar saat mendapati Taeyong berlutut di antara kedua kakinya yang terbuka lebar hadapannya, wajahnya memancarkan kenakalan yang menggoda. Lidahnya melesat keluar, menelusuri jalur yang lambat dan hati-hati di sepanjang lipatan bagian dalam yang sensitif. Napas Jisoo tersendat, tangannya secara refleks menyentuh bahu Taeyong, berusaha mencerna invasi yang tiba-tiba itu.
“Tae-taeyong?” Dia terkesiap, suaranya serak campuran antara mengantuk dan terkejut. “Apa yang kau laku—”
Taeyong memotongnya dengan seringai nakal, matanya berbinar puas saat dia menekan mulutnya lebih keras ke titik sensitifnya yang berdenyut. Lidahnya bergerak maju mundur, berputar-putar di sekitar tonjolan itu dengan cepat dan menggoda. Jisoo menggigit bibirnya, menahan erangan yang ingin keluar saat tubuhnya mengkhianatinya, merespons permainan gilanya yang tak terduga.
Apa yang sebenarnya dipikirkan olehnya? Apakah dia tidak lelah? Apakah dia masih belum puas dengan semua kegiatan kotor yang mereka lakukan sepanjang malam itu? Rasa bingung dan keingintahuan bercampur aduk di dalam dirinya, membuatnya terjebak dalam momen yang membara ini.
Jisoo mencengkeram bahunya semakin kuat, merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Setelah apa yang mereka lakukan semalaman hingga pagi, dia masih ingin melakukan itu lagi? Jisoo tidak percaya sekaligus merinding, mengingat bagaimana semalam dia dibuat kewalahan oleh Taeyong dan bahkan sampai jatuh pingsan karena kelelahan.
Ruangan itu dipenuhi cahaya lembut siang hari yang menyelinap masuk melalui tirai, menciptakan suasana intim yang kontras dengan kekacauan emosional yang dia rasakan. Jisoo menatap ngeri pada Taeyong yang berada di bawahnya, bermain-main dengan lidahnya di dalam miliknya, seolah-olah ini adalah hal yang paling biasa di dunia.
“Oh, kau bangun?” tanya Taeyong, nada suaranya santai dan sama sekali tidak merasa bersalah saat melihat Jisoo terbangun. “Aku tidak bermaksud membangunkanmu karena kutahu kau pasti lelah.”
Jisoo mengeram mendengar omongan tak masuk akal itu. Kau tahu aku lelah, tapi kau masih melakukannya? Dia ingin meneriakan umpatan itu, tetapi terhalang oleh lidahnya yang mengoyak bagian dalam inti tubuhnya. Rasa marah dan kebingungan bercampur aduk, membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tidak dia inginkan.
“Be-berhenti.” Suaranya tercekat, dia sudah tidak tahan lagi sehingga mengalihkan cengkeramannya ke kepala Taeyong, menarik rambutnya dengan serangan ganas—sekaligus melampiaskan kekesalannya pada pria ini. “Sudah cukup.”
Untuk sesaat, Taeyong menghentikan aktivitasnya di bawah sana. Dia mendongak, matanya berkilau penuh tantangan saat menatap Jisoo dari bawah. “Masih belum,” katanya sambil menekan perut telanjangnya dengan tangan besar dan kuatnya. “Aku masih lapar.”
Apa kau ini manusia atau iblis? teriaknya dalam hati sambil menatap Taeyong dengan tatapan mengerikan, seakan tidak percaya bahwa di dalam hidupnya dia akan dipertemukan dengan pria gila yang terobsesi padanya.
“Kau bisa makan?” tanyanya ragu-ragu dengan suara bergetar, lalu menambahi, “Makan sesungguhnya ... maksudku, makan—ah!”
Jisoo tersentak saat mendengar suara jeritannya sendiri, seolah baru menyadari betapa anehnya situasi ini di hari pertamanya terbangun setelah melewati malam yang panjang. Dia mempermainkanku! Jisoo menatap marah Taeyong yang barusan dengan sengaja menggigit titik sensitifnya, memberikan dorongan kenikmatan yang memabukkan. Rasa marahnya seolah menguap, tergantikan oleh gelombang sensasi yang tak terduga.
Tiba-tiba bibir Taeyong memberikan kecupan-kecupan basah di sepanjang bibir kewanitaannya, membuat kepala Jisoo terangkat karena serangan bertubi-tubi mulutnya. Sensasi itu membuatnya terengah-engah, antara ingin melawan dan ingin menyerah pada godaan.
Ciuman itu akhirnya berhenti, tetapi tidak dengan tangannya yang kini merayap naik ke atas tubuhnya, menjelajahi setiap lekuk dengan penuh percaya diri. “Yang kumaksud lapar adalah dirimu. Kau adalah makananku,” bisik Taeyong dengan nada menggoda, matanya penuh hasrat yang membuat Jisoo merasa terperangkap dalam lingkaran keinginan yang tak terelakkan.
Jari-jarinya menemukan putingnya, mencubit dan memelintirnya dalam harmoni yang sempurna dengan cambukan lidahnya yang berirama. Suara napas Jisoo yang berat memenuhi ruangan, sementara kepalanya jatuh ke bantal, merasakan kehangatan dan kelembutan kain yang menyelimuti wajahnya. Jari-jarinya menggali rambut Taeyong, merasakan gelombang kenikmatan yang mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan gairahnya tumbuh, menggenang dalam dirinya seperti ombak yang tak henti-hentinya saat Taeyong melanjutkan serangannya yang tak terelakkan pada indranya.
“Ka-kau harus berhenti,” pintanya, suaranya bergetar karena kebutuhan yang mendesak. Dia tidak ingin melanjutkan permainan berbahaya ini lagi, dia lelah, tetapi entah bagaimana reaksi tubuhnya terus mengkhianatinya. “Berhen—Taeyong!”
Taeyong mengangkat wajahnya, menatap Jisoo dengan mata yang berkilau penuh hasrat sebelum tersenyum lebar. “Senang rasanya mendengarmu meneriakkan namaku,” ujarnya, suaranya lembut namun menggoda. Senyumnya semakin lebar dan matanya tampak gelap karena hasrat saat mengamati basah berkilauan di antara pahanya.
Perlahan-lahan kemudian dia merangkak naik ke atas, mencengkeram salah satu puting Jisoo di antara bibirnya dan mengisapnya dengan keras, giginya menggesek kuncup yang sensitif itu. Jisoo melengkungkan punggungnya, dadanya menekan mulut Taeyong saat dia mengeluarkan erangan parau, suara yang menggabungkan antara kesakitan dan kenikmatan.
“Tidak ... ja-jangan di situ ....” Dia terengah-engah, pinggulnya bergoyang tanpa sadar melawan tangan Taeyong, terjebak dalam permainan yang membuatnya semakin terangsang. “Ber-berhenti ....”
“Kau selalu sensitif ketika aku menyentuhmu di sini,” ujarnya sambil menyeringai licik, suaranya penuh percaya diri. Kemudian lidahnya kembali ke posisi sebelumnya, mengelilingi puting Jisoo yang lain, sementara jari-jarinya memijat dengan lembut, menggulungnya di antara ibu jari dan telunjuknya.
Pikiran Jisoo kabur oleh sensasi, setiap saraf berakhir menyala dengan intensitas sentuhannya. Pikirannya tersebar, dikonsumsi oleh hasrat yang luar biasa yang mengancam untuk melahapnya.
Tiba-tiba Taeyong melepaskan putingnya dan turun dari tempat tidur, meninggalkan Jisoo terengah-engah dan putus asa untuk lebih. Jisoo memperhatikan dengan setengah linglung saat Taeyong bergerak ke kaki tempat tidur, matanya tidak pernah meninggalkannya penuh rasa ingin tahu dan ketegangan. Dalam satu tarikan kuat, Taeyong menyeret tubuhnya hingga mencapai tepi tempat tidur. Jisoo tersentak kaget dan menjerit panik.
Mengabaikan jeritannya, Taeyong berlutut memposisikan dirinya di antara kedua kakinya sekali lagi. Namun kali ini, dia tidak membuang waktu untuk menggodanya. Dengan penuh semangat, dia langsung menusukkan lidahnya yang hangat dan licin ke dalam tubuh Jisoo, menguburnya dalam panas yang menyengat di bagian tengah tubuhnya.
Jisoo menjerit, tangannya mencengkeram seprai dengan kuat saat merasakan lidah Taeyong melingkar dan melilit di dalam dirinya. Setiap gerakan terasa seperti aliran listrik yang menggetarkan saraf-sarafnya, menjelajahi setiap celah, setiap lipatan, dan mencicipi saripatinya dengan fokus yang hampir penuh hormat. Perutnya menegang, otot-ototnya menegang untuk mengantisipasi orgasme yang melayang di luar jangkauannya.
“Taeyong, berhenti—ah ... tidak, jangan di situ!” teriaknya, suaranya bergetar saat dia merasakan getaran pelepasan pertama mulai berdesir di sekujur tubuhnya. Sensasi itu mengalir seperti arus deras, membuatnya merasa terbang di atas awan.
Namun, Taeyong belum selesai di situ saja. Dia menarik lidahnya, meninggalkan Jisoo yang berteriak merasa tersiksa oleh kenikmatan, dan menggantinya dengan dua jari yang licin. Dia mendorongnya dalam-dalam ke dalam tubuh Jisoo, melingkarkannya ke atas untuk menyentuh titik G-nya. Jisoo merasakan gelombang kejut yang mengguncang tubuhnya, pinggulnya tersentak karena kontak itu, tubuhnya melengkung dari tempat tidur saat dia terbebas.
“Ya Tuhan, Taeyong!” teriaknya setengah panik, setengahnya lagi merasa tegang saat orgasme menguasainya. “Jangan di situ. Berhenti. Ah ... ber-berhenti!” Suaranya melengking, berjuang antara keinginan untuk menyerah pada kenikmatan dan kebutuhan untuk mempertahankan kendali atas dirinya.
Rasa panas dan dingin bercampur aduk di dalam dirinya, menciptakan sensasi yang membuatnya semakin terjaga. Dia bisa merasakan setiap gerakan jari Taeyong yang menari-nari di dalamnya, mengubah setiap desahnya menjadi simfoni kesenangan yang tak terhindarkan. Dalam kekacauan itu, dia berusaha untuk tetap sadar, tetapi setiap gerakan Taeyong membawa dia lebih dalam ke dalam lautan kenikmatan yang tak berujung.
Taeyong menyeringai padanya, matanya dipenuhi dengan kebanggaan dan kepuasan. Dia mempercepat gerakannya, jari-jarinya bergerak masuk dan keluar dari tubuh Jisoo dengan kecepatan tanpa henti menciptakan ritme yang membuat tubuh Jisoo bergetar. Napasnya pendek dan terengah-engah, setiap hembusan napas dipenuhi dengan gelombang kenikmatan yang tak tertahankan.
Lalu dalam sekejap, jeritannya melolong keras memenuhi keheningan di dalam kamar setelah dia melepaskan orgasmenya. Suara itu menggema, seolah-olah mengusir semua kegelapan dan kesunyian, mengisi ruangan dengan energi yang membara. Ketika Jisoo akhirnya sadar kembali dari euforia yang melanda, dia mendapati Taeyong masih di antara kedua kakinya, jari-jarinya kini melambat menjadi belaian lembut yang menenangkan.
Pria itu menatapnya, ekspresinya lembut saat dia menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Aku tahu kau menyukainya,” ujarnya sambil tersenyum puas, senyumnya menunjukkan kebanggaan akan penguasaannya. “Sekarang, mari kita lanjutkan lagi.”
“A—apa?” teriaknya setengah terbangun, tak percaya saat mendengarnya. Suara Jisoo bergetar, mencerminkan kebingungan dan ketidakpastian.
Taeyong menatapnya sambil mengernyit heran. “Kenapa kau begitu terkejut? Kita belum selesai. Bukankah sudah kubilang aku lapar?”
“Apa kau masih belum puas?” Akhirnya dengan setengah berani dia mengeluarkan kata-kata itu. “Kau sudah menelanku hidup-hidup sejak semalam hingga pagi, dan bahkan membuatku pingsan!”
“Itu karena kau lemah,” katanya sambil tertawa, seakan meremehkannya karena sangat lemah saat mereka melakukan kegiatan itu bersama
Jisoo merasa marah, tetapi juga bingung. Apa salahnya menjadi lemah? Lagi pula, itu salahnya karena memiliki tenaga lebih dan jika dia sadar, dia memaksanya untuk melakukan hubungan yang tidak pernah diinginkannya ini. Malah seharusnya Jisoo marah padanya karena telah mengambil pengalaman pertamanya.
“Seberapa besar nafsumu itu?” Jisoo mengepalkan kedua tangannya, marah. “Kau menjijikan!”
Taeyong terkekeh mendengar umpatannya, tawa itu terdengar seperti ejekan. “Dan orang yang kau anggap menjijikan ini adalah orang pertama yang memasukkan miliknya ke dalam milikmu.” Lalu dia mencodongkan tubuh ke depan, memberikan ciuman lembut di paha bagian dalam Jisoo, membuatnya merinding. “Dia juga yang membuatmu sebasah ini. Apa aku salah, Nona Baek?”
Senyum nakal Taeyong dan tatapan penuh percaya diri itu membuat Jisoo semakin frustrasi. Dia mengepalkan kedua tangannya lagi, semakin erat, semakin kuat, seolah-olah itu bisa menghalau semua perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia benci mengakuinya, tapi pria itu benar. Taeyong adalah orang pertama yang membuatnya merasakan pengalaman ini—sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Namun, semua itu terjadi atas paksaan, bukan berdasarkan kemauannya. Taeyong memberinya hukuman yang tidak bisa dia hindari dan itu membuatnya tidak punya pilihan.
“Aku tidak menyukainya.” Jisoo menggigit bibirnya, menahan kemarahannya yang semenjak semalam semakin membara, siap meledak kapan pun. “Aku tidak menyukaimu!”
“Kau tidak perlu menyukaiku, Nona Baek,” jawabnya dengan nada santai, senyumnya semakin lebar. “Karena cukup aku saja yang menyukaimu.” Dengan itu, Taeyong berdiri, miliknya berdiri tegak dengan penuh perhatian.
Mata Jisoo melebar saat melihatnya, ingatan tentang kegiatan mereka semalam membanjiri kembali dengan deras yang memabukkan. Dia langsung membuang muka, pipinya memerah karena malu ketika melihat Taeyong berdiri di depannya dengan tubuh telanjangnya. Meskipun sejak semalam hingga siang ini mereka terus melakukan seks maraton bersama, tetap saja, Jisoo tidak terbiasa melihat tubuh telanjang pria itu. Perasaannya menjadi campur aduk setiap kali melihatnya—antara rasa malu, kemarahan, dan sesuatu yang tidak ingin diakuinya, meski reaksi tubuhnya terus saja mengkhianatinya.
Tak lama kemudian, Jisoo terpaku, tubuhnya menegang lagi saat Taeyong memposisikan dirinya di pintu masuk kewanitaannya yang bengkak dan basah. Hatinya berdebar kencang dan dia merasa seolah-olah waktu terhenti sejenak.
“Tapi aku yakin, kau menyukai ini?” tanyanya, seringai jahat bermain di sudut mulutnya, sementara suaranya penuh dengan godaan yang menggoda.
Jisoo menggeleng dengan putus asa meskipun tubuhnya terus mengkhianatinya untuk kesekian kali. “A—aku tidak menyukainya,” balasnya dengan suara serak, mengandung hasrat yang tidak bisa dia sembunyikan.
Sambil tersenyum licik, Taeyong mendorongnya, mengisinya sepenuhnya dalam satu gerakan halus dan kuat. Jisoo berteriak kencang, kukunya menancap punggung Taeyong saat dia merangkak naik ke atas tubuhnya. Mereka berdua berhenti sejenak, menikmati perasaan saling terhubung begitu erat. Kemudiam tanpa peringatan, Taeyong mulai bergerak, pinggulnya bergerak maju dengan presisi mekanis menciptakan ritme yang membuat Jisoo terhanyut.
Inilah yang tidak dia sukai. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak menyukainya, tapi tubuhnya selalu berkata lain, merespons setiap dorongan dengan keinginan yang membara. Jisoo menempel padanya, kakinya melingkari pinggangnya saat menghadapi setiap dorongan Taeyong dengan kekuatan yang sama. Tubuh mereka bertabrakan dalam irama yang primitif dan sangat intim, setiap gerakan mengirimkan kejutan kenikmatan yang mengalir melalui pembuluh darahnya.
“Aku lelah,” ujarnya, suaranya nyaris tak terdengar karena suara kulit mereka saling menampar. “Kumohon, Taeyong, berhenti.”
Taeyong mengabaikannya seperti biasa. Justru dia mempercepat dorongannya hingga mereka berdua tenggelam dalam pusaran sensasi. Dada Jisoo bergoyang dengan setiap dorongan, putingnya bergesekan dengan dada Taeyong saat mereka bergerak menjadi satu. Dia bisa merasakan tekanan meningkat lagi, semakin tinggi dan tinggi, hingga mengancam untuk menghancurkannya.
“Taeyong.” Dia terkesiap mendengar dirinya sendiri saat berteriak memanggil nama pria itu. “Taeyong ....”
Taeyong menanggapi dengan mendorongnya lebih dalam, jari-jarinya menggali pinggulnya saat dia menjepitnya ke tempat tidur. “Terus teriakan namaku,” gerutunya, suaranya kental dengan urgensi dan hasrat yang membara. “Ayo, Jisoo, lakukan!”
Mungkin Jisoo sudah dibuat mabuk kepalang sehingga dia mau melakukannya, memanggil namanya. Seluruh tubuhnya menegang, otot-ototnya mengepal di sekitar milik Taeyong saat gelombang demi gelombang ekstasi menghantamnya. Jisoo meneriakkan namanya, suaranya bergema di dinding saat dia berputar ke jurang klimaksnya.
“Taeyong ...!” Dia berteriak, penglihatannya memutih saat dunia hancur menjadi kenikmatan, dan semua yang ada di sekelilingnya lenyap dalam lautan euforia yang tak terhindarkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top